Secara tidak langsung, Jamaah Tabligh lahir dari keresahan dan kerisauan yang terkungkung dalam pusaran badai ketidakpastian umat, pasca runtuhnya Khilafah sang benteng pelindung umat. JT lahir dari kesederhanaan dan jauh dari kesan mewah, ekslusif dan arogan. Jika ada gerakan dakwah yang namanya ‘’tidak resmi’’ atau lebih tepatnya istilah: ‘’bergerak tanpa kasta berjuang tanpa nama’’ maka jamaah tabligh-lah yang paling berhak menyandang. Mengapa? Karena istilah Jamaah Tabligh (JT) sendiri bukan lah nama yang diberikan pendirinya –Asy-Syaikh Maulana Ilyas al-Kandahlawi-, bukan pula nama yang diberikan oleh maulana-maulana mereka baik yang dahulu ataupun sekarang. Tapi nama Jama’ah Tabligh adalah satu dari sekian nama yang disematkan orang-orang terhadap jama’ah tersebut. Maulana Ilyas bahkan menamai gerakan yang ia bangun dan susun ini dengan nama jamaah dakwah, seiring berjalannya waktu berbagai julukan mulai melekat kepada jama’ah ini hingga dikenal dengan nama Jama’ah Tabligh.
Pada bab ini penulis tidak menyoroti sejarah kelahiran JT karena tentunya literatur seperti itu telah banyak bertebaran. Penulis hanya sedikit menyoroti proses gerakan dan kaderisasi serta ekspansi Jamaa’ah Tabligh ini, karena dianggap sangat menarik. Belajar dari pengalaman khuruj yang penulis alami, ataupun dari proses-proses interaksi yang terjadi selama beberapa lama.
Di JT ruh kaderisasi berjalan dengan baik akan tetapi jauh dari kacamata formalitas. Artinya proses pembinaan yang dinikmati karkun ataupun masturoh dalam lingkup usrah maupun halaqoh, berjalan dengan tertib meskipun tanpa pengawasan (yang berarti). Tugas amir dalam suatu daerah maupun wilayah memang menargetkan sepersekian calon karkun dalam setiap bulan atau tahun akan tetapi mereka tidak kehilangan militansi dan ciri khasnya. Yang menarik lainnya, gerakan ini adalah gerakan dakwah non profit yang tidak pernah mengandalkan dana dari perusahaan atau lembaga tertentu. Tetapi ketidak-adanya pasokan dana yang pakem dan tidak memiliki sekretariatan di semua tingkatan, tetap membuat para karkun maupun masturohnya memiliki militansi dakwah yang tidak dapat dianggap sepele.
Dengan jargon dan bendera ; ‘’iman dan amal sholeh’’ mereka kibarkan dengan bangga dan penuh totalitas. Hasilnya; dari preman, tukang ojek, tukang urut, buruh hingga kalangan atas mulai artis dan pejabat dapat direkrut untuk dijadikan karkun. Bahkan tak sedikit yang menjadi penggerak dakwah diberbagai tempat.
Paling tidak dari sekelumit ciri khas yang melekat pada JT, KAMMI –terutama kadernya- seyogianya belajar banyak hal. Sebagai sama-sama gerakan dakwah non profit, tidak ada salahnya KAMMI sebagai organisasi kepemudaan belajar dengan segala kerendahatian di usianya yang baru mencapai 18 tahun. Usia muda memang, usia yang jika diqiyaskan maka baru mencapai bangku kuliah. Belajar apa saja? Banyak hal.
Di awal-awal kelahirannya, pendiri KAMMI dan jajarannya adalah aktivis masjid paling tidak sedikit memiliki kesamaan dengan JT. Pun baik KAMMI maupun JT sama-sama organisasi non profit -dengan JT yang lebih dahulu lahir tetapi tanpa dukungan dana dari perusahaan ataupun sponshorship manapun, JT bersama karkun maupun masturohnya dapat melakukan ekspansi dakwah di semua negara. Bahwa kaidah: ‘’Shunduquna juyuubuna’’ (kotak kami, dana kami) dipegang erat dengan teguh dan tangguh. Bahwa pengorbanan khuruj maupun jur sekalipun harus diusahakan dari masing-masing kader-kadernya tidak boleh bergantung kepada siapapun. Ini bukan berarti menafikan pentingnya sponsorship, akan tetapi hendak menegaskan garis lurus bahwasannya kendala dana tidak akan menghilangkan proses kaderisasi dan militansi, karena sikap pengorbanan terhadap umat mesti harus dimulai dari pengorbanan dirinya terhadap dakwah. Itu yang dimiliki JT dan belum banyak dimiliki kader KAMMI.
Terakhir adalah menghimpun arti kerinduan. Tak bisa dipungkiri khuruj adalah proses rekrutmen maupun kaderisasi itu sendiri, akan tetapi keping kerinduan lain seperti hadir di Jur Wilayah, Nasional ataupun IPB (India,Pakistan, dan Bangladesh), tetap mereka pupuk dalam jiwa. Bukan hendak ingin menyandang gelar Maulana atau apapun itu, akan tetapi karena bagi mereka Jur adalah kebutuhan. Apakah ruang ini sudah banyak dimiliki oleh pengusung jargon Muslim Negarawan? Adakah ruang diskusi, madrasah, dauroh maupun aksi dapat mengobati kerinduan? Karena kadang kader-kadernya tak begitu percaya sematan kata ‘’Aksi’’ melekat di jaket yang dikenakannya. Kita sedikit amnesia, bahwa KAMMI lahir dari rangkaian kalimat aksi dan demo jalanan, dilindungi oleh militansi daurah dan madrasahnya, dan berbeda dengan sikap kritif solutifnya dalam ranah diskusi.
Kadang kita terlalu sering gagal menyemai rindu; rindu kemenangan dan kejayaan atas ‘izzah Islam. Rindu akan harapan besar gerakan ini didirikan, kemudiaan larut dalam kesia-siaan dan melupakan profil Muslim Negarawan. Maka tak heran jika duka serta ketidakpastian yang berselimut lara kian memeluk erat dalam diri.
Oleh : Ahmad Amrin Nafis
KOSAKATA:
Maulana: istilah pimpinan atau orang yang dianggap ‘alim yang dijadikan rujukan dalam JT (Semacam Murobbi atau Naqib dalam IM ataupun Musyrif dalam HT)
Usrah: keluarga, maksudnya pembinaan ditingkat keluarga. (biasanya rutin membaca kitab fadhoilula’mal dan mengundang Maulana beberapa kali dalam berbeagai kesempatan)
Amir: istilah pemimpin dalam jamaah tabligh. Baik pemimpin di masing-masing kelompok yang khuruj, daerah maupun wilayah yang berafiliasi dengan Amir nasional.
Khuruj: istilah keluar dari masjid ke masjid biasanya berdurasi 3 hari, 40 hari, dan 3 bulan. ada pula yang setahun tapi kalangan tertentu biasanya santri atau Ustadz.
Karkun: istilah kader JT Ikhwan yang sudah keluar (khuruj) 3 hari, 40 hari ataupun 3 bulan.
Masturoh: istilah kader JT dari kalangan akhwat yang telah keluar (khuruj) 3 hari, 40 hari ataupun 3 bulan.
Jur (jor): istilah ijtima’(perkumpulan) seluruh kader.biasanya ada jur wilayah, jur nasional ataupun internasional di IPB (India, Pakistan, dan Bangladesh). Biasanya ada rangkaian diskusi, serap aspirasi (karguzari), atau pun ta’lim dengan Maulana atau ulama.
EmoticonEmoticon