Ibadah qurban merupakan satu dari sedikit ibadah yang berusia sangat tua dari aturan yang Allah turunkan kepada rasul-rasulNya untuk umat manusia. Di awal-awal pensyariatannya, ibadah qurban mencoba mengajarkan manusia bahwasanya legalitas hukum hanya milik Allah semata. Bahwa di dalam fase-fase dakwah hanya orang-orang bertaqwa yaitu mereka yang paling banyak dan paling baik berkorban yang paling berhak mendapat status dekat dan diterima oleh Allah. Bahwa persaudaraan adalah nilai hakiki tertinggi dalam ranah kemanusiaan, ia harus dijaga dan dipupuk keberadaanya.
Poin-poin besar tersebut dapat kita ambil dari kisah dua anak Adam ‘alaihissalaam sebagaimana termaktub dalam al-Quran surah al-Maidah dimulai dari ayat 27: "...Idz Qorrobaa Qurbaa nan”. Mendekatkan diri dengan ber-qurban, mengingatkan kembali nalar manusia bahwasannya : ibadahnya, sholatnya, hidup dan matinya hanya untuk Allah Ta’ala, patuh tanpa tanda tanya, dan loyal tanpa batas.
“Innamaa Yataqobbalullahu minal Muttaqiin”, bahwa qurban hanya diterima dari orang-orang yang bertaqwa. Yang ikhlas jalan juangnya, yang terbaik kontribusinya, dan yang ridha atas ketetapan-Nya.
“Lain basathta ilayya yadaka litaqtulanii maa ana bi baa sithiyyadiya li ilaika li aqtulak inni akhoofullaha robbal ‘aalamiin". Habil yang terbunuh menganggap Qabil sang pembunuh adalah saudara kandung dan perjuangan yang salah faham, sehingga ancaman pembunuhannya dianggap emosi sesaat. Mengingat Habil kita tentu faham betul kisah Utsman bin Affan –Dzunnurain- yang syahid di tangan para pemberontak. Banyak pendapat ahli sejarah mengenai sikap Utsman, tetapi kacamata bahwa Utsman hanya melihat pemberontak sebagai pihak yang salah faham sesaat telah masyhur adanya. Adalah benar memang sifat manusia yang egois sehingga menyukai perdebatan seringkali menimbulkan banyak masalah. Namun, adanya orang-orang berhati besar yang diharapkan mampu meredam gejolak dan memiliki managemen konflik yang baik adalah karunia agung dari Allah sebagai pemecah.
Mungkin terlampau banyak kita salah bersikap terhadap kesalahfahaman yang disebabkan oleh pelbagai faktor yang dianggap ancaman, sehingga tidak sedikit saudara seperjuangan yang tersakiti karena sikap yang sangat gegabah.
Atau mungkin karena mengangap saudaranya adalah faktor ancaman, sehingga tega memutuskan mata rantai persatuan dan memulai perpecahan.
Di satu sisi kita mengaharapkan adanya kelompok ataupun orang yang mempu meredam konflik, dan di sisi yang lain kita juga sangat butuh orang-orang yang berlapang dada. Ibarat dua sisi mata uang, bahwa orang ataupun kelompok yang berlapang dada adalah mereka yang tidak memusingkan dengan sikap kritis saudaranya yang mengancam hidup dan matinya. Tidak akan membalas cacian atau ancamanya karena fokus orang-orang maupun kelompok ini adalah tujuan besarnya: mengapa dia ada di dunia, apa arah yang hendak dicapainya, serta kemana dia hendak berpulang.
Baginya ancaman saudara seperjuangan adalah bumbu perjuangan yang keniscayaan adanya adalah penghias. Tak terpikir akan mengahabisi kawan ditengah jalan, tak terlintas akan menjatuhkan bangunan dakwah yang tinggi menjulang dan tidak akan membalas keburukan dengan keburukan yang sama atas perlakuan.
Sikap dan sifat itu telah sangat lama lekang dari gerakan, sehingga kadang kita salah bersikap menjadi pahlawan kesiangan tapi di waktu bersamaan adalah dracula pembunuh saudara seiman dengan alasan balasan.
Sedikit banyak kita belajar dari sang kakak gerakan yang acapkali dikhianati. Bukan tentang salah mengambil momen atau ijtihad, akan tetapi kandungan hikmah yang dimiliki. Orang-orang di dalamya telah banyak menjadi martir, kemenangannya dirampas dengan sadis, ribuan kadernya dibunuh dan beberapa dipenjara. Riuh riak kemenangannya sekan menjadi ilusi kala saudara dekat gerakan yang dianggap tetangganya ikut menkhianati.
Adakah rasa perih? Tentu ada. Tapi membalas keburukan dengan keburukan bukanlah mu’amalah perjuangan dan tentu tidak dapat dijadikan tauladan. Toh meskipun asetnya dibekukan, kaderisasinya tetap berjalan dari bilik-bilik cahaya. Dari pondok-pondok berkah yang dilantukan firman Tuhan untuk keseimbangan alam dan peradaban insan. Karena mereka yakin, bahwa Allah senantiasa menepati janjinya dengan bahasa universal dan persatuan al-Quran.
Ambillah ketauladanan, sebagaimana mu’amalah gerakan muslim negarawan. Yang ikhtiarmu adalah prinsip menyatukan dalam lingkaran kemuliaan ukhuwah islam.
Oleh : Ahmad Amrin Nafis (Ketum KAMMI LIPIA)
EmoticonEmoticon