Jangan Salahkan Lelaki Bila Tak Memberimu Duduk


Perempuan. Sejak dulu bahasan tentangnya selalu menarik dan istimewa. Mahkluk Allah yang unik ini selalu jadi topik asyik untuk dibahas sepanjang zaman. Mulai dari hal sesederhana anting-anting, sampai segenting emansipasinya. Menyebut emansipasi wanita tentunya menggiring saraf otak memunculkan kata 'feminisme'. Istilah kata ini sendiri diyakini pertama kali muncul di Prancis dan Belanda pada akhir abad ke-18 yang nantinya akan menyebar ke seluruh Eropa, bahkan dunia.

Feminisme sejak dulu hingga saat ini selalu dilabeli dengan embel-embel 'pejuang kesetaraan hak' bagi perempuan. Gerakan dan pendukungnya selalu menyuarakan tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Awalnya para pejuang isme ini mencoba untuk mengembalikan hak wanita yang selalu ditiadakan; hak belajar, berkembang, meniti karir, hingga hak suara dalam pemilihan. Semua itu menjadi barang mahal yang tak bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Beberapa tokoh perempuan bergerak, banyak massa yang tersentuh, gelombang pergerakanpun mulai tercipta dan meluaslah paham ini yang digambarkan sebagai bentuk kejengahan wanita akan diskriminasi sosial, budaya, ekonomi, hukum atasnya. Dari sinilah, lahir tuntutan kesetaraan gender dan LGBTIQ.

Jika kita mau menilik sejarah, gelombang feminisme ini memang muncul dalam suasana lingkungan yang mendiskreditkan perempuan. Maka menjadi logis, jika pada saat itu gerakan ini berkembang dan berhasil membuat banyak orang empati terutama dari kalangan perempuan. Sehingga hampir di seluruh dunia, perempuan tak lagi menjadi 'setengah manusia' dalam masyarakatnya. Singkatnya, kini perempuan bisa duduk di bangku sekolah manapun dan tingkat apapun. Perempuan kini memiliki hak suara dalam setiap pemilihan dan memiliki kesempatan pula untuk bekerja di berbagai tempat. 

Apakah cukup? Tidak. Penerus gerakan ini terus menuntut persamaan dalam berbagai bidang. Mari kita persempit lingkup bahasannya menjadi Indonesia saja. Sejak tahun 2002, sebagai negara demokrasi, setiap elemen kenegaraan perlu mewakili rakyatnya. Maka ditetapkanlah undang-undang; kuota perempuan harus mencapai 30% di kursi legislatif. Belum puas juga, agama dikritisi, terlebih Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dinilai terlalu maskulin. Hak waris dianggap tak adil, hak perceraian diminta, permintaan berhubungan oleh suamipun dianggap pemerkosaan. 

Para feminis ini ingin menafikan perbedaan fisiologis maupun psikologis antara laki-laki dan perempuan. Padahal, jelas sekali perbedaan tersebut membentuk cara berpikir, berprilaku, dan kemampuan bekerja yang beda pula. Saya sendiri percaya bahwa perempuan dapat mengembangkan diri dan mencapai berbagai tingkatan dalam segala aspek tanpa harus melupakan fitrah dan kewajiban utamanya sebagai perempuan. 
Bila rambu-rambu agama, norma budaya dan kearifan masyarakat ditinggalkan demi menuntut kesetaraan gender, maka peradaban selanjutnya akan hancur. Jika diteruskan, kedepannya para ibu enggan mengurus rumah dan anak karena dalih perbudakan dan eksploitasi wanita. Perempuannya sibuk menjadi superior diatas laki-laki. Sebagian pria akan kehilangan peran dan sense of leadership yang akhirnya menjauhkan ia dari kodratnya sebagai pemimpin, menjadikan laki-laki lemah gemulai dan lembek ala tempe mendoan. Bayangkan masyarakat apa yang terbentuk jika mental dan prilaku individunya tertukar-tukar.

Yang disayangkan, para aktifis feminis ini rata-rata menjejak pendidikan yang tinggi, aktif dalam berbagai tataran sosial, organisasi bahkan menjadi tokoh politik. Sehingga, mereka dengan terbuka dapat menyebarkan paham ini sebab memiliki jangkauan pendengar yang luas. Sebaliknya, kebanyakan perempuan yang bersikap kontra terhadap paham ini memilih tidak terlibat dan mencukupkan diri dengan kompetensi seadanya. Akhirnya edukasi mencerdaskan sulit ditemukan. Maka jangan marah jika di angkutan umum ada laki-laki yang tak hendak mempersilahkan perempuan untuk duduk. Bukankah ini yang diinginkan; kesetaraan dalam berbagai hal.

Oleh : Idzni Fitri (Koordinator Perempuan KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »