Zaman Baru: Pendidikan yang Memabukkan


Ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang anak jika bukan orang tuanya yang mendidiknya, maka zaman yang akan mengambil alih tugas sebagai pendidik. Jika kita melihat realita pada hari ini, kita jumpai orang tua yang sudah tidak lagi peduli dengan anak-anak mereka. Kepedulian orang tua saat ini hanya terbatas pada kepedulian tingkat perasaan. Tiap hari orang tua berkata, “Ya Allah, anak saya kog begitu, kog begini,” namun tidak pernah ada tindakan nyata dari orang tua jika melihat prilaku yang menyimpang dari anak-anaknya. Kepedulian tingkat perasaan masih mending dibandingkan dengan orang tua yang sama sekali tidak peduli dengan anak-anaknya. Buah hatinya dibiarkan bergaul bebas sebebas-bebasnya. Orang tua tidak lagi pusing atau takut jika anak-anaknya menghisap rokok, membonceng perawan tetangga, menggambar naga dikulit dan prilaku abnormal lainnya. Malahan tidak sedikit orang tua yang merasa bangga dengan kelakuan anak yang demikian. Ketidak pedulian, pembiaran, bahkan selalu mengiyakan gaya anak merupakan penyakit kronis yang menimpa orang tua.

Orang tua terkesan melempar tanggung jawab pendidikan hanya pada lembaga formal atau guru. Namun jika terjadi apa-apa terhadap anaknya, orang tua mendatangi guru sembari mencaci kegagalan guru dan sedikit dibumbui tinju dan jotos. Lebih tragisnya, hari ini kita jumpai banyak sekali guru yang tidak lagi mendidik karena ingin melihat generasi yang cemerlang. Banyak pendidik yang motifasinya hanya untuk mencari lembaran yang menyegarkan mata. Tak ayal universitas keguruan, full dengan mahasiswa yang berharap setelah lulus langsung dapat mengajar dan meraup gaji yang menjanjikan. Jika gurunya saja sudah salah dalam motif, bagaimana nasib anak didiknya? M. Natsir, muslim negarawan kita, menyebut bahwa pendidikan akan terpuruk jika tidak ada guru yang berjuang ikhlas dalam mendidik. Keihklasan yang sirna, akan pula menghilangkan keberkahan. Mungkin saja pendidik berhasil memintarkan siswanya, tapi belom tentu kepintaran siswa didikanya akan mendatangkan manfaat, mungkin malah jadi mudharat yang akan diperoleh.

Banyak alasan memang, kenapa orang tua sampai lalai terhadap pendidikan anaknya, ada yang karena pekerjaan, karir dan lain-lain. Mereka beralasan bahwa dengan kerja keras mereka bisa memberikan pendidikan yang baik dan layak bagi seorang anak. Mari kita perhatikan sejarah dalam kitab suci. Kita akan jumpai Luqman al-Hakim yang mendidik anaknya sendiri dengan penuh dedikasi. Pendidikan Nabi Ibrahim terhadap anaknya Ismail. Pendidikan Ya’kub terhadap Yusuf dan saudara-saudaranya, bahkan ketika maut datang pun, Ya’kub masih memperhatikan pendidikan tauhid anak-anaknya. Dan banyak lagi kisah bagaimana seorang ayah yang mendidik anaknya.

Jika orang tua sudah angkat tangan terhadap nasib pendidikan anaknya, maka zamanlah yang akan mengajarinya. Ingat, kita saat ini hidup pada zaman yang tidak bersahabat. Berbeda dengan zaman dahulu. Zaman ayah dan kakek-kakek kita. Zaman mereka malah sangat berguna dan membantu untuk mendidik karakter dan keperibadian anak-anak. Zaman mereka telah mangajari banyak hal terhadap bocah di zamannya. Mengajari kemandirian, kerja-keras, kedisiplinan, kesederhanaan, kesopanan terhadap manusia dan alam dan pelajaran-pelajaran lain yang tidak akan bisa atau mustahil untuk kita dapatkan dari zaman hari ini. Kita melihat anak-anak zaman dahulu, sebelum berangkat sekolah membawa sabit ke hutan untuk mencari pakan kambing dan sapi. Setelah sekolah pergi lagi untuk menggembala kambing sampai sore hendak pergi. Setelah maghrib mereka memenuhi surau-surau desa. Suara mereka mengaji menjadi penghias hari-hari dalam syahdu indahnya pedesaan. Subhanallah luar biasa indahnya zaman itu. Orang tua pun demikian disiplinnya dalam mendidik anaknya. Tak jarang orang tua “sedikit kejam” mengikat anaknya di pohon jambu karena bolos mengaji. Memukulnya dengan cambuk sapi jika membandel. Guru zaman itu pun “kejam-kejam,” hingga tak jarang seorang siswa pulang dengan muka merah tamparan. Atau tubuh yang memar terkena batang penggaris. Hal tersebut sudah biasa. Habis itu, anak kadang masih menerima hukuman dari orang tua. kita lihat, sinergi orang tua dan guru terjalin luar biasa. Orang tua mendidik, guru mendidik, zaman pun mendidik. Adakah pendidikan itu bisa kita hidupkan lagi zaman sekarang?

Kita melihat zaman hari ini, telah berbeda. Zaman telah berubah menjadi sebuah monster yang menggelikan, jika tidak mau dikata membahayakan. Zaman sekarang sudah terpengaruh dengan international minded. Zaman yang bergaya barat. Maka yang didapat oleh anak-anak kita hari ini dari zaman adalah tatacara berbusana yang bolong-bolong. Katanya memakai baju tapi payudara dan paha terlihat nyata. Katanya memakai kerudung, tapi bentuk leher dan dada malah semakin moner. Katanya berhias diri mengunakan bedak dan gincu, tapi muka malah berubahh menjadi boneka popi. Katanya demi tren zaman memakai sepatu bertangga bagian lutut, hasilnya kalau jalan belok kanan-kiri seperti kambing yang keracunan tuwak pohon cematan. Katanya pula mengikuti fashion rambut terbaru, dicat warna hijau, kuning dengan sedikit kelabu, dan ditambah bendera merah putih sebagai sanggul. Ya salam...manusia atau Mak Lampir dari Gunung Merapi semacam itu?

Zaman hari ini juga mengajarkan yang aneh-aneh. Kata mereka, tidak zaman kalau tidak pacaran. Orang tua pun ikut-ikutan. Bangga kalau anaknya dibawa pemuda lontang-lanting pengangguran. Bapak-ibunya bangga setengah mati. Giliran ada pemuda melamarnya, mengajaknya membangun kehidupan baru, dengan edanya orang tua bertanya, “Kamu punya apa?”.

Jika sudah demikian kronisnya, maka yang perlu kita garap bersama adalah mengembalikan sistem pendidikan sebagaimana sistem pendidikan zaman dulu. Sistem zaman dulu bukan berarti sistem tradisional dan primitif. Melainkan skala prioritas pendidikan yang diberikan. Zaman embah-embah kita dulu, yang pertama diajarkan adalah agama dan akhlak. Atau akhlak dulu baru agama. Setelah akhlak dan agamanya sudah baik, baru diajarkan yang lain-lainnya. Inilah yang tidak kita jumpai hari ini (dalam skala mayoritas). Anak-anak sejak SD sudah dijejali pelajaran Bahasa Inggris, matematika, sejarah. Menginjak SMP ditambah fisika, biologi, kimia. Kemudian SMA ada geografi, Bahasa, astronomi dan lain-lainnya. Nahasnya, setelah lulus SMA dan belajar dalam bangku formal selama 17 tahun tetap saja tidak pandai berbahasa Inggris, tidak paham matematika, tidak mahir fisika-kimia, tidak bisa ini tidak bisa itu, 17 tahun ngapain aja adik? Coba kalau 17 tahun diajarkan akhlak, intens sebagaimana pelajaran umum, meski tidak paham ilmu-ilmu umum itu, anak masih punya akhlak yang menyejukkan mata orang tua, mengademkan dada tatkala usia senja. Duhai betapa nikmatnya punya anak berakhlak.

Oleh : Hilal Ardiansyah (Kadept Kebijakan Publik KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »