Wahyu dan Akal, Antara Manusia Manusia dan Manusia Binatang


Jika kita sering membiarkan akal untuk terjun bebas berpikir, maka kebanaran yang selama ini kita benarkan akan mengalami sebuah guncangan pemikiran sekaligus mendatangkan pertanyaan “apakah benar apa yang benar perna saya imani?” Nyatanya, manusia memang diharuskan untuk menghayati kebenaran yang ia klaim sebagai kebenaran. Ibnu Khaldun berpendapat, seseorang harus benar-benar memahami kebenaran apa yang ia imani sebelum ia bertindak. Hal demikian demi terciptanya sebuah gerakan amal yang didasari pada sebuah idiologi yang benar dan kebenaran atas klaim benar tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan akal-logika yang sehat.

Selanjutnya, hal yang mendasar sekali sebelum kita mengungkit-ungkit lagi kebenaran yang kita yakini benar tersebut, maka kita harus memulainya dari tangga yang pertama. Tangga pertama dalam rana ini adalah mengetahui dan menginsafi bahwa manusia memiliki dua dimensi yang tidak terlepaskan. Pertama adalah dimensi jasad dan kedua adalah dimensi ruh. Manusia tanpa jasad adalah mayat yang tak berguna. Kita bisa lihat ketika kita sedang tidur. Keadaan manusia yang sedang tidur, merupakan keadaan ketika ruh manusia diangkat oleh Allah ke langit. Jika Allah menghendaki kehidupan atasnya maka ruh tersebut dilepaskan, namun jika Allah menghendaki hal lain, maka ruh tersebut tertahan dalam artian tidur sementaranya berubah menjadi tidur abadi. Keadaan ketika ruh sedang di luar jasad merupakan keadaan ketika organ bekerja tanpa ruh. Artinya, sistem otomatis yang secara sunnatullah telah bekerja berdasarkan format dan sistem kerja sebagaimana ia diciptakan. Berbeda dengan orang yang ruhnya benar-benar berlepas dari jasad secara permanen. Maka dalam keadaan demikian, jasad sudah tidak ada gunanya lagi. Disamping ruhiyah insaniyah, manusia juga jasadiyah insaniyah. Artinya manusia memiliki dimensi material. Manusia memiliki tubuh yang dapat menyentuh sesuatu lainnya. Manusia juga memiliki tubuh yang tidak sama dengan malaikat, jin atau semisalnya yang bukan material. 

Manusia sebagai ruhiyah insaniyah dan jasadiyah insaniyah ini juga berdampak pada cara manusia berpikir dan memahami kebenaran. Maka pada tahap berpikir ini, manusia memiliki dua sumber pengetahuan. Yang pertama adalah sumber-sumber transendental yang religius dan mistik. Dan yang kedua adalah akal yang bebas merdeka dalam berpikir positif.  Jadi, di samping manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad yang materialistik dan ruh, maka cara manusia memperoleh pengetahuan pun bersumber pada akal yang meterial dan wahyu yang sebanding dengan ruh dalam hal immaterial.

Dua hal ini, yakni wahyu dan akal, adalah dua eleman yang tidak bisa dilepaskan oleh manusia. Jika manusia melepaskan salah satu dari keduanya, bisa dikata manusia tipe ini adalah manusia yang kurang sempurna. Coba lihat pada binatang, binatang  dalam memperoleh pengetahuan adalah bersumber dari wahyu, dan tanpa akal. Wahyu yang lebih tepatnya disebut insting tersebut merupakan sumber binatang mendapatkan pengetahuan. Bagaiama caranya ia bertahan hidup, bagaimana caranya ia berkembang biak, dan seterusnya. Binatang hanya memiliki satu sumber, karena ia tidak memilik akal untuk menalar. Jadi kita bisa melihat bagaimana binatang itu hidup, sempurna atau tidak dalam hal etika kehidupan yang logis?

Manusia pun demikian halnya. Jika manusia hanya menggunakan akal dalam berpikir, dan meninggalkan aspek wahyu, tak ubahnya ia seperti binatang. Sebab telinga, mulut serta hati yang ia miliki tidak ia gunakan sebagai reseptor wahyu ketuhanan yang membimbingnya menuju tujuan kehidupan malahan menjadikan ketiganya sebagai isolator yang menghalangi sampainya wahyu ketuhanan.

Wahyu dalam etiket ketersampaiannya pada manusia memilik banyak cara: Bisa dengan wahyu yang berperantara rasul dan nabi. Bisa dengan bentuk ilham, kecenderungan dan lain-lain. Dari tingkatan-tingkatan wahyu tersebut, wahyu tertinggi adalah wahyu yang sampai kepada manusia dengan perantara rasul dan para nabi.  Sedang yang sisanya merupakan ornamen yang mendukung untuk menguatkan wahyu yang berperantara rasul. 

Klimaks yang menyulitkan bagi usaha untuk mengetahui kebenaran adalah sumber kedua berupa akal. Akal manusia satu dengan yang lainnya tidaklah sama meski secara fitrah penciptaan akal, akal manusia itu bersih. Namun karena faktor eksternal, akal manusia bisa membelot dari lurusnya penciptaan akal itu sendiri.  

Hal yang demikian menjadikan manusia sering terjebak dalam subjektifitas kebenaran. Ia beranggapan benar adalah apa yang ada pada otaknya. Sedang yang lain adalah kedustaan yang dibuat-buat. Orang lain pun demikian, menganggap kebanaran adalah klaim mutlak pribadinya, sehingga yang berseberangan dengan klaim kebenarannya adalah musuh yang patut diperangi. 

Dalam rana akal ini juga memili dua macam cara mengetahui kebenaran. Yang pertama adalah a posteriori dan a prori. A posteriori adalah kebenaran indrawi. Yakni kebenaran yang didapat berdasarkan pengalaman indra. Misalnya orang yang berkesimpulan bahwa benda yang dilempar ke atas, setelah beberapa meter akan mengalami stagnasi berkala dan kemudian jatuh ke bawah. Pengetahuan akan jatuh ke bawah ini merupakan contoh dari model pertama. Model yang kedua adalah a priori, yaitu kebenaran yang didapatkan melalui penalaran akal itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan logika berpikir. 

Dua model sumber pengetahuan tersebut, akan menghasilkan dua hal. Pertama adalah pengetahuan itu sendiri dan yang kedua adalah ilmu. Pengetahuan adalah sebatas tahu bahwa sesuatu itu adalah itu. Misalnya pengetahuan manusia terhadap benda yang mengeluarkan cayaha itu bernama lampu. Manusia hanya tahu itu lampu, maka itulah pengetahuan. Namun jika ia tahu apa itu lampu, mengapa ia bisa mengeluarkan cahaya, apa faktornya, apa ini apa itu, maka itulah ilmu. 

Jadi secara ringkas, manusia itu adalah makhluk jasadiyah dan ruhaniyah. Dalam mendapat kebenaran manusia menempuh jalan perenungan wahyu dan penggunaan akal. Dalam penggunaan akal, manusia mendapatkan kebenaran dengan mempertanyakan secara rinci atau hanya sebatas pengalaman indrawi saja. 

Konsep di atas, merupakan elemen kehidupan manusia untuk memikirkan hakikat kehidupan. Apakah manusia itu ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakan. Jika ada yang menciptakan, apa konsekuensi sebagai makhluk ciptaan? Juga jika ada yang menciptakan, siapa gerangan yang menciptakan, bagaimana manusia mengetahui siapa pencitptanya? Maka mari kita gunakan wahyu dan akal untuk menemukan jawabannya. 

Masalah selanjutnya, wahyu dan akal, dari mana kita tahu wahyu itu benar-benar wahyu yang turun dari langit, dan juga akal, bagaimana cara kita tahu bahwa produk yang dihasilkan oleh akal merupakan produk dari proses berpikir yang sehat? 

Kita lanjutkan kapan-kapan.....


Oleh : Mas Ham*

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »