Merenungi Agama Islam


Coba kamu renungkan hikmah yang mencengangkan dalam agama lurus yang dibawa oleh Muhammad saw ini. Kesempurnaannya tidak dapat diungkap dengan kata-kata. Meski seluruh manusia bersatu, tidak dapat mengusulkan syariat yang lebih baik darinya. Akal manusia hanya cukup mengetahui dan mengakui kebaikan serta keutamaan syariat ini. Juga mengakui bahwa di alam ini tidak ada syariat yang lebih sempurna, lebih agung dan mulia darinya. Syariat ini sendiri saksi dan sekaligus hal yang dipersaksikan. Dia adalah klaim dan sekaligus bukti kebenaran klaim itu sendiri.

Sekiranya Rasulullah saw. tidak mendatangkan bukti kebenaran syariah ini, tentu tidak ada masalah. Sebab, syariah ini sendiri sudah cukup jadi bukti bahwa dia datang dari Allah SWT. Semua isi syariat ini menjadi bukti kesempurnaan ilmu dan hikmah-Nya, bukti luasnya rahmat dan ihsan-Nya. Dia Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Maha Mengetahui sebab dan akibat.

Syariat ini adalah salah satu nikmat Allah SWT yang paling besar kepada hamba-hamba-Nya. Tidak ada nikmat yang lebih besar daripada Dia menunjukkan kepada manusia akan syariat ini, menjadikan mereka sebagai pemeluknya, dan memilih mereka sebagai para pejuangnya. Oleh karena itu, Dia memberi karunia kepada hamba-hamba-Nya dengan memberi mereka hidayah syariat ini. Dia berfirman, 
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Ali Imran: 164) 

Dia berfirman untuk mengingatkan hamba-hamba-Nya tentang betapa besar nikmat-Nya kepada mereka. Juga menyeru mereka untuk mensyukurinya karena Dia menjadikan mereka sebagai pemeluk syariat ini, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku." (al-Maaidah: 3) 

Lihatlah bagaimana Dia mensifati agama yang Dia pilih untuk mereka dengan kesempurnaan, dan menyebutnya sebagai nikmat yang Dia cukupkan kepada mereka. Hal itu mengisyaratkan bahwa agama ini tidak mengandung kekurangan, aib, cacat, atau satu bagian yang tidak mengandung hikmah. Dia mensifati nikmat dengan kecukupan (dalam wa atmamtu 'alaikum ni'mati) untuk memberitahukan bahwa nikmat itu langgeng, terus-menerus, dan tidak terputus. Dia tidak mencabut nikmat itu dari mereka setelah diberikan-Nya, melainkan Dia melengkapkan nikmat itu atas mereka dengan berkelanjutan dari dunia ini sampai akhirat nanti.

Perhatikanlah keserasian disebutkannya tamaam (kecukupan) dengan nikmat, dan keserasian kamaal (kesempurnaan) dengan diin (agama), serta disandarkannya diin kepada mereka sebab merekalah yang menjalankan dan menegakkannya. Sedangkan Dia menyandarkan nikmat kepada diri-Nya sebab Dialah pemiliknya dan Dialah yang mengaruniakannya kepada mereka. Sungguh benar, itu adalah nikmat-Nya dan mereka hanyalah menerima dari Dia. 

Dia mengungkapkan kamaal itu dengan huruf laam (dalam akmaltu lakum) yang mengandung arti kekhususan, yakni bahwa kesempurnaan agama itu dikhususkan-Nya buat mereka, tidak diberikan kepada umat-umat yang lain. Sedangkan, tentang nikmat Dia mengungkapkannya dengan 'alaa (ni'mati alaikum) yang mengandung arti isti'laa" (tinggi), isytimaal, dan ihaathah (menyeluruh). Jadi di sini kita punya atmamtu bersama akmaltu, alaikum bersama lakum, dan ni'mati bersama diinikum. Hal itu diperkuat dan dipertegas lagi dengan firman-Nya, "Dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu." (al-Maaidah: 3) 

Dahulu sebagian salaf berkata, "Luar biasa agama ini, sekiranya ada orang-orang yang menegakkannya."

Oleh : Muhammad Irsyad (Staff Kebijakan Publik KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »