Konspirasi Dibalik Gelar "Haji"



Mungkin diantara kita pernah ada yang mendengar pertanyaan seperti, “Mengapa orang indonesia yang telah melaksanakan ibadah haji harus dipanggil 'Pak Haji'?” atau mungkin pertanyaan seperti itu juga pernah terlintas dibenak anda, atau mungkin kita justru menambahkan, “Apa perlu karena saya telah melaksanakan ibadah salat lalu saya dipanggil 'Pak Salat'? Toh sama-sama ibadah, sama-sama terdapat pada rukun islam pula.”

Maka ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, ada saja orang yang menjawab dengan mudahnya, “Ibadah haji kan ibadah yang besar, ibadah yang memerlukan biaya besar pula, jadi maklumlah ada gelar haji, karena memang tidak semua orang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Lagian kalau  ibadah salat, semua orang juga pasti bisa dengan mudah melaksanakannya.”

Jika kita mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan tadi dari sisi sejarah, maka kita akan menemukan sebuah fakta menarik yang selayaknya patut diketahui oleh setiap kaum muslimin di Indonesia ini. Sejarah yang berkaitan dengan kebiasaan pemberian gelar "Haji" bagi yang telah melaksanakan ibadah haji.

Kebiasaan pemberian gelar "Haji" ini bukan semata-mata sebuah kebiasaan yang disebabkan untuk mencari simpati dari pemilih (baca: dalam pemilu) supaya para pemilih menganggap calon pemimpin tersebut memiliki aura islami sehingga tidak diragukan untuk dipilih. Atau kebiasaan yang disebabkan agar masyarakat menganggap  orang-orang yang telah berhaji adalah pribadi yang suci dan patut dihormati. Akan tetapi, kebiasaan ini justru muncul ketika pemerintahan Hindia Belanda masih menduduki Nusantara.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu menyadari adanya sebuah aktivitas berbahaya yang disebabkan oleh orang-orang yang pulang dari Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pemerintah Hindia Belanda meyakini orang-orang ini merupakan orang yang kuat secara ekonomi, paham dalam keislaman, kuat dari segi keimanan, serta tangguh fisiknya.

Selain itu, orang-orang ini tidak hanya memikirkan pribadinya saja, akan tetapi mereka pun memikirkan bangsanya. Orang-orang ini bukan hanya membawa pulang oleh-oleh dari tanah suci berupa benda, akan tetapi mereka pun membawa nyala api perjuangan untuk tanah airnya. Hal ini terjadi sebagai akibat saat di tanah suci, mereka mendapatkan wawasan keislaman yang dalam, serta wawasan-wawasan lainnya, yang dengan wawasan itulah pemerintahan Hindia Belanda merasa terancam.

Oleh sebab itulah Pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsbland tahun 1903 Masehi, mengharuskan kepada siapa saja yang pulang dari pelaksanaan ibadah haji untuk menambahkan gelar “Haji” di depan namanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan stempel atau identifikasi, agar mereka harus selalu dipantau dan akan terus diawasi setiap gerak-geriknya.

Sebelum hal ini dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda pun telah mengeluarkan berbagai Oordonnatie 'peraturan' yang bertujuan untuk pembatasan ibadah haji bagi orang-orang Hindia Belanda (Indonesia), serta memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.

Sekali lagi, hal ini dilakukan sebab kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda terhadap mereka yang telah kembali ke tanah air dari tanah suci. Para Haji itu juga hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiah.

Untuk keperluan pengwasan yang lebih, maka Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah tegas dengan mengarantina seluruh jemaah haji yang hendak kembali ke tanah air di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dan Pulau Khayangan (Makassar). Pulau-pulau tadi dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia sebelum kapal-kapal membawa jamaah haji tadi ke daerahnya masing-masing.

Selain sebagai tempat karantina, pulau-pulau tadi dijadikan tempat perawatan dan peristirahatan bagi jemaah haji. Ada diantara jemaah haji yang memang dirawat dan diobati karena sakit akibat perjalanan. Namun, tak sedikit saat ditemukan, terdapat jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda, mereka ini (jemaah haji yang dinilai berbahaya) akan disuntik mati dengan alasan yang beragam.

Maka tak jarang, banyak diantara jemaah haji yang tidak kembali ke Kampung halaman karena dikarantina di Pulau-pulau tadi. Dan jika kita lihat dari sejarahnya, kita akan menemukan mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah mereka yang memiliki gelar "Haji".

Itulah sedikit dari sejarah munculnya tradisi pemberian gelar "Haji" bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji di Indonesia ini. Jika kita tarik ketahun-tahun sebelumnya, kita bisa saja menemukan beberapa orang yang sudah terlebih dahulu memiliki gelar "Haji", akan tetapi pemberian gelar ini sangat masif terjadi ketika Pemerintah Hindia Belanda ingin memberikan indentifikasi terhadap jemaah haji yang telah membuat mereka khawatir.

Oleh karena itu, setelah ini mari kita coba renungkan kembali, bahwasannya leluhur kita telah memberikan contoh kepada kita, ketika merka telah melaksanakan ibadah haji, mereka bukan meminta dirinya untuk dipandang sebagai orang terhormat, atau diakui bahwa dirinya memiliki aura keislaman sehingga pantas untuk dipilih dalam pemilu. Akan tetapi, setelah melaksanakan ibadah, mereka membawa kebaikan terhadap umat dan bangsa, dengan berkiprah serta berderma bagi umat dan bangsa.

Oleh: Labib (Kadept. Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »