Jokowi Bukan Bung Tomo


“Bismillahirrohmanirrohim. 
Merdeka!! Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ini ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia. Ingin mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini, tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian:

“Hai, tentara Inggris, kau mengendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu. Kamu menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kami rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu. Untuk itu, sekalipun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap “Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”

(Penggalan orasi Bung Tomo) 
........

Semoga Allah merahmati Bung Tomo, semoga Allah memuliakan para syuhada dan menempatkan mereka di derajat yang tinggi lagi mulia. karena merekalah asbab tertinggi dari pertolongan Allah sehingga nikmat kemerdekaan dapat dirasakan kini. 

seandainya Bung Tomo memilih untuk plesiran, mengecek got jalanan surabaya, cengar-cengir, prengas-prenges, dan pekerjaan kecil (yang sebenarnya dapat ditunda) lainnya; bukan tidak mungkin pemuda Indonesia saat ini tidak akan merasakan getaran orasi beliau yang dahsyat itu. Bukan tidak mungkin istilah "arek-arek suroboyo" akan sangat asing dipelosok-pelosok Indonesia. Bukan mustahil 10 November tidak dijadikan hari pahlawan,  dan bukan tidak mungkin lainnya. Allah-lah yang menarik garis lurus takdir dan manusia menjalani skenarionya dengan baik, dan Bung Tomo salah satu yang tepat dalam hal ini. pekik takbir menggambarkan 'izzah para pejuang yang mampu menembus sekat-sekat alamiah manusia: ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan. naluri dasar manusia yang merupakan gangguan psikologis dimana mampu meruntuhkan mental bertarung itu sendiri. 

Bung Tomo begitu memahami dengan baik surah Fusshilat ayat 30 dikala Allah adalah sebaik-baik Wali maka kesedihan, ketakutan, dan naluri-naluri gangguan jiwa akan mampu ditepis. saat Allah menjadi Wali bagi seorang hamba maka tidak akan ada kekuatan apapun yang mampu mengalahkan. 
tidak ada rasa gentar menghadapi batalyon-batalyon pasukan sekutu pemenang perang dunia itu, tidak ada rasa gelisah menghadapi persenjataan dan kekuatan yang begitu canggih itu,  toh Jendral A. Mallaby pun tewas ditangan arek-arek suroboyo, toh akhirnya Inggris tercatat sebagai negara super power yang berhasil dipecundangi, toh akhirnya NICA minggat, toh akhirnya mujahidin mampu mempertahankan kemerdekaan. 

Sama sekali tidak dapat kita bayangkan,  jika mental arek-arek suroboyo dan Bung Tomo seperti pemimpin di negri ini: kabur kala ditemui rakyatnya. Itu rakyat lho yang tidak membawa persenjataan seperti sekutu. Itu rakyat lho yang hanya meminta keadilan, bukan hendak membantu NICA menguasai Indonesia. Itu rakyat lho,  putra-putri dan cucu-cucu pengobar perjuangan Bandung Lautan Api atau pertempuran surabaya. Itu rakyat lho,  yang mereka datang dari hampir pelosok indonesia untuk menuntut keadilan, bukan meminta pemilik istana jongkok terhina seperti diinginkan penjajah. 

Kadangkala kita sulit menggambarkan dengan kata-kata,  tingkah laku labil pemimpin Indonesia. Apa "Wali" mereka berbeda dengan Wali nya Bung Tomo dan arek-arek suroboyo sehingga takut bertindak?. Apa "Wali" pemimpin kita berbeda dari "Wali" darah-darah yang pernah tumpah menyuburkan negri ini?. Apa "Wali" pejabat-pejabat kita bukan berasal dari trah para pejuang? tetapi trah penjilat bokong asing dan aseng?

Entahlah, jika memang seperti itu adanya, spirit takbir para pejuang kemerdekaan layak dipekikan kembali agar kelak anak cucu kita paham,  betapa mengusir penjajah kulit putih sama susahnya dengan menyadarkan mental inlander bangsa sendiri. 

Pekikkan takbirmu cucu-cucu Fatahillah, putra-putri Bung Tomo,  Anak-anak Pejuang kemerdekaan.

Allahu Akbar..!!!

Jakarta, 10 November 2016.

Rino Budi Utomo (Staff IDEte KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »