Doktrin Keilmuan Islam yang Komprehensif

(Syumumuliatu Al-islam-Bag 1)

Zaman ini kita menjumpai banyak sarjana muslim maupun non muslim, dengan bangga mengedepankan kekuatan logikanya. Banyak orang berteriak-teriak tentang sebuah pemahaman baru terhadap doktrin agama (Islam) yang sejatinya sudah baku dan telah disepakati oleh para ulama salaf maupun khalaf kebakuannya. Misalnya, tentang kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Mereka beranggapan, tidak ada yang layak dan berhak untuk menafsirkan nash dan kemudian memonopoli kebenaran hanya ada pada pemahamannya atau kelompoknya. Mereka membebasakan semua orang, bodoh maupun pintar, muslim maupun non muslim, untuk menafsirkan nash agama dengan kapasitasnya masing-masing dengan catatan ia tidak mengklaim bahwa penafsirannya yang paling benar. Yang lebih parahnya, ada beberapa orang pentolan liberal mengatakan bahwa yang suci adalah apa yang Allah turunkan kepada para malaikat, dan apa yang malaikat bawa kepada Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam. selebihnya, apa yang disampaikan Rasulallah kepada sahabat, sudah tidak suci lagi, sebab sudah ada campur tangan manusia yang sifatnya bukan ma’sum. 

Kita juga mendengar propaganda feminisme. Di mana mereka menyerukan supaya lelaki dan wanita dijunjung sama rata. Mereka hendak mengintepretasi ulang hukum waris yang menyatakan lelaki mendapatkan dua bagian dari pada wanita (Al-Ma’idah: 176). Mereka mengatakan, tidak adil jika wanita zaman sekarang tetap diberi setangah dari bagian lelaki, sebab wanita pada zaman modern seperti saat ini sama halnya dengan lelaki dalam hal pekerjaan dan karir. (Muhammad Ali Ash-Shobuni, 2010: 19)

Propaganda - propaganda tersebut, merupakan produk dari sebuah sikap yang abu-abu dalam pemikiran (skeptis). Mereka tidak berdiri di atas satu pondasi yang kuat. Sehingga satu waktu mereka berkata matahari yang menyinari bulan dan pada waktu yang lain mereka berkata bulan yang menyinari matahari. Inilah sebuah bentuk relativisme dalam pemahaman yang ujung-ujunganya mengarah pada doktrin pemikiran yang liberal. (Akmal Sjafril, 2011:146)

Manusia bila dicermati secara seksama, terdiri dari dua unsur penting yang satu sama lainnya saling melengkapi. Kedua unsur tersebut adalah jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah bangkai yang tak berfungsi. Sedang ruh tanpa jasad bukanlah apa-apa, sebab manusia terbebani hukum hanya jika jasad dan ruh masih berkelindan dalam satu kesatuan yang padu. Secara singkat, kita simpulkan manusia merupakan paduan unsur material dan immaterial.

Dengan kesimpulan demikian, maka manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas dari hal yang bersifat material dan immaterial. Meskipun orang barat banyak yang tidak yakin akan adanya sisi immaterial manusia yang berupah ruh, tetap saja dalam keadaan klimaks yang mengancam, jiwa mereka otomatis akan terperanjat memanggail Dzat yang immaterial dan sekaligus menyadari bahwa ada sisi lain kemanusiaan yang selama ini mereka tidak yakini.

Sebagai insaniyah jasadiyah yang sekaligus insaniyah ruhiyah, maka dalam proses berpikir dan mencari kebenaran, manusia juga membutuhkan referensi kebenaran yang bersifat manterial dan immaterial. Referensi material adalah logika manusia itu sendiri, yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman empiris yang bisa diterima akal dan dapat dibuktikan melelui pengamatan panca indra yang lima. Sedangkan, referensi immaterial adalah doktri agama yang bersumber dari wahyu, baik berupa firman Allah yang tertuang dalam Al-Qur'an maupun ucapan, tindakan dan persetujuan rasul utusan-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai manusia yang sadar akan hakikatnya yang jasadiyah dan rohaniyah, maka manusia tidak bisa lantas hanya mengambil akal dan penalaran panca indera saja dalam mencari kebenaran tanpa melibatkan sisi rohaniyah yang bersifat transenden. Logika dan wahyu harus saling melengkapi. Sebab, meskipun logika sudah dikerahkan sekuat tenaga untuk memahami sesuatu, tetap saja akal merupakan barang yang meskipun digunakan sampai ‘mendidih’ tetaplah ia terbatas, dan meskipun ia mampu berpikir jauh dan luas, tetaplah ia sempit. (Abdul Karim Zaidan, 2004: 57)

Begitulah logika dan alatnya, akal. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, akal diartikan sebagai: (1) daya pikir (untuk mengerti dan sebagainya); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat; dan (4) kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI). Dalam bahasa Arab sendiri, akal berasal dari kata ‘aql, bentuk mashdar dari kata a-qa-la, ya’-qi-lu- ‘aqlan, dalam kamus al-Wasit dimaknai sebagai: (1) mengetahui sesuatu pada hakikatnya; (2) apa yang menjadi alat berpikir dan beristidlal serta perangkat pengambaran dan pembenaran; (3) apa yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebathilan. (Mu’jam al-Wasit, software al-Ma’ani: li kulli rasmin ma’nâ)

Akal dan logika juga sering diidentikkan dengan kata ‘mantiq’ yang artinya perkataan atau sabda. (Mundiri, 1994: 1-2). Mundiri dalam bukunya logika, mengambil beberapa pengertian logika atau mantiq dari beberapa sumber: (1) logika atau mantiq diartikan sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar (Goerge F. Kneller, 1966: 13); (2) hukum yang memelihara hati manusia dari kesalahan berpikir (Louis Ma’luf, 1973: 816); (3) ilmu untuk mengerakkan pikiran kepada jalan yang lurus untuk memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir, 1966: 16)

Penggunaan akal yang kebablasan oleh barat dan sebagian kecil pemikir muslim, nyatanya telah merusak sistem berpikir dan kehidupan mereka sendiri. Dengan akalnya yang didewakan, mereka mengkonsep sebuah idiologi yang mereka yakini dapat mengentaskan manusia dari berbagai macam permasalahan hidup. Maka dari itu, muncul sistem komunisme, sosialime, kapitalisme, sekulerisme, dan isme-isme logika lainnya, yang makin bertambah hari makin terlihat kecacatan produk-produk logika tersebut, ini sekaligus membuktikan bahwa produk logika mereka kontras dengan pengertian logika yang telah disebutkankan. 

Kita mengambil satu contoh produk akal; modernisme (ala barat). Ketika Barat mulai menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, mereka berlomba untuk belajar dari para sarjana muslim abad pertengahan di berbagai universitas yang ada di Spanyol. Mereka belajar filsafat Yunani, kebudayaan Babilonia, dan sejarah-sejarah pemikiran dan peradaban sebelum masihiyah dari orang-orang Islam. Dari hasil pembelajaran yang mereka dapatkan dari sarjana muslim tersebut, mereka tergerak untuk melakukan sebuah revolusi pemikiran dan sistem kehidupan barat. Sejarah mencatat, bahwa kelamnya peradaban barat sebelum munculnya zaman renaisense pada paru terakhir adab 18 tidak lain dan tidak bukan adalah kerena otoritarisme sistem dari Gereja. Semua hal harus didasarkan pada fatwa Gereja. Siapa yang menentang doktrin Gereja, atau melakukan sesuatu tanpa izin Gereja, maka mereka harus siap menerima hukuman. 

Kebekuan sistem Gereja tersebut, membuat para sarjana barat terobsesi untuk segera melakukan pemberontakan intelektual. Maka digalakkanlah semboyan-semboyan kebebasan berpendapat semisal ungkapa “berikan pada kaisar apa yang menjadi haknya, dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya.” Setelah propaganda yang demikian, mulai mereka merancang sebuah sistem yang modern. Era sistem ini ditandai dengan munculnya Rene Descartes yang mempelopori modernisme dengan pengedepanan akal dan logika sebagai instrumen utamanya. Descartes kemudian memunculkan sebuah doktrin “Cogito ergosum” artinya aku perpikir karena aku ada. Dia juga mengajarkan bahwa kebenaran akan diperoleh melalui pertanyaan yang bersifat keragu-raguan. Jika manusia ingin mendapatkan kepastian akan suatu kebenaran, maka ia harus memulainya dengan kesangsian. Jika kesangsian tersebut hilang dengan hukum-hukum berpikir yang benar, maka itulah kebenaran. Jika sebaliknya, maka itu bukan sebuah kebenaran. Dengan diktumnya tersebut, Descartes juga ingin menyampaikan bahwa rasio diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisi dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. (Medhy Aginta Hidayat: 3).

Namun apa yang terjadi dengan pemahaman modernisme khas barat tersebut? Rosenau menyebut ada lima kegagalan modernisme yang dibawa oleh Descarters. Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan ke arah masa depan. Kedua, ilmu modern tidak mampu melepaskan dirinya dari kesewenang-wenangan. Ketiga, banyak kontradiksi antara teori dan fakta. Keempat, keyakinan yang keliru akan kemampuan modernisme dalam memecahkan berbagai masalah. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan tataran mistis dan metafisis. Melihat kegagalan yang demikian, Rosenau kemudian membawa konsep baru berupa Post-modernsime.

Lihatlah bagaimana barat kesulitan mencari sistem hidup sekaligus pandangan hidup. Pemikiran mereka telah dimulai dengan sebuah keraguan dan diselesaikan dengan keragu-raguan pula. Hasilnya, manusia yang lugu menjadi korban sistem buatan mereka. Betapa banyak nyawa di Afrika melayang karena monopoli kapitalisme Barat dan Eropa. Berapa banyak nyawa di Pakistan, Irak, Afghanistan, Palestina, Suria dan negara lainnya karena kerusakan sistem pemikiran barat yang mengedepankan hawa nafsu semata. Inikah yang dinamakan dengan modernisme yang akan membawa manusia pada kehidupan yang laik dan sejahtera? Sayang itu hanya mimpi di atas dipan.

Sekarang mari kita lihat bagaimana Islam membangun pemahaman dan pandangannya terhadap kehidupan. Yang pertama yang perlu kita ketahui adalah dari mana kaum muslimin mendapatkan kebenaran sehingga sistem yang mereka gunakan juga sebuah kebenaran? Kaum muslimin mendapatkan kebenaran melalu (1) Khabar Sidiq, (2) panca indera, (3) pikiran sehat, dan (4) intuisi. (Adian Husaini, 2013: xviii).

Empat hal tersebutlah yang melandasi pemikiran seorang muslim. Jauh berbeda dengan barat yang hanya memiliki dua sumber ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari konsep a posteriori dan konsep a priori. Konsep a posteriori adalah ilmu yang diperoleh melalui pengalaman inderawi. Sedangkan konsep a priori adalah ilmu yang bersumber dari akal. (Nashruddin Syarif, 2013: 60, dan Mundiri, 2011: 7).

Begitulah barat, hanya mengedapankan material tanpa memasukkan unsur ketuhanan dalam berpikir. Sehingga konsep kehidupan yang mereka telurkan jauh dengan sifat kemanusiaan yang insaniyah jasadiyah dan insaniyah rohaniyah.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 2

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »