Kesempurnaan Ibadah dalam Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 3)

Islam juga datang untuk menjelaskan perihal ibadah. Sebab agama tanpa ibadah bukanlah agama namun hanya sebatas komunitas bid’ah yang tak bertujuan dan berorientasi. Masalah ibadah telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an sendiri datang untuk menjelaskan tiga konsep dasar Islam: aqidah, ibadah dan akhlak (Muhammad Khazin, 2003: 26). Secara umum, ketiganya bermakna syariah. Hanya saja ulama kita telah membaginya dengan istilah-istilah umum dengan makna khusus; syariah yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, disebut dengan syariah aqidah. Syariah yang berhubungan dengan shalat, zakat, puasa, haji dan amalan semisalnya disebut syariah ibadah –yang selanjutnya lebih dikenal dengan syariah saja-. Yang ketiga ialah syariah yang berkenaan dengan norma kesantunan dan adab bersosial yang disebut syariah akhlak. (Asep Zaenal, 2013: 296).

Selain Al-Qur’an, kaum muslimin juga berkewajiban untuk menjadikan As-Sunnah sebagai dasar agama mereka. As-Sunnah yang berupa ucapan, tindakan dan persetujuan Rasulallah atas perbuatan atau pernyataan para sahabatnya memiliki fungsi sebagai penjelas perkara global, penerang masalah yang sulit dipahami, pengkhusus keumuman, pengikat kemutlakkan, penjelas makna lafad, penjelas hukum tambahan, penjelas hukum nasakh dan sebagai penguat hukum Al-Qur’an. (Muhammad Husain ad-Dzahabi, 2012: 52-53).

Dengan dua warisan tersebut, ditambah dengan ilmu yang Allah wariskan terhadap para ulama (ijtihad), Islam menjadi agama yang selalu bekembang sesuai dengan zaman. Ajaran dan ibadah dalam Islam akan selalu memodifikasi dirinya sehingga ibadah dalam Islam tidak kolot dan ketinggalan zaman. Dengan catatan, ibadah-ibadah yang dimodifikasi tersebut bukan ibadah yang sudah jelas tata caranya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dengan berbagai anasir di atas, tak pelak ibadah dalam Islam telah menjadi ibadah yang integral. Ibadah yang mencakup perbuatan hati, lisan dan perbuatan (al-Qardhawi, 1977: 116-116). Manusia dengan hatinya selalu merasa bahwa Allah selalu ada untuk melihat dan mengawasi. Dengan hatinya pula, manusia mengkhusukkan diri dalam rangka menghadap-Nya tatkala iqamah shalat telah ditunaikan. Dengan lisannya, seorang hamba senantiasa tilawah, melantunkan ayat-ayat suci-Nya, berdzikir dengan do’a-do’a nan indah, serta berusaha untuk senantiasa menjadikan tiap bait nada yang keluar dari mulutnya sebagai pembicaraan dakwah yang menyeruh pada al-ma’ruf dan mencega dari al-munkar, sebab Allah telah menegaskan bahwa tidak ada kebaikan dalam ucapan kecual untuk dakwah dan islah (an-Nisa’: 114). Dengan perbuatannya, hamba juga beribadah; shalat, tawaf, sa’i, mencari nafka dan lain-lainnya juga merupakan ibadah. Dengan demikina, ibadah dalam Islam telah melingkupi tiga aspek; hati, lisan dan perbuatan. Di samping ibadah dengan tiga hal di atas, ibadah dalam Islam juga melingkupi lima sisi kemanusiaan yang dipandang dengan pendekatan integralistik transendental yang berupa; (1) tubuh, (2) perilaku, (3) kesadaran, (4) nurani dan (5) roh, semuanya ada ibadahnya masing-masing dan Islam telah mengajarkannya. (Asep Zaenal, 2013: 304).

Kesemuannya itu terangkum dalam ungkapan Ibnu Taimiyah yang terkenal, yang mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah atas perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan baik secara dzahir dan batin. (Ibnu Taimiyah, 1987: 5/154). Maka dari itu, semua amalan hamba, mulai ia keluar rumah sampai masuk lagi, mulai bangun tidur sampai tidur lagi, mulai dari urusan dapur sampai negara, mulai dari ruangan persalinan sampai ruang pemandian jenazah, jika kesemuanya dilakukan dengan niat ikhlas ibadah kepada Allah dengan catatan amalan-amalan tersebut tidak melanggar batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, maka itulah ibadah dalam Islam. betapa indahnya Islam dengan kesyumulan dalam urusan ibadah tersebut.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 4

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »