Kesempurnaan Aqidah Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 2)

Islam telah menjelaskan dengan detail dan jelas mengenai aqidah yang ia ajarkan. Islam melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah telah berbicara panjang lebar tapi tetap mudah dipahami dan masuk akal. Permasalahan aqidah merupakan permasalahan yang paling urgen. Sebab, jika aqidah telah keliru, keluar dari framework ketuhanan, maka sudah pasti penganjur dan penganut aqidah yang demikian adalah orang-orang yang sedang dalam kegelapan iman dan kegersangan pikiran.

Jika dicermati, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat yang turun di Makkah, atau ayat-ayat yang turun sebelum Hijrah, kebanyakan berbicara tentang aqidah dan keimanan. Penyebab utama dari pendahuluan ayat aqidah atas ayat ibadah –wallahu ‘alam- adalah kerena bila aqidah lurus maka amalan akan lurus, begitu juga sebaliknya. Dengan sistematikan penurunan risalah yang demikian, Allah melalui rasul-Nya hendak membangun sebuah tatanan masyarakat yang beraqidah shahihah, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

Al-Qaradhawi menyebut bahwa kesempurnaan aqidah Islam terlihat dari penjelasan Islam terhadap permasalan-permasalahan besar dan penting yang ada dalam kehidupan ini. Perkara yang tidak henti-hentinya menuntut manusia berpikir untuk merumuskan jalan keluarnya. Maka Islam dengan risalahnya yang sempurna datang membawa cahaya penjelasan yang begitu memukau. Sebab jawaban dari setiap pertanyaan akan perkara-perkara tersebut telah terjawab dengan jawaban yang rasional bagi semua lapisan intelektual manusia. (al-Qaradhawi, 1977: 113)

Islam tidak hanya berbicara tentang ketuhanan tanpa berbicara kenabian dan risalah. Islam tidak hanya berbicara tentang kenabian tanpa berbicara masalah ukhrowi. Dengan singkat, Islam telah berbicara mengenai semua hal yang berkaitan dengan aqidah.

Lanjut al-Qardhawi, bahwa kesempurnaan sistem aqidah Islam juga bisa dilihat dari pendangan Islam terhadap ketuhanan. Dalam Islam, Tuhan telah jelas; Allah. Tuhan yang Esa, tidak beranak dan diperanakan, Tuhan yang berdiri sendiri tanpa wakil dalam kekuasaan, Tuhan yang segala apa yang ada pada kaun menjadi bawahan-Nya dan tidak ada dzat lainnya yang bersekutu dengannya (Al-Ikhlas: 1-4). Inilah konsep yang integral. Tidak terpecah-pecah. Konsep ketuhanan ini tentu berbeda dengan konsep “koalisi ketuhanan” dalam teologi paulus dalam ajaran kristen pasca modernisasi oleh Gereja Anthokia pimpinan Saulus (Paulus), seorang Yahudi keturunan Benyamin, saudara Yusuf bin Ya’kub. (M.I. Ananias, 2008: 79).

Dalam sistem teologi kristen, tuhan selalu mengalami penambahan personil. Yang pada awalnya hanya ada satu tuhan kemudian diangkat tuhan lainnya pada sebuah konsili di necea abad ketiga masehi yang menghasilkan kesepakatan Isa atau Yesus sebagai dzat tuhan, atau lebih terangnya; tuhan anak. (M.I. Ananias,2008: 95). Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian mengadakan konsili lagi di Konstantinopel dan menghasilkan kesepakatan untuk mengangkat roh kudus sebagai tuhan ketiga. (Jehovah’s Witnesesses, 2005: 58). Maka lengkaplah teologi kristen yang memiliki tiga tuhan dalam satu kesatuan. Mengenai konsep di atas, Al-Qur’an telah tegas mengatakan prilaku penyimpangan tersebut merupakan sebuah bentuk kekafiran yang nyata (al-Maidah: 72-73).

Selain dalam teologi kristen, kita juga bisa melihat jauh sebelum ajaran kristen-paulus berkembang. Semisal dalam sistem aqidah Yunani yang memiliki banyak dewa-dewi, kaum nabi terdahulu yang menjadikan benda-benda mati sebagai sesembahan dan berbagai bentuk penyimpangan aqidah lainnya.

Kesempurnaan aqidah Islam juga bisa dilihat dari sisi sumber pemahaman dan konsep aqidah Islam itu sendiri. Aqidah Islam tidak lahir dari penemuan atau sekedar perasaan (al-Qaradhawi, 1977: 114). Aqidah Islam juga bukan sekedar produk aktivitas berpikir ala filsuf yang malah sering kali melahirkan spekulatif yang berakibat pada skeptifisme pemikiran. Aqidah Islam jauh dari metode-metode yang demikian. Aqidah Islam merupakan sebuah konsep yang Allah turunkan dari langit melalui utusannya kepada al-Amin yang tidak perna tercatat dalam sejarah kebohongan dan keburukan muru’ahnya. Konsep tersebut kemudian diajarkan turun temurun melalui sebuah sistematika periwayatan yang sangat ketat dan teliti sehingga kesalahan ajaran tersebut tidak akan mungkin terjadi.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 3

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »