SUARAKAN HATIMU UNTUK MENGGANDAKAN AMALMU





            Tahukah kamu? Jika suara hatimu jujur, kamu akan meraih apa yang kamu impikan. Mengapa hanya dengan suara hati saja, amalan kita akan dilipatgandakan? Suara hati seperti apa yang bisa melakukannya? Tentu jika kamu benar dan jujur dengan suara hatimu maka, kamu akan berusaha sebaik mungkin bukan? Suatu amalan yang biasa saja ditambahkan dengan suara hati yang tulus ikhlas akan menjadi amalan yang luar biasa. Lalu suara hati apakah itu? Itulah NIAT! Hanya niat! Amalan yang sudah biasa kita lakukan ditambah dengan banyak niat yang kita azamkan akan melipatgandakan pahala amalan kita. Mengapa saya menyebutnya suara hati? Karena niat merupakan perkara hati, terdapat dalam hati dan hanya Allah yang mengetahuinya.
Hadits pertama dalam Hadits Arba’in yang disusun oleh Imam Nawawi adalah Amirul Mu’minin Abu Hafs Umar bin Khattab radiyallaahu‘anhu berkata, “aku mendengar Rasulullah shallaahu alaihi wasallam bersabda,” “semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul- Nya maja hijrahnya untuk Allah dan Rasul- Nya dan barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menurut Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal; hati, lisan dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut.
Ibnu Mas’ud berkata, “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita, bernama Ummu Qais. Namun wanita itu menolak hingga ia hijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.” ketika itu para sahabat saling silang pendapat apakah hijrahnya diterima atau tidak. Akhirnya Rasulullah mensabdakan hadits tersebut, oleh karena itu, laki-laki tersebut diberi julukan Muhajir Ummu Qais.
Maka, niat sebelum amalan itu adalah sangat-sangat penting karena kita akan diganjar dengannya. Niat adalah pintu gerbang keikhlasan. Keikhlasan yang menurut seorang Tabi’in walaupun hanya satu jam namun bisa menjadi keselamatan seumur hidup. Seumur hidup?? Bayangkan betapa sulitnya untuk Ikhlas.
Sahl bin Sa’d pernah ditanya, “Apakah yang paling sulit bagi jiwa?” Ia menjawab, “Ikhlas”. Mengapa sulit? Karena ketika ikhlas, jiwa tidak memiliki bagian sedikit pun.”
Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat dari niatku.” Artinya sesuatu yang paling berat untuk diobati adalah qalbu (hati), karena ia mudah berubah-ubah. Padahal Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya amal ibadah. Syarat lainnya ialah harus benar sesuai dengan sunnah Nabi shallaahu alaihi wasallam. Ikhlas ialah mengkhususkan tujuan semua perbuatan kepada Allah semata, bukan yang lain. Melupakan pandangan manusia, tidak mengubrisnya dan hanya melihat pandangan Allah dan agar dilihat Allah saja.

“Katakanlah! Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi- Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan padaku.” (Al- An’am : 162 - 163)

Gerbang pertama dalam keikhlasan adalah Niat. Niat dalam hal apa?

1. Niat Dalam Ketaatan
Shalat, zakat, puasa dan haji semua ada niatnya. Bahkan shalat tidak sah jika dikerjakan tanpa niat. Jangan sampai kita berbuat sesuatu tanpa didasari niat. Ikhlash memang sulit untuk diraih tapi niat bukankah sesuatu yang bisa kita ubah? Maksud saya, mulailah dengan hal yang terkecil sekalipun, mulailah dari ibadah seharian kita.
Mengapa Muslimah memakai hijab? Tanyalah pada diri sendiri dan jawablah. Apakah “karena ingin terlihat cantik”? Jika begitu, maka hanya itu saja yang kamu dapatkan. Jawablah “karena ini adalah perintah Allah, aku mengikutinya ingin agar Allah ridha kepadaku. Karena muslimah itu seorang yang terjaga kehormatannya. Karena dengan hijab maka seorang wanita tidak hanya dilihat dari bodinya saja, tapi perangai dan kecerdasannya, dengan hijab akan membuatku malu untuk berbuat jahat, aku menyeru kepada sekitarku bahwa hijab bukan penghalang kesuksesan dan hijab nyaman dipakai juga terlihat lebih cantik.” Apa yang kamu dapatkan kalau niatmu seperti ini? Pasti berlipat-lipat kan keuntungannya?
Pelajarilah dan biasakanlah, seperti saat kita tidak bisa makan dengan tangan kiri, karena fitrah kita terbiasa dengan tangan kanan. Dan kita akan diciptakan dalam keadaan ini. Kita tidak bisa melangkah satu langkah saja kecuali dengan niat. Berbahagialah jika kita mampu seperti itu.
Begitulah jalan menuju ikhlas, karena itu, ketika seorang sahabat Nabi meninggal, dikatakan kepada seorang tabi’in (generasi setelah sahabat), “Berjalanlah bersama kami mengikuti jenazah seorang sahabat,” ia menjawab, “tunggu sebentar.” Maka ia pun terdiam, lalu berkata, “Berjalanlah bersama kami.” Hingga laki-laki itu bertanya padanya, “apa yang menghentikanmu sebentar?” ia menjawab, “aku duduk mempersiapkan niatku.”
Ketika ketaatan berubah menjadi sekedar rutinitas kebiasaan, maka berkuranglah rasa ketaatan dalam ibadah tersebut. Oleh karena itu kita perlu memperbaharui niat, mengevaluasinya juga. Agar semangat dan keikhlasan di hati kita menjadi baru kembali. Sehingga keimanan kita tidak mengalami degradasi atau futur dan kelunturan.
Demikian juga para pemuda yang telah terbiasa melakukan shalat di masjid. Hendaknya mereka memperbaharui niat sebelum melakukan satu gerakan apapun, atau sebelum melakukan satu dari amal-amal ketaatan. Dengan demikian kita akan terus ikhlas dan mementingkan ketaatan kepada Allah.

2. Niat Dalam Adat Kebiasaan
Niat merubah amal kebiasaan menjadi ibadah. Di waktu kita sehari 24 jam ini apa yang paling banyak kita lakukan? Apakah shalat? Baca Al-Qur’an? Masak? Belajar? Bekerja? Jika kita seorang pelajar mungkin akan lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, pun dengan seorang pekerja akan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerjanya. Jadi, apakah waktu yang telah kita habiskan tersebut bukan untuk Allah? Waktu yang panjang itu? Apakah hidup kita yang bukan untuk Allah akan memberi manfaat?
Maka disinilah perannya niat. Niat mengubah kebiasaan menjadi ibadah. Ayo katakan, “Aku belajar karena orang shalih tak layak gagal, Sehingga aku tidak mencoreng muka orang mu’min nan shalih. Aku bekerja untuk menakhodai perekonomian dunia agar orang mukmin  tidak selalu bergantung dengan orang kafir dan orang fasik. Dan agar orang mu'min menjadi pemimpin dunia.”
Dengan niat yang seperti ini, Insya Allah setiap usaha, goresan pena, keringat dan langkah kaki kita mendapatkan pahala. Ikhlaskan hati kita hanya untuk Allah, karena tiada berguna jika menjadi kaya karena dunia, tapi akan sangat-sangat bermanfaat jika untuk fii sabiilillah.
Apa yang kita harapkan dari mempunyai anak? Apakah hanya untuk berbangga dengan keturunan? Hanya teman bersenda gurau? Dengan niat ini kita tidak akan mendapatkan pahala. Tapi jika kita niatkan, “Aku ingin mempunyai anak yang mentauhidkan Allah, aku ingin ia setangguh Muhammad Al Fatih yang meruntuhkan benteng Konstantinopel, secerdas Abdullah bin Mas’ud, segagah Umar bin Khattab, ingin ia menjadi syuhada di jalan Allah dan kelak membantu orang tuanya di akhirat.” Maka semua jernih payah kita selama mendidik dan mengasuh anak akan berbuah menjadi pahala, karena kita mendidiknya untuk menjadi hamba Allah. Demi Allah, sulit untuk sempurna dalam berikhlas, namun berniat dalam melakukan ibadah dalam adat kebiasaan kita sangat mungkin dilakukan.

3. Niat Dalam Perkara Yang Kita Tidak Mampu
Perkara apa yang kita tidak mampu untuk melakukannya? Misalnya pergi haji dan umrah. Maka katakanlah pada diri sendiri, “Ya Allah, jika engkau memberiku harta maka, aku akan melakukan umrah, mengunjungi masjid Rasulullah setiap tahun.” Percaya atau tidak, atas izinNya kita akan mendapatkan pahala umrah setiap tahun.
Ketika kembali dari perang Tabuk, jarak Tabuk ke Madinah hampir 1000 km, jarak yang jauh lagi panas. Konon, sahabat bergantian menaiki kendaraan yang terbatas, ketika itu Nabi bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada kaum yang tidak melewati jalan atau menerobos bukit kecuali mereka bersama kalian. Mereka bersama kalian dalam pahala, udzur telah menghalangi mereka.” (HR Bukhari Muslim). Dahsyatnya niat, mereka belum keluar karena udzur, tetapi mereka memperoleh pahala sempurna.
Jadi, sampai sini ingat niat kita, bagaimana kita harus meniatkannya. Nabi shallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mendatangi ranjangnya sambil berniat melakukan qiyamullail, tetapi ia terserang kantuk sampai pagi, ia akan mendapatkan pahala sesuai yang ia niatkan.” (HR Bukhari Muslim)
Namun! Berusahalah sesuai niat kita, jika kita jujur meniatkannya maka kita akan memasang jam weker, atau memohon untuk dibangunkan oleh teman, atau minta dipercikkan air oleh ibu, jangan hanya niat tapi tidak berusaha! Apakah kita menyangka mendapatkan pahala qiyamullail meski kita tidak berusaha? Tidak! Maka jujurlah dengan niat kita dan berusahalah.
Nabi Muhammad shallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang meminta kesyahidan di jalan Allah dengan benar, Allah akan menyampaikannya pada kedudukan para syuhada meskipun ia mati di atas ranjangnya.” (HR Muslim, Abu Daud dan At-Turmudzi)
Apakah kita semua mau mati syahid yang jaminannya sudah pasti syurga? Jika kita meniatkannya dengan benar, dan mengusahakannya. 
Nabi bersabda, “Dunia diperuntukkan bagi empat golongan. Pertama, hamba yang dikaruniakan Allah kekayaan dan ilmu, lalu ia bertakwa kepada Tuhannya, menyambung silaturahimnya, dan menyadari hak Allah di dalamnya. Ini adalah posisi yang paling utama. Kedua, hamba Allah yang dikaruniai ilmu oleh Allah tanpa karunia kekayaan, namun ia berniat tulus menyatakan, kalau saja aku memiliki kekayaan, tentu aku akan beramal seperti fulan,” Meski ia hanya berniat, sedangkan yang pertama telah berbuat, menurut Rasulullah, “Pahala keduanya sama sejajar.” (HR An-Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad)
Sampai disini, saya katakan sekali lagi niatkanlah pada perkara yang tidak kita miliki! “Jika aku mempunyai mobil....”. Jika aku dikaruniai anak......”. “Jika aku diberi kekayaan....”. Niatlah karena Allah, lalu bayangkan pahala kita mendapatkan pahala mereka. Sudahkah kamu meniatkannya?

(Dikutip dari buku Hati Sebening Mata Air karya Amru Khalid, dengan banyak perubahan)
Oleh : Siti Nuril Fathimiyyah (Direksi IDETE)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »