Islam Konsep Paling Sempurna dalam Kehidupan


Agama islam adalah agama yang sempurna dan agama keselamatan, yang merupakan penyempurna dari agama yang dibawa oleh para nabi-nabi utusan Allah swt, yang dibawa oleh manusia yang paling mulia, memiliki perangai yang agung, sampai pun tidak hanya para sahabatnya yang segan dengan beliau tetapi musuh-musuh beliau pun segan dengannya, dialah Nabi Muhammad saw mengorbankan jiwa dan raga serta hartanya demi tersebarnya agama keselamatan ini. Agama islam merupakan agama yang sempurna karena didalamnya diatur dalam semua hal, dari hal yang remeh seperti istinja sampai menyangkut hal-hal yang besar seperti dalam hal kenegaraan dan sebagainya. Al-quran serta sunnah merupakn asal mula muncul aturan-aturan yang di tetapkan oleh allah kepada hambanya.

Al-quran merupakan wahyu agung yang Allah swt turunkan kepada nabi muhammad saw untuk dijadikan landasan dalam penentuan hukum dan syariat, didalamnya terdapat berbagai macam kisah umat terdahulu yang bisa kita ambil ibroh atau pelajaran atas mereka. Al-quran merupakan pedoman bagi umat islam dalam dalam menjalani hidup, ibarat seorang musafir yang menuju suatu kota akan tetapi dia tidak tau jalan yang harus ia tempuh untuk sampai ketempat yang dituju tanpa tersesat ataupun gangguan lainnya, maka dari itu dia membutuhakan seseorang yang mengetahui benar arah ketempat yang ia tuju, begitu juga al quran sebagai penunjuk jalan keselamatan bagi uamat muslim ke tempat yang Allah janjikan ketenangan dan kedamaian didalamnya, dan supaya tidak tersesat lantaran fitnah-fitnah yang begitu banyak dan terselubung yang sengaja di sebar oleh musuh-musuh islam untuk menghancurkan ummat muslim agar luntur keislaman dalam hatinya,hialang ghirah untuk membela islam serta meredupkan cahaya islam walaupun itu tidak akan pernah terjadi seperti termaktub dalam al quran surat (Ash-Shaf :8)

“Mereka ingin memadamkan cahaya allah dengan mulut-mulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir tidak menyukaina."

Dan sunnah Rasulullah merupakan penguat apa yang al quran sampaikan, penjelas apa yang belum dijelaskan sempurna oleh al quran. Lantaran al-quran dan sunnah merupakan wahyu yang Allah swt berikan kepada uswah kita yang dimana tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena keduanya saling menguatkan dan sama-sama membimbing kita menuju keselamatan dan kebahagiaan, dengan begitu seyogyanya kita menjadikan keduanya sebagai dasar melakukan apapun. Dasar berfikir maupun berbuat, dasar memvonis maupun berhukum dan menjadi dasar-dasar lainnya. Semua hal di atas senada dengan sabda nabi muhammad saw yang mengatakan bahwa agama ini adalah nasihat : 

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ: لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، ولِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  : "Agama adalah nasihat. Kami pun bertanya, Hak (untuk) siapa (nasihat itu)?. Beliau menjawab, Nasihat itu adalah hak (untuk) Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)." (Diriwayatkan oleh Muslim)

Jika kita perhatikan hadits diatas bisa kita simpulkan bahwasanya agama tidaklah hanya memberi nasehat untuk menunaikan hak Allah swt saja, akan tetapi agama juga berpesan untuk menyeimbangkan hak sesama, dan juga berpandangan dengan konsep-konsep agama dalam menjalani kehidupan ini didalam semua aspek yang ada dalam kehidupan yang pada saat ini telah telah banyak umat islam yang berpandangan atau berkonsep dengan bukan islamnya lagi, sehingga mememisahkan antara urusan dunia dan agama. Jika telah terjadi pemikiran yang seperti itu maka telah berhasillah propaganda atau misi musuh-musuh islam untuk menjauhkan umat islam dari agamanya,menjadikan propaganda mereka sebagai worldview dalam menjalani hidup bukan menjadikan islam sebagai worldview dalam menjalani kehidupan ini.


Pengertian Worldview (pandangan hidup islam)

Istilah worldview merupakan gabungan dari dua kata yaitu world dan view yang keduanya masing-masing memilki maknanya tersendiri. World memiliki arti everything around you atau everything that exists (segala sesuatu yang ada di sekelilingmu/segala sesuatu yang ada). Sebelum tercetusnya istilah worldview terlebih dahulu muncul istilah weltanschauung yang juga memiliki arti yang sama dengan dengan worldview. Di kalangan filsuf barat telah terjadi perbedaan dalam memaknai istilah worldview ini. Seperti kata David K Naugle yang memaknai worldview sebagai suatu konsep-konsep berfikir, begitu pula dengan Sigmund freud yang mengartikan sebagai bangunan mental/fikiran yang berasal dari konsep-konsep dan ide-ide. Dan menurut Thomas F Wall worldview merupakan sistem yang terintegrasi dari keyakinan dasar tentang sifat diri realitas dan makna keberadaan.

Mengutip dari artikel Hamid Fahmi Zarkasyi, beliau mengatakan bahwa sebenarnya istilah umum worldview ala barat hanya terbatas pada pengertian idiologi, sekuler, kepercayaan animistis atau seperangkat doktrin-doktrin yang hanya memiliki visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membedakan hakekat suatu agama, peradaban dan kepercayaan. Terkadang ia juga dipakai sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan agama. Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spektrum pandangan yang lebih luas dari sekedar visi keduniaan, maka makna pandangan hidup diperluas.Karena dalam kosa kata inggris tidak di temukan istilah yang tepat untuk ekspresikan visi yang lebih luas dari sekedar realitas keduniaan selain dari kata-kata worldview, maka cendikiawan muslim mengambil kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa inggris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau raelitas keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat islam. Dari kutipan artikel Dr.Hamid Fahmi bisa kita tarik kesimpulan bahwasannya istilah worldview yang dicetus barat memiliki memiliki ruang lingkup yang masih sempit yang hanya terbatas terhadap realitas kehidupan sehingga datang para cendiakawan muslim untuk meluaskan ruang lingkup itu dengan menambah sifat islam yang ruang lingkupnya tidak hanya sebatas realitas keduniaan saja akan tetapi menyangkut realitas keduniaan dan keakheratan.

Pengertian Islamic Worldview

Mengenai pengertian islamic worldview para ulama islam abad ke 20 memiliki penamaan masing-masing dalam penggambaran istilah islamic worldview ini. Seperti al-Maududi mengistilahkan islamic worldview ini dengan istilah islamii nadzoriyaat (islamic vision), kemudian Sayyid Qutub mengistilahkan dengan tashowwuru islamii (islamic vision), Arif Zayn mengistilahkan dengan al mabdau al islamii (islamic principle), dan Prof. Dr. Sayyed Naquib Al Attas menggunakan istilah ruyatu al-islamii lilwujud (islamic worldview).

Dan dari istilah-istilah yang muncul dari kalangan cendikiawan muslim, yang mereka pun mempunyai makna tersendiri dalam istilah-istilah islamic worldview. Seperti Al-Maududi mengatakan bahwa al-islamii nadzoriyat adalah pandangan hidup yang dimulai dengan konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi terhadap seluruh kegiatan kehidupan manusia di dunia.

Sayyid Qutub mengistilahkan tashawwuru islamii sebagai akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam hati dan fikiran setiap muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa yang dibalik itu.

Dan menurut Naquib Al attas islamic worldview adalah pandangan islam terhadap realitas kebenaran yang nampak oleh mata hati yang cukup menjelaskan tetang hakekat wujud, oleh karena apa yang dipancarkan islam adalah wujud yang total maka worldview islam adalah pandangan tentang wujud. Bisa kita lihat dari pengertian dari beberapa ulama islam tentang islamic worldview dari kacamata islam bahwasanya semua pengertian dari para ulama abad 20 ini mengarah pada cara atau konsep berfikir yang mula-mula harus didasari dengan aqidah dan tauhid yang kuat untuk memberi gambaran tentang yang wujud maupun apa yang dibalik itu.

Jika itu yang dimaksud oleh para ulama islam tentang islamic worldview, maka benar tidak pilihan untuk untuk membangun konsep dan cara berfikir kalau bukan berkonsep atau berfikir dengan islam, karena tidak ada konsep yang sebagus, sesempurna serta seteratur kecuali konsep agama islam. Dalam islam semua konsep diatur didalamnya,dari mulai konsep ketuhanan, konsep berhukum, konsep bermuamalah, berdagang, bernegara, berorganisasi dan dan lain lagi yang mengenai konsep dalam kehidupan.

Dan jika islamic worldview juga mengajak kita untuk berfikir dan berpengetahuan maka islam pun sangat menekankan umatnya untuk berpengetahuan, sampai pun wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw menyuruh umatnya untuk berpengetahuan. Dan menurut Rasyid Ridho kalimat akal dan fikir disebeut dalam al quran lebih dari 50 kali, itu membuktikan bahwa islam tidak menginginkan umatnya itu bodoh, terbelakang, jumud, ahmaq dan sebagainya. Maka ada orang yang mengatakan bahwa islam itu kuno tidak relevan dangan zaman, tidak kekinian maka pada dasarnya dialah yang kuno tidak relavan dengan zaman dan tidak kekinian, karena pada dasarnya islam mendorong kita untuk maju bukan jadi kuno atau ndeso terbukti dari wahyu yang pertama kali turun surat (Al alaq 1-5).

Oleh : Septi Malian Hidayat





Gerakmu Sungguh Mengagumkan


Setelah nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wa sallam- hijrah ke Madinah yang ditemani oleh sahabat mulia Abu Bakar -radhiyallahu 'anhu-, perjalanan hidup baru dalam menentukan kebijakan publik berskala besar dimulai. 

Salah satu peristiwa besar yang tidak bisa dilupakan setelah pembangunan masjid, mempersatukan kaum muhajirin dan anshar, membuat piagam Madinah adalah perang Badr yang Allah sudah menjamin para sahabat Badr diampuni dosa-dosanya.

Tapi bukan peristiwa perangnya yang ingin saya titik beratkan, melainkan kekhawatiran dan ketakutan beberapa tokoh Quraisy sebelum meletusnya perang, termasuk Umaiyah bin Khalaf tokoh yang menyiksa Bilal Muadzdzin ar Rasuul.

DR. Mahmud Muhammad 'Imarah menulis dalam bukunya, bahwa berita penarjetan Umaiyah bin Khalaf dalam perang Badr sudah sampai ke telinganya sebelum perang Badr terjadi.

Tidak tanggung-tanggung sang istri pun dilibatkan dalam menanggapi berita tersebut. Sungguh mencengangkan tanggapan sang istri tatkala mendengar berita tersebut: "Demi Allah, Muhammad sama sekali tidak bohong, usahakan kamu tidak berjumpa dengannya". 

Mendengar ungkapan sang istri, Umaiyah bin Khalaf pun mengurungkan niat berangkat ke Badr untuk perang, meskipun pada akhirnya dia berangkat dan mati dalam keadaan hina di Badr.

Lihat, kekhawatiran dan ketakutan orang-orang Quraisy saat mendengar pergerakan nabi dan kaum muslimin baik muhajirin maupun anshar. Padahal kaum muslimin bergerak hanya ingin mengambil haknya (hartanya) yang ditahan orang-orang Quraisy saat hijrah.

Lihat juga, ketakutan tokoh-tokoh besar Quraisy saat umat Islam satu saf dibawah komando nabi, padahal para sahabat ada yang dari suku Quraisy, suku Aus, suku Khazraj dan suku-suku lainnya.

Lihat juga, keyakinan mereka bahwa nabi Muhammad sama sekali tidak akan pernah bohong. Bahkan mereka sendiri yang memberi gelar al Amin, sampai-sampai di akhir-akhir masa dakwah di Mekkah mereka masih mempercayakan penitipan barang pada nabi Muhammad.

Itulah sejarah mencatat, bahwa sebenarnya kelompok yang membenci Islam tidaklah dalam lingkaran satu kata. 

Bahwa mereka di puncak kekhawatiran tatkala umat Islam dalam satu saf barisan. 

Teruslah bergerak karena kita tidak tahu, melalui tangan kita apa anak cucu kita kelak peradaban Islam kembali memimpin dunia.

Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki

Keharusan Berpegang dengan Islam Secara Kaffah

(Syumuliatu Al-islam - Penutup)

Setelah penulis uraikan tentang doktrin keislaman yang memukau yang mencakup segi insaniyah jasadiyah dan insaniyah rohaniyah serta sumber keilmuan yang bersifat material dan immaterial, dilanjutkan dengan penjelasan tentang kesempurnaan al-Aqâ’id al-Islâmiyah, kemudian tentang ibadah, akhlak dan terakhir tentang pensyari’atan hukum Islam yang menyeluruh dan mengena pada segala aspek kehidupan manusia, maka tingal kaum muslimin di Barat dan Timur, menentukan sikapnya terhadap manhaj rabbani ini.

Hari ini kita menemukan bahwa kaum muslimin semakin lemah dari berbagai sisinya; hukum, legitimasi, politik, ekonomi, peran internasional dan lain-lain. Banyaknya jumlah kaum muslimin yang mencapai satu seperempat milyar penduduk dunia (Salim Segaf, 2008: 6), yang sekaligus menempatkan Islam pada urutan pertama jika kristen dipecah menjadai katolik dan protestan, atau urutan kedua jika katolik dan protestan disatukan ternyata hanya sebagai santapan beramai-ramai orang-orang yahudi, nasrani dan majusi. (al-Ma’dah: 82). 

Umat muslim di Afrika dibantai, di sebagian Asia juga ditindas hak-haknya. Konflik di Timur Tengah tak kunjung reda. Kekuatan zionisme internasional semakin tak terbendung kejahatannya. Sedang pemerintah di negara-negara Islam disibukkan dengan politik mengamanankan jabatan, sehingga tak jarang kita jumpai pemimpin negeri Islam atau negeri mayoritas muslim namun pemimpinnya menjadi cukong Amerika atau pun China. Hal yang demikian, diperparah lagi dengan sikap kaum muslimin yang seakan hidup dalam kesendirian. Mereka disibukkan dengan urusan pribadi yang sempit, dan tidak mau ambil pusing dengan masalah yang menimpah saudara-saudara seimannya di belahan bumi sana. Inilah masalah yang benar-benar menghantui umat Islam. 

Tatkala keadaan sudah sedemikian genting, mau tak mau umat Islam harus segera kembali pada ajarannya: Islam. Umat Islam harus kembali membuka lembaran sejarah peradabannya, di Timur maupun di Barat, sehingga ghirah untuk menegakkan Islam muncul kembali ke permukaan. Semangat berislam harus semakin digenjot. Syi’ar-syi’ar Islam harus kembali dikumandangkan. Dan sistem Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh.

Umat Islam tidak bisa mengambil ajarannya sebagian, dan meniggalkan sebagian yang lain. Umat Islam tidak lah dikatakan sempurna islamnya, jika hanya shalat namun zakat tidak dikeluarkan. Umat Islam tidak sempurna keimanannya tanpa adanya suatu sikap pasrah kepada Islam secara totalitas. Totalitas penyerahan hidup pada Islam inilah yang akan membangkitkan kembali gaung Islam yang telah pudar dimakan sekulerisme kemalis 1923. 

Inilah yang diinginkan oleh Tuhan semesta alam ketika berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 208)

“...Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (al-Baqarah: 85)

Semoga umat muslim segera sadar akan kesalahannya yang telah meninggalkan Islam dan menjadikan Islam terkotak-kotak, mana yang sesuai nafsu ia ambil dan mana yang tidak sesuai ia tinggalkan. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kita taufik dan bimbingannya. Amin.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Kesempurnaan Tasyri’ dalam Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 5)

Tasyri’ atau pensyariatan Islam juga tersifati dengan sifat integral dan komprehensif. Hal tersebut bisa terlihat dari cakupannya yang luas. Tasyri’ (selanjutnya akan digunakan istilah syari’at saja, sebagai hasil dari tasyri’) dalam Islam tidak hanya berbicara tentang individu dan meninggalkan sosial-masyarakat. Syari’at dalam Islam juga tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan tuhannya, namun juga dengan makhluk-makhluk lainnya. (al-Qaradhawi, 1977: 121)
Keintegralan konsep syari’at dalam Islam sekarang lebih mudah dilihat dari pembagian-pembagian syariat yang dilakukan oleh para ulama. Setelah membagi dan mengklasifikaskan berdasarkan cakupan objeknya, para ulama kemudian memberikan nama disiplin keilmuan tersebut dengan nama yang berbeda, sehingga bagi sarjana muslim yang ingin fokus pada satu permasalahan syariat, bisa lebih mendalaminya tanpa terganggu dengan cabang ilmu syariat yang lainnya.

Karena Islam memiliki tujuan mengeluarkan manusia dari berbagai sistem syaithoniyah wadh’iyah aqliyah, menuju sistem yang ilahiyah ma’qulah (al-Baqarah: 257) maka dengan ini, Islam telah mendeklarasikan bahwa kedatangannya dengan berbagai instrumen dan narasi kemanusiaan yang berketuhanan ialah hendak mengishlah semua sisi kehidupan manusia dari kehidupan yang paling secret-individual hingga pada hal ijtima’iyah. Semuanya telah diatur oleh Islam karena patokannya, Islam datang untuk mengislah segala bentuk keburukan dan kecacatan akal manusia (an-Nahl: 89). 

Tatkalah umat manusia linglung dengan tatacara ibadah kepada Tuhannya, mereka seenaknya membuat ibadah-ibadah yang sama sekali tidak perna diajarkan oleh para rasul. Mereka menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, mereka memahat batu dan kayu untuk berhala yang disembah. Untuk mengatasi problem ini, maka syariat menjelaskan bagaimana caranya beribadah kepada Tuhan melalui shalat, haji dan ibadah-ibadah lainnya.

Ketika manusia mengalami ketimpangan ekonomi, karena kerakusan manusia terhadap manusia lainnya yang tak terhindari (Sad: 23), maka Islam mensyari’atkan sistem pengaturan kekayaan dengan prinsip perputaran kekayaan melalui zakat dan semisalnya (al-Hashr: 7). Islam juga mengatur pembagian harta waris dengan sangat detailnya. Dimana, pembahasan hukum waris ini adalah pembahasan yang paling rinci dibanding hukum-hukum selainnya (al-Nisa: 11, 12, 176).

Dan banyak lagi hukum Islam yang menunjukkan bahwa Islam merupakan jawaban dari berbagai problem kemanusiaan dan ketuhanan yang selama ini menimpa manusia. Tinggal yang tersisa, apakah manusia mau mengaplikasikan hukum Tuhan ini dalam hidupnya, atau masih tersibukkan oleh pencarian hukum insaniyah syaitoniyah yang sampai bumi ini dihancurkan tetap tidak akan pernah menemukan sistem yang pas bagi mereka.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Penutup

Kesempurnaan Akhlak dalam Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 4)

Keindahan Islam juga bisa dilihat pada aspek kesempurnaan tata kramanya. Tak heran jika Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa salah satu misi beliau adalah menyempurnakan akhlak umat manusia. Ibunda kaum Muslimin, Aisyah radhiallahu 'anha ketika ditanya tentang bagaimana akhlak Rasul, beliau menjawab akhlaknya adalah Al-Qur’an. Bayangkan, betapa agungnya seseorang jika Al-Qur’an sudah masuk pada fase gerakan. Bukan hanya sekedar bacaan di waktu senggang. 

Dari akhlak Islam, ada yang berhubungan dengan pribadi masing-masing makhluk. Artinya, bagaimana seseorang berakhlak terhadap dirinya sendiri. Bagaimana seharusnya ia memperlakukan jasadnya, akalnya, ruhnya dan batinnya. Dalam masalah jasadiyah, Islam menganjurkan supaya manusia berakhlak pada jasadnya dengan memakan makanan yang halal lagi baik (al Araf:31). Terhadap akalnya manusia diperintahkan untuk bertafakur terhadap kaun bumi dan langit (Yunus:1, Saba’: 46). Dan juga terhadap jiwanya ketika Islam memerintahkan manusia untuk senantiasa mensucikannya dari penyakit-penyakit hati (Asy Syams: 9-10).

Dalam hal keluarga, Islam menganjurkan agar manusia memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya (an Nisa’: 19), mengajarkan supaya ihsan terhadap orang tua dan anak-anak (al Isra’: 31), bermu’amalah dengan kebaikan serta kesantunan dengan sanak kerabat (al Isra’:26). Dalam hal sosial-masyarakat, Islam membarikan patokan-patokan untuk tetap diperhatikan oleh setiap individu muslim sehingga dalam pergaulan sehari-hari, marwah keislaman dalam masyarakat tetap subur dan menjadi pioner dalam kaidah bermasyarakat. Sebab itulah, Islam menganjurkan manusia untuk beradab dan beretika dalam berinteraksi (an Nur: 28), berhati hati dalam beriqtishadiyah, jangan sampai mendzalimi atau terdzalimi (al Muthafifin: 1-3), dan berhias hikmah dalam politik (an Nisa’: 58). Dengan adab-adab tersebut, maka manusia akan menemukan sebuah bentuk kenikmatan jama’ah yang langgeng dan jauh dari unsur human interes yang seringkali menghiasi muamalah ijtima’iyah kaum muslimin hari ini.

Selain akhlak terhadap individu, keluarga dan mujtama’, Islam juga telah membuat framework akhlak gerakan terhadap makhluk-makhluk Allah yang tidak berakal semisal binatang (Abu Dawud, hadis no. 2548). Dalam sebuah hadis diceritakan ada seorang yang masuk neraka gegara kucing yang dikurung tanpa ada perhatian sehingga kucing tersebut mati. Juga kisah seseorang yang memberi minum anjing di padang pasir yang dipuji oleh Allah. Umat muslim, ketika menyembelih binatang, juga harus mempertajam pisaunya serta tidak menyembelih di depan binatang lain. Dengan demikian jelas bahwa Islam juga menyuruh manusia untuk berakhlak kepada binatang, sebab binatang juga mahkluk Allah yang selalu bertasbih kepadanya, sabbaha lillâhi mâ fi as-samâwâti wa al-ardl.

Disamping terhadap binatang, tak ketinggalan pula Islam memerintahkan manusia untuk menghormati alam, tidak mengeksploitasi dengan keserakahan, tidak membakar hutan, tidak menghancurkan ekosistem karena Allah telah berfirman, “walâ tufsidu fi al-ardl ba’da ishlakhiha.”

Sekarang tersisa bagi kita satu akhlak, yakni akhlak terhadap Pencipta. Inilah tujuan dari akhlak-akhlak yang telah disebut di atas. Semuanya adalah untuk Allah. Sehingga manusia tidak pernah lepas dari Allah karena memang Allah-lah Sang Pencipta yang manusia dicipta untuk beribadah dan mewarisi bumi ini dengan keimanan, kebaikan dan amal yang shalih.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 5



Kesempurnaan Ibadah dalam Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 3)

Islam juga datang untuk menjelaskan perihal ibadah. Sebab agama tanpa ibadah bukanlah agama namun hanya sebatas komunitas bid’ah yang tak bertujuan dan berorientasi. Masalah ibadah telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an sendiri datang untuk menjelaskan tiga konsep dasar Islam: aqidah, ibadah dan akhlak (Muhammad Khazin, 2003: 26). Secara umum, ketiganya bermakna syariah. Hanya saja ulama kita telah membaginya dengan istilah-istilah umum dengan makna khusus; syariah yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, disebut dengan syariah aqidah. Syariah yang berhubungan dengan shalat, zakat, puasa, haji dan amalan semisalnya disebut syariah ibadah –yang selanjutnya lebih dikenal dengan syariah saja-. Yang ketiga ialah syariah yang berkenaan dengan norma kesantunan dan adab bersosial yang disebut syariah akhlak. (Asep Zaenal, 2013: 296).

Selain Al-Qur’an, kaum muslimin juga berkewajiban untuk menjadikan As-Sunnah sebagai dasar agama mereka. As-Sunnah yang berupa ucapan, tindakan dan persetujuan Rasulallah atas perbuatan atau pernyataan para sahabatnya memiliki fungsi sebagai penjelas perkara global, penerang masalah yang sulit dipahami, pengkhusus keumuman, pengikat kemutlakkan, penjelas makna lafad, penjelas hukum tambahan, penjelas hukum nasakh dan sebagai penguat hukum Al-Qur’an. (Muhammad Husain ad-Dzahabi, 2012: 52-53).

Dengan dua warisan tersebut, ditambah dengan ilmu yang Allah wariskan terhadap para ulama (ijtihad), Islam menjadi agama yang selalu bekembang sesuai dengan zaman. Ajaran dan ibadah dalam Islam akan selalu memodifikasi dirinya sehingga ibadah dalam Islam tidak kolot dan ketinggalan zaman. Dengan catatan, ibadah-ibadah yang dimodifikasi tersebut bukan ibadah yang sudah jelas tata caranya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dengan berbagai anasir di atas, tak pelak ibadah dalam Islam telah menjadi ibadah yang integral. Ibadah yang mencakup perbuatan hati, lisan dan perbuatan (al-Qardhawi, 1977: 116-116). Manusia dengan hatinya selalu merasa bahwa Allah selalu ada untuk melihat dan mengawasi. Dengan hatinya pula, manusia mengkhusukkan diri dalam rangka menghadap-Nya tatkala iqamah shalat telah ditunaikan. Dengan lisannya, seorang hamba senantiasa tilawah, melantunkan ayat-ayat suci-Nya, berdzikir dengan do’a-do’a nan indah, serta berusaha untuk senantiasa menjadikan tiap bait nada yang keluar dari mulutnya sebagai pembicaraan dakwah yang menyeruh pada al-ma’ruf dan mencega dari al-munkar, sebab Allah telah menegaskan bahwa tidak ada kebaikan dalam ucapan kecual untuk dakwah dan islah (an-Nisa’: 114). Dengan perbuatannya, hamba juga beribadah; shalat, tawaf, sa’i, mencari nafka dan lain-lainnya juga merupakan ibadah. Dengan demikina, ibadah dalam Islam telah melingkupi tiga aspek; hati, lisan dan perbuatan. Di samping ibadah dengan tiga hal di atas, ibadah dalam Islam juga melingkupi lima sisi kemanusiaan yang dipandang dengan pendekatan integralistik transendental yang berupa; (1) tubuh, (2) perilaku, (3) kesadaran, (4) nurani dan (5) roh, semuanya ada ibadahnya masing-masing dan Islam telah mengajarkannya. (Asep Zaenal, 2013: 304).

Kesemuannya itu terangkum dalam ungkapan Ibnu Taimiyah yang terkenal, yang mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah atas perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan baik secara dzahir dan batin. (Ibnu Taimiyah, 1987: 5/154). Maka dari itu, semua amalan hamba, mulai ia keluar rumah sampai masuk lagi, mulai bangun tidur sampai tidur lagi, mulai dari urusan dapur sampai negara, mulai dari ruangan persalinan sampai ruang pemandian jenazah, jika kesemuanya dilakukan dengan niat ikhlas ibadah kepada Allah dengan catatan amalan-amalan tersebut tidak melanggar batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, maka itulah ibadah dalam Islam. betapa indahnya Islam dengan kesyumulan dalam urusan ibadah tersebut.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 4

Kesempurnaan Aqidah Islam

(Syumuliatu Al-islam - Bag 2)

Islam telah menjelaskan dengan detail dan jelas mengenai aqidah yang ia ajarkan. Islam melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah telah berbicara panjang lebar tapi tetap mudah dipahami dan masuk akal. Permasalahan aqidah merupakan permasalahan yang paling urgen. Sebab, jika aqidah telah keliru, keluar dari framework ketuhanan, maka sudah pasti penganjur dan penganut aqidah yang demikian adalah orang-orang yang sedang dalam kegelapan iman dan kegersangan pikiran.

Jika dicermati, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat yang turun di Makkah, atau ayat-ayat yang turun sebelum Hijrah, kebanyakan berbicara tentang aqidah dan keimanan. Penyebab utama dari pendahuluan ayat aqidah atas ayat ibadah –wallahu ‘alam- adalah kerena bila aqidah lurus maka amalan akan lurus, begitu juga sebaliknya. Dengan sistematikan penurunan risalah yang demikian, Allah melalui rasul-Nya hendak membangun sebuah tatanan masyarakat yang beraqidah shahihah, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

Al-Qaradhawi menyebut bahwa kesempurnaan aqidah Islam terlihat dari penjelasan Islam terhadap permasalan-permasalahan besar dan penting yang ada dalam kehidupan ini. Perkara yang tidak henti-hentinya menuntut manusia berpikir untuk merumuskan jalan keluarnya. Maka Islam dengan risalahnya yang sempurna datang membawa cahaya penjelasan yang begitu memukau. Sebab jawaban dari setiap pertanyaan akan perkara-perkara tersebut telah terjawab dengan jawaban yang rasional bagi semua lapisan intelektual manusia. (al-Qaradhawi, 1977: 113)

Islam tidak hanya berbicara tentang ketuhanan tanpa berbicara kenabian dan risalah. Islam tidak hanya berbicara tentang kenabian tanpa berbicara masalah ukhrowi. Dengan singkat, Islam telah berbicara mengenai semua hal yang berkaitan dengan aqidah.

Lanjut al-Qardhawi, bahwa kesempurnaan sistem aqidah Islam juga bisa dilihat dari pendangan Islam terhadap ketuhanan. Dalam Islam, Tuhan telah jelas; Allah. Tuhan yang Esa, tidak beranak dan diperanakan, Tuhan yang berdiri sendiri tanpa wakil dalam kekuasaan, Tuhan yang segala apa yang ada pada kaun menjadi bawahan-Nya dan tidak ada dzat lainnya yang bersekutu dengannya (Al-Ikhlas: 1-4). Inilah konsep yang integral. Tidak terpecah-pecah. Konsep ketuhanan ini tentu berbeda dengan konsep “koalisi ketuhanan” dalam teologi paulus dalam ajaran kristen pasca modernisasi oleh Gereja Anthokia pimpinan Saulus (Paulus), seorang Yahudi keturunan Benyamin, saudara Yusuf bin Ya’kub. (M.I. Ananias, 2008: 79).

Dalam sistem teologi kristen, tuhan selalu mengalami penambahan personil. Yang pada awalnya hanya ada satu tuhan kemudian diangkat tuhan lainnya pada sebuah konsili di necea abad ketiga masehi yang menghasilkan kesepakatan Isa atau Yesus sebagai dzat tuhan, atau lebih terangnya; tuhan anak. (M.I. Ananias,2008: 95). Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian mengadakan konsili lagi di Konstantinopel dan menghasilkan kesepakatan untuk mengangkat roh kudus sebagai tuhan ketiga. (Jehovah’s Witnesesses, 2005: 58). Maka lengkaplah teologi kristen yang memiliki tiga tuhan dalam satu kesatuan. Mengenai konsep di atas, Al-Qur’an telah tegas mengatakan prilaku penyimpangan tersebut merupakan sebuah bentuk kekafiran yang nyata (al-Maidah: 72-73).

Selain dalam teologi kristen, kita juga bisa melihat jauh sebelum ajaran kristen-paulus berkembang. Semisal dalam sistem aqidah Yunani yang memiliki banyak dewa-dewi, kaum nabi terdahulu yang menjadikan benda-benda mati sebagai sesembahan dan berbagai bentuk penyimpangan aqidah lainnya.

Kesempurnaan aqidah Islam juga bisa dilihat dari sisi sumber pemahaman dan konsep aqidah Islam itu sendiri. Aqidah Islam tidak lahir dari penemuan atau sekedar perasaan (al-Qaradhawi, 1977: 114). Aqidah Islam juga bukan sekedar produk aktivitas berpikir ala filsuf yang malah sering kali melahirkan spekulatif yang berakibat pada skeptifisme pemikiran. Aqidah Islam jauh dari metode-metode yang demikian. Aqidah Islam merupakan sebuah konsep yang Allah turunkan dari langit melalui utusannya kepada al-Amin yang tidak perna tercatat dalam sejarah kebohongan dan keburukan muru’ahnya. Konsep tersebut kemudian diajarkan turun temurun melalui sebuah sistematika periwayatan yang sangat ketat dan teliti sehingga kesalahan ajaran tersebut tidak akan mungkin terjadi.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 3

Doktrin Keilmuan Islam yang Komprehensif

(Syumumuliatu Al-islam-Bag 1)

Zaman ini kita menjumpai banyak sarjana muslim maupun non muslim, dengan bangga mengedepankan kekuatan logikanya. Banyak orang berteriak-teriak tentang sebuah pemahaman baru terhadap doktrin agama (Islam) yang sejatinya sudah baku dan telah disepakati oleh para ulama salaf maupun khalaf kebakuannya. Misalnya, tentang kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Mereka beranggapan, tidak ada yang layak dan berhak untuk menafsirkan nash dan kemudian memonopoli kebenaran hanya ada pada pemahamannya atau kelompoknya. Mereka membebasakan semua orang, bodoh maupun pintar, muslim maupun non muslim, untuk menafsirkan nash agama dengan kapasitasnya masing-masing dengan catatan ia tidak mengklaim bahwa penafsirannya yang paling benar. Yang lebih parahnya, ada beberapa orang pentolan liberal mengatakan bahwa yang suci adalah apa yang Allah turunkan kepada para malaikat, dan apa yang malaikat bawa kepada Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam. selebihnya, apa yang disampaikan Rasulallah kepada sahabat, sudah tidak suci lagi, sebab sudah ada campur tangan manusia yang sifatnya bukan ma’sum. 

Kita juga mendengar propaganda feminisme. Di mana mereka menyerukan supaya lelaki dan wanita dijunjung sama rata. Mereka hendak mengintepretasi ulang hukum waris yang menyatakan lelaki mendapatkan dua bagian dari pada wanita (Al-Ma’idah: 176). Mereka mengatakan, tidak adil jika wanita zaman sekarang tetap diberi setangah dari bagian lelaki, sebab wanita pada zaman modern seperti saat ini sama halnya dengan lelaki dalam hal pekerjaan dan karir. (Muhammad Ali Ash-Shobuni, 2010: 19)

Propaganda - propaganda tersebut, merupakan produk dari sebuah sikap yang abu-abu dalam pemikiran (skeptis). Mereka tidak berdiri di atas satu pondasi yang kuat. Sehingga satu waktu mereka berkata matahari yang menyinari bulan dan pada waktu yang lain mereka berkata bulan yang menyinari matahari. Inilah sebuah bentuk relativisme dalam pemahaman yang ujung-ujunganya mengarah pada doktrin pemikiran yang liberal. (Akmal Sjafril, 2011:146)

Manusia bila dicermati secara seksama, terdiri dari dua unsur penting yang satu sama lainnya saling melengkapi. Kedua unsur tersebut adalah jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah bangkai yang tak berfungsi. Sedang ruh tanpa jasad bukanlah apa-apa, sebab manusia terbebani hukum hanya jika jasad dan ruh masih berkelindan dalam satu kesatuan yang padu. Secara singkat, kita simpulkan manusia merupakan paduan unsur material dan immaterial.

Dengan kesimpulan demikian, maka manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas dari hal yang bersifat material dan immaterial. Meskipun orang barat banyak yang tidak yakin akan adanya sisi immaterial manusia yang berupah ruh, tetap saja dalam keadaan klimaks yang mengancam, jiwa mereka otomatis akan terperanjat memanggail Dzat yang immaterial dan sekaligus menyadari bahwa ada sisi lain kemanusiaan yang selama ini mereka tidak yakini.

Sebagai insaniyah jasadiyah yang sekaligus insaniyah ruhiyah, maka dalam proses berpikir dan mencari kebenaran, manusia juga membutuhkan referensi kebenaran yang bersifat manterial dan immaterial. Referensi material adalah logika manusia itu sendiri, yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman empiris yang bisa diterima akal dan dapat dibuktikan melelui pengamatan panca indra yang lima. Sedangkan, referensi immaterial adalah doktri agama yang bersumber dari wahyu, baik berupa firman Allah yang tertuang dalam Al-Qur'an maupun ucapan, tindakan dan persetujuan rasul utusan-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai manusia yang sadar akan hakikatnya yang jasadiyah dan rohaniyah, maka manusia tidak bisa lantas hanya mengambil akal dan penalaran panca indera saja dalam mencari kebenaran tanpa melibatkan sisi rohaniyah yang bersifat transenden. Logika dan wahyu harus saling melengkapi. Sebab, meskipun logika sudah dikerahkan sekuat tenaga untuk memahami sesuatu, tetap saja akal merupakan barang yang meskipun digunakan sampai ‘mendidih’ tetaplah ia terbatas, dan meskipun ia mampu berpikir jauh dan luas, tetaplah ia sempit. (Abdul Karim Zaidan, 2004: 57)

Begitulah logika dan alatnya, akal. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, akal diartikan sebagai: (1) daya pikir (untuk mengerti dan sebagainya); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat; dan (4) kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI). Dalam bahasa Arab sendiri, akal berasal dari kata ‘aql, bentuk mashdar dari kata a-qa-la, ya’-qi-lu- ‘aqlan, dalam kamus al-Wasit dimaknai sebagai: (1) mengetahui sesuatu pada hakikatnya; (2) apa yang menjadi alat berpikir dan beristidlal serta perangkat pengambaran dan pembenaran; (3) apa yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebathilan. (Mu’jam al-Wasit, software al-Ma’ani: li kulli rasmin ma’nâ)

Akal dan logika juga sering diidentikkan dengan kata ‘mantiq’ yang artinya perkataan atau sabda. (Mundiri, 1994: 1-2). Mundiri dalam bukunya logika, mengambil beberapa pengertian logika atau mantiq dari beberapa sumber: (1) logika atau mantiq diartikan sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar (Goerge F. Kneller, 1966: 13); (2) hukum yang memelihara hati manusia dari kesalahan berpikir (Louis Ma’luf, 1973: 816); (3) ilmu untuk mengerakkan pikiran kepada jalan yang lurus untuk memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir, 1966: 16)

Penggunaan akal yang kebablasan oleh barat dan sebagian kecil pemikir muslim, nyatanya telah merusak sistem berpikir dan kehidupan mereka sendiri. Dengan akalnya yang didewakan, mereka mengkonsep sebuah idiologi yang mereka yakini dapat mengentaskan manusia dari berbagai macam permasalahan hidup. Maka dari itu, muncul sistem komunisme, sosialime, kapitalisme, sekulerisme, dan isme-isme logika lainnya, yang makin bertambah hari makin terlihat kecacatan produk-produk logika tersebut, ini sekaligus membuktikan bahwa produk logika mereka kontras dengan pengertian logika yang telah disebutkankan. 

Kita mengambil satu contoh produk akal; modernisme (ala barat). Ketika Barat mulai menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, mereka berlomba untuk belajar dari para sarjana muslim abad pertengahan di berbagai universitas yang ada di Spanyol. Mereka belajar filsafat Yunani, kebudayaan Babilonia, dan sejarah-sejarah pemikiran dan peradaban sebelum masihiyah dari orang-orang Islam. Dari hasil pembelajaran yang mereka dapatkan dari sarjana muslim tersebut, mereka tergerak untuk melakukan sebuah revolusi pemikiran dan sistem kehidupan barat. Sejarah mencatat, bahwa kelamnya peradaban barat sebelum munculnya zaman renaisense pada paru terakhir adab 18 tidak lain dan tidak bukan adalah kerena otoritarisme sistem dari Gereja. Semua hal harus didasarkan pada fatwa Gereja. Siapa yang menentang doktrin Gereja, atau melakukan sesuatu tanpa izin Gereja, maka mereka harus siap menerima hukuman. 

Kebekuan sistem Gereja tersebut, membuat para sarjana barat terobsesi untuk segera melakukan pemberontakan intelektual. Maka digalakkanlah semboyan-semboyan kebebasan berpendapat semisal ungkapa “berikan pada kaisar apa yang menjadi haknya, dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya.” Setelah propaganda yang demikian, mulai mereka merancang sebuah sistem yang modern. Era sistem ini ditandai dengan munculnya Rene Descartes yang mempelopori modernisme dengan pengedepanan akal dan logika sebagai instrumen utamanya. Descartes kemudian memunculkan sebuah doktrin “Cogito ergosum” artinya aku perpikir karena aku ada. Dia juga mengajarkan bahwa kebenaran akan diperoleh melalui pertanyaan yang bersifat keragu-raguan. Jika manusia ingin mendapatkan kepastian akan suatu kebenaran, maka ia harus memulainya dengan kesangsian. Jika kesangsian tersebut hilang dengan hukum-hukum berpikir yang benar, maka itulah kebenaran. Jika sebaliknya, maka itu bukan sebuah kebenaran. Dengan diktumnya tersebut, Descartes juga ingin menyampaikan bahwa rasio diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisi dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. (Medhy Aginta Hidayat: 3).

Namun apa yang terjadi dengan pemahaman modernisme khas barat tersebut? Rosenau menyebut ada lima kegagalan modernisme yang dibawa oleh Descarters. Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan ke arah masa depan. Kedua, ilmu modern tidak mampu melepaskan dirinya dari kesewenang-wenangan. Ketiga, banyak kontradiksi antara teori dan fakta. Keempat, keyakinan yang keliru akan kemampuan modernisme dalam memecahkan berbagai masalah. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan tataran mistis dan metafisis. Melihat kegagalan yang demikian, Rosenau kemudian membawa konsep baru berupa Post-modernsime.

Lihatlah bagaimana barat kesulitan mencari sistem hidup sekaligus pandangan hidup. Pemikiran mereka telah dimulai dengan sebuah keraguan dan diselesaikan dengan keragu-raguan pula. Hasilnya, manusia yang lugu menjadi korban sistem buatan mereka. Betapa banyak nyawa di Afrika melayang karena monopoli kapitalisme Barat dan Eropa. Berapa banyak nyawa di Pakistan, Irak, Afghanistan, Palestina, Suria dan negara lainnya karena kerusakan sistem pemikiran barat yang mengedepankan hawa nafsu semata. Inikah yang dinamakan dengan modernisme yang akan membawa manusia pada kehidupan yang laik dan sejahtera? Sayang itu hanya mimpi di atas dipan.

Sekarang mari kita lihat bagaimana Islam membangun pemahaman dan pandangannya terhadap kehidupan. Yang pertama yang perlu kita ketahui adalah dari mana kaum muslimin mendapatkan kebenaran sehingga sistem yang mereka gunakan juga sebuah kebenaran? Kaum muslimin mendapatkan kebenaran melalu (1) Khabar Sidiq, (2) panca indera, (3) pikiran sehat, dan (4) intuisi. (Adian Husaini, 2013: xviii).

Empat hal tersebutlah yang melandasi pemikiran seorang muslim. Jauh berbeda dengan barat yang hanya memiliki dua sumber ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari konsep a posteriori dan konsep a priori. Konsep a posteriori adalah ilmu yang diperoleh melalui pengalaman inderawi. Sedangkan konsep a priori adalah ilmu yang bersumber dari akal. (Nashruddin Syarif, 2013: 60, dan Mundiri, 2011: 7).

Begitulah barat, hanya mengedapankan material tanpa memasukkan unsur ketuhanan dalam berpikir. Sehingga konsep kehidupan yang mereka telurkan jauh dengan sifat kemanusiaan yang insaniyah jasadiyah dan insaniyah rohaniyah.

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 2

Syumuliyatu al-Islâm Ditinjau dari Berbagai Aspek

(Pendahuluan)

Alhamdulillahi rabil 'âlamin, segala puji bagi Allah, dengan sifat rahim-Nya umat manusia mendapatkan ketenangan pada hari kiamat dan dengan rahman-Nya manusia bisa merasakan manisnya alam fana. Shalawat dan salam untuk Baginda Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, Rasul akhir zaman yang diutus dengan sebuah risalah sempurna; menambal kekurangan risalah para nabi sebelumnya, mengevaluasinya dan juga datang dengan sebuah risalah yang belum ada pada risalah-risalah pendahulunya.

Salah satu yang menjadi ciri khas risalah muhammadiyah ini adalah kesempurnaannya. Maka ketika umat Islam membuka kembali kitab sucinya, ia akan menemukan firman Allah yang menegaskan bahwa risalah muhammadiyah adalah risalah yang menjelaskan segala sesuatu (QS. An-Nahl: 89). Tidak ada seorang pun yang mengalami problem kehidupan kemudian ia buka kitab sucinya serta merujuk pada pendapat-pendapat ahli hadis, tafsir dan fikih, kecuali dia akan menemukan jalan keluar yang indah, yang tidak akan perna bisa ia temukan dalam risalah atau syariat agama selain Islam.

Hal yang demikian tersebut karena Allah telah berkenan menurunkan Al-Qur’an dengan ayat umum dalam porsi yang lebih banyak dari pada ayat yang khusus. Hal yang demikian, memberikan peluang bagi akal manusia untuk beristimbat darinya dengan tata cara istimbat yang telah digariskan para ulama, sehingga ia bisa menjalankan tujuan-tujuan agama yang berupa penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan harga diri seseorang. 

Ciri di atas telah menggariskan bahwa kesempurnaan jalan hidup hanya ada pada Islam. Keyakinan terhadap kesempurnaan risalah Islam tersebut akan bertambah kuat ketika kaum muslimin mencoba untuk melihat ajaran agama lainnya yang banyak kekurangan serta kontradiktif antara satu perintah dengan perintah yang lain dalam kitab sucinya. Hal ini bisa dilihat lebih lanjut dalam ajaran Paulunism terhadap doktrin Kristen juga ajaran-ajaran lainnya. Lain halnya dengan ajaran Islam, yang tidak ada percekcokan antar dalil satu salam lain, pun jika ditemukan yang secara dzhohir terjadi pertentangan, otak manusialah yang belum sampai pada tingkat pemahan yang Allah inginkan (an-Nisa: 82).

Dengan demikian, klaim umat Islam sebagai umat terbaik (Ali-Imran: 110), sangat cocok karena didukung dengan undang-undang Tuhan yang integral, lengkap dan terlepas dari setiap kecacatan hukum meski hanya setitik kesalahan. Untuk lebih mengetahui bagaimana kesempurnaan risalah Islam ini, maka penulis akan mencoba menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan syumuliyatu al-Islam dari beberapa aspek kehidupan manusia. Tulisan ini diharapkan bisa sedikit menggugah kaum muslimin yang selama ini sibuk untuk mencari sistem kehidupan selain Islam, serta ingin menunjukkan bahwa Islam adalah jawaban dari semua bentuk permasalahan yang dihadapi oleh manusia. 

Tentu, apa yang penulis sajikan disini, tidaklah mewakili seluruh kesempurnaan Islam kerena sangat tidak mungkin kesempurnaan Islam hanya ditulis dalam lembaran makalah. ‘Ala kulli hal, semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua sehingga bisa berjalan beriringan dengan ridha dan kehendak-Nya. Amin. 

Oleh : Hilal Ardiansyah Putra

Bersambung ke Bagian 1

Walid Abad ke-7 dan Ah*k Abad ke-21


Walid bin Al Mughiroh, kisahnya terabadikan dalam surah Al-Muddatstsir ayat 11-30 sejak abad 7 masehi yang lalu. Dan sekarang, di abad 21 masehi juga tertuliskan kisah seorang bangsawan kafir di Jakarta yang tak jauh berbeda dengan yang pertama. Dua duanya diawali dari posisi mereka sebagai musuh Islam, penentang dakwah dan kebenciannya terhadap Al Quran.

 Ah*k, begitulah si Aduwwullah itu biasa di panggil. Merasa kuat karena punya duit, merasa sombong karena punya kekuasaan dan merasa hebat karena menjadi harapan kuffar dan musyrikin. Inilah Persamaan karakter antara Walid dan si Ah*k.

Walid bin Al Mughiroh sebetulnya tahu dengan kebenaran Al Quran, tapi kekuasaanlah yang menyebabkan hatinya mati. Hal itu tercermin dari ucapannya ketika mendengar ayat-ayat Al-Quran langsung dari lisan baginda Rasulullah SAW. Inilah ucapannya yang begitu masyhur itu, 
" Demi Allah, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalir air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya..". 

Sekali lagi, karena rakus akan kekuasaan maka Walid mengesampingkan fithrah dari jiwanya. Dia malah mengatakan bahwa Al-Quran itu hanyalah 'sihir yang dipelajari'. Lalu turunlah firman Allah: 

ذرني ومن خلقت وحيدا
"Biarkanlah aku bertindak terhadap orang yang telah Aku ciptakan sendiri." (Al-mudatssir: 11).

Surat Al-Mudattsir ayat 11-30 begitu gamblang menceritakan bagaimana awal dari penentangan si Musyrik ini terhadap Al-Quran, dan juga bagaimana akhir tragis dari hidupnya yang diseret ke neraka Saqor.

Ah*k bukanlah orang Quraisy, berbeda dengan Walid yang asli keturunan Quraisy dan dari kabilah terpandang Al-Makhzumy. Maka kalau dari sisi kebangsawanan, antara Ah*k dan Walid sangatlah jauh. "Kalau Walid Asli pribumi (pakai shod), sedangkan Ah*k bukan". Begitulah istilah Nusantaranya.

Kisah Ah*k dimulai dengan ucapan mulut obor nya, karena tamaknya akan kekuasaan dia mengatakan kalau Al-Quran itu alat untuk pembohongan. Lebih tepatnya pada surat Al-Ma'idah ayat 51. 
"Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak ibu, ya."  Ucapan Ah*k

Maka Allah-pun murka terhadapnya, dengan melalui hamba-hambanya yang ikhlas Allah turunkan rasa was-was, kegundahan dan ketakutan yang mendalam di hatinya. Ini semua barulah permulaan. Bukan tidak mungkin dia akan sekarat dengan tragis sebagaimana Walid juga sekarat, hanya dengan menginjak anak panah saja, kakinya membusuk dan kemudian di seret ke neraka Saqor dan hangus di dalamnya. Inilah kabar gembira untukmu wahai penista!.

Cerita tidak berhenti sampai disini. Ancaman bagi manusia-manusia ataupun media yang membela si penista agama ini adalah sebagaimana kisah Abu Lahab. 
"Tabbat yadaa abii lahabiw watabb"  (QS. Al-Lahab). Yang saat itu juga berperan sebagai media dan pembela si penista. Yang mati dengan badan yang membusuk, bau menyengat dan dikubur dengan dilempari pakai batu, karena tak ada yang mau mendekat karena baunya.

Sungguh tragis akhir  hayatmu wahai musuh Allah!

Oleh: Sahir Wasim (Direktur Institut Dakwah Tauhid)

Pluralisme Dan Atheis


Bila dibawa ke mana saja, semua agama pasti berbeda. Tuhan yang disembah, kitab suci yang dibaca, dan ritual penyembahan yang dilakukan tidaklah sama. Jika ada yang menyamakan, pasti ada misi tertentu atau unsur penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Pandangan Pluralisme Agama versi Transendentalisme, Huston Smith dalam bukunya The World’s Relegions dia menuliskan dalam sub babnya yang berjudul “Many Path To The Same Summit”. Ia menulis “Truth is one, sages call is by different names”. ( Kebenaran memang satu, orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda). Seperti halnya Nurcholis Madjid berpendapat, “ bahwa setiap agama merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda. Pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu jalan dari berbagai agama”. Maka dari itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”. Jadi, menurut mereka semua agama benar, semua agama menuju kebenaran, maka islam bukan agama yang paling benar.

Terlihat jelas kalau sasaran utama serangan ini adalah agama islam. Menyebarkan paham yang menyalahkan islam. Paham untuk menghancurkan islam. Dalam buku When Relegion Become Evil karangan Charles Gimball dikatakan bahwa; “ salah ciri agama jahat adalah apabila agama tersebut mengajarkan bahwa ajaran atau umatnya saja yang benar, sementara yang lain salah”. Sehingga islam dipandang sebagai agama yang bersifat ekslusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai agama lain. Bahkan mengancam kebhinekaan negeri ini.

Mukhlis Denros menyimpulkan dalam tulisannya Andai Aku Tahu Plularisme Berdosa bahwa perlahan-lahan manusia akan memahami kalau semua agama itu sama baik dan benarnya, maka tidak ada yang baik itu. Kalaulah semua agama benar maka tidak ada yang benar itu, semua agama salah. kalau semua agama salah, maka kita tidak perlu lagi beragama. Itulah target akhir dari paham plularisme yaitu menjadikan manusia aheis. Meninggalkan agamanya karena semua agama salah.

Maka dari itu MUI telah mengharamkan paham ini, yang sangat bertentangan dengan agama islam dan racun yang sangat berbahaya. Karena islam hanya menyeru pada satu kebenaran.

Fakta historisnya ; Rasulullah dan sahabat mengorbankan harta dan jiwa dan raganya demi tersebarnya islam. Rasulullah berkirim surat kepada raja-raja menyeru mereka untuk memeluk islam. Andai semua agama sama, itu tidak akan ada pengorbanan dan seruan untuk masuk islam.

Alasan teologisnya; ketika sekelompok Kafir Quraisy mengajak Rasulullah berdamai; menawarkan kepada Rasul agar setahun mereka menyembah Tuhannya Muhammad SAW dan setahun lagi Muhammad SAW menyembah Tuhan mereka. Permintaan tersebut ditolak sembari diturunkannya surat Al- kafirun sebagai penolakan yang tegas.

Alasan dakwah; andaikan semua agama sama, maka dakwah tidak akan memiliki nilai apapun, maka kewajiban berdakwah akan sendirinya gugur. Untuk apa berdakwah kalau semua agama benar. Bukankah dakwah berarti mengajak orang kepada kebenaran yang kita yakini.

Al- quran dengan tegas menolak hujjah kafir quraisy bahwa meskipun mereka menyembah berhala, tapi pada hakikatnya mereka menyembah Allah. Dan berhala hanyalah perantara mereka kepada Allah SWT.

(الا لله الدين الخالص والذين اتخذوا من دونه أولياء مانعبدهم إلاليقربونا إلى زلفى إن الله يحكم بينهم فيما فيه يختلفون إن الله لا يهدي من هو كاذب كفار). الزمر 3

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang baik dan bersih ( dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah SWT berkata: “ Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami dengan Allah SWT dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka apa yang mereka selisihkan padanya. Sesungguhnya Allah SWT tidak menunjuki orang-orang pendusta dan sangat ingkar”. (Az-zumar:3)

Agama diakui Allah hanyalah islam. Islam adalah agama yang pertama dan satu-satunya. Setiap nabi dan Rasul yang diutus semuanya menyeru kepada ketauhidan. Mentauhidkan Allah dalam uluhiyyah, rububiyyah, ubudiyyah dan asma wa sifatNya.

(إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاء هم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب). ال عمران 19

Sesungguhnya agama di sisi Allah SWT hanyalah islam. Tiada berselisih orag-orng yang telah diberi Al-kitab kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada pada mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah SWT sangat cepat hisabnya”. (Al-Imran : 19)

(ومن يبتغي غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الآخرة من الخاسرين). ال عمران 85

Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agamaitu) dari padaNya, dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-imran: 85)

Islam mengakui pluralitas. Allah SWT menciptakan langit dan bumi dengan keberagaman. Keberagaman ciptaan Allah adalah pluralitas. Agar manusia saling mengenal dan bermanfaat satu dan lainnya. Tapi islam menolak dan menentang pluralisme, beda agama satu tuhan, atau semua agama benar, yang sangat jelas berentangan dengan ajaran islam. Karena kebenaran hanya datang dari Allah SWT, yaitu islam. Wallahu a'lam bissawab.


Oleh : Atikah (Staff Mekominfo KAMMI LIPIA)







Nasib Pengolok-olok Kitab Allah Dalam Al-Qur’an


Allah menurunkan Kitab-kitab-Nya kepada umat manusia agar membimbing mereka kepada kebenaran melalui para Rasul dan Nabi. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Al-Qur’an yang mulia. Sudah semestinya manusia memuliakan kitab Allah ini. Namun kenyataannya, banyak orang yang tidak memuliakan Al-Qur'an, bahkan cenderung menghina, mengolok-olok, mengejek agama. Lalu, bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap mereka yaitu orang yang menghina, mengolok-olok agama? Dan seperti apa nasib mereka? Dan apa sikap kita kepada mereka?

Dalam Al-Qur’an terdapat kata-kata “Mustahziuun” (orang yang mengolok-olok), atau “Yastahziun” (mereka yang mengolok-olok), atau “yattakhizuna huzuwan” (orang yang menjadikan agama sebagai bahan gurauan) atau “Yaskhorun” (oarang yang menghina) jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mengolok-olok” adalah perkataan yang mengandung sindiran (ejekan, lelucon) atau perkataan untuk bermain-main saja; kelakar, senda gurau. Kata-kata tersebut terdapat dalam beberapa ayat di antaranya ; [QS. Al-Baqarah:14, 15, 67, 231, 212], [QS. An-Nisa: 140], [QS. Al-Maaidah:57-58], [Qs. Al-an’am: 5, 10], [QS. Hud:8], [QS. Al-Hijr;11], [QS. An-Nahl;34], [QS. Al-Anbiya: 41], [QS. As-Syu’ara: 6], [QS. Ar-Rum: 10], [QS. Yasiin: 30], Az-Zumar: 48], [QS. Ghofir: 83], [QS. Az-Zukhruf : 7], [QS. Al-Jatsiyah: 33], [QS. Al-Ahqaf: 26], [QS. At-Taubah: 64-65], [QS. Al-Hujurot; 11].

Menurut Ibnu Katsir Rahimahullah dalam menafsirkan Ayat [QS. Al-Maaidah:57-58]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman (57) Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal (58)”. [QS. Al-Maaidah:57-58]

Beliau rahimahullah menafsirkan: ini adalah peringatan (untuk umat Islam) untuk tidak menjadikan pemimpin para musuh Islam, yang mana mereka menjadikan syari’at Islam yang suci dan komperhensif sebagai bahan ejekan dan olok-olokan, yang mana menjadikan itu sebagai bahan mainan. [Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir]. Adapun At-Thobari Rahimahullah mentafsirkan “Auliya” adalah penolong, saudara, sekutu. [Tafsir At-Thabari]. 

Adapun dalam ayat lain pada [Qs. Al-an’am: 5] 
Artinya: “Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan” [Qs. Al-an’am: 5].


Syeikh Wahbah menafsirkan ayat ini : mereka musyrik Quraisy Makkah mendustakan Al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah Shalallahu A’laihi Wa sallam. Namun Allah menjanjikan kepada mereka akan diazab di akhirat, dan mengingatkan mereka tentang azab neraka. Maka Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar (dalam menghadapi mereka), dan akan datang berita-berita yang selama ini mereka perolok-olokan yaitu azab Allah di dunia sebagaimana yang terjadi di Perang Badang dan nantinya azab di akhirat [Tafsir Al-Munir].

Dapat penulis menarik hikmah dari ayat-ayat yang ada di atas sebagai berikut; Pertama; kaum muslimin tidak menjadikan orang yang mengolok-olok tersebut sebagai pemimpin, sahabat, sekutu, maupun penolong karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai bahan ejekan, olok-olokan, penghinaan [QS. Al-Maaidah:57-58], Kedua: kehinaan yang Allah timpakan kepada orang-orang penghina Al-Qur’an sudah terjadi di Zaman Rasulullah A’laihissholatu wassalam baik dari kalangan kafir Quraisy maupun munafiq, berupa azab di dunia dan akhirat, inilah nasib mereka yang Allah timpakan [QS. Al-Baqarah:212], [Qs. Al-an’am: 5], Ketiga : bahwasannya tidak boleh seseorang mengejek, menghina orang lain apalagi menghina Agama, dan kitab Allah. [QS. Al-Hujurot; 11], Keempat: bagi seorang muslim hendaknya menjauhi orang-orang yang menghina, mengolok-olok Al-Qur’an [QS. An-Nisa: 140]. Kelima; kewajiban seorang muslim dalam membela Al-Qur’an dan Agama Allah. 

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian dan kita semua selalu mendapatkan rahmat dan ridho Allah dan pada akhinya kita bagian dari orang-orang yang mencintai Al-Qur'an. Wallahua’lam bishowab.


Oleh : Derysmono
*Penulis: Pengasuh Asrama Qur’an Metode Azzam, Mahasiswa S3 Institut PTIQ Jakarta Konsentrasi Al-Qur’an dan Tafsir, Dosen Al-Husnayain Bekasi.

Mengawali Kebangkitan


وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,  dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. 24:55)
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya, ketika Allah menuturkan dengan lembut janji-Nya pada ayat di atas akan kemenangan yang pasti diraih oleh orang-orang beriman di atas muka bumi ini. Marilah kita mentadabburi janji Allah tersebut, merenungi akan kebenaran isi Kalamullah. Dan mendalami makna kemenangan, seperti apa kemenangan yang Allah janjikan kepada orang-orang beriman? Dan apa korelasinya dengan kondisi kita saat ini sebagai umat muslim yang lahir dan tinggal di Indonesia? Yang menjadi mayoritas tetapi pengaruhnya tidak sebanyak jumlahnya, karena golongan minoritaslah yang mengendalikan umat Islam saat ini, akankah umat Islam mendapatkan janji Allah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan  di atas, mari kita kaji sejenak ayat Allah diatas, seperti disebutkan oleh Al Imam Husain bin Masud Al Baghawi dalam kitab Tafsinya, Maalimut Tanzil atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Tafsir Al Baghawi, tentang Sababun Nuzul ayat tersebut. Bahwa Rasulullah saw. tinggal di kota Makkah setelah turunnya wahyu yang pertama selama sepuluh tahun bersama para sahabatnya, dan meminta mereka untuk bersabar atas siksaan orang-orang kafir atas mereka. Dan mereka Rasulullah bersama para sahabatnya- tidak terbangun di pagi hari untuk kemudian melewati harinya hingga sore hari kecuali mereka dalam keadaan takut dan cemas. Hingga akhirnya turunlah perintah kepada mereka untuk berhijrah ke Madinah. Dan di sanalah turun pula perintah untuk berperang di jalan Allah, karena takutnya mereka akan peperangan, sampai-sampai mereka tidak pernah menjauh dari senjata mereka, hingga berkatalah salah seorang dari mereka: kapankah datang hari dimana kita merasa tenang dan kita bisa meletakkan senjata kita? maka setelah itu, turunlah ayat ini (Al Furqon: 55).
Perhatikanlah bagaimana ayat ini diturunkan oleh Allah swt di dalam kondisi genting peperangan yang berkepanjangan dan seakan tiada habisnya untuk menghibur Nabi saw. dan sahabatnya. Dalam buku-buku sirah dijelaskan bahwa Rasulullah saw. bersama kaum muslimin terus melakukan peperangan secara defensif dari sejak perang Badar hingga berakhirnya perang Ahzab yang ditutup dengan peperangan dengan Bani Quraidzoh dan pengusiran mereka pada tahun kelima hijriyah. Ini menunjukkan betapa dahsyat ujian yang dihadapi oleh kaum muslim saat itu. Dan setelah melewati ujian tersebut mulailah tampak janji kemenengan itu akan mereka raih, tatkala Rasulullah saw. mengatakan: 
"الآن نغزوهم ولا يغزوننا..." 
 “Sekarang, kita yang akan memerangi mereka dan mereka tidak memerangi kita...” maka masuklah umat Islam dalam fase baru penyebaran dakwahnya, menjadi lebih ekspansif.
Kemenangan-kemenangan yang umat Islam raih di waktu-waktu berikutnya menunjukkan bahwa mereka berhasil mendapatkan janji yang Allah sebutkan di atas berupa kemenangan dan kekuasaan di atas muka bumi. Dan kita sama-sama tahu, bahwa pada masa Utsman Bin Affan ra. saja wilayah kekuasaan umat Islam sudah mencapai Persia. Secara otomatis terpenuhi pulalah janji Allah yang lain dalam ayat yang sama, yaitu peneguhan agama Islam di atas muka bumi ini dan bergantinya ketakutan dengan keamanan dan kedamaian dalam diri umat Islam, hingga Izzah Islam semakin hari semakin bertambah. Allahu Akbar!
Namun, jika kita melihat korelasinya dengan apa yang terjadi saat ini di Indonesia, akankah janji kemenangan dalam ayat Allah di atas menjadi sebuah kenyataan yang jelas sejelas bulan purnama di malam hari? Akankah umat Islam di negeri ini meraih janji Allah berupa peneguhan agama mereka? Akankah bangsa Indonesia terbebas dari rasa khawatir dan ketakutan akan kehancuran negara ini? Dengan sebuah ironi; bahwa sebagaimana saya sebutkan di awal, umat Islam mayoritas namun kendali mereka dibatasi oleh kekuatan non-muslim yang minoritas? 
Terlebih khusus dengan apa yang sedang menjadi perhatian umat sebulan terakhir, yang menjadi bahan pikiran media massa dan rakyat, yang menyedot energi hampir seluruh elemen di negeri ini, yang menguras kekhawatiran para pemuka agama hampir di seluruh pelosok negeri, yang membakar ghiroh (kecemburuan) yang ada dalam dada umat, yang menggerakkan hati nurani hampir dua juta manusia untuk berkumpul di pusat negara pada peristiwa 411 (4 November), tentang penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur non-aktif Ibu Kota, DKI Jakarta. Ketika ia menghina agama terbesar masyarakat Indonesia saat ini dengan mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh dibohongi oleh surat Al Maidah ayat 51. Perkataan yang dengan mudah diterjemahkan oleh kaum terpelajar, bahwa Al Quran surat Al Maidah ayat 51 mengandung makna yang dusta dan bohong! Yang berarti pula ia menghina Al Quran! 
Dorongan besar dari dua juta rakyat pada peristiwa 411 yang bergerak menuntut agar ia dipenjarakan karena ulahnya tersebut baru dikabulkan oleh Polri sebagai penegak hukum utama di negeri ini, dengan menjadikannya sebagai tersangka, tidak ditahan dan hanya dicekal keluar negeri! Sementara statusnya sebagai calon Gubenur tetap ada, bahkan ia malah dengan optimis mengatakan akan menang satu putaran pada Pilkada DKI 2017 nanti. Belum habis sampai disitu, pada peristiwa terbaru ia bahkan dengan terang-terangan menuduh gerakan umat Islam 411 adalah politis dan bayaran! Ia mengungkapkannya ketika salah satu media asing terkenal mewawancarainya dengan merinci bahwa tiap peserta aksi gerakan 411 dibayar lima ratus ribu rupiah, Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illaa Billah!
Pertanyaan yang muncul berikutnya, mengapa seorang non-muslim seorang diri sepertinya berani dengan lantang mengejek umat Islam dan memfitnah mereka? Mengapa seorang nasrani saja seakan tidak takut mati berhadapan dengan jutaan umat muslim? Mengapa seakan ia yang seorang diri memiliki Izzah sedangkan umat Islam tampak tidak memiliki apa-apa kecuali kehinaan? Memang patut disyukuri bahwa peristiwa 411 menjadi sebuah prestasi yang cukup membanggakan, karena umat Islam saat itu begitu kompak berpakaian serba putih, datang dari berbagai penjuru kota bahkan luar jawa membawa panji-panji tauhid, mengibarkan bendera ormas ke-Islaman berkumpul menjadi satu, tumpah ruah memutihkan Jakarta untuk membela kitab suci dan agama mereka! Gerakan tersebut kemudian menjadi catatan sejarah sendiri, karena menjadi aksi massa terbesar sepanjang sejarah reformasi Indonesia.
Namun, setelah itu mengapa gerakan tersebut sedikit banyak berhasil diredam oleh penguasa yang jelas berpihak pada si penghina? Mengapa gerakan aksi lautan massa 411 seakan menjadi buih-buih yang tampak banyak namun lama kelamaan hilang tak berbekas? Mengapa kekuatan politik umat ini seakan tidak berkekuatan dan berpihak kepada Islam? Singkat kata, sebenarnya mengapa umat Islam begitu lemah?
Padahal faktanya, sejarah bangsa Indonesia ini ditulis dengan darah para Syuhada Islam. Padahal kenyataannya, sejarah mencatat bangsa ini dibangun di atas semangat umat Islam. Padahal  sebenarnya, sejarah mencata  bangsa ini diperjuangkan oleh pengorbanan yang sungguh besar yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh umat Islam. Dari sejak waktu dimana negara kesatuan ini belum terbentuk, dari sejak zaman Sultan Hasanudin, Pangeran Dipenogoro, Pengeran Fatahillah, Pangeran Antasari, Teuku Oemar, Cut Nyak Dien berperang melawan penjajahan Portugis dan Belanda. Dari sejak waktu dimana negara ini belum merdeka, ketika Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, KH Muhammad Nuh berjuang melawan tirani penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Dari sejak KH. Agus Salim, M Natsir dan Buya Hamka mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih bahkan dengan tidak takut mati mereka berani melawan kekuatan-kekuatan penindas nan otoriter yang justru muncul dari anak-anak negeri sendiri?! Maka pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini akan selalu dan hanya akan bisa dilakoni oleh umat Islam, bukan yang lain! 
Lantas kemudian, apa yang salah dari umat Islam saat ini? Mengapa umat Islam-Indonesia-saat ini tidak mampu mendulang kesuksesan sebagaimana para pendahulu mendapatkan kemenangan? Syaikh Yusuf Al Qorodhowi, seorang ulama dan pemikir asal Mesir, mencoba mengurai permasalahan inti yang dimiliki oleh umat Islam. Beliau menjelaskan sebab mengapa umat Islam saat ini berada pada jurang kemunduran dalam bukunya Ash Shohwah Al Islamiyyah Baynal Juhudi wat Tathorruf (Kebangkitan Islam di antara Konservatisme dan Modernisme). Disana beliau menjelaskan bahwa umat Islam saat ini lemah karena mereka jauh dari Islam itu sendiri. Kaum muslimin tidak memiliki kekuatan berhadapan dengan musuh-musuhnya karena mereka jauh dari agama mereka. Dan kaum muslimin kehilangan Izzah mereka di hadapan umat non-muslim karena mereka tidak memahami kesempurnaan Islam dan  (apalagi) menerapkannya. 
Lebih jauh, Ketua Persatuan Ulama Islam se-Dunia ini menjelaskan ada lima macam jauh yang saat ini menimpa umat Islam. Pertama, jauhnya mereka dari keimanan. Kedua, jauhnya mereka dari masyarakat dan sosial. Ketiga,  jauhnya mereka dari politik. Keempat, jauhnya mereka dari hukum-hukum Allah. Dan kelima, jauhnya mereka dari peradaban dunia. Jika kita perhatikan dari lima macam jauh yang menimpa umat Islam, semuanya mencakup aspek-aspek masalah besar yang selama ini ada di hadapan umat, namun mereka tidak menyadarinya. Atau ada sekelompok dari umat yang menyadarinya namun tidak memiliki solusi untuk memperbaiki masalah yang ada. Atau ada sedikit dari golongan yang menyadarinya dan memiliki solusi, namun tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melaksanakan perbaikan yang mereka inginkan sedangkan kebenaran tanpa kekuatan akan lumpuh dan kekuatan tanpa kebenaran akan zhalim. Lalu, apalagi pilihan jalan keluar yang dimiliki oleh umat Islam? Akankah umat Islam meraih janji kemenangannya?
Sebagai seorang muslim kita harus percaya akan janji Allah swt yang ada di dalam Al Quran, karena hal tersebut merupakan bagian dari keimanan. Keimanan itu jua yang akan menumbuhkan rasa optimisme dalam diri kita dan menghapuskan perasaan putus asa. Itulah mengapa putus asa sangat dekat sekali dengan kekufuran. Dan optimisme sebagai buah dari keimanan selalu mengantarkan kita kepada jalan keluar. 
Marilah kita simak sekali lagi apa penuturan Allah swt tentang bagaimana meraih kemenagan yang Ia janjikan kepada orang-orang beriman yang ternyata ada dalam rangkaian ayat-ayat yang sama dari surat An Nur: 54-56 

قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيۡكُم مَّا حُمِّلۡتُمۡۖ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٥٤ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ٥٦ 

“Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.(QS. 24:54-56).
Dari rangkaian ayat di atas, makin jelaslah jawaban bagi pertanyaan dan kebingungan kaum muslimin, bahwa kunci-kunci kemenangan setidaknya berdasar ayat di atas harus dimulai dengan: 
- Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
- Menunaikan kewajiban seperti yang diperintahkan
- Meningkatkan keimanan dengan beramal shalih
- Ikhlas beribadah dan menjauhi kesyirikan
- Memperbanyak sujud dengan shalat
- Memperbanyak amal sosial dengan menunaikan zakat
- Berpegang teguh dengan sunnah Nabi Muhammad saw.
Pertanyaan berikutnya, sudahkah umat Islam di Indonesia ini melaksanakan perintah-perintah Allah di atas? Merupakan sebuh ironi, jika umat ini bermimpi tentang kemenangan namun shalat dan zakat saja masih sering dilalaikan. Merupakan sebuah ironi, jika umat ini bermimpi tentang kemenangan, namun Kitabullah dan Sunnah Nabinya hanya menjadi hiasan lemari dan dinding. Sungguh jauh bara dari panggang. Seruan ini bukan hanya ditujukan untuk aktifis gerakan dakwah Islam, tapi untuk seluruh orang yang mengaku ber-Islam dan beriman. Seruan perbaikan ini bukan hanya milik para pejuang Islam. Seruan perbaikan ini justru untuk membuktikan siapa yang benar-benar berjuang untuk Allah dan siapa yang berjuang untuk dunia.
Dan pada akhirnya, waktu terus berjalan dan menjalani sunnatullah yang sama untuk para pendahulu di hari kemarin dan untuk para pendatang di masa depan. Bahwa kehancuran akan mendatangi sesiapa yang sombong dan tidak taat pada aturan main Allah, dan kemenangan serta kedamaian akan menyelimuti sesiapa yang tunduk setunduknya hanya kepada Allah. Seperti pula sunnatullah yang juga pasti berlaku, waktu akan semakin mendekatkan kita pada kematian dan hari akhir. Oleh karena itu, pastikan dimana posisi beridirinya kita saat ini, apakah bersama para pejuang kebenaran, ataukah bersama para pejuang kebatilan. Awas, Syaithan adalah seburuk-buruk musuh! 

Oleh: Saihul Basyir (Kadept. Kaderisasi KAMMI Lipia)

Ada Apa di Kampus Biru?


LIPIA atau yang kita kenal dengan kampus yang berfokus pada jurusan Syariah ini adalah satu-satunya cabang dari Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Su'ud yang ada di Asia tenggara. Kampus yang memiliki bangunan tak begitu besar di Jakarta Selatan ini konon telah melahirkan ribuan da'i di seluruh penjuru Indonesia. Hampir setiap pesantren, boarding school, atau berbagai bentuk yayasan besar berbasis pesantren memiliki minimal satu dari puluhan guru tamatan universitas berbasis syariah yang berkecimpung di dalamnya. 

Kampusku ini memiliki keunikan yang membuatnya selalu laris dari tahun ke tahun  meski ia tak pernah masuk dalam daftar universitas saat kita ujian SNMPTN atau jalur lainnya ketika masuk perguruan tinggi. Jika kau hadir di hari pendaftaran, akan kau dapatkan ribuan wajah polos yang menunggu jauh sejak sebelum azan shubuh berkumandang, hingga waktu dhuha selesai untuk mendaftar di kampus biru ini. Itu baru hari pengambilan formulir pendaftaran, tidak kalah ramai jika kau datang dihari mereka harus ujian masuk lisan dan tulisan. Meski kini proses pendaftaran telah bisa dilakukan dengan internet, namun tetap saja fenomena itu adalah pemandangan terindah untuk sebuah perjuangan. Lalu, kebiasaan dan watak apalagi yang dimiliki orang-orang didalamnya? 

1. Mencintai Proses Panjang
Meski banyak jurusan didalamnya, namun julukan kampus 7 tahun itu tetap melekat di telinga mereka yang mendengarnya. Jika serius belajar saja seseorang harus melewati 7 tahun, apalagi jika tidak serius? mau lebih lama? Tidak mungkin, yang ada hanya pilihan berupa seleksi alam. Alias tersingkirkan. 

2. Pekerja keras 
Jarang ada kampus yang hampir 50 persen dari mahasiswa nya adalah mereka yang menyandang status guru baik formal maupun non formal. Selain itu ada yang sudah berkeluarga, menekuni berbagai jenis usaha, atau belajar di dua kampus yang berbeda. Katanya, aktifitas ini mereka lakukan dalam rangka memanfaatkan kesempatan belajar di kampus yang jadwalnya sangat rapi. Tidak berubah-ubah ataupun menyesuaikan dosen seperti kampus umum lainnya. 

3. Jago Nyebrang 
Mungkin itulah keahlian natural yang dimiliki orang-orang di dalamnya. Jika kau adalah mereka yang tinggal di kompleks tetangga mall besar itu (Pejaten Village), maka keahlian ini merupakan hal yang harus kau jalani dalam beberapa tahun. Tidak hanya satu jalan raya, namun dengan dua jalan raya ditambah jalur Transjakarta yang sangat aktif setiap paginya. 

4. Hebat Ngarang
Jika 3 dari 7 tahun itu dihabiskan untuk mendalami ilmu bahasa, maka tak salah lagi jika mereka adalah orang-orang yang hebat merangkai kata. Konon katanya, bahasa Arab yang memiliki banyak kaedah ini sangat berpengaruh terhadap kecerdasan orang yang mempelajarinya. Maka jika tak hebat dalam ilmu mengarang, akan terdapat banyak kesulitan dalam menjawab ujian. 

Ini baru empat dari banyak keunikan lain yang dimiliki mahasiswa kampus biru. Jika harus dituliskan lengkap, akan banyak cerita yang tak habis-habis untuk menggambarkan bagaimana di dalamnya. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, LIPIA yang kini hampir genap 36 tahun semoga selalu terjaga eksistensinya meski harus menghadapi berbagai dinamika ahlussunah wal jama'ah yang ada di Indonesia. 

Terakhir, tulisan ini sengaja tak memakai bahasa yang berat, berlandaskan dalil, ataupun paparan lainnya yang menggunakan perkataan ulama. Karna jika kau ingin mendalami ilmu tersebut, cukup daftarkan dirimu di kampus ini, lalui ujian, dan nikmati segalanya.

Oleh: Afifa
(Staff Dep. Kaderisasi KAMMI Lipia)