Download Buletin As Shohwah Edisi Oktober 2016

Daftar Isi Buletin As Shohwah
Edisi Oktober 2016

- Kata Pengantar
- Narasi KAMMI, Sebuah Jalan Panjang
 (Kolom Utama)
- Apa sih KAMMI?
 (Tahukah Kamu?)
- Pemudi, Dakwah, Cinta, dan Kepahlawanan
(Kisah)
- Gallery
- TTS Berhadiah
- Dauroh Marhalah 1
  Kamil Shop
  (Iklan)

Silahkan download di link ini :

Doktrin Keilmuan Islam yang Komprehensif


Zaman ini kita menjumpai banyak sekali pemikir muslim maupun non muslim, dengan bangga mengedepankan kekuatan logikanya. Banyak orang berteriak-teriak tentang sebuah pemahaman baru terhadap doktrin agama (Islam) yang sejatinya sudah baku dan telah disepakati oleh para ulama salaf maupun khalaf kebakuannya. Misalnya, tentang kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur'an. Mereka beranggapan, tidak ada yang layak dan berhak untuk menafsirkan nash dan kemudian memonopoli kebenaran hanya ada pada pemahamannya atau kelompoknya. Mereka membebasakan semua orang, bodoh maupun pintar, muslim maupun non muslim, untuk menafsirkan nash agama dengan kapasitasnya masing-masing dengan catatan ia tidak mengklaim bahwa penafsirannya yang paling benar. Yang lebih parahnya, ada beberapa orang pentolan liberal mengatakan bahwa yang suci adalah apa yang Allah turunkan kepada para malaikat, dan apa yang malaikat bawa kepada Rasulallah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selebihnya, apa yang disampaikan Rasulallah kepada sahabat, sudah tidak suci lagi, sebab sudah ada campur tangan manusia yang sifatnya bukan ma’sum. (Ulil Absar Abdalah)

Kita juga mendengar propaganda feminisme. Di mana mereka menyerukan supaya lelaki dan wanita dijunjung sama rata. Mereka hendak mengintepretasi ulang hukum waris yang menyatakan lelaki mendapatkan dua bagian dari pada wanita (Al-Ma’idah: 176). Mereka mengatakan, tidak adil jika wanita zaman sekarang tetap diberi setangah dari bagian lelaki, sebab wanita pada zaman modern seperti saat ini sama halnya dengan lelaki dalam hal pekerjaan dan karir. (Muhammad Ali Ash-Shobuni, 2010: 19)

Propaganda-propaganda tersebut, merupakan produk dari sebuah sikap yang abu-abu dalam pemikiran (skeptis). Mereka tidak berdiri di atas satu pondasi yang kuat. Sehingga satu waktu mereka berkata matahari yang menyinari bulan dan pada waktu yang lain mereka berkata bulan yang menyinari matahari. Inilah sebuah bentuk relativisme dalam pemahaman yang ujung-ujunganya mengarah pada doktrin pemikiran yang liberal. (Akmal Sjafril, 2011:146)

Manusia bila dicermati secara seksama, terdiri dari dua unsur penting yang satu sama lainnya saling melengkapi. Kedua unsur tersebut adalah jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah bangkai yang tak berfungsi. Sedang ruh tanpa jasad bukanlah apa-apa, sebab manusia terbebani hukum hanya jika jasad dan ruh masih berkelindan dalam satu kesatuan yang padu. Secara singkat, kita simpulkan manusia merupakan paduan unsur material dan immaterial.

Dengan kesimpulan demikian, maka manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas dari hal yang bersifat material dan immaterial. Meskipun orang barat banyak yang tidak yakin akan adanya sisi immaterial manusia yang berupah ruh, tetap saja dalam keadaan klimaks yang mengancam, jiwa mereka otomatis akan terperanjat memanggail Dzat yang immaterial dan sekaligus menyadari bahwa ada sisi lain kemanusiaan yang selama ini mereka tidak yakin.

Sebagai insaniyah jasadiyah yang sekaligus insaniyah ruhiyah, maka dalam proses berpikir dan mencari kebenaran, manusia juga membutuhkan referensi kebenaran yang bersifat manterial dan immaterial. Referensi material adalah logika manusia itu sendiri, yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman empiris yang bisa diterima akal dan dapat dibuktikan melelui pengamatan panca indra yang lima. Sedangkan, referensi immaterial adalah doktri agama yang bersumber dari wahyu, baik berupa firman Allah yang tertuang dalam Al-Qur'an maupun ucapan, tindakan dan persetujuan rasul utusan-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebagai manusia yang sadar akan hakikatnya yang jasadiyah dan rohaniyah, maka manusia tidak bisa lantas hanya mengambil akal dan penalaran panca indera saja dalam mencari kebenaran tanpa melibatkan sisi rohaniyah yang bersifat transenden. Logika dan wahyu harus saling melengkapi. Sebab, meskipun logika sudah dikerahkan sekuat tenaga untuk memahami sesuatu, tetap saja akal merupakan barang yang meskipun digunakan sampai ‘mendidih’ tetaplah ia terbatas, dan meskipun ia mampu berpikir jauh dan luas, tetaplah ia sempit. (Abdul Karim Zaidan, 2004: 57)

Begitulah logika dan alatnya, akal. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, akal diartikan sebagai: (1) daya pikir (untuk mengerti dan sebagainya); (2) daya, upaya, cara melakukan sesuatu; (3) tipu daya, muslihat; dan (4) kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI). Dalam bahasa Arab sendiri, akal berasal dari kata ‘aql, bentuk mashdar dari kata a-qa-la, ya’-qi-lu- ‘aqlan, dalam kamus al-Wasit dimaknai sebagai: (1) mengetahui sesuatu pada hakikatnya; (2) apa yang menjadi alat berpikir dan beristidlal serta perangkat pengambaran dan pembenaran; (3) apa yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebathilan. (Mu’jam al-Wasit, softwere al-Ma’ani: li kulli rasmin ma’nâ)

Akal dan logika juga sering diidentikkan dengan kata ‘mantiq’ yang artinya perkataan atau sabda. (Mundiri, 1994: 1-2). Mundiri dalam bukunya logika, mengambil beberapa pengertian logika atau mantiq dari beberapa sumber: (1) logika atau mantiq diartikan sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar (Goerge F. Kneller, 1966: 13); (2) hukum yang memelihara hati manusia dari kesalahan berpikir (Louis Ma’luf, 1973: 816); (3) ilmu untuk mengerakkan pikiran kepada jalan yang lurus untuk memperoleh suatu kebenaran (Thaib Thahir, 1966: 16)

Penggunaan akal yang kebablasan oleh barat dan sebagian kecil pemikir muslim, nyatanya telah merusak sistem berpikir dan kehidupan mereka sendiri. Dengan akalnya yang didewakan, mereka mengkonsep sebuah idiologi yang mereka yakini dapat mengentaskan manusia dari berbagai macam permasalahan hidup. Maka dari itu, muncul sistem komunisme, sosialime, kapitalisme, sekulerisme, dan isme-isme logika lainnya, yang makin bertambah hari makin terlihat kecacatan produk-produk logika tersebut, ini sekaligus membuktikan bahwa produk logika mereka kontras dengan pengertian logika yang telah disebutkankan. 

Kita mengambil satu contoh produk akal; modernisme (ala barat). Ketika Barat mulai menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, mereka berlombah untuk belajar dari para sarjana muslim abad pertengahan di berbagai universitas yang ada di Spanyol. Mereka belajar filsafat Yunani, kebudayaan Babilonia, dan sejarah-sejarah pemikiran dan peradaban sebelum masihiyah dari orang-orang Islam. Dari hasil pembelajaran yang mereka dapatkan dari sarjana muslim tersebut, mereka tergerak untuk melakukan sebuah revolusi pemikiran dan sistem kehidupan barat. Sejarah mencatat, bahwa kelamnya peradaban barat sebelum munculnya zaman renaisense pada paru terakhir adab 18 tidak lain dan tidak bukan adalah kerena otoritarisme sistem dari Gereja. Semua hal harus didasarkan pada fatwa Gereja. Siapa yang menentang doktrin Gereja, atau melakukan sesuatu tanpa izin Gereja, maka mereka harus siap menerima hukuman. 

Kebekuan sistem Gereja tersebut, membuat para sarjana barat terobsesi untuk segera melakukan pemberontakan intelektual. Maka digalakkanlah semboyan-semboyan kebebasan berpendapat semisal ungkapa “berikan pada kaisar apa yang menjadi haknya, dan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya.” Setelah propagandan yang demikian, mulai mereka merancang sebuah sistem yang modern. Era sistem ini ditandai dengan munculnya Rene Descartes yang mempelopori modernisme dengan pengedepanan akal dan logika sebagai instrumen utamanya. Descartes kemudian memunculkan sebuah doktrin “Cogito ergosum” artinya aku perpikir karena aku ada. Dia juga mengajarkan bahwa kebenaran akan diperoleh melalui pertanyaan yang bersifat keragu-raguan. Jika manusia ingin mendapatkan kepastian akan suatu kebenaran, maka ia harus memulainya dengan kesangsian. Jika kesangsian tersebut hilang dengan hukum-hukum berpikir yang benar, maka itulah kebenaran. Jika sebaliknya, maka itu bukan sebuah kebenaran. Dengan diktumnya tersebut, Descartes juga ingin menyampaikan bahwa rasio diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisi dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. (Medhy Aginta Hidayat: 3).

Namun apa yang terjadi dengan pemahaman modernisme khas barat tersebut? Rosenau menyebut ada lima kegagalan modernisme yang dibawa oleh Descarters. Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan ke arah masa depan. Kedua, ilmu modern tidak mampu melepaskan dirinya dari kesewenang-wenangan. Ketiga, banyak kontradiksi antara teori dan fakta. Keempat, keyakinan yang keliru akan kemampuan modernisme dalam memecahkan berbagai masalah. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan tataran mistis dan metafisis. Melihat kegagalan yang demikian, Rosenau kemudian membawa konsep baru berupa Post-modernsime.

Lihatlah bagaimana barat kesulitan mencari sistem hidup sekaligus pandangan hidup. Pemikiran mereka telah dimulai dengan sebuah keraguan dan diselesaikan dengan keragu-raguan pula. Hasilnya, manusia yang lugu menjadi korban sistem buatan mereka. Betapa banyak nyawa di Afrika melayang karena monopoli kapitalime Barat dan Eropa. Berapa banyak nyawa di Pakistan, Irak, Afghanistan, Palestina, Suria dan negara lainnya karena kerusakan sistem pemikiran barat yang mengedepankan hawa nafsu semata. Inikah yang dinamakan dengan modernisme yang akan membawa manusia pada kehidupan yang laik dan sejahtera? Sayang itu hanya mimpi di atas dipan.

Sekarang mari kita lihat bagaimana Islam membangun pemahaman dan pandangannya terhadap kehidupan. Yang pertama yang perlu kita ketahui adalah dari mana kaum muslimin mendapatkan kebenaran sehingga sistem yang mereka gunakan juga sebuah kebenaran? Kaum muslimin mendapatkan kebenaran melalu (1) Khabar Sidiq, (2) panca indera, (3) pikiran sehat, dan (4) intuisi. (Adian Husaini, 2013: xviii).

Empat hal tersebutlah yang melandasi pemikiran seorang muslim. Jauh berbeda dengan barat yang hanya memiliki dua sumber ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari konsep a posteriori dan konsep a priori. Konsep a posteriori adalah ilmu yang diperoleh melalui pengalaman inderawi. Sedangkan konsep a priori adalah ilmu yang bersumber dari akal. (Nashruddin Syarif, 2013: 60, dan Mundiri, 2011: 7).

Begitulah barat, hanya mengedapankan material tanpa memasukkan unsur ketuhanan dalam berpikir. Sehingga konsep kehidupan yang mereka telurkan jauh dengan sifat kemanusiaan yang insaniyah jasadiyah dan insaniyah rohaniyah. 

Oleh : Mas Ham

Kunjungan KAMMI Komsat LIPIA ke TVRI


Rabu 26 Oktober 2016, KAMMI Komisariat LIPIA melakukan kunjungan ke stasiun televisi TVRI (Televisi Republik Indonesia) di Jl. Gerbang Pemuda Senayan, Jakarta Pusat. Acara ini dihadiri oleh sebagian besar anggota Menkominfo, Ketua umum, sekretaris dan beberapa perwakilan dari departemen yang lain.

Kegiatan yang digagas oleh departemen Menkominfo ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM di komisariat dalam hal peliputan media dan menambah wawasan kader. Hal ini terlihat dalam pernyataan perwakilan rombongan dalam sambutannya.

"Tujuan sebenarnya kami melakukan kunjungan ini ialah untuk menjalin silaturahmi dan juga mencari ilmu, menambah wawasan khususnya dalam bidang peliputan," ungkap Nafis.

Ganep, selaku perwakilan dari TVRI mengatakan bahwa mereka sangat terbuka dengan kegiatan-kegiatan seperti ini dan juga memberi kesempatan kepada masyarakat yang ingin mempelajari tentang hal yang berkaitan dengan media untuk datang dan ikut dalam kegiatan yang diadakan oleh TVRI.

"Kami sangat senang dengan kegiatan positif seperti ini dan menerima dengan sangat terbuka, bahkan TVRI juga menyediakan kursus-kursus tentang pelatihan fotografi, jurnalistik dan masih banyak lagi. Dan kegiatan ini terbuka untuk umum," ucapnya.

Setelah kedua belah pihak menyampaikan sambutannya, acara dilanjutkan dengan diskusi-diskusi santai seputar perkembangan TVRI, jurnalistik dan peliputan.

"Sebagai televisi pertama di Indonesia, tapi kenapa TVRI seperti terlihat tidak berkembang dan jarang diminati masyarakat mengingat acaranya yang tidak sevariatif televisi swasta lainnya?" Tanya salah seorang peserta diskusi.

"TVRI ialah televisi nasional, artinya milik negara dan apa yang ditayangkan harus melalui proses panjang, juga dibatasi oleh undang-undang, dalam artian seluruh tayangannya harus independen dan mendidik. Jadi kami nggak bisa tuh nayangin musik sepanjang hari kaya di TV yang lain. Intinya, TVRI ini media negara, jadi seluruh tayangan dan kegiatan kami harus dapat menjaga keutuhan NKRI dan mendidik masyarakat," jelas Ganep.

Di akhir diskusi, terdapat penyerahan Cinderamata dari KAMMI Komisariat LIPIA yang diwakili oleh Amrin Nafis selaku selaku Ketua Umum dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama.

Tidak hanya sampai di situ, setelahnya kami diajak untuk berkeliling di gedung produksi dan studio, melihat secara langsung proses shooting gambar, proses editing bahkan sempat foto bersama dengan pembaca berita TVRI.

(Rep: Abdur/ red: Edy)



Silaturahmi Tokoh : Rela Berkorban Itu Modal dan Nafas Perjuangan


Komisariat LIPIA melangsungkan Agenda Silaturahmi Tokoh ke kediaman Ust.Abdul Muiz Assaadih MA, di Pela Mampang, Jumat (21/10). Pertemuan itu membahas tentang makna “Rela Berkorban” yang sudah menjadi beban dikalangan manusia terkhusus pemuda.

Diawali dengan salam dan jamuan tuan rumah, kami yang berjumlah 26 orang terdiri dari BPH (Badan Pengurus Harian), anggota Kaderisasi dan beberapa perwakilan dari departemen Kebijakan Publik, Sosial Masyarakat, Mekominfo dan Ekonomi merasa terciptanya suasana kekeluargaan yang begitu kental.

“Dakwah itu tidak bersikap ganda, dakwah sepakat dengan satu sikap yaitu sikap “totalitas” yang diakhiri dengan semangat berkorban" kata Aldi selaku moderator membuka bahasan.

Dalam kesempatan itu, beliau yang merupakan salah satu dosen STIDDI Al Hikmah menyampaikan pentingnya sikap “rela berkorban” dalam dakwah. Menurutnya, dengan adanya semangat berkorban akan menjadi modal dan nafas perjuangan islam dalam menggapai kejayaan.

Melihat fenomena yang terjadi dikalangan pemuda, beliau menyampaikan perlunya belajar dari kisah dalam Al quran dan kehidupan para sahabat Rasulullah solloohu alaihi wasallam. Diantaranya adalah kisah burung hud hud yang militan dan detail dalam menyampaikan informasi dan alasan. Serta kehidupan Abu Dzar Al Ghifari dalam berjuang untuk bergabung dengan pasukan di perang tabuk.

Kemudian beliau memberikan permisalan bahwasanya dalam kaidah ilmu sharf tidak mungkin ada dua sukun dalam satu bacaan. Jika ada, maka akan membingungkan dan segera harus diberi harokah sehingga timbul lafadz dan nada yang seirama. Permisalan harokahnya itu adalah pengorabanan. Ruang sinergi antara ulama dan pemuda harus terus dijaga, karena ini adab pengorbanan dalam mengatur nafas perjuangan.

Acara diakhiri dengan sesi pemberian plakat yang diwakili oleh Nu’man salah satu anggota departemen kaderisasi dan diakhiri dengan sesi foto bersama. (Rep Aldi)


Islam dan Kekuasaan


“Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara kembar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain tidak akan berdiri sempurna. Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan jika tidak dijaga, ia akan hilang” 

Seperti itulah kiranya gambaran tentang agama dan kekuasaan yang disampaikan Imam Alghazali lewat kata – kata mutiaranya. Yah, memang tidak bisa dipungkiri kalau agama dan kekuasaan layaknya dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini dibuktikan oleh sejarah peradaban islam dari mulai masa Rasulullah saw, khulafaurrosyidin, disusul oleh khalifah – khalifah islam setelahnya yang berhasil melakukan ekspansi dakwah ke negri – negri yang jauh nan kuat pada waktu itu. Kita ambil contoh kecil, ketika ada dua kekuatan super power (kekaisaran Romawi dan Persia) yang menguasai dunia pada masa awal penyebaran dakwah islam, pada waktu itu pula munculnya perhatian umat islam akan pentingnya suatu kekuatan yang terstruktur, terkendali, dan terpusat pada satu komando. Hal ini ditandai dengan dimulainya pembenahan birokrasi, dibentuknya kekuatan militer, dan dirancangnya strategi penyebaran dakwah islam ke seluruh penjuru dunia khususnya negeri negeri arab yang masih dibentengi oleh tembok kekuasaan Romawi dan Persia pada waktu itu. Pertanyaannya, apakah umat islam berhasil menjebol kedua imperium tersebut ? Lalu, apakah risalah dakwahpun berhasil disebarkan kesuluruh penjuru dunia ? Yah, jawaban kalian semua benar ! Fakta dan sejarah pun telah menjawabnya, bahkan kita semua telah merasakan keberhasilan dakwah para pejuang islam pada masa itu. Apa buktinya? Ya buktinya adalah keimanan dan keislaman kita. 

Sebelum saya melanjutkan pembahasan kali ini, terlebih dahulu Izinkan saya menghela nafas dalam dalam.

Kawan... apakah mungkin sebuah tangan yang kosong bisa merobohkan kokohnya gedung pencakar langit ? Dan mungkinkah perahu dayung mengarungi samudera yang dipenuhi badai dan deburan ombak yang begitu dahsyat ? Yah, hanya dalam mimpilah hal tersebut mungkin terjadi, dan sayangnya kita tidak sedang tertidur sehingga bebas untuk bermimpi apapun ! 

Benang merahnya ialah tidak mungkin kaum muslimin bisa menembus benteng pertahanan lawan tanpa adanya kekuatan besar yang mereka miliki sebelumnya. Dua imperium besar bisa ditembus dan dirobohkan, sampai pada akhirnya islampun berhasil disebarluaskan keseluruh penjuru dunia. Lalu, apa yang melatarbelakangi keberhasilan dakwah pada masa itu ? Apakah hanya sebatas kelihaian lisan para da’i dalam menyusun kalimat dan mengolah kata sehingga terlihat menarik? Atau hanya sebatas kebetulan dan pemberian dari Allah saja, tanpa adanya perjuangan yang berarti dari para pembela agama ini ? Tentu sebagai manusia yang masih diberikan kenikmatan akal sehat saya jawab dengan tegas, TIDAK!!! Jelasnya saya jawab, pasti ada kekuatan besar yang telah dirancang sedemikian baik sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang sangat luar biasa, yah.. kekuatan itu berupa “KEKUASAAN”. Dengannya, sebuah bangunan yang kokoh bisa dirobohkan bahkan samudera yang luaspun bisa diarungi dengan mudahnya. Ada beberapa hal yang sulit teratasi kecuali dengan kekuasaan, yah hanya dengan kekuasaan. 

Kekuasaan bisa menjadi sumber kemakmuran yang luar biasa sekaligus biang keladinya segala macam bentuk kejahatan yang pernah terjadi dimuka bumi ini, sebagai contoh baiknya ketika Rasulullah dan para pemimpin islam pernah menguasai sebagian besar kekuatan dunia seperti apa yang telah saya gambarkan tadi. Tidak sedikit orang yang ikut merasakan kebahagiaan, sukacita, dan ketenangan pada waktu itu. Bukan hanya umat islam saja, melainkan seluruh penduduk bumi ikut merasakannya. Karena islam adalah rahmatan lil alamin. Namun tidak serta merta semua jenis kekuasaan bisa membawa kemakmuran, sebagai contoh sejarah mengungkapkan ketika soviet kekuasaannya dipegang oleh STALIN si manusia baja, berapa juta manusia yang dibunuh pada waktu itu? Stalin diperkirakan telah memerintahkan pembunuhan sekitar 30 juta jiwa penduduk rusia dan sekitarnya. Iapun dikenal sebagai orang yang membenci agama. Pun kita lihat ketika jerman dikuasai oleh HITLER dengan NAZInya ? berapa banyak manusia lenyap dibawah kekuasaannya? Wallahu a’lam.

Dengan beberapa pemaparan diatas bisa kita tarik kesimpulan, bahwasannya kekuasaan itu terlalu penting untuk kita tinggalkan dan abaikan. Darinya kebaikan dan kejahatan dapat bermunculan. Lalu bagaimana dengan negeri kita tercinta? ”INDONESIA” sebagai anak bangsa, kiranya jenis kekuasaan apakah yang kita harapkan untuk memimpin negeri ini? Jawabannya ada dibenak diri kita masing – masing. 

Terkait hal ini, Saya hanya bisa menyampaikan pesan Rasulullah saw lewat hadisnya yang berbunyi : “akan datang dikemudian hari, setelah aku tiada; beberapa pemimpin yang berdusta dan berbuat aniaya. Maka barang siapa yang membenarkan kedustaan dan membantu tindakan mereka yang aniaya itu, maka ia bukan ermasuk umatku, dan bukan pula aku daripadanya” (HR. Tirmidzi, Nasai, dan Hakim). 

Wallahu a’lam bisshawab

Oleh : Ardiansyah (Staff Ekonomi KAMMI LIPIA)

Belajar dari Pinocchio, Si Drama Korea


Drama korea, dunia sekarang siapa yang tidak mengenal dengan hasil kreatifitas anak-anak dari negeri ginseng ini. Sentuhan dari tangan-tangan handalnya bisa menembus pasar dunia, bahkan tanah air kita.

Dari anak-anak sampai orang dewasa bisa dipastikan pernah melihat drama korea. Dari orang di kampung sampai yang duduk di pemerintahan juga tidak mau kalah. Saya menduga dari sekian banyak penikmat drama korea pasti kenal dengan Lee Min Ho, bahkan sampai ada yang mengatakan "dia kakakku" saking ngefansnya.

Pernahkah kita sejenak merenungi nilai yang dibawa oleh drama-drama itu? atau bahkan hanya baper saja yang terjadi setelah nonton?. 

Ada satu drama, saya kira penikmat drama korea mengenalnya sangat akrab. Pinocchio drama yang mengisahkan seorang anak perempuan yang tidak bisa berbohong. Bagi orang yang suka mencari nilai dari drama-drama tersebut, akan berfikir sepertinya judul dengan jalan ceritanya tidak seirama.

Tapi bagi saya, judul dan jalan ceritanya ada korelasi, apa itu? mari kita lihat. 

Drama ini mengisahkan sebagian besar bagaimana peran media dalam menggiring opini masyarakat, yang baik menjadi jelek dan jelek menjadi baik. Drama yang menggambarkan secara nyata kondisi dunia kita saat ini. 

Drama yang memberi pesan kepada kita siapa dibalik media itu, untuk apa media itu, skandal apa yang ditutupi, siapa yang ingin dihancurkan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Memberi gambaran bahwa masyarakat pada umumnya terlalu percaya dengan apa yang digambarkan oleh media, mengesampingkan kondisi nyata si korban.

Munculnya sosok pinocchio dan seorang anak korban pelintiran media memaksa media untuk berlaku adil dan jujur tidak menguntungkan si raja uang. Ini setidaknya korelasi yang saya dapatkan dari drama itu.

Itu kisah dalam drama yang fiktif, bagaimana dengan kehidupan kita yang nyata saat ini? lebih mengerikan dan menakutkan. Benar-benar peran media untuk mengubah opini masyarakat luar biasa kuatnya. 

Masalah yang besar, merugikan negara dan masyarakat banyak disamarkan, sedangkan yang kecil-kecil dan tidak ada kaitannya dibungkus rapi seakan-akan masalah besar.

Kita butuh sosok yang bisa memaksa media berlaku adil dan jujur, sebagaimana yang telah Umar bin Khattab lakukan setelah ikrar masuk Islam dengan mendatangi seorang penyampai kabar, yang memaksanya untuk mengubah kata "shaba'" yang konotasinya negatif menjadi "aslama" yang artinya "masuk Islam atau telah selamat".

Andakah sosok itu ? atau lembaga andakah sosok itu? kami masih terus menanti.

Dan sekali lagi, kita dituntut menjadi membaca berita yang cerdas.

Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki

Taat Allah, Taat Rasul, atau ‘Taat Pribadi’?


Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena Dimas Kanjeng yang bernama asli Taat Pribadi. Pasalnya, ia disebut – sebut sebagai orang sakti yang dapat menggandakan uang. Bahkan ia memiliki padepokan. Dengan sistem yang terstruktur rapi dan ‘kesaktian’ yang mumpuni, ia mulai menjaring pengikut yang akhirnya berdatangan dan tersebar di seluruh Indonesia.

Namun sepandai – pandai menyimpan bangkai pasti akan tercium juga, dan sepandai – pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Setelah terbukti sebagai otak dari kasus pembunuhan dua orang pengikut setianya, ia pun ditangkap di padepokan yang telah ia rintis sejak lama itu. Lalu kemudian dari pembunuhan, kasusnya terus berkembang kepada kasus penipuan. Karna ternyata semua ‘kesaktian’ dan kemampuannya itu hanyalah tipuan semata.

Mirisnya, ia didukung oleh seorang doktor lulusan salah satu universitas di Amerika, yang juga seorang tokoh ICMI bernama Marwah Daud. Ia membela Sang Kanjeng habis –habisan, dan menyebutnya sebagai seorang wali yang mempunyai karomah. Ia bahkan rela mundur dari jajaran kepengurusan MUI karenanya. Banyak yang menyayangkan kenapa tokoh cerdas seperti Marwah bisa menjadi pengikut setia Dimas Kanjeng.

Lain lagi dengan kasus Gatot Brajamusti yang juga mendirikan padepokan dan dianggap sebagai ‘guru spiritual’ di kalangan para artis. Anehnya ada aktifitas penggunaan narkoba berjenis sabu di padepokannya. Namun ia berkilah dan mengatakan bahwa itu bukan sabu, melainkan ‘Asmat’ yaitu makanan jin. 

Taat Pribadi dan Gatot Brajamusti hanyalah segelintir dari banyak oknum – oknum yang ‘menjual’ agama untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Tapi yang mengherankan, mereka mempunyai pengikut yang tidak sedikit dan kebanyakan berasal dari kalangan berpendidikan.

Beribu tanya mungkin terlintas di benak kita, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Apakah segudang ilmu yang mereka dapatkan, dan sederet gelar yang tersemat pada nama mereka, atau berbagai jabatan yang mereka duduki tak mampu menunjuki dan menuntun mereka kepada kebenaran? Mengapa mereka yang dikenal dengan kecerdasannya, begitu mudahnya tertipu?

Kita tau bahwa manusia dikaruniai nafsu untuk berkehendak atau berkeinginan. Tanpa nafsu barangkali takkan ada kemajuan dalam hidup manusia. Namun nafsu seringkali lebih cenderung kepada keburukan. Karena itulah Allah berikan akal pada manusia sebagai penyeimbang agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Kemudian dengan akal itulah, Allah memuliakan anak cucu Adam A.S. ini atas semua makhluknya, sebagaimana yang tercantum dalam Surah At-Tin ayat 4. Dengan akal, manusia mentafakkuri alam sehingga ia mendapat petunjuk untuk beriman kepada Allah. Akal pulalah yang dipakai manusia sebagai alat untuk menggali ilmu-ilmu sains eksperimental dan rahasia – rahasia alam untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.

Banyak di antara manusia yang berilusi bahwa sesuatu yang muncul dari hawa nafsunya ia anggap berasal dari akal mereka, lantaran mereka puas dengannya. Demikian pula mereka berilusi bahwa was – was (bisikan – bisikan buruk) yang dibuat syaitan (dari kalangan jin maupun manusia) dalam dirinya dan mereka puas dengannya, dianggap dari akal mereka sendiri. Padahal pada hakikatnya mereka itu telah dihiasi oleh syaitan, sehingga memandang indah keburukan mereka, lalu menuruti hawa nafsu tanpa bukti (hujjah syar’iyyah) dari Rabb mereka, sebagaimana firmanNya : 

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ (محمد : ١٤)
“Maka Apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan Dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?”. (Q.S. Muhammad : 14)

Manusia yang hanya mengandalkan akal dan nafsunya saja justru bagaikan kapal tanpa layar yang terombang – ambing di lautan. Seringkali kita lupa bahwa ada satu unsur lagi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia bagai mercusuar bagi pergerakan akal dan nafsu. Ia bahkan merupakan tujuan diciptakannya jin dan manusia : Aqidah. 

Kisah Nabi Yusuf Alaihissalam mengajarkan pada kita pentingnya penanaman aqidah sejak dini. Hidup dalam asuhan dan bimbingan ayahnya yang shalih, Nabi Ya’qub Alaihissalam, ia tumbuh dengan pemahaman aqidah yang baik yang tertanam kokoh dalam dirinya, tercermin dalam akhlaq dan budi pekertinya yang mulia. Lihatlah bagaimana ia yang ketika itu sedang berada dalam gejolak masa mudanya, digoda untuk berzina oleh seorang wanita cantik dan terhormat. Tanpa mengingkari bahwa ia pun berhasrat pada wanita itu, namun kemudian ia seolah melihat ‘tanda’ dari Tuhannya berupa nasihat yang yang ada dalam hatinya, pengetahuannya tentang ilmu halal dan haram, serta tegaknya dalil yang menunjukkan jeleknya perbuatan zina dan bahwa perbuatan itu diharamkan. Nasihat itu berjalan lurus dalam hatinya dan berdiri tegak dalam qalbunya, yakni rasa takut dan taqwa kepada Allah. Maka ketika ia melihat ‘tanda’ itu, ia serta-merta menahan hasratnya, memohon ampun dan berhenti. Begitulah kekuatan aqidah pada diri setiap orang yang berpegang teguh padanya.

Maka teruntuk Para Ayah dan Bunda.. teruntuk ummat wasathiyyah, yang panjinya adalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.. Sesungguhnya kita adalah Agen-agen penjaga ayat-ayat Allah di muka bumi, khaliifah fil ardh. Setiap anak adalah amanah yang dititipkan. Tugas kitalah untuk menyemai bibit aqidah padanya sejak dini, merawat dan menyiramnya setiap hari.. Hingga saat ia tumbuh dan beranjak dewasa, iman telah tertancap kuat dalam dirinya, membuatnya selalu Taat Allah Taat Rasul, bukan Taat ‘Taat Pribadi’ atau Taat – Taat yang lain.

Setiap saat dalam hidup, kita akan terus dihadapkan pada pilihan – pilihan. Dan jika iman atau aqidah telah tertancap kokoh pada diri, mengakar kuat dalam hati, maka Allah akan memberi petunjuk dan kekuatan pada kita.. untuk menentukan pilihan yang tepat.. untuk melawan semua godaan, semua suara-suara dalam diri kita, dan semua keinginan yang membawa kita pada kerusakan.

Berbahagialah yang jadikan iman di atas rasa dan logika. Karena siapa yang bertuhan pasti akan bertahan!

Oleh : Mawaddah AR

Harus Seirama


Membaca memang tradisi dan budaya agama kita, sebagaimana dalam tulisan kami sebelumnya. Mungkin di benak kita terdapat tumpukan soal apa yang harus dibaca, novel? komik? majalah? atau buku yang lain?

Masih dalam surat yang sama "al 'alaq", jawaban dari pertanyaan diatas ternyata selalu kita lantunkan baik saat membaca al qur'an maupun shalat. Alangkah nikmatnya orang yang selalu mentadabburi ayat-ayat ini, tidak perlu jauh-jauh mencari jawabannya, ternyata ada di surat al 'alaq.

Ada dua kata iqra' dalam surat tersebut, yaitu di ayat pertama dan ayat ketiga, yang semuanya bermakna "bacalah". Akan tetapi kedua ayat tersebut menyembunyikan obyeknya, maksudnya kata kerja iqra' membutuhkan obyek untuk dibaca seperti "saya membaca buku" dan di dalam ayat itu obyeknya tidak ada. Lalu apa yang harus dibaca?

DR. 'Abdul Majid 'Ali al Ghaili mempunyai analisa menarik dalam dua ayat ini yang beliau tuangkan dalam bukunya "Kaifa Yubarmijul Qur'anu al Hayah".

Ayat pertama yang ditutup dengan "bismi rabbika al ladzii khalaq" yang artinya "dengan nama tuhanmu yang menciptakan" memberi isyarat apa yang harus dibaca, yaitu perintah untuk membaca alam semesta yang diciptakan oleh Allah. al Imam al Biqa'i dalam kitab tafsirnya Nadzmu al durar mempunyai ungkapan dahsyat tentang ayat ini: "membaca apa yang diciptakan Allah baik yang lampau, sekarang dan apa yang akan terjadi (prediksi)". 

Jelaslah sekarang ayat pertama yang dikuatkan dengan ayat kedua memerintahkan kita untuk membaca apa.

Kata iqra' selanjutnya sama persis dengan ayat pertama, obyek bacaannya tersirat di penghujung ayat dan ayat setelahnya, yaitu perintah untuk membaca ilmu, mencari ilmu atau ilmu pengetahuan. 

Dan kita tahu sumber ilmu adalah Allah, yang meletakkan berbagai disiplin ilmu dalam kalam-Nya yang agung al Qur'an. Dan tahu kah kita, kalau setelah surat al 'Alaq adalah surat al Qadr surat yang menjelaskan turunnya al Qur'an. 

Subhaanallah, keteraturan susunan surat dalam al Qur'an, apakah ini kebetulan? tentu tidak.

Lengkap sudah bagi umat yang ingin kembali bangkit ini, sebagaimana nubuwat nabi kita bahwa umat ini akan memimpin dunia lagi dengan cahaya Islam yang tak pernah sirna.

Allah sudah memberi isyarat kepada kita, kalau kita ingin kembali bangkit maka bacalah apa yang telah Allah ciptakan, termasuk peradaban umat-umat sebelum kita, yang sedang berlangsung dan memprediksi karakter umat yang akan memimpin dunia. 

Kunci yang lain untuk kembali bangkit sebagaimana isyarat Allah di surat tersebut adalah mencari ilmu, membaca sumbernya atau menambah ilmu pengetahuan.

Tepat, yang satu berkaitan dengan hati dan yang lainnya dengan akal, dua hal yang harus berjalan seirama tidak boleh pincang.

Sudahkah kita melakukannya? kalau belum, mari terus berusaha.


Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki

Kapitalisme Lecehkan Wanita

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II dan berdirinya PBB, keuangan dunia dipegang oleh 5 negara pemilik hak veto, terutama AS. Saat itulah sistem kapitalisme mulai menjajah negeri-negeri di dunia ini, termasuk Indonesia. Walaupun di awal pemerintahan Soekarno menolak tegas sistem kapitalisme dan ingin menghancurkannya, namun penyebaran sistem kapitalisme ini tak dapat terbendung pada zaman pemerintahan Soeharto. Soeharto yang sering berhubung erat dengan AS maupun PBB, menjadikan Indonesia semakin teracuni oleh sistem Kapitalisme.

Langkah kapitalisme terus berkembang setiap tahunnya, terlihat dari kenaikan BBM yang kita rasakan terus- menerus. Banyak masyarakat yang kurang menyadari bahawa 36 kali kenaikan BBM semenjak tahun 90-an hingga saat ini sangat menguntungkan kaum kapitaslis. Belum lagi akhir-akhir ini dihebohkan dengan keberlanjutan proyek Reklamasi yang jelas-jelas makin menguntungkan kaum kapitalis dan menindas kaum miskin. Industri-industri besar milik asing semakin makmur di atas tanah reklamasi Indonesia. Penduduk pribumi Indonesia malah terusir dari Teluk Jakarta hingga memaksa mereka tinggal kolong –kolong jembatan. 

Sistem kapitalisme di dunia termasuk di indonesia ini telah menyebabkan kemiskinanan global. Jutaaan rakyatnya terbelenggu kemiskinan, sedang di sana klongomerat makin kaya. Klaim sesat Kapitalisme “pertumbuhan ekonomi adalah sarana utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat” semakin dapat dipatahkan. Dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bukannya menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat, justru memperlebar kesenjangan sosial dan memperburuk tingkat kemiskinan. Sistem kapitalisme telah berkali-kali terbukti hanya memusatkan kekayaan pada tangan segelintir orang dan memiskinkan rakyat secra massa.

Akibatnya kaum lelaki mengalami pengangguran massal, sehingga memaksa banyak wanita mencari pekerjaan ke luar negeri untuk bertahan hidup. Satu dari 54 wanita Indonesia harus berkerja di luar negeri untuk membantu keuangan keluarga, meninggalkan anak-anak mereka, dan menyebabkan mereka harus mengkrompromikan peran penting mereka sebagai ummu wa robbatul bait. Wanita yang mengadu nasib di luar negeri inipun mengalami berbagai siksaan, kekerasan, pelecehan, hal ini tak ubahkan dengan perbudakan era modern.

Selain itu, kapitalisme menuntut para lelaki maupun wanita untuk bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, hingga para wanita terpaksa harus bekerja layaknya lelaki. Fitrah wanita yang berbeda dengan lelaki tak lagi dipedulikan. Pemerintah telah memperkerjakan wanita dalam beberapa projeknya. Sehingga banyak wanita zaman ini menjadi tukang tenun, pekerja pabrik, bahkan buruh. Memang mereka mendapatkan beberapa keping uang, namun ia telah mengobrak-abrik rumah tangga mereka. Memang laki-laki mendapatkan manfaat dari hasilkerja istrinya, namun pada waktu bersamaan penghasilan lelaki menjadi lebih sedikit karena wanita menyertai mereka dalam bekerja. 

Padahal dalam islam martabat wanita sangat dijaga, dilindungi, dan dimuliakan. Islam tidak mewajibkan wanita untuk memberikan nafkah kepada dirinya sendiri. Namun islam mewajibkannya kepada sang ayah, saudara, suami, atau salah seorang dari kerabatya yang laki-laki. Oleh karena itu, wanita muslimah yang memiliki kesadaran tidak mencari-cari pekerjaan di luar rumah, kecuali jika dia sangat membutuhkan nafkah. Ia tidak berkerja di luar rumah kecuali jika masyarakat membutuhkan dirinya untuk menjalankan tugas yang menjadi keahliannya, selama tidak bertentangan dengan fitrah kewanitaannya, tetap menjaga martabatnya, serta tidak merusak nilai agama dan akhlaqnya.

أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون (المائدة : 50)
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al Maidah : 50)

Masih nyamankah manusia di dunia ini mengikuti sistem kapitalisme ciptaan barat. Sedang Allah telah menyempurnakan segala aspek kehidupan dengan Islam. Kapitalisme terbukti telah menginjak-injak martabat wanita. Sedang Islam menjunjung tinggi dan memuliakan wanita. Seorang gadis Italia mahsiswi Universitas Oxford (setelah mengetahui bagaimana islam memberikan segala bentuk permuliaan kepada wanita muslimah dan bagaimana pahitnya kapitalisme barat) mengatakan “Sungguh, aku merasa iri terhadap wanita muslimah, andaikata aku dilahirkan di negeri kalain.”

Oleh karena itu, para muslimah KAMMI dengan ijtihad bersama berusaha memposisikan wanita dan memperdayakannya dengan benar. Badan Pemberdayaan Perempuan diharapkan dapat memberdayakan wanita sesuai karakternya agar dapat bermanfaat dalam masyarakat, dan juga dapat menghindarkan wanita dari arus kapitalisme. Tafsir tentang fiqih wanita akan selalu berkembang, namun gagasan tentang fitrah wanita sebagai ummu wa robbatul bait tidak akan pernah diubah.

Wallahu a’lam bisshowab

Oleh : Iffa Abida




Bencilah Kesalahannya Saja


Adakalanya, dalam kehidupan ini kita menyaksikan beberapa orang melakukan kesalahan tepat di depan kita. Tak jarang pula, mereka yang melakukan kesalahan adalah orang terdekat kita. Terkadang, saat mereka melakukan kesalahan akan timbul rasa benci dari dalam diri kita. Terutama, jika yang kesalahan yang mereka lakukan berhubungan dengan diri kita.

Setiap orang, pasti pernah melakukan kesalahan. Tak ada yang bisa terbebas dari tindakan salah. Melakukan kesalahan, adalah salah satu tabiat manusia. Karena, manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
Jadi, memanglah begitu keadaan kita sebagai manusia. Namun, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau mengakui kesalahannya kemudian bertaubat darinya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Kullu banii Adam khotthooun, wa khoiru khotthooinna attawwabuun. Setiap Bani Adam pasti bersalah. Dan sebaik-baik orang bersalah adalah mereka yang bertaubat.”

Akan tetapi, seringkali kita tak mau tahu dengan kesalahan yang orang lain lakukan. Sekali dia melakukan kesalahan pada diri kita, maka saat itulah kita akan mulai benci padanya dan tidak mempercayainya. Itulah yang sering terjadi.

Seharusnya, kita tidaklah membenci orang yang melakukan kesalahan. Namun, bencilah perbuatannya. Nasihatilah ia untuk tidak melakukan kesalahan itu tadi. Bukan malah kita menjauhinya dan merasa aneh jika berada di dekatnya.

Setidaknya, begitulah yang telah diajarkan oleh salah seorang Sahabat Rasulullah yang hidup di generasi terbaik umat ini.

Abu Qalabah bercerita, “Suatu hari, Abu Darda’ melewati seorang laki-laki yang telah melakukan satu kesalahan, lalu dimaki-maki oleh banyak orang. Abu Darda’ mencegahnya seraya berkata, ‘Jika kalian mendapatinya terperosok dalam satu lubang, apakah kalian akan mengeluarkannya? 

Mereka menjawab, 'Ya.’ 

Ia berkata, 'Kalau begitu, janganlah kalian mencelanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian dari dosa dan kesalahan.’ 

Mereka bertanya, 'Apakah engkau tidak membencinya?’ 

Ia menjawab, 'Yang kubenci adalah perbuatannya. Jika dia meninggalkan kesalahannya, maka dia saudaraku.’"

Itulah mengapa, islam begitu indah. Tak ada rasa benci pada sesama muslim meskipun mereka melakukan kesalahan. Selama dia mau mengakui kesalahannya seraya bertaubat dari perbuatan itu, maka dia masih saudara kita dalam Islam.

Maka, bencilah kesalahannya jangan membenci orangnya. 

Oleh: Putri Andina Afisyah

Ingin Kontribusi Nyata, KAMMI LIPIA Gelar Kajian Fikih Politik


KAMMILIPIA.COM, Jakarta- Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat LIPIA (KAMMI LIPIA) akan menyelenggarakan kajian Muharram 1438 H Jum’at (28/10) di Aula Masjid Al-Ikhlas jalan raya Ragunan no. 11 Jatipadang, Pasar Minggu-Jakarta Selatan.  Kajian ini mengangkat tema “Fikih Politik: Sebuah Catatan Kepemimpinan Muslim dan Non Muslim.

Ketua panitia kajian Muharram Hilal Ardiansyah mengatakan, kajian fikih politik ini akan menghadirkan Dr. Syamsuddin Arif sebagai pembicara. Cendekiawan muslim yang

Gapailah Mimpi


Gapailah cita-citamu setinggi langit, begitulah bunyi sebuah pribahasa. Berapa ketinggian langit? Tak ada yang mampu mencapainya. Namun, pastilah amat tinggi karena di atas langit masih ada langit. Meskipun langit begitu tinggi namun jangan pernah takut bermimpi hanya karena takut merasa sakit terjatuh dari sebuah ketinggian yang tak terbatas. Betapa dahsyat dan hebat pengaruh sebuah mimpi. Dia akan mengantarkan sang pemimpi untuk mengapainya dengan berbagai cara.Oleh karena itu sejak kita menempuh pendidikan di bangku TK kita sudah ditanya tentang impian kita dan diajak menulis serta menggambarkannya.

Mimpi memberikan pengaruh yang besar dalam sebuah kehidupan. Siapa yang tidak mengenal Khalid bin Walid ra? Sang panglima perang yang amat masyhur, sang pembawa bendera kemenangan umat islam dalam beberapa peperangan, pahlawan perang yarmuk, usut punya usut ternyata Khalid bin Walid ra, semasa kecil dan remajanya suka bermain perang-perangan di lembah Yarmuk.

Dan kau sang pemimpi, sudah cukup kau menjadi pemimpi ulung, bangun dari tidurmu dan gapai mimpimu! Lakukan semua hal yang dapat mengantarkanmu pada puncak mimpimu. Ambil semua peluang-peluang yang ada dan jangan abaikan satu peluangpun. Sebesar apa mimpimu maka akan kuat pula usahamu dalam berusaha merealisasikannya. Dan begitupun sebaliknya sebesar apa usahamu sekuat itu pula kau gapai mimpi itu. Sebagaimana firman Alloh dalam surah arra’du ayat 11;
{{ إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم }}

Lakukan saja bagianmu sebagai pemimpi dan biarkan Alloh menentukan kadar terealisasikannya mimpimu. Selalu berfikir positif bahwa kenyataan itu amatlah dekat dengan dirimu yang tak pernah berhenti untuk berusaha. Dari Abu Huroiroh ra, Rasululloh SAW bersabda, Alloh berfirman;
{{ أنا عند ظن عبدي بي}}متفق عليه 

Teruslah berlari sekencang-kencangnya menggapai semua mimpimu sampai ke ujung dunia, meskipun kau tau bahwa dunia tidaklah berujung.

Oleh : Ibnatul Asad

Kesatria Cinta dari Negeri Persia

“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada diantara mereka orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada. Pada hari kiamat, para nabi dan para syuhada menginginkan mereka menempati kedudukan mereka yang berasal dari Allah.” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Beritahukanlah kepada kami, siapakah mereka itu? Beliau menjawab,”Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, padahal diantara mereka tidak ada pertalian darah dan tidak ada harta yang saling diberikan. Sungguh demi Allah, wajah mereka laksana cahaya. Dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa ketakutan saat manusia pada keadaan takut dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih” (H.R. Abu Daud)

Pada zaman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, hidup salah seorang sahabat yang bisa dibilang namanya sudah masyhur dikalangan kaum muslimin, yaitu Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu. Dia adalah salah seorang pemuda yang berasal dari Persia, dan juga mantan seorang budak di Isfahan. Salah seorang sahabat yang spesial di mata rasulullah, bahkan rasulullah berkata “Salman adalah bagian dari keluargaku!“. Terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Makkah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq.

Hingga suatu ketika Salman Radhiallahu’anhu diam-diam menaruh perasaan cinta kepada seorang wanita muslimah nan sholehah dari kaum Anshar. Salman sudah lama berencana ingin menggenapkan setengah agamanya itu. Maka dia pun memantapkan niatnya untuk melamar wanita tersebut. Hanya saja ada satu hal yang mengganjal di hati Salman. Salman merasa “asing” dalam artian dia tidak tahu menahu tentang bagaimana adat masyarakat Madinah ketika hendak melamar seorang wanita? Bagaimana juga tradisi kaum anshar ketika mengkhitbah wanita? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terngiang-ngiang dipikiran Salman Radiallahu’anhu. Tentu saja hal yang ceroboh jika tiba-tiba datang ingin melamar seorang wanita tanpa persiapan yang matang.

Akhirnya Salman Radhiallahu’anhu mendatangi salah seorang sahabatnhya yang merupakan penduduk asli madinah, yaitu Abu Darda Radhiallahu’anhu. Salman bermaksud meminta bantuan kepada Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Abu Darda’ pun begitu senang dan gembira mendengar cerita sahabatnya tersebut.

“Subhanallah!!! Walhamdulillah!!!” ujar Abu Darda’ dengan begitu gembiranya.
Ia pun langsung memeluk Salman dengan begitu eratnya dan bersedia dengan senang hati membantu sahabatnya itu. Inilah kesempata besar bagi Abu Darda’ untuk membantu dan menolong saudara seimannya. Sungguh Abu Darda’ telah merasakan manisnya persaudaraan dalam dekapan iman.

“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim)

Setelah mempersiapkan segalanya dengan matang-matang, akhirnya Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu mendatangi rumah wanita idamanya tersebut, tentunya ditemani oleh sahabatnya Abu Darda’ Radhiallahu’anhu sebagai juru bicara. Mereka pun begitu gembira selama perjalanan, gugup dan berharap semoga kabar gembira akan menyambut mereka. Setibanya ditujuan, keduanya pun diterima dan disambut dengan baik oleh sang tuan rumah, yaitu orang tua dari wanita yang diidam-idamkan oleh Salman.

“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman Al Farisi dari Persia yang telah berhijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memuliakan Salman Al Farisi dengan Islam. Salman Al Farisi juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggapnya sebagai ahlul bait (keluarga) nya”, ujar Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dengan dialek yang begitu fasih dan lancar.

“Saya datang mewakili saudara saya, Salman Al Farisi, untuk melamar putri anda”, lanjut Abu Darda’ Radhiallahu’anhu kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka. 

Sang tuan rumah pun merasa sangat terhormat mendengar maksud dari kedatangan mereka, bagaimana tidak, dia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, bahkan salah satunya bermaksud untuk melamar putri kesayangannya.

“Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat”, ujar sang tuan rumah.

Namun sang tuan rumah tidak serta merta menerima lamaran dari Salman Radhiallahu’anhu, seperti yang diajarkan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa salla, dia harus berdiskusi dan meminta pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. sang ayah tetap meminta persetujuan dari sang putri.

“Namun Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami”, ujarnya kepada Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.

Sang ayah pun memberi isyarat kepada istri dan putrinya yang berada di belakang tirai, ternyata sang putri telah mendengar percakapan yang dilakukan oleh sang ayah dan kedua sahabat tersebut, akhirnya sang ayah pergi kebelakang tirai dan berdiskusi dengan istri dan putrinya. Berdebar jantung Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menunggu jawaban dari balik tirai, Abu Darda’Radhiallahu’anhu pun gelisah menatap wajah ayah si gadis, hingga akhirnya semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan, ternyata sang bunda yang mewakili putrinya untuk memberi jawaban pinangan Salman Radhiallahu’anhu, ibundanya pun berkata,

“Mohon maaf kami perlu berterus terang”, ujarnya membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum semakin tegang menanti jawaban.

“Anak kami menolak pinanganmu ananda Salman, Namun karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika ananda Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti ananda Salman”,ujar sang bunda melanjutkan jawaban putrinya.

Wanita yang selama ini dia idam – idamkan untuk menjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan sahabatnya untuk membantu pinangannya, namun justru wanita itu malah memilih sahabatnya sendiri untuk menjadi pendamping hidupnya. Padahal selama ini sahabatnya Abu Darda hanya sekedar beruhasa membantu dan menemani Salman untuk mengkhitbah wanita tersebut. Namun ternyata takdir Allah berkata lain. Cinta bertepuk sebelah tangan, bunga – bunga cinta yang selama ini dijaga Salman dan akan diberikan kepada sang wanita idaman pun layu. Tetapi itulah ketetapan Allah menjadi rahasia-Nya, yang tidak pernah diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah Ta’alaa; mati, rizki, dan jodoh. Semuanya penuh tanda tanya besar bagi manusia.

Pria biasa sudah pasti mengalami patah hati yang amat sangat dan kekecewaan yang mendalan, merasa ditikung oleh sahabatnya sendiri, ya itulah biasa yang terlontar dari pikiran pria kebanyakan. Abu Darda’ pun merasa sangat bersalah kepada sahabatnya, takut persahabatan dan persaudaraan mereka retak di karenakan hal ini. Namun bagaimanakah dengan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu?.

“Allahuakbar!!!”, seru Salman Radhiallahu’anhu dengan girangnya.

“Dengan senang hati, semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan untuk pernikahanku akan aku berikan kepada Sahabatku Abu Darda’. Dan aku juga akan menjadi saksi atas pernikahan kalian” ujar Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dengan kelapangan hati yang begitu hebat. 

Sungguh Abu Darda’ sangat terharu dan bahagia mendengar jawaban dari sahabatnya tersebut, Betapa indahnya kebesaran hati sahabatnya.

Salman begitu faham bahwasanya betapa pun besarnya cinta kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham apa arti persahabatan sesungguhnya, ditambah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaudarakan mereka berdua ketika salman berhijrah ke Madinah. Sungguh saudara ialah yang turut bahagia atas kebahagiaan saudaranya, sungguh saudara adalah dia yang tidak memiliki rasa dengki atas nikmat saudaranya,

Salman menyadari bahwa jodoh Abu Darda ditemukan lewat lamarannya, dan diapun yakin suatu sata akan bertemu dengan jodohnya. Salman Al-Farisi radiallahu’anhu harus menerima kenyataan ini, tapi dirinya membuktikan bahwa cinta sejati hanya pada Allah SWT, sehingga dia pun ikhlas dan ridho Abu Darda radhiallahu’anhu yang mempersunting wanita yang telah lama dia dambakan. Sungguh betapa indahnya rasa cinta persaudaraan dalam dekapan ukhuwah islamiyyah, sungguh sangat beruntung mereka yang mencintai saudara semuslimnya karena Allah subhanahuwata”ala. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita sebagai seseorang yang dipenuhi dengan cinta dan keberkahan di dalam naungannya.

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Bukhari)

“Based on the true story of Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu”


Oleh : Salman Alfarisi (Staff Mekominfo KAMMI LIPIA)

Itu Tradisi dan Budaya Kita


Kalau di Jepang ada patung seorang anak kecil membaca buku sambil membawa barang-barang untuk bekerja, di Korea Selatan ada buku-buku yang diletakkan dalam lemari hampir di setiap tempat-tempat publik sebagai slogan "ayo membaca". 

Di kita sudah ada sejak 15 abad silam perintah untuk membaca yang terjaga sangat rapi dari generasi ke generasi, bahkan mendapat jaminan langsung penjagaannya dari Allah Ta'ala. 

Lima ayat yang turun pertama kali kepada penutup rasul dan nabi, sebagai bukti kalau Islam hadir dan berdiri diatas ilmu. Maka tidak heran kalau dalam al-Qur'an nama Allah yang paling banyak disebut adalah al-'Aliim "Yang Mengetahui", sebanyak 154 kali nama Allah ini diulang dalam kitab suci kita. (Baca al i'jaaz al bayaanii fii nadzmi khawaatimil aayaat oleh 'Athif Rajab Jum'ah al Qanuni)

Ada jaminan besar dari Allah dalam lima ayat tersebut, ayat ketiga secara tidak langsung mengisyaratkan hal itu.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
"Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah."

Kata al-akram kalau kita buka kamus mempunyai dua makna: mulia dan pemurah (dermawan). 

Dalam ayat ini Allah sedang memberikan isyarat kepada kita, apa itu? mari kita lihat. Di awal ayat ini ada kata "iqra" dari kata "qara a" memiliki arti membaca, artinya kita diperintahkan untuk membaca -sebuah aktifitas untuk mendapatkan ilmu-. Dan diakhiri dengan kata "al-akram" yang memiliki arti mulia dan pemurah (dermawan).

Ada sebuah korelasi -dalam ilmu ulumul qur'an disebut munasabat- antara aktifitas membaca dengan keadaan mulia dan pemurah yaitu bacalah (salah satu cara belajar) niscaya Allah akan memuliakan dan memakmurkanmu dengan banyak rezeki.

Jadi, selama umat ini menjaga tradisi membacanya niscaya Allah akan memuliakannya diatas umat-umat yang lain dan memakmurkan penduduknya dengan rezeki yang melimpah. Akan tetapi kalau tradisi membaca ini hilang dan pindah ke umat lain, maka kemuliaan dan kemakmurannya juga pindah ke umat tersebut.

Tidak heran kalau kita sekarang disuguhkan acara-acara baik di media maupun di lapangan yang menjauhkan dari aktifitas baca dengan tujuan yang jelas, diangkatnya kemuliaan dan kemakmuran dari kita.

Bacalah, itu adalah tradisi dan budaya agama kita.


Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki

Wahyu dan Akal, Antara Manusia Manusia dan Manusia Binatang


Jika kita sering membiarkan akal untuk terjun bebas berpikir, maka kebanaran yang selama ini kita benarkan akan mengalami sebuah guncangan pemikiran sekaligus mendatangkan pertanyaan “apakah benar apa yang benar perna saya imani?” Nyatanya, manusia memang diharuskan untuk menghayati kebenaran yang ia klaim sebagai kebenaran. Ibnu Khaldun berpendapat, seseorang harus benar-benar memahami kebenaran apa yang ia imani sebelum ia bertindak. Hal demikian demi terciptanya sebuah gerakan amal yang didasari pada sebuah idiologi yang benar dan kebenaran atas klaim benar tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan akal-logika yang sehat.

Selanjutnya, hal yang mendasar sekali sebelum kita mengungkit-ungkit lagi kebenaran yang kita yakini benar tersebut, maka kita harus memulainya dari tangga yang pertama. Tangga pertama dalam rana ini adalah mengetahui dan menginsafi bahwa manusia memiliki dua dimensi yang tidak terlepaskan. Pertama adalah dimensi jasad dan kedua adalah dimensi ruh. Manusia tanpa jasad adalah mayat yang tak berguna. Kita bisa lihat ketika kita sedang tidur. Keadaan manusia yang sedang tidur, merupakan keadaan ketika ruh manusia diangkat oleh Allah ke langit. Jika Allah menghendaki kehidupan atasnya maka ruh tersebut dilepaskan, namun jika Allah menghendaki hal lain, maka ruh tersebut tertahan dalam artian tidur sementaranya berubah menjadi tidur abadi. Keadaan ketika ruh sedang di luar jasad merupakan keadaan ketika organ bekerja tanpa ruh. Artinya, sistem otomatis yang secara sunnatullah telah bekerja berdasarkan format dan sistem kerja sebagaimana ia diciptakan. Berbeda dengan orang yang ruhnya benar-benar berlepas dari jasad secara permanen. Maka dalam keadaan demikian, jasad sudah tidak ada gunanya lagi. Disamping ruhiyah insaniyah, manusia juga jasadiyah insaniyah. Artinya manusia memiliki dimensi material. Manusia memiliki tubuh yang dapat menyentuh sesuatu lainnya. Manusia juga memiliki tubuh yang tidak sama dengan malaikat, jin atau semisalnya yang bukan material. 

Manusia sebagai ruhiyah insaniyah dan jasadiyah insaniyah ini juga berdampak pada cara manusia berpikir dan memahami kebenaran. Maka pada tahap berpikir ini, manusia memiliki dua sumber pengetahuan. Yang pertama adalah sumber-sumber transendental yang religius dan mistik. Dan yang kedua adalah akal yang bebas merdeka dalam berpikir positif.  Jadi, di samping manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad yang materialistik dan ruh, maka cara manusia memperoleh pengetahuan pun bersumber pada akal yang meterial dan wahyu yang sebanding dengan ruh dalam hal immaterial.

Dua hal ini, yakni wahyu dan akal, adalah dua eleman yang tidak bisa dilepaskan oleh manusia. Jika manusia melepaskan salah satu dari keduanya, bisa dikata manusia tipe ini adalah manusia yang kurang sempurna. Coba lihat pada binatang, binatang  dalam memperoleh pengetahuan adalah bersumber dari wahyu, dan tanpa akal. Wahyu yang lebih tepatnya disebut insting tersebut merupakan sumber binatang mendapatkan pengetahuan. Bagaiama caranya ia bertahan hidup, bagaimana caranya ia berkembang biak, dan seterusnya. Binatang hanya memiliki satu sumber, karena ia tidak memilik akal untuk menalar. Jadi kita bisa melihat bagaimana binatang itu hidup, sempurna atau tidak dalam hal etika kehidupan yang logis?

Manusia pun demikian halnya. Jika manusia hanya menggunakan akal dalam berpikir, dan meninggalkan aspek wahyu, tak ubahnya ia seperti binatang. Sebab telinga, mulut serta hati yang ia miliki tidak ia gunakan sebagai reseptor wahyu ketuhanan yang membimbingnya menuju tujuan kehidupan malahan menjadikan ketiganya sebagai isolator yang menghalangi sampainya wahyu ketuhanan.

Wahyu dalam etiket ketersampaiannya pada manusia memilik banyak cara: Bisa dengan wahyu yang berperantara rasul dan nabi. Bisa dengan bentuk ilham, kecenderungan dan lain-lain. Dari tingkatan-tingkatan wahyu tersebut, wahyu tertinggi adalah wahyu yang sampai kepada manusia dengan perantara rasul dan para nabi.  Sedang yang sisanya merupakan ornamen yang mendukung untuk menguatkan wahyu yang berperantara rasul. 

Klimaks yang menyulitkan bagi usaha untuk mengetahui kebenaran adalah sumber kedua berupa akal. Akal manusia satu dengan yang lainnya tidaklah sama meski secara fitrah penciptaan akal, akal manusia itu bersih. Namun karena faktor eksternal, akal manusia bisa membelot dari lurusnya penciptaan akal itu sendiri.  

Hal yang demikian menjadikan manusia sering terjebak dalam subjektifitas kebenaran. Ia beranggapan benar adalah apa yang ada pada otaknya. Sedang yang lain adalah kedustaan yang dibuat-buat. Orang lain pun demikian, menganggap kebanaran adalah klaim mutlak pribadinya, sehingga yang berseberangan dengan klaim kebenarannya adalah musuh yang patut diperangi. 

Dalam rana akal ini juga memili dua macam cara mengetahui kebenaran. Yang pertama adalah a posteriori dan a prori. A posteriori adalah kebenaran indrawi. Yakni kebenaran yang didapat berdasarkan pengalaman indra. Misalnya orang yang berkesimpulan bahwa benda yang dilempar ke atas, setelah beberapa meter akan mengalami stagnasi berkala dan kemudian jatuh ke bawah. Pengetahuan akan jatuh ke bawah ini merupakan contoh dari model pertama. Model yang kedua adalah a priori, yaitu kebenaran yang didapatkan melalui penalaran akal itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan logika berpikir. 

Dua model sumber pengetahuan tersebut, akan menghasilkan dua hal. Pertama adalah pengetahuan itu sendiri dan yang kedua adalah ilmu. Pengetahuan adalah sebatas tahu bahwa sesuatu itu adalah itu. Misalnya pengetahuan manusia terhadap benda yang mengeluarkan cayaha itu bernama lampu. Manusia hanya tahu itu lampu, maka itulah pengetahuan. Namun jika ia tahu apa itu lampu, mengapa ia bisa mengeluarkan cahaya, apa faktornya, apa ini apa itu, maka itulah ilmu. 

Jadi secara ringkas, manusia itu adalah makhluk jasadiyah dan ruhaniyah. Dalam mendapat kebenaran manusia menempuh jalan perenungan wahyu dan penggunaan akal. Dalam penggunaan akal, manusia mendapatkan kebenaran dengan mempertanyakan secara rinci atau hanya sebatas pengalaman indrawi saja. 

Konsep di atas, merupakan elemen kehidupan manusia untuk memikirkan hakikat kehidupan. Apakah manusia itu ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakan. Jika ada yang menciptakan, apa konsekuensi sebagai makhluk ciptaan? Juga jika ada yang menciptakan, siapa gerangan yang menciptakan, bagaimana manusia mengetahui siapa pencitptanya? Maka mari kita gunakan wahyu dan akal untuk menemukan jawabannya. 

Masalah selanjutnya, wahyu dan akal, dari mana kita tahu wahyu itu benar-benar wahyu yang turun dari langit, dan juga akal, bagaimana cara kita tahu bahwa produk yang dihasilkan oleh akal merupakan produk dari proses berpikir yang sehat? 

Kita lanjutkan kapan-kapan.....


Oleh : Mas Ham*

Wanita Itu Fitnah

Wanita adalah manusia yang sangat mulia. Cerminan keluarganya adalah cerminan dirinya. Wanita adalah tiang agama dan negaranya. Jika rusak wanitanya maka akan rusak pula agama dan negaranya. Sebaik-baik wanita adalah yang mampu menjaga dirinya dan keluargannya dari fitnah dunia. Tapi, perlu kita lihat di jaman sekarang ini banyak wanita-wanita yang lupa akan kodratnya sebagai wanita. Mereka berpura-pura menutup mata dan telinganya untuk tidak mendapatkan ilmu agama yang semestinya dia dapatkan. Mereka dengar dan mereka tahu tapi mereka tidak menjalankannya dengan baik karena mereka hanya mampu berfikir banyak tentang dunia. Mereka lalai dengan kewajibannya, mereka bahagia bila banyak lelaki yang menyanjungnya karena fisik yang ia miliki, seandainya mereka tahu bahwa sebaik-baik wanita adalah wanita sholehah. Bahkan, di dalam Islam wanita sangatlah di muliakan, terbukti bahwa di dalam Al-Quran nama wanita di abadikan dalam surah An-Nisa.

Indah memang indah, cantik memang cantik, itulah sebutan umum bagi wanita jaman sekarang. Adapun salah satu sebutan yang tidak dapat dipisahkan dari wanita adalah fitnah. Anak perempuan bisa menjadi fitnah bagi ayahnya, saudari perempuan bisa menjadi fitnah bagi saudara laki-lakinya, bahkan seorang istri bisa menjadi fitnah bagi suaminya. Jika mereka tidak menjauhkan diri dari segala macam fitnah dunia. Adapun bukti bahwa wanita adalah fitnah terbesar dunia yaitu ungkapan Imam Ibnu Hajar yang selaras dengan hadits baginda Rasulullah yang diriwayatkan dari Usamah Bin Zaid yang menyatakan bahwa "Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita." (HR. Bukhari). Hadits ini tidak berlebihan karena itu benar-benar terbukti adanya. Karena meskipun wanita diciptakan dengan kondisi akal yang lemah, namun mereka mampu menundukkan lelaki yang cerdas, kuat dan gagah perkasa. Dan meskipun wanita diciptakan dengan keterbatasan agama, mereka juga dapat menundukkan ahli ibadah dan di buat lupa dari tuhannya. Tidak jarang milyader korupsi karena permintaan seorang istri tercinta, ada juga beberapa lelaki waras menjadi gila gara-gara wanita, dan bahkan seorang laki-laki bunuh diri karena cintanya kepada seorang wanita. Pantaslah jika baginda Rasulullah SAW mengatakan fitnah yang paling luar biasa adalah fitnah wanita.

Tulisan ini tidak ada maksud untuk menjadikan wanita sebagai sesuatu yang lemah bahkan buruk. Seandainya wanita di jaman sekarang tidak memiliki kedudukan, kecantikan, dan kesempatan seperti apa yang dimiliki oleh Zulaikha, maka perlu diketahui tidak ada lelaki saat ini yang mampu menahan fitnah wanita seperti Yusuf Alaihissalaam. Jadi, wanita hendaklah kalian berusaha menjaga diri, jangan sampai membuat lelaki berpaling dari Allah atau menyebabkan mereka bermaksiat kepada Allah. Baik itu suami, ayah, saudara laki-laki, bahkan orang lain yang ada di sekitarnya. Dan Allah Maha Adil menjadikan wanita sebagai fitnah yang luar biasa tetapi Allah juga memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi wanita untuk menjadi perhiasan termahal di dunia. Wallahu a'lam bisshowab.


Oleh : Nur Fajrin Aslam (Kadept Mekominfo)

Tenanglah, Setenang Khadijah


"Demi Allah, Dia (Allah) tidak akan menghinakanmu selamanya, sungguh engkau adalah penyambung tali silaturrahim, pemikul beban orang yang mendapat kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu dan pendukung setiap upaya penegakan kebaikan."

Itulah kalimat yang keluar dari lisan ibunda Khadijah -radhiyallahu 'anha-, wanita yang mendapat salam dari Allah dan malaikat Jibril, wanita yang sudah mendapat jaminan masuk surga dengan istana yang megah, wanita yang selalu disamping sang suami dikala orang-orang menjauhinya karena menjalankan tugas kerasulan, padahal mereka memberinya gelar "ash shodiq al amin".

Ada peristiwa yang melatarbelakangi kalimat ibunda Khadijah -radhiyallahu 'anha- itu keluar dari lisannya, peristiwa yang merubah perjalanan hidup suami dan dirinya. Suasana yang tegang, emosional, takut sangat tergambarkan dalam detik-detik itu. Peristiwa yang diriwayatkan oleh imam Bukhari di kitab shahihnya dari ibunda 'Aisyah -radhiyallahu 'anha- adalah saksinya.

Berikut ibunda Aisyah menuturkan setelah nabi mendapat wahyu pertama di gua Hira: "kemudian Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- pulang dengan gemetar lalu menemui istrinya sembari berucap: "selimutilah aku, selimutilah aku" beliau pun diselimuti sampai hilang rasa takutnya. Lantas nabi menuturkan kisahnya dan berkata: "aku sangat khawatir terhadap diriku", Khadijah kemudian berkata: "Demi Allah, Dia (Allah) tidak akan menghinakanmu selamanya, sungguh engkau adalah penyambung tali silaturrahim, pemikul beban orang yang mendapat kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu dan pendukung setiap upaya penegakan kebaikan." Kemudian Khadijah bersama nabi berangkat menuju Waraqah bin Naufal sepupu Khadijah."

Itu adalah penggalan peristiwa pasca wahyu pertama turun. Kondisi yang menggambarkan bagaimana ketakutan nabi akan apa yang terjadi padanya. Bagaimana tidak takut dan gemetar? sesosok orang asing tiba-tiba datang dan menyuruhnya untuk membaca surat kemudian mendekapnya erat sampai-sampai nabi susah bernafas karena tidak bisa membaca. Dan lebih membuat takut lagi sosok orang tadi muncul dengan wujud aslinya yaitu malaikat dengan enam ratus sayap dan duduk di singgasana diantara langit dan bumi.

Pada saat inilah hadir sang istri dengan kelembutan hati, ketenangan jiwa, ketulusan cinta dan kecerdasan solusi.

Sang istri dengan tenang melayani permintaan suami dan menemaninya, bukan menyuguhkan segudang pertanyaan yang akan menambah keruhnya suasana hati nabi. Setelah kondisi suami tenang barulah dimulai dialog yang diawali dengan kata-kata nabi: "aku sangat khawatir terhadap diriku" dengan tenang yang diselimuti rasa cinta pada suami sang istri lagi-lagi hadir dengan solusi yang menentramkan hati: "Demi Allah, Dia (Allah) tidak akan menghinakanmu selamanya."

Ada hal menarik dari kalimat Khadijah -radhiyallahu 'anha- yaitu bagaimana bisa seorang Khadijah dengan yakin Allah tidak akan menghinakan nabi (padahal saat itu belum jadi nabi)? DR. Ali Muhammad ash Shalabiy dalam bukunya as Sirah an Nabawiyyah menjelaskan hal itu bisa diketahui oleh Khadijah dari perangai nabi di kesehariannya yang selalu berakhlak baik dan orang yang paling dekat dengan nabi, yang merasakan langsung baiknya akhlak nabi setiap hari adalah sang istri "Khadijah -radhiyallahu 'anha".

Setelah hati nabi tenang dan suasana sudah mulai cair, sekali lagi sang istri hadir dengan solusi penyelesaian yang menunjukkan kecintaannya pada sang suami dan kecerdasannya. Dibawalah nabi menemui sepupunya yang ahli ilmu untuk menyelesaikan masalahnya. Subhanallah, cerdasnya Khadijah penyelesaian masalah di tangan ahli ilmu, dibawanya masalah untuk diselesaikan kepada ahlinya. 

Radhiyallahu 'anki duhai bunda...
Tiga solusi yang luar biasa dari sang istri: sentuhan fisik (menyelimuti nabi), sentuhan jiwa (kalimat penentram) dan solusi inti (ahli ilmu).

Maka,
Tenanglah, setenang Khadijah duhai para istri.
Baiklah, sebaik suami Khadijah wahai para suami.


Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki