“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada diantara mereka orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada. Pada hari kiamat, para nabi dan para syuhada menginginkan mereka menempati kedudukan mereka yang berasal dari Allah.” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Beritahukanlah kepada kami, siapakah mereka itu? Beliau menjawab,”Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, padahal diantara mereka tidak ada pertalian darah dan tidak ada harta yang saling diberikan. Sungguh demi Allah, wajah mereka laksana cahaya. Dan sesungguhnya mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa ketakutan saat manusia pada keadaan takut dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih” (H.R. Abu Daud)
Pada zaman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, hidup salah seorang sahabat yang bisa dibilang namanya sudah masyhur dikalangan kaum muslimin, yaitu Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu. Dia adalah salah seorang pemuda yang berasal dari Persia, dan juga mantan seorang budak di Isfahan. Salah seorang sahabat yang spesial di mata rasulullah, bahkan rasulullah berkata “Salman adalah bagian dari keluargaku!“. Terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Makkah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq.
Hingga suatu ketika Salman Radhiallahu’anhu diam-diam menaruh perasaan cinta kepada seorang wanita muslimah nan sholehah dari kaum Anshar. Salman sudah lama berencana ingin menggenapkan setengah agamanya itu. Maka dia pun memantapkan niatnya untuk melamar wanita tersebut. Hanya saja ada satu hal yang mengganjal di hati Salman. Salman merasa “asing” dalam artian dia tidak tahu menahu tentang bagaimana adat masyarakat Madinah ketika hendak melamar seorang wanita? Bagaimana juga tradisi kaum anshar ketika mengkhitbah wanita? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terngiang-ngiang dipikiran Salman Radiallahu’anhu. Tentu saja hal yang ceroboh jika tiba-tiba datang ingin melamar seorang wanita tanpa persiapan yang matang.
Akhirnya Salman Radhiallahu’anhu mendatangi salah seorang sahabatnhya yang merupakan penduduk asli madinah, yaitu Abu Darda Radhiallahu’anhu. Salman bermaksud meminta bantuan kepada Abu Darda’ untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Abu Darda’ pun begitu senang dan gembira mendengar cerita sahabatnya tersebut.
“Subhanallah!!! Walhamdulillah!!!” ujar Abu Darda’ dengan begitu gembiranya.
Ia pun langsung memeluk Salman dengan begitu eratnya dan bersedia dengan senang hati membantu sahabatnya itu. Inilah kesempata besar bagi Abu Darda’ untuk membantu dan menolong saudara seimannya. Sungguh Abu Darda’ telah merasakan manisnya persaudaraan dalam dekapan iman.
“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim)
Setelah mempersiapkan segalanya dengan matang-matang, akhirnya Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu mendatangi rumah wanita idamanya tersebut, tentunya ditemani oleh sahabatnya Abu Darda’ Radhiallahu’anhu sebagai juru bicara. Mereka pun begitu gembira selama perjalanan, gugup dan berharap semoga kabar gembira akan menyambut mereka. Setibanya ditujuan, keduanya pun diterima dan disambut dengan baik oleh sang tuan rumah, yaitu orang tua dari wanita yang diidam-idamkan oleh Salman.
“Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman Al Farisi dari Persia yang telah berhijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya. Allah telah memuliakan Salman Al Farisi dengan Islam. Salman Al Farisi juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggapnya sebagai ahlul bait (keluarga) nya”, ujar Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dengan dialek yang begitu fasih dan lancar.
“Saya datang mewakili saudara saya, Salman Al Farisi, untuk melamar putri anda”, lanjut Abu Darda’ Radhiallahu’anhu kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Sang tuan rumah pun merasa sangat terhormat mendengar maksud dari kedatangan mereka, bagaimana tidak, dia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang utama, bahkan salah satunya bermaksud untuk melamar putri kesayangannya.
“Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat”, ujar sang tuan rumah.
Namun sang tuan rumah tidak serta merta menerima lamaran dari Salman Radhiallahu’anhu, seperti yang diajarkan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa salla, dia harus berdiskusi dan meminta pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. sang ayah tetap meminta persetujuan dari sang putri.
“Namun Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami”, ujarnya kepada Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
Sang ayah pun memberi isyarat kepada istri dan putrinya yang berada di belakang tirai, ternyata sang putri telah mendengar percakapan yang dilakukan oleh sang ayah dan kedua sahabat tersebut, akhirnya sang ayah pergi kebelakang tirai dan berdiskusi dengan istri dan putrinya. Berdebar jantung Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menunggu jawaban dari balik tirai, Abu Darda’Radhiallahu’anhu pun gelisah menatap wajah ayah si gadis, hingga akhirnya semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan, ternyata sang bunda yang mewakili putrinya untuk memberi jawaban pinangan Salman Radhiallahu’anhu, ibundanya pun berkata,
“Mohon maaf kami perlu berterus terang”, ujarnya membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum semakin tegang menanti jawaban.
“Anak kami menolak pinanganmu ananda Salman, Namun karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika ananda Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti ananda Salman”,ujar sang bunda melanjutkan jawaban putrinya.
Wanita yang selama ini dia idam – idamkan untuk menjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan sahabatnya untuk membantu pinangannya, namun justru wanita itu malah memilih sahabatnya sendiri untuk menjadi pendamping hidupnya. Padahal selama ini sahabatnya Abu Darda hanya sekedar beruhasa membantu dan menemani Salman untuk mengkhitbah wanita tersebut. Namun ternyata takdir Allah berkata lain. Cinta bertepuk sebelah tangan, bunga – bunga cinta yang selama ini dijaga Salman dan akan diberikan kepada sang wanita idaman pun layu. Tetapi itulah ketetapan Allah menjadi rahasia-Nya, yang tidak pernah diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah Ta’alaa; mati, rizki, dan jodoh. Semuanya penuh tanda tanya besar bagi manusia.
Pria biasa sudah pasti mengalami patah hati yang amat sangat dan kekecewaan yang mendalan, merasa ditikung oleh sahabatnya sendiri, ya itulah biasa yang terlontar dari pikiran pria kebanyakan. Abu Darda’ pun merasa sangat bersalah kepada sahabatnya, takut persahabatan dan persaudaraan mereka retak di karenakan hal ini. Namun bagaimanakah dengan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu?.
“Allahuakbar!!!”, seru Salman Radhiallahu’anhu dengan girangnya.
“Dengan senang hati, semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan untuk pernikahanku akan aku berikan kepada Sahabatku Abu Darda’. Dan aku juga akan menjadi saksi atas pernikahan kalian” ujar Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
Sungguh Abu Darda’ sangat terharu dan bahagia mendengar jawaban dari sahabatnya tersebut, Betapa indahnya kebesaran hati sahabatnya.
Salman begitu faham bahwasanya betapa pun besarnya cinta kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham apa arti persahabatan sesungguhnya, ditambah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaudarakan mereka berdua ketika salman berhijrah ke Madinah. Sungguh saudara ialah yang turut bahagia atas kebahagiaan saudaranya, sungguh saudara adalah dia yang tidak memiliki rasa dengki atas nikmat saudaranya,
Salman menyadari bahwa jodoh Abu Darda ditemukan lewat lamarannya, dan diapun yakin suatu sata akan bertemu dengan jodohnya. Salman Al-Farisi radiallahu’anhu harus menerima kenyataan ini, tapi dirinya membuktikan bahwa cinta sejati hanya pada Allah SWT, sehingga dia pun ikhlas dan ridho Abu Darda radhiallahu’anhu yang mempersunting wanita yang telah lama dia dambakan. Sungguh betapa indahnya rasa cinta persaudaraan dalam dekapan ukhuwah islamiyyah, sungguh sangat beruntung mereka yang mencintai saudara semuslimnya karena Allah subhanahuwata”ala. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita sebagai seseorang yang dipenuhi dengan cinta dan keberkahan di dalam naungannya.
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Bukhari)
“Based on the true story of Salman Al-farisi Radhiallahu’anhu”
Oleh : Salman Alfarisi (Staff Mekominfo KAMMI LIPIA)