“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan
kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.”( Ir. Soekarno )
Pemuda adalah harapan setiap peradaban. Mereka
adalah agen perubahan ( agent of change ) saat masyarakat kerkungkung oleh
tirani kedzaliman dan kebodohan.
Mereka juga merupakan motor
penggerak jika masyarakat melakukan perubahan. Tongkat estafet peralihan suatu
peradaban terletak di pundak mereka. Muhammad Al-fatih adalah salah satu contoh
pemuda harapan pada masanya. Dengan iman, kecerdasan, dan semangat mudanyalah
benteng Konstantinopel yang kokoh dapat di tembusnya. Ia adalah sebaik-baik
pemuda, sebaik-baik pemimpin. Begitupun saat turki Utsmani runtuh. Ketika umat
islam kehilangan pemimpin mereka, ketika umat islam terombang-ambing kehilangan
pegangan, muncul tokoh-tokoh muda yang mencoba mengembalikan kejayaan umat
islam. Sebut saja Hasan Al-Banna, salah satu tokoh yang menggaungkan kebangkitan
umat melalui gerakannya yang biasa disebut Ikhwanul Muslimin. Saat mendirikan
organisasi ini, ia masih berumur 20 tahunan.
Kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 pun tidak luput dari peran pemuda. Jika bukan karena semangat dan
kegigihan pemuda yang meminta Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI, tentu
Indonesia semakin lama menjadi jajahan Jepang.
Gebrakan-gebrakan terus dilakukan para pemuda
indonesia. Mulai dari peralihan orde lama ke orde baru, orde baru ke masa
reformasi pada tahun 1998 hingga saat ini, pemuda memberikan andil yang sangat
luar biasa. Bukan hanya berkorban waktu namun juga harta bahkan jiwa mereka.
Teringat dengan 4 pemuda Trilogi yang gugur saat demonstrasi 1998. Mereka adalah bukti nyata kepahlawanan seorang pemuda.
Meman secara fitrah, masa muda merupakan
jenjang kehidupan manusia yang paling optimal.
Dengan kematangan jasmani,
perasaan dan akalnya, sangat wajar pemuda memiliki potensi yang sangat besar
dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Pemikiran kritisnya sangat didambakan
masyarakat. Mereka memiliki karakter yang idealis dan energik. Idealis
maksudnya para pemuda belum terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan juga
tidak terbebani oleh berat sejarah ataupun beban posisi.
Namun, masihkah kita dapat mengandalkan pemuda
hari ini ?
Melihat
semua kenyataan yang terjadi pada pemuda zaman serba instan ini saya
mulai ragu.
Kenyataan pemuda sekarang jauh berbeda dengan
pemuda zaman Soeharto dulu. Banyak pemuda sekarang yang terserang virus instan.
Mereka ingin melakukan semuanya secara cepat, membuat segala sesuatu dengan
sinngkat, dan untuk meraih segala sesuatu sesegera mungkin. Be fast. More
fast and more fast.
Beberapa contoh rilnya adalah pemuda instan
adalah mereka yang duduk di bagnku sekolah ataupun kuliah yang hanya mengejar
nilai atau ijazah sering berlaku curang. Mencontek keetika ujian, menyuap pihak
sekolah, membuat skripsi dengan cara membeli atau menyuruh orang lain
membuatnya, kuliah fiktif plagiat makalah atau lain sebagainya. Mereka ingin berhasil
namun malas berusaha, malas menikmati proses, malas berlelah-lelah belajar.
Contoh
lain dari kepribadian instan terlihat saat pelatihan-pelatihan organisasi.
Sebagai seoranag peserta sudah seharusnya membaca SOP ( Standard Operating
Procedure ) yang merupakan kumpulan peraturan yanng dibuat untuk mempermudah
pekerjaannya. Tapi tidak sedikit dari mereka yang bertanya dari A sampai Z yang
sebenarnya tercantum di dalam SOP. ketika di slidiki ternyata banyak dari
mereka yang tidak membacanya dengan alasan mau yang instan.
Dari segi makananpun mereka memilih makanan-
makanan instan. Mie instan, kornet ataupun bumbu-bumbu instan untuk memudahkan
mereka memasak yanng sesungguhnya itu adalah makan yang tidak sehat.
Belum lagi saat ini pemuda sangat dimanjakan
dengan jasa-jasa online yang membuat mereka semakin malas dan ingin semuanya
serba instan.
Mungkin karena mudah dan menghemat waktu dan
biaya, bangsa kita terbiasa dengan pola-pola instan seperti itu. Para pemuda
semakin pelit menggunnakan nalarnya untuk berfikir, dan tidak sedikit dari
mereka yanng kikir dalam mengugunakan energinya untuk membaca, menulis,
berdikusi ataupun menganalisis.
Bagaimana nasib bangsa ini nantinya ? Akankan
kita masih bisa berharap para pemuda- pemuda instan ini ? Akankah Indonesia
jaya melalui tangan-tangan mereka ?
Jawabannya tentu saja tidak. Jika pemuda hari
ini masih belum dapat disembuhkan dari virus instan. Meraka harus bersabar
dengan proses yang haarus dilalui dan menikmatinya. Karena tidak ada kejayaan
yang instan. Seperti kata pepatah “Rome wasn’t built in a day”
Semoga kita bukan golongan pemuda instan.
Karena sadar atau tidak mau atau tidak mau, nasib bangsa tergantung oleh kita,
para pemuda.
Penulis : Atika Tazkiyah (Staff Dept Kaderisasi KAMMI LIPIA)
EmoticonEmoticon