Serial Keteladanan Ibrahim: Menghamba Dengan Akal (I)


Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui(QS. Al An’aam, 6:83)

Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam.. siapa tak kenal sosok satu ini, sosok bergelar Abul Anbiyaa’, ayahnya para Nabi. Yang lewat jalur darahnya, lahir para nabi dan rasul perwakilan Tuhan yang membawa risalah ketauhidan dan keesaan Allah swt. Yang lewat jalur jejak kakinya pula, Allah swt gariskan tiap jengkal bekas tanah yang dijejakinya menjadi lintasan jalur yang juga dilewati para keturunannya. Ia juga yang membangun ulang bangunan paling tua di atas muka bumi Ka’bah, bersama anaknya Ismail as. Ia juga yang rela mengorbankan jiwa dan seluruh raganya untuk mentaati aturan main Tuhannya.

Keteladanannya tidak hanya dikenal bagi umat islam, namun juga bagi umat yahudi dan  nasrani. Karena dari dirinyalah DNA ketiga umat ini berasal, dari keturunan dan ajarannya. Maka pantaslah gelar Abul Anbiyaa’ tersebut beliau sandang, dan tidak akan ada lagi lelaki yang hidup di kemudian hari yang bisa menandingi keteladanannya. Ketundukan dan kepasrahan total untuk mejalankan perintah Tuhan ditambah rasionalitas akal yang murni menjadi sumber keteledanannya, diabadikan dalam Al Quran dalam bentuk kisah-kisah.

Mari kita tengok, satu potongan kisah yang jika kita maknai dengan seksama akan kita dapati satu pelajaran berharga untuk kehidupan kita, sebagai hamba Allah yang berakal. Potongan kisah tersebut Allah swt. sampaikan dalam Al Qur’an surat Asy – Syu’aara ayat 69-77:

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?”. Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya". Berkata Ibrahim: "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?. Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: "(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian". Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah. Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?. Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam”. (QS. Asy-Syu’araa, 26:69-77)

Dalam potongan kisah percakapan antara Nabiyullah Ibrahim as. dengan kaumnya ini, Allah swt. mengabadikan bagaimana cara Nabi Ibrahim berdakwah di tengah-tengah kaumnya, ketika ia mengajak kaumnya untuk menyembah Allah swt. dengan menggunakan dialog sederhana namun memiliki nas yang mendalam.

Jika kita memperhatikan potongan ayat diatas, setidaknya ada dua bagian penting yang bisa kita renungi untuk jadi bahan pelajaran berharga, pertama; bagian dimana Nabi Ibrahim as. bertanya dengan kritis tentang hakikat berhala yang kaumnya sembah dan jawaban kaumnya. Kedua; bagian dimana Ia meruntuhkan argumentasi kaumnya dengan jawaban yang sangat cerdas.

Untuk bagian pertama; yakni dari ayat 69-71 Allah swt menunjukan kelugasan Nabi Ibrahim as ketika bertanya kepada kaumnya, "Apakah yang kamu sembah?”. Ia bertanya kepada kaumnya tentang bentuk sesembahan mereka tentu bukan karena ia tidak melihatnya. Ia melihat bentuk sesembahan mereka, dan tahu apa itu, yaitu patung dan berhala. Ia bertanya kepada kaumnya tentang bentuk sesembahan mereka karena ingin membangun percakapannya dengan argumentasi yang lengkap. Ia tidak ingin langsung menyimpulkan hanya dari apa yang ia lihat, ia ingin benar-benar memastikan bahwa apa yang ia lihat dari perilaku kaumnya menyembah berhala adalah perilaku mereka yang didasari dengan kesadaran penuh.

Dan jawaban kaumnya pun membenarkan apa yang ia lihat, bahkan lebih dari sekedar menjawab "Kami menyembah berhala-berhala”, mereka menambahkan “dan kami senantiasa tekun menyembahnya" seakan mereka ingin menunjukkan keyakinan dan kebanggaan penuh atas kebenaran yang mereka sembah, padahal hakikatnya adalah sebaliknya. Ditambah keteguhan mereka akan menyembah berhala-berhala tersebut, orang biasa yang tidak memiliki keimanan kepada yang gaib, pasti akan percaya dan membenarkan jawaban tersebut.

Berbeda dengan reaksi berikutnya dari Nabi Ibrahim as. atas jawaban kaumnya, yang Allah swt. kisahkan di bagian  kedua; ayat 72-79, dimana ia menolak jawaban kaumnya tersebut dengan memberikan pertanyaan susulan "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?. Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”

Ia tahu bahwa berhala ini tidaklah mampu mendengar dan menjawab doa-doa kaumnya, apalagi memberi mereka manfaat dan menghindarkan mereka dari marabahaya. Ia bertanya dengan nash seperti ini ia ingin memberi isyarat akan kedangkalan logika berfikir kaumnya, dengan menafikan kemampuan ketuhanan yang dipercaya dimiliki oleh berhala-berhala tersebut, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama kaumnya berupa didengarnya dan dipenuhinya doa mereka dengan diberikannya kepada mereka sebuah manfaat atau dihindarkannya mereka dari marabahaya dalam pertanyaannya ini.

Dan seharusnya, jika kaumnya menalar pertanyaan berikutnya dengan akal yang jernih dan hati yang bersih, pastilah mereka akan langsung meninggalkan berhala-berhala tersebut, dan kemudian menyembah Allah Yang Maha Esa. Karena mereka tahu jawaban dari pertanyaan Ibrahim adalah tidak. Mereka tahu bahwa berhala-berhala tersebut tidak bisa mendengar dan menjawab doa mereka. Mereka tahu patung-patung itu tidak mampu memberikan manfaat apalagi madharat.

Namun, karena kesombongan dan taklid buta telah menguasai hati mereka, sehingga jawaban mereka adalah “sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Mereka berusaha melemparkannya kepada nenek moyang mereka yang sudah meninggal, padahal hakikatnya mereka memojokkan diri mereka sendiri ketika melontarkan jawaban ini. Mereka membuka celah pada diri mereka sendiri, mereka tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan lelaki yang memiliki akal dan hujjah paling rasional saat itu. Mereka meruntuhkan dalil menyembahnya mereka kepada berhala mereka sendiri tanpa mereka sadari.

Mereka tidak akan bisa mengelak lagi setelah jawaban ini. Ya, karena ketajaman lidah Nabi Ibrahim as. yang berikutnya kembali bertanya. "Maka apakah kamu telah memperhatikan (melihat) apa yang selalu kamu sembah. Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” atau dalam bahasa yang lebih sederhana, “Memangnya kalian melihat bagaimana nenek moyang kalian beribadah?”.

Dengan pertanyaan pamungkas ini, runtuhlah seluruh argumen kaum penyembah berhala ini. Mereka tidak mampu membalas balik argumen Nabi Ibrahim as. karena mereka memang tidak pernah melihat secara langsung bagaimana sebenarnya ritual peribadatan orang-orang yang hidup sebelum mereka. Mereka diam seribu bahasa dan takluk di hadapan kuatnya hujjah Nabi Ibrahim as. Selama ini mereka hanya mengandalkan keyakinanan mereka dari apa yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka tanpa pernah mencari tahu terlebih dahulu kebenarannya. Mereka bukannya tidak bisa untuk mencari tahu hal tesebut, mereka hanya memang tidak berkemauan untuk mencari tahu dan merasa cukup dengan apa yang mereka yakini berasal  dari nenek moyang mereka.

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah, 5:104)

Itulah sedikit potongan dari episode perjuangan dakwah Nabiyullah Ibrahim as. kepada kaumnya. Yang menunjukkan kepada kita betapa kuatnya hujjah yang ada pada ucapan Nabi Ibrahim as. Argumentasi yang ia pakai dalam berdakwah dan menyampaikan kebenaran tidak melukai perasaan orang yang didakwahi (Mad’uw), sebaliknya ia memilih kata dan diksi yang paling tepat untuk menyampaikan kebenaran.

Maka selayaknya orang-orang beriman mengambil pelajaran berharga dari kisah ini dan meneladaninya, karena jika bukan dari para nabi dan rasul kita mengambil teladan, kepada siapa lagi kita mengambilnya? Dan itulah sebaik-baik cara kita meyakini kebenaran firman Allah swt.

Wallahu A’lamu Bis Showaab.


Penulis : Muhammad Saihul Basyir (Ketua Umum KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »