Prof.dr.HAMKA yang merupakan salah satu ulama rujukan di Indonesia yang dalam salah satu bukunya berbicara tentang hidup, beliau mengatakan,”tidaklah akan didapati dua manusia yang sama jalan kehidupannya dan tidak pula sama kekuatan badan dan akalnya. Tiap orang mempunyai kekuatannya sendiri, berlainan kekuatan akalnya sebagaimana kekuatan badannya. Bukanlah pada muka, pada suara, dan langkah kaki saja dapat mengenal seseorang, bahkan sejak dalam rahim ibu sudah nyata berlainan aliran hidup itu. Tiap anak lahir kedunia mencucut jarinya, tapi bentuknya sudah dapat dibedakan dengan anak yang lain. Tentu saja otak otaknya pun demikian pula. Didalam otak terdapat tidak kurang dari 180.000 juta sel halus yang tidak dapat dilihat satu persatu kalau tidak dengan mikroskop. Tiap-tiapnya terbagi kepada beberapa tumpukan hubungan dengan tumpukan yang lain, dia mempunyai pusat pertemuan yang tak ubahnya dengan alat pendengar menerima suara suara yang ada pada telepon. Ada satu bagian yang menerima hubungan dari telinga, mata, hidung, kaki, dan lain-lain. Sedang yang jadi pusatnya adalah benak (otak).
Memang benar, pada setiap manusia yang terlahir kedunia telah memiliki karakter, kepribadian dan takdir yang berbeda satu dengan yang lainnya. Akan tetapi ditengah perbedaan itu semua satu persamaan yang allah swt berikan kepada setiap jiwa-jiwa yang baru lahir keduniaan, yaitu fitrah. Setiap manusia yang baru lahir kedunia dalam keadaan fitrah yang berarti suci, dan karena orang tua merekalah jiwa yang fitrah itu menjadi sesat dan ternodai. Senada dengan yang disabdakan nabi saw,
(كلّ مولود يولد على الفترة, فأبواه يهودانه ,أو ينصرانه, أو يمجسا نه)
Artinya : setiap manusia yang lahir dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang menjadikan dia yahudi, nasrani, dan majusi.
Dalam hal ini yahudi, nasrani dan majusi sudahlah jelas penyimpangan mereka terhadap fitrah yang Allah swt berikan bersamaan dengan kelahiran mereka, yang menjadikan Tuhan selain Allah swt.
Dan orang muslim yang telah benar fitrahnya yakni meyakini akan kebenaran islam dan mengesakan Allah swt, ternyata masih sering menodai fitrah-fitrah mereka dengan penyakit-penyakit yang ada dalam hati mereka. Penyakit jiwa yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kecintaan terhadap dunia (hubbuddunya), yang melahirkan penyakit psikis bukan fisik yang tidak dapat disembuhkan dengan obat sebagaiman obat fisik, akan tetapi bisa diobati melalui terapi-terapi ruhaniah yang menjauhkan dari penyakit tersebut. Menurut Abu thalib al makki (w.996), mengatakan bahwa jiwa itu sebagaimana jasadnya membutukan makanan yang baik,bersih dan bergizi. Jiwa yang tak cukup makannya pasti akan mudah terkena penyakit.
Jiwa Manusia
Beberapa ulama yang pernah menulis tentang jiwa manusia, yang sampai saat ini menjadi rujukan ketika berbicara masalah kejiwaan semisal Al-ghozali, Fakhrudin ar-razi, ibnu qoyyim, Abu zayd al-balkhi dan lain-lain. Mereka pun dalam hal ini memiliki pembagian tersendiri terkait masalah jiwa. Fakhrudin ar-Razi ketika menjelaskan masalah jenis jiwa, beliu membaginya kedalam tiga pembagian, yang pertama adalah jiwa yang tenang (nafsulmutmainnah) dalam surat al-fajr , (89:27) yaitu jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan tuhan, kemudian nafsun al-lawwaamah (al-qiyaamah 75:2) dan yang ketiga adalah nafs al-amarah bi al-su (Yusuf 12:53) jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.
Begitu pula dengan Al-Ghozali yang membagi jiwa manusia dengan beberapa tingkatan, pertama yaitu orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya bahkan menjadikannya tuhan dan sesembahan ( QS. 25:43 dan QS.45:23) mereka yang cenderung dalam nafsunya ini akan terjerumus pada kesesatan, karena pendengaran dan qolbunya telah terkunci dan tidak layak dijadikan pemimpin. Kedua, orang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya, maka mereka terkadang mampu mengendalikan hawa nafsunya terkadang tidak, maka orang seperti ini tergolong mujahid. Jika ajal menjemputnya saat dalam keadaan ia mengendalikan nafsunya maka dia tergolong syuhada. Sebab ia dalam kesibukan mentaati Allah swt untuk memerangi nafsunya seperti memerangi musuhnya. Kemudian yang ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan nafsunya dan mengalahkannya dalam kondisi apapun. Mereka inilah penguasa sejati yang tidak terbelenggu oleh hawa nafsu. Umar bin khattab merupakan orang yang menduduki peringkat ini sampaipun Rasulullah saw bersabda, setan akan mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui Umar.
Wallahu a'lam.
Oleh : Septi Malian Hidayat (Staff Kebijakan Publik KAMMI LIPIA)
EmoticonEmoticon