Mengapa Negara Tidak Mencetak Uang?


Dalam menerbitkan atau mencetak uang, terdapat dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang fiat (sistem yang ada saat ini), uang yang beredar tidak didukung oleh aset yang riil, bahkan tidak didukung apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, badan yang menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan dan permintaan. Melalui kebijakannya, pemerintah bisa memperoleh uang dengan cara menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam nominal tertentu, contoh 10 M kemudian ditukarkan dengan uang kepada bank sentral sebayak 10 M juga dengan tambahan bunga dalam persentase tertentu. Di sini, status pemerintah ialah sebagai debitur atau peminjam dan bank sentral sebagai kreditur.

Karena pada kenyataannya sistem pencetakan uang tidak dipegang oleh pemerintah atau negara, melainkan bank sentral. Di Indonesia, yang mencetak uang bukan pemerintah, melainkan Bank Indonesia (BI). Begitu pula di Amerika, misalnya, bukan pemerintah Amerika yang mencetak uang, melainkan The Fed (bank sentral Amerika). Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa ikut campur pada kebijakan bank sentral dalam hal mencetak uang. Berapa banyak uang yang dicetak, semuanya dikendalikan oleh bank sentral. Sekali lagi, pemerintah hanya bisa menerbitkan surat utang atau obligasi, dan tentunya harus dibayar pada waktu tempo yang ditentukan. Dari mana pemerintah mendapatkan uang untuk membayar hutang tersebut? Jawabannnya, ialah dari pajak yang dikumpulkan dan perusahaan-perusahaan yang dikelola negara.
Kembali ke persoalan, mengapa negara tidak mencetak uang yang banyak saja ? (agar tidak repot mengumpulkan pajak dan lainnya)

Dalam teori ekonomi yang kita kenal bahwa harga barang akan bergantung pada jumlah uang yang beredar dan barang yang tersedia. Jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari persediaan barang, maka harga akan cenderung turun. Tapi sebaliknya, Jika jumlah uang yang beredar melebihi jumlah persediaan barang, maka secara otomatis harga barang akan cenderung naik, dan jika terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan inflasi. 
Jika suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, dengan alasan untuk belanja negara ataupun membayar hutang, yang terjadi bukan bertambah makmur dan lunasnya hutang, melainkan akan memperburuk keadaan. Karena uang yang ada semakin terguras nilainya membuat harga-harga melambung tinggi, nilai tukar mata uang menurun, investasi melemah dan lain-lain yang akan menyebabkan inflasi dalam skala besar.

Indonesia pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, yaitu pada era kepresidenan Soekarno.  Dengan kata lain “jika pemerintah butuh uang, cetak saja.” Dampak dari kebijakan ini ialah terjadinya hiperinflasi, mencapai kurang lebih 600% pertahun, terbesar dalam sejarah Indonesia. Puncaknya, lahirlah tritura (tiga tuntutan rakyat) dengan demo masa besar-besaran, salah satu tuntutannya ialah “turunkan harga.”

Kasus yang lebih parh terjadi di Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat banyak, ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan akan mendukung kemajuan negara. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008. Bahkan Negara ini pernah menerbitkan pecahan uang 100 milyar dollar, yang juga menjadi rekor pecahan terbesar di dunia.

Kesimpulannya, atas dasar pertimbangan di atas, maka negara miskin atau bahkan kaya sekalipun tidak dapat mencetak uang semaunya sendiri (jika tidak ingin seperti yang Zimbabwe, contoh). Mesti ada regulasi dan peraturan yang memayungi proses penerbitan mata uang di bawah kontrol bank sentral. Ini dilakukan demi menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar mata uang negara tersebut.

Oleh : Edi Muhaedi (Staff Mekominfo KAMMI LIPIA)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »