Ibu, istri dan Guru

            Pagi itu aku bersilaturahim ke rumah kerabat ayah. Karna kebetulan akan ada acara syukuran di malam hari nya. Ibu meminta aku untuk ikut membantu persiapan acara malam nanti. Sebagai anak yang usianya masih cukup muda, kerabat ibu memberi ku tugas-tugas ringan,seperti mengiris bawang atau sekedar mengupas kentang. Aku mengambil posisi duduk di dekat sepupu-sepupu ku yang usianya jauh di atas ku. Yang sudah berkeluarga dan memiliki momongan. Karna merasa paling muda, aku lebih banyak diam dalam obrolan mereka. Takut salah bicara, lagi pula pembicaraan mereka tak jauh dari permasalahan-permasalahan di desa. Sedang aku, pulang ke desa hanya di waktu libur. Itu pun lebih banyak berdiam di rumah ketimbang keluar berbaur dengan masyarakat. Entah kenapa, mungkin karna sejak SMP aku sudah di lempar jauh sekolah di luar kota. Singkat cerita, sedikit demi sedikit aku mulai memperhatikan arah pembicaraan. Ada yang menarik dalam pembicaraan mereka. Objek yang di bicarakan aku mengenal nya. Mungkin ada yang mengatakan ini bagian dari ghibah. Tapi ini pelajaran berharga untuk saya. Yang menjadi objek pembicaraan adalah ibu dari teman laki-laki ku waktu di TPA dulu. Aku mengenal nya. Dulu beliau adalah sosok guru yang sangat bersahaja di sekolahan tempat nya mengajar. Dia juga sosok ibu yang bijaksana dalam keluarganya. Ibu ku juga sering menceritakan ketauladanan nya. Karna anak perempuan dari ibu tersebut adalah mutarobbiyah ibu ku. Dulu saat aku masih sering main hujan sepulang TPA dengan anak nya, ia adalah ibu yang sehat dan semangat. Meski saat itu garis dahi nya sudah terlihat, namun ia adalah seorang ibu yang kuat. Aku terhenyak saat mendengar cerita sepupu ku. Ibu yang ku kenal sangat penyayang itu kini terbaring lemah di pembaringan. Ia sakit. Spontan aku bertanya, sejak kapan beliau sakit? Kata nya, baru beberapa bulan ini. Meski semenjak SMP aku sudah tidak berinteraksi dengan anak nya, tapi aku masih menganggap dia sebagai teman kecil ku, dan tentu ibu nya adalah sosok guru yang sangat aku kagumi. Lalu aku menyimak cerita dengan lebih seksama. Sepupu ku bilang, beliau adalah istri yang benar-benar taat pada suami nya. Tak pernah mengeluh, atau membantah suami nya. Pernah suatu ketika sepulang mengajar, ban motor suami nya pecah. Perjalanan menuju rumah masih agak jauh. Ia tak ingin suaminya lelah, karna ia tahu suaminya sudah bekerja seharian, meski sama-sama mengajar di sekolah, tapi hormat nya ia terhadap suami nya sangat luar biasa. Kemudian ia meminta suaminya untuk bergegas pulang untuk beristirahat, dan ia mulai mendorong motor menuju bengkel yang letak nya sekitar 2 kilo meter dari posisi nya sekarang. Ia mendorong motor di bawah terik panas matahari. Awal nya aku tidak percaya, tapi inilah kenyataan nya. Setalah aku tanyakan perihal kebenaran cerita ini, ibu ku meng iyakan. Ah, miris rasanya hati ku mendengar nya. Lagi aku dengarkan cerita sepupuku, dia bilang, ibu itu benar-benar patuh terhadap suami nya, tak banyak menuntut ini itu pada suaminya. Sama sekali tidak pernah membantah perkataan suami nya. Seumur hidup nya, mungkin hanya ia abdikan untuk suaminya. Aku berfikir, bagaimana bisa beliau melakukan nya? Menyerahkan seluruh hidupnya untuk berbakti pada suaminya? Ah, aku iri terhadap sifat mulia nya, sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu bagi anak-anak nya.
            Beberapa hari kemudian, aku ingat betul itu hari raya idul fitri. Sperti biasa kami berkumpul di rumah kakek. Mendekati dzuhur, kami beranjak untuk melanjutkan silaturahim ke kerabat lain nya, atau ke teman-teman ayah dan ibu. Entah kenapa, lagi-lagi aku hanya menguntit kemana orang tua ku pergi. Rasa nya memang lebih nyaman bersilaturahim bersama orang tua ketimbang bersama yang lain nya. Atau, aku yang tidak memiliki teman di desa? Entahlah. Kemudian mobil kami memasuki pekarangan rumah seorang warga desa. Awal nya aku tidak merasa apa-apa. Tapi ketika turun dari mobil, aku terhenyak. Bukankah ini rumah teman TPA ku waktu kecil? Ah senangnya aku bisa bersilaurahim ke rumah ini lagi. lalu kami memasuki rumah.
Seorang bapak tua menyambut kami dengan ramah. Lalu keluar lah seorang wanita berpakaian selayak nya akhwat di kota, dengan jilbab panjang nya, dan kakinya yang terbalut kaos kaki coklat, juga manset yang melingkar di pergelangan tangan nya. Seketika ia menjabat tangan ibu ku, lalu memeluknya dan menangis haru. Aku yang berdiri di belakang ibu hanya menjadi saksi bisu dalam haru biru nya pertemuan kala itu. Semua hening, tak ada yang berbicara, ayah dan bapak tua itu pun hanya terdiam. Ayah duduk berhadapan dengan bapak itu, tapi tak satu kata pun keluar dari lisan nya. Aku membuntuti ibu yang berjalan ke sebuah kamar dengan arahan sang akhwat tadi. Masuklah kami ke sebuah kamar mungil. Ah, betapa aku terhenyak melihat siapa yang sedang terbaring lemah di atas pembaringan. Beliau lah sosok yang selama ini aku bertanya-tanya tentang kabar nya. Yang beberapa waktu lalu aku mendengar bahwa ia sedang sakit. Tak kusangka begitu parah nya sakit beliau. Ibu ku menangis memeluk nya dari pinggiran ranjang. Aku perhatikan sorot mata beliau, seperti ada mutiara-mutiara bening yang nyaris mengalir dari mata nya. Ah, sejuk nya mata itu…
Aku mendekatkan tangan ku ke pergelangan nya. Mencoba menjabat tangan nya yang terkulai lemah. Lama aku genggam tangan nya, sambil ku bacakan doa menjenguk orang sakit. Dia menatapku, hangat, hangat sekali tatapan matanya. Jujur aku ingin menangis melihat nya. tapi ibu ku cepat-cepat menarik ku dan member isyarat agar aku segera keluar. Baiklah, aku mengerti. Mungkin ibu tak ingin aku larut dalam kesedihan. Aku keluar dan duduk di dekat ayah ku. Adik-adik ku sibuk dengan jajanan lebaran yang beraneka ragam. Lalu sang bapak mulai bercerita, ah senangnya aku mendengar nya mulai berbicara. Ia katakana bahwa sakit yang di alami istrinya adalah tumor. Entah tumor apa, yang aku lihat ada pembengkakan hebat di perutnya. Sudah beberapa kali periksa ke dokter, solusi nya adalah berobat ke Malaysia. Lalu matanya mulai berkaca-kaca. Aku mengerti sekarang. Keluarga ini bukan lah keluarga kaya, seorang bapak yang hanya memiliki beberapa petak sawah dan makan sehari-hari dari penghasilan nya menjadi guru. Bagaimana bisa ia pergi ke Malaysia? Mungkin itu yang sedang mengiris iris hati nya. sampai ia bercerita, nyaris ia terjatuh dalam lubang kekafiran. Ada yang mencoba menghasutnya untuk memakai pengobatan melalui jin/sajen/sesembahan dan lain nya. tapi semua bisa ia tolak. Ia berkata “untuk apa kami beribadah puluhan tahun, untuk apa kami bekerja puluhan tahun, mengajar anak-anak bangsa puluhan tahun, kalau akhirnya kami jatuh ke lumbung kafir?” jujur aku salut dengan apa yang ia katakan. Beliau lanjutkan perkataan nya “biarlah ujian ini kami lalui dengan seperti ini, allah uji kesehatan istri saya, karna allah tahu istri saya mampu melalui nya”. lalu ibu ku keluar dari kamar mungil itu, dan kami pamit pulang. Aku melihat ada butiran bening di sudut mata ayah. Bersyukurlah ayah, karna ibu masih bisa berjalan di sisi mu, dan menggendong anak bungsu mu. Bersyukurlah wahai diri, karna ibu mu, masih bisa mengantarmu sampai ke terminal, menyemangati mu dengan senyuman yang akan menemani perjalanan mu sampai ke kota belajar mu. Bersyukurlah karna ibu mu masih sanggup mengangkat telpon dari mu, masih bisa berkata-kata manis untuk menyembuhkan duka mu. Bersyukurlah.
            Entah bagaimana kabar ibu yang mulia itu, aku berharap allah segera mengangkat penyakit nya, dan meringankan duka di keluarganya. Semoga liburan tahun depan, aku bisa melihatnya berdiri tegak menyambut kedatangan ku untuk lagi bersilaturahim ke rumah nya.

by : Afifah

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »