Salah satu permasalahan mendasar yang
terjadi pada ummat islam saat ini adalah kurangnya sikap saling memahami antara
kelompok, golongan maupun madzhab yang berbeda. Coba misalnya setiap tahun
seakan-akan ada permasalahan-permasalahan yang sebenarnya merupakan
permasalahan yang masih bersifat debatable namun selalu menjadi bahan
perdebatan tanpa bisa ditemukan jalan untuk mencari titik temu di antara
keduanya.
Salah satu contoh masyhur misalnya,
pada bulan Romadlon, seakan-akan media menemukan obyek empuk untuk dijadikan
sebagai bahan berita antara perbedaan metode penetuan awal dan akhir bulan.
Selain itu ada juga permasalahan jumlah raka’at shalat tarawih yang masih
sering diperdebatkan. Permasalahan qunut subuh, bid’ah ataukah sunnah juga
masih banyak permasalahan-permasalahan yang lain.
Salah Satu Sebab
Permasalahan
Salah satu sebab mendasar dari
permasalahan ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat sendiri akan hakikat
dari permasalahan itu.
Contohnya orang yang sejak kecil diajarkan
bahwa shalat tarawih yang benar itu 23 raka’at, pendapat yang lain salah. Maka
akan tergambar dalam dirinya –jika dia tidak menelaahnya lebih dalam- bahwa
memang inilah satu-satunya cara yang benar. Begitu sebaliknya, bagi yang
meyakini bahwa 11 raka’atlah yang paling benar, yang lain keliru. Maka ketika
kedua kelompok ini bertemu mereka akan saling mencari pembenaran pendapatnya
masing-masing.
Padahal kalau kita mau lihat realita
di lapangan, sebenarnya ada hal yang lebih penting dari ‘sekedar’ memperdebatkan
jumlah raka’at shalat tarawih. Misalnya terkadang kita melihat bahwa orang yang
shalatnya 23 raka’at selesainya justru lebih cepat dari orang yang shalatnya 11
raka’at. Artinya salah satu permasalahan pokok dalam shalat, yaitu khusyu’
seakan-akan lepas dari pengawasan kita karena terlalu fokus pada permasalahan
jumlah raka’at.
Bagaimana kita
harus bersikap ?
Lalu bagaimakah kita harus menyikapi
permasalahan ini. Penulis sering menemui dua kubu ekstrim dalam menyikapi
permasalahan ini :
Yang pertama ada kelompok yang
menyikapi permasalahan ini dengan kurang obyektif. Mereka menganggap bahwa
pendapat kelompoknyalah yang paling benar dan yang lain salah. Sebenarnya
semangat dari kelompok ini cukup baik, yaitu untuk mencari cara yang paling
benar dari perbedaan pendapat yang ada. Padahal kalau mau menela’ah lebih dalam
alasan dan dasar yang dijadikan landasan oleh kedua kelompok ini maka
sebenarnya sikap seperti ini kurang elok. Sebab kalau mau dikupas lebih
mendalam ternyata masing-masing kelompok punya dasar dan alasan tersendiri atas
apa yang mereka perbuat. Pendek kata, kelompok ini menganggap bahwa semua
perbedaan pendapat adalah permasalahan pokok yang tidak boleh ada dua pendapat,
tetapi cukup satu saja yang benar.
Sementara kelompok kedua menganggap
bahwa semua permasalahan yang ada merupakan permasalahan tidak pokok yang tidak
perlu diperdebatkan, artinya di bidang apapun perbedaan pendapat itu terjadi
maka kita harus menghormatinya sebagai bentuk penghargaan terhadap pendapat
kelompok lain. Sisi ekstrim kelompok ini adalah obyek yang mereka anggap
debatable tidak hanya terbatas pada masalah-masalah furu’ tetapi
menjalar ke permasalahan ushul seperti masalah aqidah dan keyakinan.
Untuk itu, sikap moderat dan
pertengahan adalah dengan memilah-milah terlebih dahulu permasalahan yang
diperdebatkan. Karena dalam syari’at islam ada perkara yang sifatnya tsawabit
(tidak boleh diperdebatkan) seperti jumlah raka’at shalat, haramnya riba dan
lain-lain. Juga ada permasalahan yang sifatnya mutaghayyirat (debatable)
seperti tata cara membasuh kepala dalam wudlu’, jumlah raka’at shalat tarawih
dan lain-lain.
Akan muncul pertanyaan, lalu
bagaimana masyarakat kita akan tahu bahwa permasalahan ini masuk ke dalam tsawabit
dan mutaghayyirat?
Maka tugas kita terutama para
mahasiswa syari’ah adalah untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan ini
kepada masyarakat beserta penjelasannya apakah masuk ke dalam tsawabit ataukah
mutaghayyirat. Dengan demikian maka penyikapan kita akan berbeda
terhadap permasalahan yang berbeda pula. Sebab jika bukan para ahli yang
menjelaskan permasalahan ini, maka masyarakat awwam akan bingung sendiri dan
memperdebatkan permasalahan yang sebenarnya mereka belum memahami apa yang
mereka perdebatan.
Di sinilah kita bisa melihat betapa
pentingnya ilmu dan pemahaman sebelum perbuatan, karena –seperti yang dikatakan
Waki’ guru Imam Syafi’î- Ilmu itu adalah cahaya. Dia akan menerangi para
pemiliknya dan orang-orang yang bernaung di sekitarnya.
Tajun Nashr Ms.
EmoticonEmoticon