Foto: Ilustrasi |
Beberapa hari yang lalu, saya belajar banyak dari seorang ibu. Lebih dari kasih sayang seorang ibu yang selama ini kita ketahui. Saya dan beberapa teman alumni Pesantren berangkat menuju salah satu rumah sakit di Jakarta. Masih terlihat bekas kesibukan masing-masing dari kami, senja pun perlahan mulai pergi. Berita dirawatnya adik kelas kami beberapa hari yang lalu membuat kami berinisiatif menjenguknya. Selepas shalat maghrib, langkah kami beriringan mencari gedung tempat adik kelas kami dirawat. Hingga kami sampai di ruang tunggu tempat para penjenguk di perbolehkan tinggal.
Sampai kami bertemu Ibunya. Kami memanggilnya ummi. Betapa terkagumnya kami bertemu ummi. Sosok wanita tegar, bahkan dalam kondisi yang membuat setiap orang tak sanggup membayangkan. Sungguh setiap tutur kata yang terucap dari ummi membuat kami luluh, tunduk diam seribu bahasa. Dari hati, ia menceritakan beberapa kondisi terkini anaknya yang belum juga sadar. Seakan tak ingin sedikitpun membuat setiap orang yang menjenguk khawatir, ummi sesekali mengalihkan pembiaraan tentang kondisi anaknya. Walau kami paham kesedihan ummi saat ini. Raut wajah khawatir dan sedih sedemikian rupa ia sembunyikan.
Kami tak sempat melihat langsung kondisi adik kelas kami karena sudah lewat jam besuk, namun ummi menceritakan kondisi anaknya saat ini. Ia menderita pecah pembuluh darah di otak. Kondisinya tak sadar, walau sempat ada respon gerakan. Kami sedikit lega mendengar bahwa sudah ada beberapa kemajuan dari hari-hari sebelumnya. Sikap ummi kepada kami membuat kami merasa seperti anak ummi sendiri.
Sambil beberapa kali menebar senyum ummi bercerita kepada kami tentang kepribadian anaknya.Tak sedikitpun ummi berkeluh kesah kepada kami, justru ummi menyemangati kami, menunjukkan ketegarannya kepada kami, seakan ingin memberikan teladan seorang ibu. Ya, teladan, itu semua menjadi teladan luar biasa bagi kami. Ummi sungguh luar biasa, ummi sungguh tegar. Pasti setiap anak bangga jika punya ibu seperti ummi yakinku dalam hati. Tak pernah sekalipun ummi putus asa apalagi marah akan takdir dan cobaan ini. "Ummi yakin Allah pasti bantu", tegas ummi kepada kami.
"Mungkin ada kali ya yang bertanya, ko ummi masih bisa senyum, yaah kalo ga senyum berarti ngga bersyukur dong, nikmat Allah yang dikasih kita kan lebih banyak", tuturnya dengan senyum. Beberapa kondisi yang ummi ceritakan membuat kami paham akan kesulitan ummi. Apalagi ummi kini hanya berjuang sendiri dengan tujuh anak-anaknya. Entah bagaimana kami harus membayangkan perjuangan dan lelahnya ummi, terutama perasaan ummi sekarang.
"Allah sedang ngasih tarbiyahnya ke ummi dalam bentuk nyata, bukan lagi teori. Kalo selama ini kita tau teorinya, harus sabar, ikhlas, tawakkal, nah sekarang prakteknya, dan tidak mudah memang" lanjutnya dengan senyum, senyum kesabaran seorang ummi pada ketetapan Penciptanya. "Pastilah setiap orang kan ngga ada yang mau susah yah, tapi kalo sudah ketetapan Allah begini ya harus dihadapin, masa kita mau nolak, harus kuat, harus sabar, harapan kan masih ada". Bagi kami itu sebuah pelajaran berharga dari seorang ibu, pelajaran tentang hakikat ketegaran, hakikat seorang hamba. Hanya pesan doa yang membuat ummi tetap tegar.
Sungguh, kami belajar banyak dari ummi, seorang ibu yang begitu tulus mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Betapa ketegaran telah membentengi jiwanya, sehingga ia kokoh tak mudah goyah. Betapa seorang mukmin hidupnya senantiasa indah dalam hiasan naungan Ilahi. Mungkin ia sedih, tapi cepat kembali tersenyum. Mungkin ia gelisah, tapi cepat kembali tenang. Mungkin ia marah, tapi cepat kembali tertawa. Mungkin ia lelah, tapi segera mengusap peluh keringatnya. Mungkin ia runtuh, tapi kemudian segera bangkit.
Sebuah ketegaran yang tumbuh dari proses pembinaan diri, pembinaan jiwa dalam proses tarbiyah. Ia tautkan hatinya pada Sang Khaliq, sehingga ia tenang walau dalam kesempitan. Menjadikan setiap urusan adalah kenikmatan yang harus dilalui, bagaimanapun rumitnya. Menjadikan setiap cobaan adalah tarbiyah nyata yang tak lagi sebatas teori. Sabar, ikhlas, tawakkal, syukur, tak lagi hanya sebatas ukiran diatas kertas, namun ia harus menghadapinya dalam kenyataan, walau terkadang berat. Aura ketegaran ibu, mengalahkan sempitnya dunia, mengalahkan kedigdayaan nafsu, membawanya pada dekapan Ilahi.
Ummi telah membuatku iri akan sifatnya, ummi telah membuat iri seluruh wanita akan ketegarannya, ketulusannya merawat dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya. Benarlah pepatah orang Arab yang berkata "Pukulan yang tak mematikanmu, akan menajdikan engkau lebih kuat".
Terima kasih ummi atas teladannya. Biarlah Allah yang akan mengganti kasih sayang ummi dengan kasih sayang Allah di surga kelak...
"Hai anak nokeiloh ko idaah
Nosusah moti yamamu megentian dika
Odei anak nokeiloh ko idaah
Nosusah tomod yamamu minaganak dika
Namun kelahiranmu adalah penghibur hati
Dibelai dan dimanja setiap hari
Di malam hari tidur tak berwaktu
Tapi tak mengapa kerana kau disayangi
Wahai anak apakah kau mengerti
Betapa deritanya ibu yang mengandung
Aduhai anak apakah engkau tahu
Alangkah deritanya ibu melahirkanmu
Hari-hari sudah pun berlalu
Usiamu makin bertambah
Seorang ibu sudah semakin tua
Namun terus berkorban untuk sesuap rezeki
Agar sempurna hari depanmu
Kini kau dewasa ibumu telah pergi
Waktu yang berlalu seakan memanggil
Sudahkah kau curahkan kasih sayangmu
Apakah terbalas segala jasanya
Surga itu di bawah tapak kakinya
Hanyalah anak-anak yang sholeh
Bisa memberikan kasih sayangnya
Hanyalah anak-anak yang sholeh
Bisa mendoakan hari akhiratmu"
(Raihan-Odei Anak)
by : Raji Luqya Maulah
1 komentar:
Write komentarmenangis membacanya...tak sanggup membayangkannya... :"(
ReplyEmoticonEmoticon