Oleh : Tajun Nashr Ms.
Tidak bisa dibayangkan alangkah bahagianya ketika sesuatu yang ditunggu bertahun-tahun itu akhirnya tiba. Seorang ayah yang mengharapkan kelahiran seorang putra di usianya yang senja, akhirnya terlahirlah bayi mungil dan rupawan bernama “Isma’il”. Harapan besar tentunya sudah tersirat dalam hatinya karena akan ada yang meneruskan amanat besar mengemban risalah kenabian sang Abul Anbiyaa’.
Waktu silih berganti, Isma’il pun tumbuh menjadi remaja yang tangkas, namun di saat kecintaan pada anaknya memuncak maka datanglah perintah dari Allah untuk menyembelihnya, melalui mimpi yang benar. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim waktu itu, bertahun-tahun menunggu kelahiran seorang putra, namun ketika yang diharapkan sudah datang maka datanglah perintah untuk menyembelihnya. Disinilah kecintaan seorang ayah diuji, dia dihadapkan diantara dua pilihan : kecintaan kepada anaknya atau ketaatan kepada perintah Rabb semesta alam.
Namun karena ketulusan hatinya maka rasa cintanya yang sangat kepada anaknya tidak sampai melebihi rasa cinta kepada Allah. Dengan penuh keikhlasan ia mengorbankan anaknya tercinta, begitu pula Isma’il, ia menjawab seruan Rabbnya dengan kalimat yang sangat indah “Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya’ Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Subhanallah….! Betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan! Jika kita menilik kembali kisah di atas maka apa sebenarnya yang mendasari keta’atan mereka yang tulus sepenuh hati? Tidak lain adalah karena ketauhidan yang menancap dan mengakar kuat dalam hati mereka, dangan meyakini bahwa hanya Allah yang berhak untuk dita’ati dan dipatuhi, karena Dialah satu-satunya Tuhan semesta alam. Tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk kesyirikan akan melahirkan keikhlasan yang bersih pula, semua amalan yang dilakukan hanyalah mengharapkan ridlo Allah. Sehingga rasa cinta yang mendalam kepada Allah bisa mengalahkan rasa cinta kepada selain-Nya, meskipun kepada anaknya sendiri
Sekarang marilah kita tengok kondisi kita saat ini, meskipun secara dhohir medan yang kita hadapi sangat berbeda dengan Nabi Ibrahim, namun tantangan yang kita hadapi juga semakin kompleks. Disaat sarana dan pra-sarana semakin mudah, maka kemudahan untuk melakukan larangan pun seakan berbanding lurus dengan fasilitas yang ada. Rintangan-rintangan yang ada tidak hanya berbentuk hinaan, larangan dan serangan secara nyata, namun yang lebih berbahaya adalah justru serangan-serangan halus yang dilancarkan ke pangkal hati, yang melemahkan dan mengeroposi aqidah.
Karena sudah terbukti dalam sejarah, ketika gerakan da’wah dikekang justru akan melahirkan kader-kader yang militan. Kita bisa melihat dari mulai periode Sahabat, tabi’in sampai para pejuang-pejuang islam di nusantara. Dari tekanan-tekanan itu lahirlah tokoh-tokoh sekaliber Pangeran Diponegoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir dll.
Namun, disaat jalan semakin longgar dan tekanan-tekanan semakin mengendur maka seakan semangat mereka ikut mengendur karena merasa berada dalam kelonggaran. Di situlah musuh-musuh islam mulai bergerak melalui propaganda-propaganda halus, yang bisa dibilang lebih berbahaya dari tekanan-tekanan fisik. Karena serangan ini menyerbu akal dan akidah ummat. Untuk itu disebarlah virus liberal, sekuler, bahkan aliran-aliran sesat masih terus berkembang.
Jadi, haruskah kita kembali ke masa-masa tekanan tersebut?? Tentu saja tidak harus begitu, justru kita harus mensyukuri kemudahan yang kita dapatkan sekarang. Di masa yang serba cepat ini ada bentuk pengorbanan lain yang harus kita lakukan, yaitu pengorbanan kita untuk meninggalkan sejenak kemalasan, egoisme pribadi dan kenyamanan semu yang melalaikan kita dari kewajiban kita yang sebenarnya. Sudah saatnya bagi kita untuk berkorban waktu, tenaga maupun fikiran untuk kemaslahatan ummat dan kemaslahatan agama kita.
Meskipun para pejuang dan para pembela kebenaran berguguran silih berganti, namun perjuangan mereka tidak akan pernah berhenti. Tentunya dalam perjalanan nanti, kita dituntut untuk mengorbankan apa yang kita miliki berupa harta, bahkan nyawa sekalipun kita harus selalu siap siaga. Karena ini memang jalan yang kita pilih, jalannya para penurus ‘anbiyaa’ wal mursalin, jalan da’wah di jalan-Nya. Seorang penuntut ilmu misalnya, tentunya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, dia harus melewati beberapa tahap yang penuh pengorbanan, ia harus selalu mengasah kecerdasannya, bersungguh-sungguh, bersabar, senatiasa meminta bimbingan kepada para guru, yang semua itu tentunya sedikit banyak membutuhkan pengorbanan berupa harta dan waktu menuntut ilmu yang tak boleh berhenti sepanjang desah nafas masih berhembus. Maka kesulitan semacam apapun, seperti kesulitan bekal dan harta tidak akan membuat seorang penuntut ilmu sejati melemah semangatnya, karena dia akan berkorban apa saja demi mendapatkan apa yang ia inginkan di jalan Allah.
Kenapa kita mesti berkorban? Al-Kautsar ayat 2 cukup memberikan jawaban yang lugas :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر :2
"dan sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah"
Semua ibadah yang kita lakukan haruslah di dasari dengan niat yang ikhlas karena mengharapkan ridlo Allah semata, sebab hal ini menjadi salah satu syarat mutlak diterimanya amalan seorang hamba.
Kemudian, jika kita tidak mau berkurban dan lebih menuruti ego pribadi semata maka jangan salahkan siapapun jikalau nanti justru ummat islam yang menjadi korban diakibatkan kelalaian kita. Kalau tidak ada yang tampil ke muka untuk menyebarkan da’wah yang dilandasi aqidah tauhid yang benar ini, jangan salahkan siapapun jika nanti ummat ini banyak dijejali oleh akidah mistik maupun akidah liberal.
Untuk itu, bangkitlah wahai ikhwah sekalian, bangkitlah kaum muslimin dari tidur panjangmu, Ingatlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seorang mu’min :
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (آل عمران:171)
“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang beriman.”
ingatlah perkataan salah seorang penyair :
لَا تَنَمْ يَابْنَ آدَمَ مَهْلًا # إِن تَحْتَ الترَابِ نَوْمًا طَوِيْلًا
“Wahai anak adam janganlah kalian tidur/lalai walaupun sebentar…Karena di bawah tanah kalian akan tidur panjang”
Suatu keberhasilan yang kita peroleh akan terasa lebih indah jika kita meraihnya dengan susah payah dan pengorbanan. Kita bisa melihat hasil pengorbanan dan perjuangan Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kenabiannya yang melahirkan buah yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan manisnya. Ritual-ritual dalam ibadah haji merupakan bentuk napak tilas dari pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mulai dari sa’i, thawaf sampai penyembelihan qurban. Yang akan terus menerus dilakukan oleh ummat islam setiap tahun sampai akhir zaman. Disinilah maka indahnya pengorbanan itu bisa kita rasakan. Tidakkah kita merasa mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa ketika pengorbanan kita di jalan Allah hasilnya bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Alangkah indahnya ketika da’wah kita yang melalui perjuangan dan pengorbanan yang bertubi-tubi mendapatkan sambutan dari orang kita da’wahi. Sungguhpun ketika da’wah kita tidak mendapatkan sambutan maka janganlah merasa putus asa, dan jangan merasa usaha kita sia-sia, karena Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang senantiasa berjalan di jalan-Nya untuk menyebarkan agama-Nya. Bagaimanapun pengorbanan itu tetap indah dan keindahannya akan memuncak jika surga-Nya menjadi tempat kembali kita.
Tidak bisa dibayangkan alangkah bahagianya ketika sesuatu yang ditunggu bertahun-tahun itu akhirnya tiba. Seorang ayah yang mengharapkan kelahiran seorang putra di usianya yang senja, akhirnya terlahirlah bayi mungil dan rupawan bernama “Isma’il”. Harapan besar tentunya sudah tersirat dalam hatinya karena akan ada yang meneruskan amanat besar mengemban risalah kenabian sang Abul Anbiyaa’.
Waktu silih berganti, Isma’il pun tumbuh menjadi remaja yang tangkas, namun di saat kecintaan pada anaknya memuncak maka datanglah perintah dari Allah untuk menyembelihnya, melalui mimpi yang benar. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim waktu itu, bertahun-tahun menunggu kelahiran seorang putra, namun ketika yang diharapkan sudah datang maka datanglah perintah untuk menyembelihnya. Disinilah kecintaan seorang ayah diuji, dia dihadapkan diantara dua pilihan : kecintaan kepada anaknya atau ketaatan kepada perintah Rabb semesta alam.
Namun karena ketulusan hatinya maka rasa cintanya yang sangat kepada anaknya tidak sampai melebihi rasa cinta kepada Allah. Dengan penuh keikhlasan ia mengorbankan anaknya tercinta, begitu pula Isma’il, ia menjawab seruan Rabbnya dengan kalimat yang sangat indah “Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya’ Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Subhanallah….! Betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan! Jika kita menilik kembali kisah di atas maka apa sebenarnya yang mendasari keta’atan mereka yang tulus sepenuh hati? Tidak lain adalah karena ketauhidan yang menancap dan mengakar kuat dalam hati mereka, dangan meyakini bahwa hanya Allah yang berhak untuk dita’ati dan dipatuhi, karena Dialah satu-satunya Tuhan semesta alam. Tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk kesyirikan akan melahirkan keikhlasan yang bersih pula, semua amalan yang dilakukan hanyalah mengharapkan ridlo Allah. Sehingga rasa cinta yang mendalam kepada Allah bisa mengalahkan rasa cinta kepada selain-Nya, meskipun kepada anaknya sendiri
Sekarang marilah kita tengok kondisi kita saat ini, meskipun secara dhohir medan yang kita hadapi sangat berbeda dengan Nabi Ibrahim, namun tantangan yang kita hadapi juga semakin kompleks. Disaat sarana dan pra-sarana semakin mudah, maka kemudahan untuk melakukan larangan pun seakan berbanding lurus dengan fasilitas yang ada. Rintangan-rintangan yang ada tidak hanya berbentuk hinaan, larangan dan serangan secara nyata, namun yang lebih berbahaya adalah justru serangan-serangan halus yang dilancarkan ke pangkal hati, yang melemahkan dan mengeroposi aqidah.
Karena sudah terbukti dalam sejarah, ketika gerakan da’wah dikekang justru akan melahirkan kader-kader yang militan. Kita bisa melihat dari mulai periode Sahabat, tabi’in sampai para pejuang-pejuang islam di nusantara. Dari tekanan-tekanan itu lahirlah tokoh-tokoh sekaliber Pangeran Diponegoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir dll.
Namun, disaat jalan semakin longgar dan tekanan-tekanan semakin mengendur maka seakan semangat mereka ikut mengendur karena merasa berada dalam kelonggaran. Di situlah musuh-musuh islam mulai bergerak melalui propaganda-propaganda halus, yang bisa dibilang lebih berbahaya dari tekanan-tekanan fisik. Karena serangan ini menyerbu akal dan akidah ummat. Untuk itu disebarlah virus liberal, sekuler, bahkan aliran-aliran sesat masih terus berkembang.
Jadi, haruskah kita kembali ke masa-masa tekanan tersebut?? Tentu saja tidak harus begitu, justru kita harus mensyukuri kemudahan yang kita dapatkan sekarang. Di masa yang serba cepat ini ada bentuk pengorbanan lain yang harus kita lakukan, yaitu pengorbanan kita untuk meninggalkan sejenak kemalasan, egoisme pribadi dan kenyamanan semu yang melalaikan kita dari kewajiban kita yang sebenarnya. Sudah saatnya bagi kita untuk berkorban waktu, tenaga maupun fikiran untuk kemaslahatan ummat dan kemaslahatan agama kita.
Meskipun para pejuang dan para pembela kebenaran berguguran silih berganti, namun perjuangan mereka tidak akan pernah berhenti. Tentunya dalam perjalanan nanti, kita dituntut untuk mengorbankan apa yang kita miliki berupa harta, bahkan nyawa sekalipun kita harus selalu siap siaga. Karena ini memang jalan yang kita pilih, jalannya para penurus ‘anbiyaa’ wal mursalin, jalan da’wah di jalan-Nya. Seorang penuntut ilmu misalnya, tentunya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, dia harus melewati beberapa tahap yang penuh pengorbanan, ia harus selalu mengasah kecerdasannya, bersungguh-sungguh, bersabar, senatiasa meminta bimbingan kepada para guru, yang semua itu tentunya sedikit banyak membutuhkan pengorbanan berupa harta dan waktu menuntut ilmu yang tak boleh berhenti sepanjang desah nafas masih berhembus. Maka kesulitan semacam apapun, seperti kesulitan bekal dan harta tidak akan membuat seorang penuntut ilmu sejati melemah semangatnya, karena dia akan berkorban apa saja demi mendapatkan apa yang ia inginkan di jalan Allah.
Kenapa kita mesti berkorban? Al-Kautsar ayat 2 cukup memberikan jawaban yang lugas :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر :2
"dan sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah"
Semua ibadah yang kita lakukan haruslah di dasari dengan niat yang ikhlas karena mengharapkan ridlo Allah semata, sebab hal ini menjadi salah satu syarat mutlak diterimanya amalan seorang hamba.
Kemudian, jika kita tidak mau berkurban dan lebih menuruti ego pribadi semata maka jangan salahkan siapapun jikalau nanti justru ummat islam yang menjadi korban diakibatkan kelalaian kita. Kalau tidak ada yang tampil ke muka untuk menyebarkan da’wah yang dilandasi aqidah tauhid yang benar ini, jangan salahkan siapapun jika nanti ummat ini banyak dijejali oleh akidah mistik maupun akidah liberal.
Untuk itu, bangkitlah wahai ikhwah sekalian, bangkitlah kaum muslimin dari tidur panjangmu, Ingatlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seorang mu’min :
يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (آل عمران:171)
“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang beriman.”
ingatlah perkataan salah seorang penyair :
لَا تَنَمْ يَابْنَ آدَمَ مَهْلًا # إِن تَحْتَ الترَابِ نَوْمًا طَوِيْلًا
“Wahai anak adam janganlah kalian tidur/lalai walaupun sebentar…Karena di bawah tanah kalian akan tidur panjang”
Suatu keberhasilan yang kita peroleh akan terasa lebih indah jika kita meraihnya dengan susah payah dan pengorbanan. Kita bisa melihat hasil pengorbanan dan perjuangan Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kenabiannya yang melahirkan buah yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan manisnya. Ritual-ritual dalam ibadah haji merupakan bentuk napak tilas dari pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mulai dari sa’i, thawaf sampai penyembelihan qurban. Yang akan terus menerus dilakukan oleh ummat islam setiap tahun sampai akhir zaman. Disinilah maka indahnya pengorbanan itu bisa kita rasakan. Tidakkah kita merasa mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa ketika pengorbanan kita di jalan Allah hasilnya bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Alangkah indahnya ketika da’wah kita yang melalui perjuangan dan pengorbanan yang bertubi-tubi mendapatkan sambutan dari orang kita da’wahi. Sungguhpun ketika da’wah kita tidak mendapatkan sambutan maka janganlah merasa putus asa, dan jangan merasa usaha kita sia-sia, karena Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang senantiasa berjalan di jalan-Nya untuk menyebarkan agama-Nya. Bagaimanapun pengorbanan itu tetap indah dan keindahannya akan memuncak jika surga-Nya menjadi tempat kembali kita.
EmoticonEmoticon