Seorang Bapak di pinggiran Masjid Al Ikhlas



*oleh : Afifah Nusaibah
            Sore itu saya menerima sebuah pesan singkat dari pengurus kaderisasi KAMMI Komisariat LIPIA yang isi nya pemberitahuan bahwa malam nanti ba’da isya syuro evaluasi DM 1 2013 di Aula Masjid Al Ikhlas Jatipadang. Awal nya saya berniat untuk tidak hadir, selain karna jauh dari asrama tempat saya tinggal, teman-teman KAMMI di asrama pun minta izin tidak hadir karna besok ada UTS. Tapi ba’da maghrib saya putuskan untuk pergi sendiri dari asrama menuju al ikhlas. Tepat adzan isya berkumandang saya tiba di pelataran Al Ikhlas. Usai sholat, saya turun kebawah duduk di pelataran samping aula masjid. Aula yang masih remang-remang pertanda belum ada pengurus KAMMI yang hadir nampak sepi. Beberapa menit berlalu, datanglah salah seorang teman saya. Seperti biasa, jabat tangan memberi salam, lalu kami duduk di pinggiran aula berdua. Saat kami sedang bertukar sedikit cerita, tiba-tiba saja ada seorang bapak –saya taksir umur nya berkisar 40-45 tahun- berjalan ke arah kami dengan agak tergesa-gesa. Tanpa mengucap salam, si bapak langsung melontarkan pertanyaan.
            “kalo mau ke cinere gimana ya dik arah nya?”
Releks saja kami berdua beranjak dari duduk untuk menjawab dan mengarahkan alamat yang di tanyakan si bapak.
            “oh, bapak dari sini lurus aja ke sana, nanti ada lampu merah kedua setelah yang di depan ini, itu bapak belok kiri luruuuuus aja, naah nanti...” belum selesai penjelasan saya si bapak langsung memotong perkataan saya.
            “oh iya-iya, saya ngerti dik, ya sudah bismillah, saya coba jalan kaki kesana, gak papa walopun sepatu harus bolong kayak gini” ucap si bapak sambil tersenyum, mengangkat kaki kiri nya, menunjukkan sepatu nya yang sudah menipis. Seperti ada air mata yang tertahan di ujung mata nya.
Loh???!!! Spontan saja kami berdua terkejut mendengar pernyataan bapak itu. Cinere jauh kan? Harus dua kali naik angkot, dan bapak mau kesana jalan kaki? Aku dan teman ku saling pandang, kebingungan.
            “Cinere jauh pak, harus dua kali naik angkot” jawab ku.
Lalu si bapak tersenyum dengan mata berkaca-kaca, “gak papa dik, saya sudah jalan dari bekasi ke sini, dan saya tadi dapet minum itu sudah subhanallah banget, ahamdulillah.”
Semakin bingung aku dan teman ku mendengar penjelasan si bapak.
            “Bapak kenapa?? Bapak dari mana pak? Memang bapak gak bawa uang?” Lanjut kami ingin tahu lebih banyak permasalahan si bapak.
            “Saya dari jogja, mau ke tempat anak saya di bekasi dik, tapi ternyata anak saya sudah pindah dari bekasi ke cinere,” jelas si bapak dengan sangat tergesa-gesa dan mulai berjalan pergi dari kami.
Detik itu kami berdua benar-benar di landa kebingungan, secepat mungkin aku mencari sisa sisa uang jajan dari dompet ku yang juga tak seberapa isi nya.
            “pakai uang kami saja pak, ini pak” ucap ku seraya mengejar nya dan menyodorkan selembar uang yang nilai nya mungkin hanya cukup untuk dua atau tiga kali naik angkutan umum di jakarta. Si bapak seperti ingin menolak, tapi mungkin dia sangat memerlukan nya, lalu di terimalah uang yang kami sodorkan untuk nya.
            “trimakasih dik, trimakasih banyak ya” lagi-lagi aku melihat butiran-butiran bening yang tertahan di sudut mata nya.
            “iya pak, maaf pak kami Cuma bisa bantu segitu pak ya” Ucap ku.
            “gak papa dik, ini  sudah alhamdulillah banget” jawab bapak itu dengan tergesa-gesa dan berjalan pergi. Karna penasaran dan ingin memastikan si bapak tidak salah naik angkot, kami membututi si bapak dari belakang, tapi hanya sampai jalan raya depan Masjid, kami melihat nya masih tetap berjalan menuju lampu merah mangga besar, lalu sosok si bapak hilang tertutup ramainya lalu lintas malam itu.
Aku saling tatap dengan teman ku, “Gak kebayang kalo itu ayah kita ya” ucap nya. Benar, yang temanku rasakan sama seperti yang aku rasakan, bagaimana jika bapak tadi adalah ayah kami? Yang berniat menjenguk anak nya, tapi kemudian anak nya ternyata sudah pindah. Banyak pertanyaan dalam benak kami yang belum terjawab. Si bapak dari jogja? Iya sih penampilan dan logat bicara nya menampakkan bahwa dia orang jawa. Tapi, kok si bapak nggak bawa tas pakaian atau bahkan tas kecil? Si bapak menemui kami dengan tangan kosong? Apa dia habis di copet? Ya allah, kasihan jika benar dia habis kecopetan. Kenapa si bapak nggak telpon anak nya minta jemput di pasar minggu? Bapak itu, apa nggak punya hape? Lalu, kenapa si bapak menghampiri kami yang posisi kami saat itu berada di bagian samping Masjid Al Ikhlas? Padahal, di pelataran depan masjid, banyak ikhwan dan juga ada penjaga masjid, kenapa? Semua pertanyaan ini hanya terlontar dari lisan kami berdua, tanpa kami menemukan jawaban nya.
Kami kembali duduk, sedikit menghela nafas, mencoba menenangkan rasa penasaran dalam hati kami.
“Tadi kamu ngasih berapa ke bapak itu?” tanya teman ku. Aku menjawab nya sesuai nominal yang aku berikan ke si bapak. Lalu teman ku menyodorkan uang, separuh dari nominal yang aku berikan ke bapak tadi. Jelas saja aku bingung dan menolak. Tapi dia tetap memaksa. “hmm,,, kita berbagi pahala nih cerita nya? Nggak mau ketinggalan berbuat baik ya? Hehe” ucap ku sambil tersenyum kepada nya. Dia hanya balas tersenyum ringan.
“serius deh, nggak kebayang kalo itu ayah kita sendiri, sedih banget rasa nya” ucap teman ku.
“iya... tapi mungkin nggak ya,,, si bapak bohong? Tapi masa sih bapak itu bohong? Apa jangan-jangan,,,, dia malaikat yang di utus allah buat nguji rasa kepedulian kita ya? Haha, lebay banget khayalan aku yak?”
“kalo dia bohong, masa iya sih, ah ya udah ah, husnudzon aja, ambil hikmah nya aja” jawab teman ku.
Tak lama setelah kejadian itu, kami masuk ke aula untuk memulai agenda syuro evaluasi. Dan cerita kami bersama si bapak, terpendam untuk beberapa jam. Sampai detik ini, pertanyaan pertanyaan kami masih belum terjawab dan entah kapan akan terjawab. Tapi kami menyadari, banyak hikmah tersirat dalam kejadian malam itu. Innamal mu;minuuna ikhwah. Sesungguhnya muslim itu bersaudara.
~Al Ikhlas, 24 Oktober 2013  

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »