Ingin Mendominasi? Redenominasi Dulu?

Part 2

Laporan foxnews berjudul : “10 The Worst Currencies” yang menyebutkan rupiah masuk dalam kategori uang sampah. Rupiah ditempatkan pada posisi no 6 sementara uang paling parah adalah dolar Zimbabwe dengan nilai tukar 642 ribu triliun per dolar AS. Posisi kedua Somalia (1 US$= 35 Shillings) kemudian berturut turut Turkmenistan (1US$=24 ribu manat) vietnam (1 US$=16.975 dong) serta Sao Tome dan Principe (1 US$ =14.350 Dobra) menyusul kemudian Indonesia dengan nilai tukar Rp 11.000 per dolr AS. (Redenominasai hanya demi gengsi) (1)

Dari kaca mata ini pemerintah berhak menentukan kebijakannya sendiri. Gambaran terlihat tak sudi dibalut rasa gengsi ketika rupiah digolongkan sebagai kategori uang sampah (the worst currency), bank sentral mengusulkan sebuah kebijakan untuk mendongkrak nilai rupiah yaitu redenominasi rupiah dengan menghapusakn angka 3 nol disetiap lembar rupiah.

Redenominasi upaya menyederhanakan angka nominal tanpa mereduksi nilai tukar. Contoh uang pecahan Rp 100.000 akan berubah menjadi Rp 100. Dengan upaya ini berharap dapat mengangkat derajat rupiah keluar dari keranjang 10 mata uang sampah.

Rencananya, kebijakan redenominasi ini baru akan diterapkan pada tahun 2022 mendatang dan tentunya wacana seperti ini menuai banyak beragam opini dari masyarakat, khususnya di kalangan akademisi. Menurut Erani Yustika seorang guru besar FE UNBRAW, “kebijakan redenominasi tidak mempunyai dasar pertimbangan ekonomi yang kuat”(2). Menarik sekali karena memang kebijakan ini hanya terlihat untuk mempercantik transaksi.

Kita tengok di tahun 1994 brazil mengalami inflasai sampai 2000%, di tahun 1992 argentina dilanda inflasi 3000% akibat dari redenominasi yang tak terukur. Di akhir dapat hasil hiperinlasi yang begitu besar. Ngeri sekali memang, ketika kebijakan tidak diukur. Apalagi ada skenario dibalik scenario, oleh spekulan dimanfaatkan untuk menaikkan harga barang yang ujung ujungnya mendorong tingkat inflasi.

Belajar dai ke 2 penglaman Negara itu, maka kabarnya pemerintah Indonesia dan bank sentral telah memperhitungkan kemungkinan kemungkinan negative redenominasi. Sehingga akhirnya pemerintah membutuhkan waktu untuk melakukan sosialisasi dan penerapan bertahap selama 9 tahun. Dari awal 2014 – 2019 tahapan sosialisasi penyesuaian setelah itu barulah penggalakan mata uang yang telah diredenominasi. Tiga tahun kemudian, barualah pemerintah menyatakan uang lama tidak berlaku.

(APVA) Asosiasi Pedagang Valuta Asing menyambut positif tahapan penyesuian kebijakan diatas. Menurutnya ada 2 keuntungan dari kebijakan redenominasi, pertama proses transaksi perdagangan. Akuntansi/perbankan menjadi lebih sederhana, kedua akan berdampak pada peningkatan harga diri bangsa. Begitulah pendapat Asosiasi yang selalu bermain pada angka nominal, yang kental dengan ketidakpastian.

Dengan segala upaya penguatan nilai rupiah yang dilakukan pemerintah, diharapkan seluruh bangsa Indonesia, termasuk mereka yang tergolong “borju” tidak lagi malu mengantongi rupiah yang merupakan salah satu kebanggan dan martabat bangsa. Setelah itu masyarakat Indonesia tak usah sungkan berinteraksi menggunakan rupiah.

Pertanyaan besar dari penulis pun muncul, artinya harus ada makna REDENOMINASI HAKIKI yang memang dengan kebijakan itu bisa menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan.

Kembali lagi, Apakah ini sebuah solusi yang efektif ?

Benarkah uang kertas hanya akal akalan zionis untuk menguasai dunia?

Masihkah Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya menutup mata dengan solusi yang ditawarkan oleh islam yaitu mata uang emas ( dinar dan dirham) ?

Nyatanya, sejumlah kalangan masih mempertanyakan kehandalan uang emas mulai dari tataran teknis, ekonomis, politis, hingga yang bertaraf ideologis.

Studi kasus dari para intektual tentang hal ini mengenai keberatan yang cukup dominan tentang persedian emas, apakah cukup jika dikonversikan dengan jumlah uang yang beredar seperti di Indonesia/bahkan di dunia?

Bersambung…

Oleh : Aldi Sy

_____
(1) Review 16 tahun, 17 – 23 desember 2012
(2) Muhammad Idrus, Oktober 2013 “Rupiah kuat, Bangsa bermartabat”, JAKARTA, penerbit KINAN KOMUNIKASI.





Share this

Related Posts

Previous
Next Post »