Ingin Mendominasi? Redenominasi Dulu?

Part 1

Perkara pedas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bukan tahun ini saja melanda Indonesia, gejolak pemerintahan dan isu di masyarakat yang begitu massif dilakukan semata mata karena pihak timur (AS dan sekutunya) ingin menancapkan kuku kuatnya di Indonesia. 

“Gejolak moneter yang ditandai dengan anjloknya nilai rupiah terjadi sejak pemerintah Indonesia menerapkan system rezim devisa bebas (RDB) yang mulai berjalan 1970 an hingga sekarang."(1)

Maka dari sitem ini bisa terlihat “kapitalisme” begitu kental, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Situasi lebih menguntungkan penguasa dan para pengekor rupiah yang selalu menjadi konco perbudakan.

Memang terlihat ketika rezim itu, kendali pemerintah lebih menonjol dalam mengontrol pasar uang dan modal, lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, rupiah lebih stabil tetapi over valued. Sekali lagi ini hanya menguntungkan sebagian orang, ceritanya kekayaan yang dikumpulkan masa rezim itu tidak akan habis sampai 7 turunan.

Enak zaman koe toe? Opo…

Perkembangannya, pemerintah sadar system diatas kurang berhasil dalam menyejahterakan masyarakat. Akhirnya di tahun 1900 an mencoba menyerahkan kekuatan pasar kepada swasta (domestic/asing termasuk spekulan raksasa). Dari sini mulai gejala yang paling ngeri. Babak baru model penjajahan dalam sebuah Negara.

Walaupun ada kebebasan, namun pembauran aturan dalam ketegasan pemerintah sangat kurang. Stir menyetir ekonomi politik menjadi menu makanan setiap hari. Negara terkhusus pebisnis mulai beranggapan pemisahan antara arus finansial disatu sisi dengan arus barang dan jasa di sisi lain. Inilah gejala yang oleh Peter Drucker sebutkan sebagai fenomena “decoupling”.

Scenario mafia melalui IMF, World Bank yang diprakarsai oleh The Fed dengan menggolontorkan dana besar besaran terjadi di seluruh Negara belahan dunia khususnya di Indonesia. Pada waktu itu pebisnis, penguasa dan konglomerat tergiur dan mulai melakukan peminjaman jangka panjang/pendek dalam skala besar.

Akhirnya sampai sekarang hutang itu masih banyak dan beranak pinak. Generasi selanjutnya merasakan dampak yang begitu besar terkhusus dalam kesejahteraan. Bukan hutangnya, namun sistem ribawi yang menyebabkan hutang abadi.

Nol… serasa kita tak mempunyai Negara karena begitu besarnya pengaruh luar, puncak krisis moneter tahun 1998 serta berangsur awet kepedihan itu sampai sekarang.

Mari buka pupil kita lebih besar. Menelisik apa yang terjadi dan membuat prediksi dikemudian hari.

Bersambung... Part 2

Oleh : Aldi Sy
____
   (1) Muhammad Idrus, Oktober 2013 “Rupiah kuat, Bangsa bermartabat” hal 71, JAKARTA, penerbit KINAN KOMUNIKASI.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »