Lo HARUS NULIS dan NULIS!!!


~pipah_

                Gue suka nulis dari waktu gue di bangku MTs. Waktu itu gue ikutan lomba essay yang temanya Narkoba. Yaah, secara gue jaman MTs, tau apasih tentang narkoba. Yang gue tau cumin narkoba itu bahaya! Cumin 3 kata yang terbesit dalam otak gue. Tapi di lomba essay gue harus ngejabarin 3 kata itu jadi 2 lembar polio. Nah! Lo bayangin tuh gue dapet kalimat dari mana dengan ilmu gue yang pas pasan ini. Awal nya gue males ikutan, tapi gue pengen tau sejauh apa kemampuan gue nulis. Akhirnya gue menang! Ya.. walopun cumin harapan III. Kata gue sih panitia cuman nyenengin hati gue aja biar gak putus asa.
                Di bangku SMA, ternyata hobi gue nulis di dukung banget sama temen-temen sekelas. Mereka maksa gue buat bikin cerpen. Awal nya gue gak yakin, tapi ternyata hobi gue ngayal cukup membantu dalam proses pembuatan cerpen-cerpen gue. Ada sekitar 10 cerpen gue ciptain dimasa itu. Dari yang islami ampe yang jahili, yah lo tau lah gaya mikir anak SMK kayak mana.  Gue juga nulis puisi, gue juga nulis opini. Kalo lo baca semua tulisan gue, gue yakin lo bakal bilang kalo tulisan gue semua nya amatiran. Penggunaan kata yang kacau tak beraturan. Tapi yaa whateverlah. Yang penting gue nulis. Karna gue sadar banget tulisan itu punya pengaruh besar dalam kehidupan, pendidikan, dan perbaikan. Dakwah gak cuman koar-koar khutbah atau ceramah kan? Dakwah gak cuman rajin liqo kan? Dakwah gak cuman lo aktif banting tulang di organisasi kan? Lo juga harus bisa nulis! Oke, gue tau kalo lo udah pinter nulis, maksud gue lo nulis gih sesuatu yang bermanfaat bbuat di baca sama temen-temen lo, bukan cuman nulis skripsi, nyalin PR, nyatet pelajaran dll. Walopun cuman puisi, cerpen, apalah pokok nya tulis aja. Apa lagi kalo lo mahasiswa. Yaah, gue yakin banget ilmu lo udah tinggi, wawasan lo luas bingitttt… dan kalo lo nulis, gue yakin tulisan lo bakal sangat-sangat berkualitas. Nggak kayak tulisan gue ini, yang serba amatiran ples abal-abalan.
                Terus, kenapa lo masih nggak mau molai buat nulis? Lo males? Takut nanti “stuck”? apa ide lo yang mentok? Haduuuh, Jangan putus asa dong fren… Piso aja kalo nggak di asah bakal tumpul, gitu juga dengan tulisan lo, kalo lo nggak asah kemampuan lo nulis, ya bakal tumpul. Tapi kalo lo asah, latihan terus menerus , nulis dan nulis, gue yakin tulisan lo bakal tajem, tajem menembus dunia!

                Jangan anggep nulis itu hobi. Anggep nulis itu kebutuhan buat lo. Lo butuh mempertajam daya analisis dan pemikiran lo. Dan cara nya itu dengan lo nulis dan nulis. Nulis itu manjangin umur fren. Lo bisa aja pulang ke rahmatullah kapan aja, tapi tulisan lo bakal tetep hidup di dunia. Sampe kiamat nanti. Setelah ini, lo coba deh coret-coret nulis, apa aja dah… yang penting nulis dan nulis. Maaf ya kalo kata-kata gue ada yang kurang ngenakin. Semoga bisa memotivasi diri kita buat nulis yang bermanfaat untuk masyarakat. ~Salam Ukhuwah~

Mengapa Kita Harus Menulis?

Mengapa Kita Harus Menulis?
*oleh : Afifah Nusaibah   


Sudahkah kau temukan jawaban nya?

Menulis itu mudah, bahkan anak SD saja sudah di ajarkan menulis. Beda nya di SD anak-anak di ajarkan tata cara menulis huruf yang baik dan benar. Sedang kita? Bukankah kita sudah lihai menarikan jemari kita dengan pena di atas kertas?

          Sekarang adalah saat nya kita belajar menulis yang tidak sekedar melukis huruf, tapi juga melukiskan kalimat, kisah hidup, nasihat, puisi, opini publik dan masih banyak lagi.

          Alasan mengapa kita harus menulis adalah, karena dengan menulis akan mempertajam analisis dan daya fikir kita. Secara tidak langsung, jika anda ingin menulis tentu anda harus mencari ide, inspirasi atau referensi agar dapat menghasilkan sebuah tulisan. Dengan itulah secara tidak langsung menulis dapat mempertajam daya fikir dan analisis kita.

          Kemudian, menulis juga sebagai sarana kita merefrehs pengetahuan. Atau lebih tepatnya memperbaharui pengetahuan kita. Inilah faktanya. Menulis menuntut kita untuk lebih aktif berfikir, dan beranalisis. Sastra bukan sekedar seni, tetapi kebermanfaatan intelektual dan kecerdasan masyarakat.

          Menulis itu kerja keabadian. Bahkan saya pernah mendengar sebuah ungkapan, ‘tetesan pena penulis lebih mulia dari tetesan darah syuhada’. Menjadi penulis juga bukan hal yang spontan. Segala sesuatu butuh proses, kerja panjang dan kerja keras. Roma tidak di bangun dalam sehari. Begitulah dengan penulis, tidak asal jadi. Tapi membutuhkan proses panjang. Nikmatilah proses tersebut. Jadi, apa alasan anda untuk tidak menulis? Siapa yang akan mencerdaskan masyarakat bangsa ini jika bukan kita? Lalu, kapan anda akan mulai menulis? Mulailah dari sekarang. Targetkan satu hari anda harus menciptakan satu tulisan. Puisi, narasi, opini dan masih banyak lagi bentuk tulisan yang bisa anda ciptakan. Jangan berhenti bergerak, jangan berhenti mencari ide dan inspirasi. Dunia ini luas teman, banyak hal yang dapat kau tulis. Carilah sejuta alasan mengapa anda harus terus menulis.


Donor Darah KAMMI Komisariat LIPIA bersama PMI

~oleh : Afifah Nusaibah
Ahad, 27 Oktober 2013. Ahad. Ya, benar ini hari ahad, hari libur Nasional, bahkan internasional. Dimana orang-orang mengisi nya dengan refreshing, jogging, shopping, bahkan sleeping. Tapi, ada yang berbeda dengan kader KAMMI. Disaat teman-teman sekampus yang lain sedang bercengkrama dengan muqorror nya, atau bahkan ada yang masih tertidur pulas di kasur nya, mereka dengan ghiroh yang luar biasa mengisi pagi Ahad cerah ini dengan kegiatan yang spektakuler. Bukan karna mereka tak ingin kan nilai mumtaz, bukan karna mereka tak ingin istirahat tuntas di hari libur, mereka sangat menginginkan nya. Tapi, mereka juga menginginkan mereka bisa membantu masyarakat indonesia yang membutuhkan darah.

Donor Darah KAMMI bersama Palang Merah Indonesia. Pagi-pagi sekali sekitar jam 7 WIB, sudah ada beberapa panitia di lokasi, tepat nya di SMPIT As Salam. Menyiapkan tempat, dekorasi, dan konsumsi. Kemudian selang beberapa menit, pihak PMI tiba di lokasi, dengan seabrek peralatan donor. Donor darah kali ini memang pada awal nya di peruntukkan kepada akhwat dan ibu-ibu warga sekitar. Tapi karena setelah berlangsung beberapa jam, dan peserta masih minim, akhirnya kami mengambil keputusan untuk mengundang Bapak-bapak sekitar dan kader ikhwan. Publikasi pun di gencarkan, via twitter dan facebook. Alhamdulillah, ada followers @kammilipia yang merespon, dan datang ke lokasi setelah bertanya-tanya via twitter. Dari sekian panitia akhwat, hanya segelintir orang yang lulus kriteria untuk menjadi pendonor. Karna memang berat badan akhwat yang mayoritas di bawah syarat umum pendonor.
Darah yang sudah di donorkan, tidak bisa langsung di salurkan ke yang membutuhkan, tapi akan di proses dulu oleh pihak PMI. Saya sempat bertanya pada salah satu petugas PMI, berapa harga darah perkantung nya. Beliau jawab harga satu kantung darah Rp.250.000,-. Subhanallah, begitu berharga nya darah yang kita donorkan. Orang-orang di luar sana tak hanya yang butuh materi, dari mereka juga ada yang membutuhkan sebagian kecil bagian dari tubuh kita. termasuk darah kita.

Kemudian, setelah berlangsung acara donor darah, dan beberapa pendonor sudah selesai mendonorkan darah nya, banyak kesan yang terlontar dari benak mereka.
"badan serasa melayang nih"
"wah, sangat bermanfaat acara ini, saya jadi merasa lebih ringan"
Kami pun lebih menggencarkan ajakan kepada kader-kader ikhwan. Tapi ternyata kader ikhwan banyak kesibukan sehingga tidak bisa meluangkan waktu nya untuk singgah ke acara donor darah kali ini. Beberapa mention di akun @kammilipia pun mengatakan bahwa mereka sangat senang dan berterimakasih karna KAMMI Komisariat LIPIA sudah bekerja keras untuk mengadakan acara donor darah di lingkungan LIPIA. semoga kedepan nya masih banyak agenda-agenda KAMMI yang bermnfaat untuk masyarakat seperti hari ini.

KUDA LIAR

KUDA LIAR
                “yeaah!!! Aku lulus!!” teriak ku kegirangan. Akhirnya, selesai juga perjuangan ku 6 tahun di pesantren. Rasa nya aku seperti terlahir kembali. Akhirnya aku bisa menikmati bebas nya hidup tanpa di kejar bagian keamanan, tanpa di cambuk bagian ruhiyah karna terlambat ke masjid. Wow!!! Senang nyaaaaaaa… aku sudah tidak sabar ingin ke ibu kota, aku di terima di salah satu universitas ternama di sana.
                Singkat cerita, aku berada di ibukota. Sibuk mencari tempat tinggal. Ada tawaran untuk masuk arama, tapi aku tolak. Bayangkan saja hey! Aku sudah hidup ENAM TAHUN di asrama, kau suruh lagi aku masuk arama??? Tidak lah yaaau… ogah gue! Mentah-mentah aku tolak tawaran teman baru ku itu. Akhirnya, aku menemukan kos-kosan yang pas dan cocok dengan keuangan keluarga ku. Bersama beberapa ikhwan lain nya. aku memilih satu kamar sendiri, karna aku ingin menikmati kebebasan ku, tanpa ada yang mengganggu.
                Hari-hari ku lalui, ah senang nya. Mengerjakan semua nya sesuka ku. Terlambat ke masjid tak ada lagi yang mencambuk ku dengan rotan, tidur ba’da shubuh pun nikmat tanpa ada guyuran hujan lokal. Aku benar-benar menikmati hidup ku. Nonton tv sampai larut malam, online facebook, twitter, kaskus segala macem aku tekuni. Tanpa ada yang mengusik lagi. dulu di pesantren, ketahuan ke warnet saja langsung di hukum nyikat WC satu pekan. Benar-benar menyebalkan.
                Aku kuliah di kampus yang berbasis bahasa arab dan syariah. Masih semester satu, jadi aku melalui nya dengan santai. Toh pelajaran nya sudah aku pelajari di pesantren dulu, itu sih gampang. Lebih banyak mantengin timeline ketimbang muqorror. Pokoknya, aku bener-bener menikmati deh bebas nya jadi anak kosan.
                Banyak tawaran untuk ikut berkecimpung di dunia organisasi, tapi lagi-lagi dengan enteng nya aku menjawab “yaelah, udah banyak pengalaman organisasi dulu di pesantren, paling ya gitu-gitu aja, gak jauh-jauh dari proker, LPJ, STJ. Iyakan?” sebenrnya aku juga lagi males sih ngurusin organisasi. Mending nikmatin hidup sendiri, dari pada harus sibuk ngurusin organisasi. Kuliah aja belom bener.
                Naik ke jenjang semester dua, aku mulai sedikit fokus dengan muqoror, hanya sedikit. Paling gak suka kalo dosen kasih PR. Jangankan di kerjakan, nengok nya aja males. Aku merasa sudah pintar, ini juga sudah aku pelajari di pesantren dulu. Gampang laaaah. Mungkin di kelas, akulah murid paling bandel se Indonesia raya. Sampai suatu hari, seorang dosen meminta ku untuk maju ke haapan anak kelas dan menerangkan ulang apa yang sudah beliau jelaskan barusan. Aku gugup. Benar saja! Mau jawab apa aku? Lah wong dari tadi aku sibuk dengan Hp ku. Nyaaah~! Malu total! Sekelas semua menonton diri ku yang sedang di taujihin oleh dosen kesayangan ku ini. Habislah harga diri ku. Apa??? Harga diri??? Orang pemalas seperti aku masih punya harga diri???
                Kejadian itu berlalu begitu saja, aku memang mulai berfikir, tapi hanya sebatas berfikir tanpa merubah sikap hidup ku. Sempat seorang teman menasihati “Akhi, antum kan mahasiswa, bukan anak SD lagi, sudah tahu mana yang benar mana yang salah, kok antum masih saja menuruti hawa nafsu mu yang seperti kuda liar yang baru lepas dari kerangkeng setelah puluhan tahun?” JLEB! Kata-kata nya nusuk sampe ke ulu hati. Ya cuman nusuk aja, gak ada efek lain nya.
                Sampai suatu hari aku pergi ke sebuah taman hiburan untuk merefresh otak ku yang benar-benar buntu. Aku terhenyak dengan pemandangan di depan ku. Seorang petugas kebersihan taman sedang duduk di bawah pohon rindang, seperti nya ia baru selesai menyapu sekitar taman. Aku menatap nya tajam. Memperhatikan apa yang sedang ia pegang. Alquran! Iya, dia lagi baca qur’an. Eh tidak! Mata nya terpejam, tapi mulut nya komat kamit. Masa iya sih dia lagi ngafal quran??? Ah gak mungkin! Aku tak percaya, lalu aku beranikan diri mendekatinya. Seketika itu, bapak tersebut membuka matanya. Membenahi posisi duduknya lalu menatap ku seraya berucap “ada yang bisa saya bantu nak?” . aku gugup dan kaget. “oh, ndak pak… saya… eehm,,, saya cuman, apa yaaa… saya cuman mau nanya aja sama bapak” ucap ku gugup. “silahkan, sini duduk. Apa yang mau di Tanya?” aku terdiam, ah teduhnya tatapan mata bapak ini, santun nya perkataan beliau. Rasanya hati ku terenyuh dalam. “Bapak sedang apa? Bapak menghafal al quran ya?” Tanya ku menelisik lebih dalam. Dia mengangguk “iya nak, saya sedang mencoba menghafal alquran” ujar nya sambil memamerkan senyuman renyah nya. “kok bapak masih mau ngafal sih? Padahal usia bapak sudah cukup tua, emang ndak susah pak?? Karna yang saya tahu, usia mudah menghafal itu waktu kita masih anak-anak atau muda”. Lalu sang bapak kembali tersenyum mendengar argument ku. Dia menepuk bahu ku, seperti seorang bapak yang sedang menasihati anak nya. “Selagi saya masih bernafas, dan nafas ini adalah pemberian Allah, saya hanya mencoba bersyukur. Bersyukur atas nafas yang allah beri, sehingga saya ingin dalam setiap hembusan nafas saya, saya selalu mengingat Allah dan kalam Nya”. PRAAAAANG~!!!!! Aku seperti di tampar! Tamparan syadid  yang menusuk dalam! Kemana aku selama ini??? Yang ngaku nya berlatar belakang pesantren??? Yang ngaku nya jago bahasa arab!! tapi sama al quran saja aku tidak perduli. Dengan nafas yang Allah beri saja aku sia-sia kan. Kemana aku selama ini? Benar-benar seperti kuda liar yang hilang arah tujuan. Pantas saja yang kurasai selama ini hanya kegersangan, hanya kebimbangan, ketidak menentuan, itu semua karna aku jauh dari Al quran dan Allah!!! Kurang keras seperti apa lagi tamparan ini, jika aku masih berleha-leha dengan waktu ku, jika aku masih mengabaikan kewajiban ku sebagai seorang mahasiswa, kewajiban ku sebagai anak bangsa, kewajiban ku sebagai seorang hamba Nya!!! aargh!!! Aku menangis di hadapan bapak itu. Dia mengusap bahu ku berkali-kali, seraya berucap “istighfar nak”. Lalu berkali-kali aku beristighfar dengan suara sesenggukan. Ya Allah, sudah sangat jauh aku melupakan mu. Sudah sangat jauh aku mengkhianati kepercayaan orang tuaku.
                “Allahu akbar- Allahu akbar”
Aku membuka mata ku, kulihat sekitar ku, tak ada bapak tukang sapu itu, tak ada juga taman hiburan di hadapan ku. Yang ada hanya suara adzan shubuh yang sedang berkumandang, dan sebuah kamar mungil saksi bisu hidup ku yang sudah aku sia-siakan. aku mengambil air wudhu lalu beranjak menuju masjid. Setelah sholat shubuh, aku bersujud di hadapan rabb ku, masih dengan air mata yang berderai. Lalu seakan-akan ada yang berbisik di telinga ku : “Jangan terlalu larut dalam penyesalan, mulailah memperbaiki yang salah, agar hidup mu tak lagi sia-sia.” Terima kasih ya Allah, karna telah menyampaikan Hidayah Mu lagi pada ku.

                *cerita ini hanya fiktif, jika ada kesamaan nama, tempat dan takdir itu tanpa ada unsure kesengajaan sama sekali, mohon maaf atas segala kesalahan dan terimakasih*

by : afifah

Ibu, istri dan Guru

            Pagi itu aku bersilaturahim ke rumah kerabat ayah. Karna kebetulan akan ada acara syukuran di malam hari nya. Ibu meminta aku untuk ikut membantu persiapan acara malam nanti. Sebagai anak yang usianya masih cukup muda, kerabat ibu memberi ku tugas-tugas ringan,seperti mengiris bawang atau sekedar mengupas kentang. Aku mengambil posisi duduk di dekat sepupu-sepupu ku yang usianya jauh di atas ku. Yang sudah berkeluarga dan memiliki momongan. Karna merasa paling muda, aku lebih banyak diam dalam obrolan mereka. Takut salah bicara, lagi pula pembicaraan mereka tak jauh dari permasalahan-permasalahan di desa. Sedang aku, pulang ke desa hanya di waktu libur. Itu pun lebih banyak berdiam di rumah ketimbang keluar berbaur dengan masyarakat. Entah kenapa, mungkin karna sejak SMP aku sudah di lempar jauh sekolah di luar kota. Singkat cerita, sedikit demi sedikit aku mulai memperhatikan arah pembicaraan. Ada yang menarik dalam pembicaraan mereka. Objek yang di bicarakan aku mengenal nya. Mungkin ada yang mengatakan ini bagian dari ghibah. Tapi ini pelajaran berharga untuk saya. Yang menjadi objek pembicaraan adalah ibu dari teman laki-laki ku waktu di TPA dulu. Aku mengenal nya. Dulu beliau adalah sosok guru yang sangat bersahaja di sekolahan tempat nya mengajar. Dia juga sosok ibu yang bijaksana dalam keluarganya. Ibu ku juga sering menceritakan ketauladanan nya. Karna anak perempuan dari ibu tersebut adalah mutarobbiyah ibu ku. Dulu saat aku masih sering main hujan sepulang TPA dengan anak nya, ia adalah ibu yang sehat dan semangat. Meski saat itu garis dahi nya sudah terlihat, namun ia adalah seorang ibu yang kuat. Aku terhenyak saat mendengar cerita sepupu ku. Ibu yang ku kenal sangat penyayang itu kini terbaring lemah di pembaringan. Ia sakit. Spontan aku bertanya, sejak kapan beliau sakit? Kata nya, baru beberapa bulan ini. Meski semenjak SMP aku sudah tidak berinteraksi dengan anak nya, tapi aku masih menganggap dia sebagai teman kecil ku, dan tentu ibu nya adalah sosok guru yang sangat aku kagumi. Lalu aku menyimak cerita dengan lebih seksama. Sepupu ku bilang, beliau adalah istri yang benar-benar taat pada suami nya. Tak pernah mengeluh, atau membantah suami nya. Pernah suatu ketika sepulang mengajar, ban motor suami nya pecah. Perjalanan menuju rumah masih agak jauh. Ia tak ingin suaminya lelah, karna ia tahu suaminya sudah bekerja seharian, meski sama-sama mengajar di sekolah, tapi hormat nya ia terhadap suami nya sangat luar biasa. Kemudian ia meminta suaminya untuk bergegas pulang untuk beristirahat, dan ia mulai mendorong motor menuju bengkel yang letak nya sekitar 2 kilo meter dari posisi nya sekarang. Ia mendorong motor di bawah terik panas matahari. Awal nya aku tidak percaya, tapi inilah kenyataan nya. Setalah aku tanyakan perihal kebenaran cerita ini, ibu ku meng iyakan. Ah, miris rasanya hati ku mendengar nya. Lagi aku dengarkan cerita sepupuku, dia bilang, ibu itu benar-benar patuh terhadap suami nya, tak banyak menuntut ini itu pada suaminya. Sama sekali tidak pernah membantah perkataan suami nya. Seumur hidup nya, mungkin hanya ia abdikan untuk suaminya. Aku berfikir, bagaimana bisa beliau melakukan nya? Menyerahkan seluruh hidupnya untuk berbakti pada suaminya? Ah, aku iri terhadap sifat mulia nya, sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu bagi anak-anak nya.
            Beberapa hari kemudian, aku ingat betul itu hari raya idul fitri. Sperti biasa kami berkumpul di rumah kakek. Mendekati dzuhur, kami beranjak untuk melanjutkan silaturahim ke kerabat lain nya, atau ke teman-teman ayah dan ibu. Entah kenapa, lagi-lagi aku hanya menguntit kemana orang tua ku pergi. Rasa nya memang lebih nyaman bersilaturahim bersama orang tua ketimbang bersama yang lain nya. Atau, aku yang tidak memiliki teman di desa? Entahlah. Kemudian mobil kami memasuki pekarangan rumah seorang warga desa. Awal nya aku tidak merasa apa-apa. Tapi ketika turun dari mobil, aku terhenyak. Bukankah ini rumah teman TPA ku waktu kecil? Ah senangnya aku bisa bersilaurahim ke rumah ini lagi. lalu kami memasuki rumah.
Seorang bapak tua menyambut kami dengan ramah. Lalu keluar lah seorang wanita berpakaian selayak nya akhwat di kota, dengan jilbab panjang nya, dan kakinya yang terbalut kaos kaki coklat, juga manset yang melingkar di pergelangan tangan nya. Seketika ia menjabat tangan ibu ku, lalu memeluknya dan menangis haru. Aku yang berdiri di belakang ibu hanya menjadi saksi bisu dalam haru biru nya pertemuan kala itu. Semua hening, tak ada yang berbicara, ayah dan bapak tua itu pun hanya terdiam. Ayah duduk berhadapan dengan bapak itu, tapi tak satu kata pun keluar dari lisan nya. Aku membuntuti ibu yang berjalan ke sebuah kamar dengan arahan sang akhwat tadi. Masuklah kami ke sebuah kamar mungil. Ah, betapa aku terhenyak melihat siapa yang sedang terbaring lemah di atas pembaringan. Beliau lah sosok yang selama ini aku bertanya-tanya tentang kabar nya. Yang beberapa waktu lalu aku mendengar bahwa ia sedang sakit. Tak kusangka begitu parah nya sakit beliau. Ibu ku menangis memeluk nya dari pinggiran ranjang. Aku perhatikan sorot mata beliau, seperti ada mutiara-mutiara bening yang nyaris mengalir dari mata nya. Ah, sejuk nya mata itu…
Aku mendekatkan tangan ku ke pergelangan nya. Mencoba menjabat tangan nya yang terkulai lemah. Lama aku genggam tangan nya, sambil ku bacakan doa menjenguk orang sakit. Dia menatapku, hangat, hangat sekali tatapan matanya. Jujur aku ingin menangis melihat nya. tapi ibu ku cepat-cepat menarik ku dan member isyarat agar aku segera keluar. Baiklah, aku mengerti. Mungkin ibu tak ingin aku larut dalam kesedihan. Aku keluar dan duduk di dekat ayah ku. Adik-adik ku sibuk dengan jajanan lebaran yang beraneka ragam. Lalu sang bapak mulai bercerita, ah senangnya aku mendengar nya mulai berbicara. Ia katakana bahwa sakit yang di alami istrinya adalah tumor. Entah tumor apa, yang aku lihat ada pembengkakan hebat di perutnya. Sudah beberapa kali periksa ke dokter, solusi nya adalah berobat ke Malaysia. Lalu matanya mulai berkaca-kaca. Aku mengerti sekarang. Keluarga ini bukan lah keluarga kaya, seorang bapak yang hanya memiliki beberapa petak sawah dan makan sehari-hari dari penghasilan nya menjadi guru. Bagaimana bisa ia pergi ke Malaysia? Mungkin itu yang sedang mengiris iris hati nya. sampai ia bercerita, nyaris ia terjatuh dalam lubang kekafiran. Ada yang mencoba menghasutnya untuk memakai pengobatan melalui jin/sajen/sesembahan dan lain nya. tapi semua bisa ia tolak. Ia berkata “untuk apa kami beribadah puluhan tahun, untuk apa kami bekerja puluhan tahun, mengajar anak-anak bangsa puluhan tahun, kalau akhirnya kami jatuh ke lumbung kafir?” jujur aku salut dengan apa yang ia katakan. Beliau lanjutkan perkataan nya “biarlah ujian ini kami lalui dengan seperti ini, allah uji kesehatan istri saya, karna allah tahu istri saya mampu melalui nya”. lalu ibu ku keluar dari kamar mungil itu, dan kami pamit pulang. Aku melihat ada butiran bening di sudut mata ayah. Bersyukurlah ayah, karna ibu masih bisa berjalan di sisi mu, dan menggendong anak bungsu mu. Bersyukurlah wahai diri, karna ibu mu, masih bisa mengantarmu sampai ke terminal, menyemangati mu dengan senyuman yang akan menemani perjalanan mu sampai ke kota belajar mu. Bersyukurlah karna ibu mu masih sanggup mengangkat telpon dari mu, masih bisa berkata-kata manis untuk menyembuhkan duka mu. Bersyukurlah.
            Entah bagaimana kabar ibu yang mulia itu, aku berharap allah segera mengangkat penyakit nya, dan meringankan duka di keluarganya. Semoga liburan tahun depan, aku bisa melihatnya berdiri tegak menyambut kedatangan ku untuk lagi bersilaturahim ke rumah nya.

by : Afifah

Seorang Bapak di pinggiran Masjid Al Ikhlas



*oleh : Afifah Nusaibah
            Sore itu saya menerima sebuah pesan singkat dari pengurus kaderisasi KAMMI Komisariat LIPIA yang isi nya pemberitahuan bahwa malam nanti ba’da isya syuro evaluasi DM 1 2013 di Aula Masjid Al Ikhlas Jatipadang. Awal nya saya berniat untuk tidak hadir, selain karna jauh dari asrama tempat saya tinggal, teman-teman KAMMI di asrama pun minta izin tidak hadir karna besok ada UTS. Tapi ba’da maghrib saya putuskan untuk pergi sendiri dari asrama menuju al ikhlas. Tepat adzan isya berkumandang saya tiba di pelataran Al Ikhlas. Usai sholat, saya turun kebawah duduk di pelataran samping aula masjid. Aula yang masih remang-remang pertanda belum ada pengurus KAMMI yang hadir nampak sepi. Beberapa menit berlalu, datanglah salah seorang teman saya. Seperti biasa, jabat tangan memberi salam, lalu kami duduk di pinggiran aula berdua. Saat kami sedang bertukar sedikit cerita, tiba-tiba saja ada seorang bapak –saya taksir umur nya berkisar 40-45 tahun- berjalan ke arah kami dengan agak tergesa-gesa. Tanpa mengucap salam, si bapak langsung melontarkan pertanyaan.
            “kalo mau ke cinere gimana ya dik arah nya?”
Releks saja kami berdua beranjak dari duduk untuk menjawab dan mengarahkan alamat yang di tanyakan si bapak.
            “oh, bapak dari sini lurus aja ke sana, nanti ada lampu merah kedua setelah yang di depan ini, itu bapak belok kiri luruuuuus aja, naah nanti...” belum selesai penjelasan saya si bapak langsung memotong perkataan saya.
            “oh iya-iya, saya ngerti dik, ya sudah bismillah, saya coba jalan kaki kesana, gak papa walopun sepatu harus bolong kayak gini” ucap si bapak sambil tersenyum, mengangkat kaki kiri nya, menunjukkan sepatu nya yang sudah menipis. Seperti ada air mata yang tertahan di ujung mata nya.
Loh???!!! Spontan saja kami berdua terkejut mendengar pernyataan bapak itu. Cinere jauh kan? Harus dua kali naik angkot, dan bapak mau kesana jalan kaki? Aku dan teman ku saling pandang, kebingungan.
            “Cinere jauh pak, harus dua kali naik angkot” jawab ku.
Lalu si bapak tersenyum dengan mata berkaca-kaca, “gak papa dik, saya sudah jalan dari bekasi ke sini, dan saya tadi dapet minum itu sudah subhanallah banget, ahamdulillah.”
Semakin bingung aku dan teman ku mendengar penjelasan si bapak.
            “Bapak kenapa?? Bapak dari mana pak? Memang bapak gak bawa uang?” Lanjut kami ingin tahu lebih banyak permasalahan si bapak.
            “Saya dari jogja, mau ke tempat anak saya di bekasi dik, tapi ternyata anak saya sudah pindah dari bekasi ke cinere,” jelas si bapak dengan sangat tergesa-gesa dan mulai berjalan pergi dari kami.
Detik itu kami berdua benar-benar di landa kebingungan, secepat mungkin aku mencari sisa sisa uang jajan dari dompet ku yang juga tak seberapa isi nya.
            “pakai uang kami saja pak, ini pak” ucap ku seraya mengejar nya dan menyodorkan selembar uang yang nilai nya mungkin hanya cukup untuk dua atau tiga kali naik angkutan umum di jakarta. Si bapak seperti ingin menolak, tapi mungkin dia sangat memerlukan nya, lalu di terimalah uang yang kami sodorkan untuk nya.
            “trimakasih dik, trimakasih banyak ya” lagi-lagi aku melihat butiran-butiran bening yang tertahan di sudut mata nya.
            “iya pak, maaf pak kami Cuma bisa bantu segitu pak ya” Ucap ku.
            “gak papa dik, ini  sudah alhamdulillah banget” jawab bapak itu dengan tergesa-gesa dan berjalan pergi. Karna penasaran dan ingin memastikan si bapak tidak salah naik angkot, kami membututi si bapak dari belakang, tapi hanya sampai jalan raya depan Masjid, kami melihat nya masih tetap berjalan menuju lampu merah mangga besar, lalu sosok si bapak hilang tertutup ramainya lalu lintas malam itu.
Aku saling tatap dengan teman ku, “Gak kebayang kalo itu ayah kita ya” ucap nya. Benar, yang temanku rasakan sama seperti yang aku rasakan, bagaimana jika bapak tadi adalah ayah kami? Yang berniat menjenguk anak nya, tapi kemudian anak nya ternyata sudah pindah. Banyak pertanyaan dalam benak kami yang belum terjawab. Si bapak dari jogja? Iya sih penampilan dan logat bicara nya menampakkan bahwa dia orang jawa. Tapi, kok si bapak nggak bawa tas pakaian atau bahkan tas kecil? Si bapak menemui kami dengan tangan kosong? Apa dia habis di copet? Ya allah, kasihan jika benar dia habis kecopetan. Kenapa si bapak nggak telpon anak nya minta jemput di pasar minggu? Bapak itu, apa nggak punya hape? Lalu, kenapa si bapak menghampiri kami yang posisi kami saat itu berada di bagian samping Masjid Al Ikhlas? Padahal, di pelataran depan masjid, banyak ikhwan dan juga ada penjaga masjid, kenapa? Semua pertanyaan ini hanya terlontar dari lisan kami berdua, tanpa kami menemukan jawaban nya.
Kami kembali duduk, sedikit menghela nafas, mencoba menenangkan rasa penasaran dalam hati kami.
“Tadi kamu ngasih berapa ke bapak itu?” tanya teman ku. Aku menjawab nya sesuai nominal yang aku berikan ke si bapak. Lalu teman ku menyodorkan uang, separuh dari nominal yang aku berikan ke bapak tadi. Jelas saja aku bingung dan menolak. Tapi dia tetap memaksa. “hmm,,, kita berbagi pahala nih cerita nya? Nggak mau ketinggalan berbuat baik ya? Hehe” ucap ku sambil tersenyum kepada nya. Dia hanya balas tersenyum ringan.
“serius deh, nggak kebayang kalo itu ayah kita sendiri, sedih banget rasa nya” ucap teman ku.
“iya... tapi mungkin nggak ya,,, si bapak bohong? Tapi masa sih bapak itu bohong? Apa jangan-jangan,,,, dia malaikat yang di utus allah buat nguji rasa kepedulian kita ya? Haha, lebay banget khayalan aku yak?”
“kalo dia bohong, masa iya sih, ah ya udah ah, husnudzon aja, ambil hikmah nya aja” jawab teman ku.
Tak lama setelah kejadian itu, kami masuk ke aula untuk memulai agenda syuro evaluasi. Dan cerita kami bersama si bapak, terpendam untuk beberapa jam. Sampai detik ini, pertanyaan pertanyaan kami masih belum terjawab dan entah kapan akan terjawab. Tapi kami menyadari, banyak hikmah tersirat dalam kejadian malam itu. Innamal mu;minuuna ikhwah. Sesungguhnya muslim itu bersaudara.
~Al Ikhlas, 24 Oktober 2013  

INDAHNYA PENGORBANAN

http://4.bp.blogspot.com/-1IiHihBlDLE/TrFSx94rQfI/AAAAAAAAAc0/TMS9OCWmuzQ/s320/adha_pada_setiap_helai_pahala_id.jpg

Oleh : Tajun Nashr Ms.

Tidak bisa dibayangkan alangkah bahagianya ketika sesuatu yang ditunggu bertahun-tahun itu akhirnya tiba. Seorang ayah yang mengharapkan kelahiran seorang putra di usianya yang senja, akhirnya terlahirlah bayi mungil dan rupawan bernama “Isma’il”. Harapan besar tentunya sudah tersirat dalam hatinya karena akan ada yang meneruskan amanat besar mengemban risalah kenabian sang Abul Anbiyaa’.
Waktu  silih berganti, Isma’il pun tumbuh menjadi remaja yang tangkas, namun di saat kecintaan pada anaknya memuncak maka datanglah perintah dari Allah untuk menyembelihnya, melalui mimpi yang benar. Tentu saja bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim waktu itu, bertahun-tahun menunggu kelahiran seorang putra, namun ketika yang diharapkan sudah datang maka datanglah perintah untuk menyembelihnya. Disinilah kecintaan seorang ayah diuji, dia dihadapkan diantara dua pilihan : kecintaan kepada anaknya atau ketaatan kepada perintah Rabb semesta alam.

Namun karena ketulusan hatinya maka rasa cintanya yang sangat kepada anaknya tidak sampai melebihi rasa cinta kepada Allah. Dengan penuh keikhlasan ia mengorbankan anaknya tercinta, begitu pula Isma’il, ia menjawab seruan Rabbnya dengan kalimat yang sangat indah “Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya’ Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”


Subhanallah….! Betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan! Jika kita menilik kembali kisah di atas maka apa sebenarnya yang mendasari keta’atan mereka yang tulus sepenuh hati? Tidak lain adalah karena ketauhidan yang menancap dan mengakar kuat dalam hati mereka, dangan meyakini bahwa hanya Allah yang berhak untuk dita’ati dan dipatuhi, karena Dialah satu-satunya Tuhan semesta alam. Tauhid yang murni dan bersih dari segala macam bentuk kesyirikan akan melahirkan keikhlasan yang bersih pula, semua amalan yang dilakukan hanyalah mengharapkan ridlo Allah. Sehingga rasa cinta yang mendalam kepada Allah bisa mengalahkan rasa cinta kepada selain-Nya, meskipun kepada anaknya sendiri

Sekarang marilah kita tengok kondisi kita saat ini, meskipun secara dhohir medan yang kita hadapi sangat berbeda dengan Nabi Ibrahim, namun tantangan yang kita hadapi juga semakin kompleks. Disaat sarana dan pra-sarana semakin mudah, maka kemudahan untuk melakukan larangan pun seakan berbanding lurus dengan fasilitas yang ada. Rintangan-rintangan yang ada tidak hanya berbentuk hinaan, larangan dan serangan secara nyata, namun yang lebih berbahaya adalah justru serangan-serangan halus yang dilancarkan ke pangkal hati, yang melemahkan dan mengeroposi aqidah.

Karena sudah terbukti dalam sejarah, ketika gerakan da’wah dikekang justru akan melahirkan kader-kader yang militan. Kita bisa melihat dari mulai periode Sahabat, tabi’in sampai para pejuang-pejuang islam di nusantara. Dari tekanan-tekanan itu lahirlah tokoh-tokoh sekaliber Pangeran Diponegoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir dll.

Namun, disaat jalan semakin longgar dan tekanan-tekanan semakin mengendur maka seakan semangat mereka ikut mengendur karena merasa berada dalam kelonggaran. Di situlah musuh-musuh islam mulai bergerak melalui propaganda-propaganda halus, yang bisa dibilang lebih berbahaya dari tekanan-tekanan fisik. Karena serangan ini menyerbu akal dan akidah ummat. Untuk itu disebarlah virus liberal, sekuler, bahkan aliran-aliran sesat masih terus berkembang.

Jadi, haruskah kita kembali ke masa-masa tekanan tersebut?? Tentu saja tidak harus begitu, justru kita harus mensyukuri kemudahan yang kita dapatkan sekarang. Di masa yang serba cepat ini ada bentuk pengorbanan lain yang harus kita lakukan, yaitu pengorbanan kita untuk meninggalkan sejenak kemalasan, egoisme pribadi dan kenyamanan semu yang melalaikan kita dari kewajiban kita yang sebenarnya. Sudah saatnya bagi kita untuk berkorban waktu, tenaga maupun fikiran untuk kemaslahatan ummat dan kemaslahatan agama kita.

Meskipun para pejuang dan para pembela kebenaran berguguran silih berganti, namun perjuangan mereka tidak akan pernah berhenti. Tentunya dalam perjalanan nanti, kita dituntut untuk mengorbankan apa yang kita miliki berupa harta, bahkan nyawa sekalipun kita harus selalu siap siaga. Karena ini memang jalan yang kita pilih, jalannya para penurus ‘anbiyaa’ wal mursalin, jalan da’wah di jalan-Nya. Seorang penuntut ilmu misalnya, tentunya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, dia harus melewati beberapa tahap yang penuh pengorbanan, ia harus selalu mengasah kecerdasannya, bersungguh-sungguh, bersabar, senatiasa meminta bimbingan kepada para guru, yang semua itu tentunya sedikit banyak membutuhkan pengorbanan berupa harta dan waktu menuntut ilmu yang tak boleh berhenti sepanjang desah nafas masih berhembus. Maka kesulitan semacam apapun, seperti kesulitan bekal dan harta tidak akan membuat seorang penuntut ilmu sejati melemah semangatnya, karena dia akan berkorban apa saja demi mendapatkan apa yang ia inginkan di jalan Allah.

Kenapa kita mesti berkorban? Al-Kautsar ayat 2 cukup memberikan jawaban yang lugas : 
 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر :2
"dan sholatlah untuk Tuhanmu dan berkorbanlah" 
Semua ibadah yang kita lakukan haruslah di dasari dengan niat yang ikhlas karena mengharapkan ridlo Allah semata, sebab hal ini menjadi salah satu syarat mutlak diterimanya amalan seorang hamba.

Kemudian, jika kita tidak mau berkurban dan lebih menuruti ego pribadi semata maka jangan salahkan siapapun jikalau nanti justru ummat islam yang menjadi korban diakibatkan kelalaian kita. Kalau tidak ada yang tampil ke muka untuk menyebarkan da’wah yang dilandasi aqidah tauhid yang benar ini, jangan salahkan siapapun jika nanti ummat ini banyak dijejali oleh akidah mistik maupun akidah liberal.

Untuk itu, bangkitlah wahai ikhwah sekalian, bangkitlah kaum muslimin dari tidur panjangmu, Ingatlah bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seorang mu’min :

يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (آل عمران:171)

“Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang beriman.” 

ingatlah perkataan salah seorang penyair :

لَا تَنَمْ يَابْنَ آدَمَ مَهْلًا # إِن تَحْتَ الترَابِ نَوْمًا طَوِيْلًا

“Wahai anak adam janganlah kalian tidur/lalai walaupun sebentar…Karena di bawah tanah kalian akan tidur panjang”

Suatu keberhasilan yang kita peroleh akan terasa lebih indah jika kita meraihnya dengan susah payah dan pengorbanan. Kita bisa melihat hasil pengorbanan dan perjuangan Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kenabiannya yang melahirkan buah yang sampai saat ini masih bisa kita rasakan manisnya. Ritual-ritual dalam ibadah haji merupakan bentuk napak tilas dari pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mulai dari sa’i, thawaf sampai penyembelihan qurban. Yang akan terus menerus dilakukan oleh ummat islam setiap tahun sampai akhir zaman. Disinilah maka indahnya pengorbanan itu bisa kita rasakan. Tidakkah kita merasa mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa ketika pengorbanan kita di jalan Allah hasilnya bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Alangkah indahnya ketika da’wah kita yang melalui perjuangan dan pengorbanan yang bertubi-tubi mendapatkan sambutan dari orang kita da’wahi. Sungguhpun ketika da’wah kita tidak mendapatkan sambutan maka janganlah merasa putus asa, dan jangan merasa usaha kita sia-sia, karena Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang senantiasa berjalan di jalan-Nya untuk menyebarkan agama-Nya. Bagaimanapun pengorbanan itu tetap indah dan keindahannya akan memuncak jika surga-Nya menjadi tempat kembali kita.