Mengapa Barat Sangat Sekuler Dan Liberal ( Bagian Pertama )

 “Either there is a God, or there isn’t. Both possibilities are frightening. If there is a God, we better find out who He is and find out what He wants and what He says. If there is no God, we’re in trouble. We’re hurdling through space around the Sun right now at 66.000 miles an hour, and nobody’s in charge of it.”
― Annonym





Abstract
Since renaissance (Aufklarung), West has proclaimed the establishment of new era for human kind in west, a world without religion restraint. Day to day, year by year, and centuries, West has been becoming more secular and more liberal breaking all rules, all restraints. This has caused many problems for West civilizations itself. War, poverty, HIV/AIDS, abuse of drugs, terrorism, pollutions, etc. Secularism has created “the crisis of knowledge”. West has gone too far with secularism. This paper explains why is west so secular and liberal? At least, there are three points to answer why did West “murder God”: (1) Historical trauma; (2) ‘religion texts’ problems; and (3) theology problems. These three points will be delivered by genealogy and archelogical approach towards history of West Weltanschaung.
Keywords: West, Secular(ism; ization), Liberalism, Weltanschaung (Worldview).

 Pendahuluan
 
    Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan Doktrin “The Vatican Declaration on Social Ethics”, yang hanya mengakui praktik heteroseksual dan menolak pengesahan homoseksual. St Thomas menyebut Sodomi sebagai “contra naturam”, artinya, bertentangan dengan sifat hakiki manusia . Homoseksualitas yang beradab-abad lamanya dicap sebagai praktik kotor dan maksiat, oleh agama-agama, justru kemudian saat ini menjadi hal yang  wajar dan “modern” di kalangan Barat berlandaskan pada “cinta yang tak kenal rupa (gender)” dan Hak Asasi Manusia.


    Adalah John J. McNeill Sj, seorang teolog Kristen, yang menulis “The Church and The Homosexual” memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Hal ini bersamaan dengan para kaum gay Eropa membentuk sebuah kelompok bernama “Dignity”, didukung oleh Gregory Baum yang menyatakan “jika kaum homoseks bisa menghidupkan cinta, maka cinta homoseksual tidaklah bertentangan dengan naluri manusia”. Isu ini mencapai puncak kehebohan dikalangan gereja dimana pada November 2003, Gereja Anglikan di New Hampshire mengangkat Gene Robinson, seorang homoseks menjadi uskup. Resmilah kaum homoseks mendapat legitimasi dari Gereja, sesuatu yang dikutuk sejak dahulu oleh Bible (lihat Kitab Kejadian 19:4-11, tentang hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan Gomorah).

    Satu lagi di Paris, Rabu, 27 November 2013 sebuah pengadilan hak agama menguatkan pemecatan seorang pekerja penitipan anak lantaran ia adalah seorang muslim dan menggunakan jilbab. Ia dipecat karena tempat penitipan anak tersebut menuntut netralitas yang kuat terkait agama dari para pegawainya. Keputusan pengadilan Paris itu diumumkan pada saat yang sama saat para pengacara Perancis membela larangan pemakaian cadar di muka umum pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg. “Hari ini sebuah lembaga negara telah menegaskan kekuatan dari prinsip sekularisme,” ujar Richard Malka, pengacara tempat penitipan anak (Baby Loup) tersebut .

    Berita yang paling baru ialah dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat oleh Pemerintah Amerika Serikat, yang sangat didukung penuh oleh Presiden Amerika Serikat, Barrack Husein Obama. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut maka, pernikahan sesama jenis yang sebelumnya masih tidak diakui di beberapa Negara bagian Amerika Serikat, kini berlaku di seluruh Negara bagian tanpa terkecuali. Semua jalan “bertuliskan Gay Pride” menghiasi kota New York, dan juga diikuti beberapa Negara lainnya. 

    Setiap orang yang membaca, melihat, atau mencoba untuk memahami apa yang terjadi di Barat saat ini akan tertuju pada satu pertanyaan, “Mengapa Barat bisa sesekular ini?”,”Mengapa menjadi sekular berarti harus melarang simbol-simbol keagamaan untuk digunakan?”,”Kenapa Barat sangat alergi dengan agama?”. Tulisan ini hadir untuk mengungkap sejarah alam pikiran Barat yang menjadikan Barat saat ini sangat sekular dan liberal. Rentetan sejarah panjang Barat telah mengantarkan Barat pada era yang meyakini dengan kuat bahwa,“Tuhan telah mati, ya, mati untuk selama-lamanya. Kitalah pembunuhnya”,”tuhan-tuhan itu sudah mati semuanya, maka sekarang kita ingin sang manusia itu super hidup” . Tulisan ini ingin menjelaskan bahwa Barat sendirilah yang mensekulerkan dirinya, Barat sendiri jugalah yang menciptakan “trauma agama” nya,  dilatarbelakangi dengan berbagai problem kepercayaan Barat dari segi sejarah, teks dan teologi.

    Jawaban mengapa Barat menjadi sekular dapat dilihat melalui sejarah perkembangan alam pikiran Barat sendiri yang pada awalnya telah diajarkan—baik dalam persepsi maupun praktis—untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dengan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya , hingga saat ini menjadi sangat sekular dan “gerah” terhadap agama. Untuk menjawabnya cukup dengan menggunakan pendekatan Genealogi dan Arkeologi terhadap sejarah Barat. Kita bisa menyelidiki lewat “puing-puing” West Weltanschaung dari masa ke masa.

    Owen Chadwick menulis sebuah bab yang berjudul “On Liberalism”. Kata liberal berarti “bebas” (free) secara harfiah. Artinya, ia “bebas dari segala batasan” (free from restraint). Chadwick mengatakan,“Negara liberal haruslah negara yang sekular” . Tentang sekularisasi, Harvey Cox dalam The Secular City menyatakan dengan gamblang bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari “dunia lain” menuju dunia kini . Dalam sebuah bab yang berjudul “The Biblical Source of  Secularization” ia mengutip pendapat Friedrich Gogarten, “Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history”. Kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa Barat yang diadopsi dari bahasa latin, saeculum (zaman sekarang ini; dunia) dan kata lain yang berarti sama dengan saeculum adalah mundus. Jika saeculum dimaknai sebagai dunia, maka mundus bermaka sebagai ruang. Cox juga berpendapat, menjadi manusia sekuler berarti “being profane” (duniawi) and “ pragmatic (pragmatis)”. Ciri-ciri sekulerisme menurut Cox antara lain: (1) Pengosongan nilai-nilai ruhiyah dari alam semesta; (2) De-sakralisasi politik; dan (3) kenisbian nilai-nilai (there is no truth claim) .

oleh: Azhari Setiawan (Juara 1 Lomba Karya Tulis KAMMI LIPIA 2015)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »