Pungguk Merindukan Bulan

Pernak-pernik Kutu Alin Ayam dan Bebek Berkilauan. Itulah kesanku saat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu di parkiran sekolah, aku baru saja memarkir sepeda BMX butut yang dibelikan Papa lima tahun lalu. Kau berada di antara barisan motor Ninja dan Satria F milik siswa berpunya. Jantungku berdebar karena kau begitu cantik dan anggun, hingga malu menatapmu dengan mata yang hina ini. Seseorang yang tampak posesif berdiri di dekatmu. Aku kenal dia, Yanto, anak kelas 2 IPS yang bodoh dan begajulan, namun karena bapaknya pejabat teras daerah, sekolah tetap mempertahankannya. Dia sedang mengobrol bersama gengnya, sesekali menyentuhmu. Dan kulihat kaupun menyukainya. Entah kenapa aku gemetar karena rasa cemburu, padahal baru baru pertama kali melihat. Sejak saat itu dimulailah rasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangmu.
 ***
Kali kedua aku melihatmu adalah saat pergi belajar kelompok ke rumah Edo. Dan tidak menyangka akan berpapasan denganmu di depan pintu rumahnya. Kemudian menatapmu sejenak yang bergeming tidak menghiraukan keberadaanku. Dengan anggun matamu yang sejernih lampu halogen menatap lurus ke taman bunga. Aku sadar, aku hanyalah seorang anak penjual gado - gado di pasar. Apalah artinya aku dibanding Yanto yang uang sakunya sehari setengah juta. Dia pasti bisa memenuhi kebutuhanmu yang kabarnya mahal itu. Dengan menggeleng pelan aku melanjutkan langkahku menuju ruang tamu tempat Edo dan yang lain sudah berkumpul untuk belajar bersama. Kami belajar logaritma, judul yang baru diajarkan di sekolah tiga hari yang lalu. Bisanya ini soal kecil bagiku, namun kali ini aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terus-terusan melayang pada sosok aduhai di depan pintu. Iya, itu kamu. Karena sudah tidak tahan, aku memberanikan diri bertanya tentangmu pada Yanto, yang sedari tadi cuma main PS milik Edo. Aku juga heran mengapa ia berada di sini, kami kelas IPA dan Yanto IPS, tentu ia tidak ikut belajar kelompok. “Yang di luar itu, kecengan baru To, siapa namanya?” Tanyaku dengan nada sambil lalu, seolah aku iseng saja. “Oh… itu Vixy, kenapa cakep yaah.” Jawab Yanto sambil matanya tidak lepas dari layar TV. “Oh, lumayan sih. Boleh gue kenalan?” Dadaku berdegub kencang membayangkan bisa menyentuhmu dan mendengar suaramu. “Nggak.” Degub di dadaku seketika berhenti. Dengan lesu aku membetulkan kaca mataku dan kembali ke meja belajar. Saat ini mungkin tidak bisa, tapi lain kali. Janjiku dalam hati.
 ***
Kali ketiga aku melihatmu, aku benar-benar dimabuk kepayang oleh pesonamu. Aku sudah berusaha mengalihkan pandangan darimu yang terus menempel pada Yanto di sekolah. Namun saat pulang sekolah kau muncul di pasar yang biasa aku datangi bersama Mama. Susah payah aku memutar jalan agar tidak berpapasan denganmu. Lalu keesokan harinya saat aku beli bubur di depan gang rumahku, kau juga ada di sana. Ntah bersama siapa. Namun kau berkilau seperti biasa, seolah kau memang diciptakan surga untuk merayuku, pemuda SMA yang pandai namun miskin ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku terus-terusan melihatmu berada dimana- mana. Mengapa Tuhan begitu tega padaku memberikan cobaan seberat ini. Mengapa aku terus menatap milik orang lain yang tentu saja tidak bisa aku miliki. Tiga hari ini aku bolos sekolah. Tidak biasanya aku begini. Namun segalanya mungkin terjadi sejak aku bertemu denganmu. Mama dan Papa berusaha membujukku akan membelikan apapun yang aku inginkan. Namun aku tidak ingin benda – benda berharga lainnya, aku cuma ingin kau. Yang menungguku di depan rumah setiap pagi dan mau menemaniku ke sekolah. Lalu sorenya saat pulang sekolah kita bisa berkeliling kota, kemanapun tempat yang kau suka. Tampaknya Mama dan Papa tidak mengerti hal ini.
 ***
Aku terbangun di kamarku yang gelap. Tubuhku berkeringat. Aku menyalakan lampu dan menatap jam dinding. Sudah pukul enam sore. Aku menatap keluar jendela, di luar sudah gelap. Aku mencondongkan tubuhku ke luar jendela untuk meraih daun jendela yang berayun keluar. Saat itulah aku melihatmu. Di bawah sana tiga meter dari tempatku berdiri di dalam kamarku di lantai dua. Kau berdiri dengan gesture khasmu di pekarangan rumah tetangga. Tidak salah lagi itu kau, dengan segala keanggunan seorang dewi, dan kilaumu yang tak pudar meski di malam hari. Dengan terburu-buru aku menarik daun jendela menutup, menguncinya dan berlari menuruni tangga rumah susun kami dan secepat kilat sampai di bawah. Dengan mengendap-endap aku mengintipmu melalui tembok pembatas antara rumah susun kami dan rumah tetangga. Kau masih di sana. Terima kasih Tuhan. Aku sedang bertanya – tanya dalam benakku dengan siapa kau kemari? Apa yang kau lakukan di sini? Mataku tak bosan-bosannya menatap tubuhmu yang berlekuk dan mulus. Bukan hanya mataku, jemarikupun tidak tahan ingin menyentuhmu. Dengan jantung berdegub aku memanjat pagar pembatas dan melompat di atas rumput tetangga yang untungnya tebal. Dengan pelan aku mendekatimu, aku takut mengejutkan pemilik rumah dan melarangku anak SMA yang tidak tau diri ini, mendekatimu yang cantik primadona semua orang. Akhirnya aku sampai di dekatmu. Dengan gemetar kuelus kulitmu. Kau bergeming. Di waktu maghrib yang lengang dan dibawah sinar bulan yang mulai mengintip di balik awan, menyinari sebuah bandul kecil terbuat dari karet yang menghiasi tubuhmu. Setan menyusup ke dalam dadaku. Timbul niat jahatku untuk menculikmu, sebentar saja. Aku ingin menghabiskan malam ini berdua saja denganmu. Tidak akan lama, aku menatap jam tanganku, tepat jam dua belas tengah malam, aku akan mengembalikanmu seperti Cinderella. Detik berikutnya aku sudah di tengah jalan, di antara lampu jalanan yang berkelip temaram, berdua saja denganmu. Beberapa kali kuangkat tangan kiri demi mencubit tangan kananku. Rasanya seperti mimpi, aku tidak percaya ada saat seperti dalam hidupku. Berdua saja denganmu berkeliling kota. Aku mengebut membelah jalan raya, baru kusadari bukan hanya kulitmu saja yang mulus, namun suaramu pun merdu. Mesinmu juga mulus satu tarikan saja terasa seperti terbang. Persenelingmupun halus, aku tidak perlu berkali – kali pindah gear saat jalanan sedikit macet. Segalanya sempurna tentangmu. Saat sedang sibuk mengagumi keelokanmu, mataku menangkap garis hijau fosfor di kejauhan. Aaah… itu polisi. Sedang ada razia kah? Aku menginjak rem dalam jarak dua meter sebelum antrian motor di depanku. Ya Tuhan, remmu pun sangat mantap, dengan cakram hidrolik dua piston, hampir saja aku bersalto di udara jika tidak hati – hati. Dengan sabar aku menunggu giliran berbaris di belakang antrian motor di pinggir jalan. Aku menepuk tangkimu yang muat sebelas liter bensin, dengan sayang. Asalkan bersamamu segalanya terasa indah. “Selamat sore, boleh lihat SIM dan STNK pak?” Seorang Polisi berjaket hijau mendekatiku. Dengan santai aku merogoh kantongku yang … kosong! Dengan panik aku merogoh kantong celana jinsku. SIM dan STNK pasti ada di sana, di dalam dompetku. Namun mendung tiba - tiba bergelayut di kepalaku saat kutemukan kantong celanaku juga kosong. Aku bahkan tidak membawa dompet! Aku sedang menyusun dialog di benakku untuk bernegosiasi, namun Pak Polisi terlanjur melihat ekspresi panikku. Dengan tegas ia menarik lenganku dan memintaku turun dari motor. Darimu sayang … gadis impianku. . Aku menatap jam digital di sebelah speedometermu yang berkelip sedih, mengingatkanku-bahwa kau adalah Cinderella yang harus kukembalikan sebelum tengah malam tiba. Dengan berat hati aku digiring menuju kantor polisi, meninggalkanmu bersama mobil barracuda yang sangat tak layak bersanding denganmu. Polisi segera menelepon orang tuaku setelah tahu aku masih pelajar. Aku menunggu Papa dan Mama datang dengan perasaan galau, khawatir mereka akan marah besar atas skandal yang aku perbuat ini. Akupun takut pemilikmu yang dengan sembrono meninggalkan kuncinya menempel di tangkimu, datang dan memisahkan kita. Namun apalah daya. Dia pemilikmu yang sah, dia yang memiliki STNK dan namanya tertera dalam lembar BPKB. Dan siapalah aku … pungguk merindukan bulan. Pelajar miskin yang jatuh cinta pada Honda CBR 150 R keluaran terbaru.
***
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud )

Penulis,
Tika Kinasih, staf kastrat KAMMI LIPIA

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »