Dibalik Perjuangan Sang Pahlawan

"Tenang kawan tenang! Jangan gegabah. Semuanya tetap di tempat!" Teriak salah satu komandan. Suasana malam yang begitu mencekam, ditambah lampu penerangan jalan yang sengaja dimatikan oleh para pecundang. Tiba-tiba, terdengar suara layaknya sebuah senjata api. "Pistol gas air mata!" Teriakku. Suasana yang semula ramai dengan celotehan mahasiswa dan masa, kini berubah menjadi suara rintihan. "Dor!!!" Dentuman suara peluru karet melesat dengan cepat, dan.... splash! Tepat mengenai tangan kanan kawanku.
***
Lantas, bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menggerogoti dengan rakusnya. "Rizal, bagaimana kabar kawan kau yang beberapa hari lalu terkena tembakan?" Tanya seorang komandan, yang juga membuyarkan lamunanku. "Alhamdulillah keadaannya sudah membaik." Jawabku singkat. "Aku tau kau masih tidak bisa melupakan kejadian ricuh beberapa hari yang lalu." "Iya pak. Mereka sungguh kejam, pasti ada provokator dibalik ini semua. Atau, anak buah yang serentak salah kaprah." Jawabku bersungut-sungut. Sang komandan tersenyum simpul dan berbisik kepadaku. "Rizal, pahlawan sejati tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Bukan dengan cara menomor satukan amarahnya." Sang komandan berlalu, meninggalkanku yang masih tersentak dengan perkataannya.
***
Selepas kuliah, kusempatkan diriku untuk menjenguk Noval di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini dia absen akibat luka di tangan kanannya. Tak lupa kulangkahkan kakiku menuju toko buah untuk membeli buah favoritnya. Perjalanan ke rumah sakit tidaklah lama, hanya membutuhkan 20 menit untuk sampai kesana. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Noval. Paviliun I, kamar nomor 6. "Assalamu'alaikum." sambil memunculkan kepalaku dari balik pintu. "Wa'alaikumussalam wa rohmatullah. wah! sekilas melihat wajah kau, saya mendadak sehat." Guraunya. "Ada-ada saja kau ini. Ini saya bawakan buah kesukaan kau." "Terima kasih Rizal, tak rugi kau datang kemari." Tawanya semakin meledak, sembari menahan rasa sakit. Kami pun mengobrol seputar keadaannya, operasinya, dan materi di kampus. Namun obrolan kami terhenti, disebabkan oleh suara pembaca berita di televisi. "Bodoh! Bodoh sekali para awak media itu. Sudah jelas beribu-ribu masa telah mengultimatum sosok dibalik gedung mewah itu, tapi tetap saja mereka membelanya. Apa mereka sengaja tidak memihak rakyat hanya untuk mendapatkan keuntungan? Lalu bagaimana nasib kita jika tidak ada perlawanan dari kita?" Aku mencaci maki pembaca berita yang disiarkan di televisi. "Sudahlah Rizal, tak ada gunanya kau mencaci maki benda mati itu. Toh mereka juga tidak akan mendengar. Para awak media itu merasa bahwa sosok dalam gedung mewah itu adalah produk yang harus dijaga." "Tapi kita tidak bisa tinggal diam. Setelah kau sehat nanti, kita kembali dengan beribu-ribu masa menuju gedung mewah itu." "Tapi...." Perbincangan kami terputus. Aku meninggalkannya tanpa mendengar jawaban darinya.
***
Secangkir teh hangat dan sepiring roti gandum selalu setia menemaniku. Mereka adalah saksi bisu amarahku, keluh kesahku, bahkan niat burukku. Sudah 1 minggu semenjak kejadian ricuh didepan gedung megah itu. Sangat terekam jelas olehku setiap detail kejadiannya, hingga membuatku hilang kesabaran. "Heeii!!!" Suara Noval yang sengaja mengagetkanku. "Astaghfirullah, pagi-pagi kau sudah membuat orang jantungan saja." Sambil mengelus dada. "Maaf Rizal, saya tak berniat untuk mengagetkan kau." Tawanya makin meledak. "Awas kau!" Ancamku."Makin bugar saja kau selepas pulang dari rumah sakit." Ledekku. "Kau saja yang semakin kurus. Nampaknya terlalu banyak hal yang kau pikirkan." "Tentunya kau sudah mengerti." Wajahku berubah menjadi muram. Noval terdiam, dan berdehem untuk memulai pembicaraannya. "Tak dapat dipungkiri lagi, saya sangat bangga memiliki kawan seperti kau. Kawan yang memiliki naluri kepahlawanan. Tapi, tahukah kau bagaimana pahlawan sejati mengekspresikan kepahlawanannya? Para pahlawan sejati menyimpan kelembutan di dalam hati. Ini merupakan tantangan untuk kita. Untuk menstimulasi kehidupan yang telah Allah tumbuhkan naluri kepahlawanan dalam diri manusia." "Tapi mereka juga menyimpan ilusi kelembutan di hati mereka." Elakku. "Kau benar Rizal, namun pahlawan sejati senantiasa bergetar setiap kali ia menyaksikan berbagai peristiwa kehiduoan yang mengharu-biru, mereka mampu merasakan sentuhan alam, mendengar jeritan kemanusiaan, dan merasakan rangsangan yang mendayu-dayu akan kesejahteraan umat." "Perenungan yang mendalam terhadap persoalan ini, telah mempertemukanku dengan 1 kenyataan besar. Bahwa persoalan inilah yang telah mengumpulkan semangat perjuanganku untuk mengelolah industri kepahlawanan. Kini aku mengerti bagaimana cara menghadapi soaok dan bayangan-bayangannya di gedung mewah itu. Baiklah, mari kita tuntaskan masalah ini dengan kepala dingin." "Caranya?" Tanya Noval antusias. "Kita kumpulkan data-data ungkapan masyarakat untuk kita jadikan statement. Setelah itu, aku akan merubahnya ke dalam bentuk surat. Dan akan aku kirim kepada sosok di gedung mewah itu. Semoga Allah membuka hatinya."

Mungkin cara ini belum mampu membungkus keseluruhan persoalan kita. Namun, para pahlawan sejati selalu dapat menangkap batu-batu terjal ketika ia akan mengukir legenda kepahlawanannya.

Oleh : Anggun Sukma F


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »