Dibalik Perjuangan Sang Pahlawan

"Tenang kawan tenang! Jangan gegabah. Semuanya tetap di tempat!" Teriak salah satu komandan. Suasana malam yang begitu mencekam, ditambah lampu penerangan jalan yang sengaja dimatikan oleh para pecundang. Tiba-tiba, terdengar suara layaknya sebuah senjata api. "Pistol gas air mata!" Teriakku. Suasana yang semula ramai dengan celotehan mahasiswa dan masa, kini berubah menjadi suara rintihan. "Dor!!!" Dentuman suara peluru karet melesat dengan cepat, dan.... splash! Tepat mengenai tangan kanan kawanku.
***
Lantas, bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menggerogoti dengan rakusnya. "Rizal, bagaimana kabar kawan kau yang beberapa hari lalu terkena tembakan?" Tanya seorang komandan, yang juga membuyarkan lamunanku. "Alhamdulillah keadaannya sudah membaik." Jawabku singkat. "Aku tau kau masih tidak bisa melupakan kejadian ricuh beberapa hari yang lalu." "Iya pak. Mereka sungguh kejam, pasti ada provokator dibalik ini semua. Atau, anak buah yang serentak salah kaprah." Jawabku bersungut-sungut. Sang komandan tersenyum simpul dan berbisik kepadaku. "Rizal, pahlawan sejati tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Bukan dengan cara menomor satukan amarahnya." Sang komandan berlalu, meninggalkanku yang masih tersentak dengan perkataannya.
***
Selepas kuliah, kusempatkan diriku untuk menjenguk Noval di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini dia absen akibat luka di tangan kanannya. Tak lupa kulangkahkan kakiku menuju toko buah untuk membeli buah favoritnya. Perjalanan ke rumah sakit tidaklah lama, hanya membutuhkan 20 menit untuk sampai kesana. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamar Noval. Paviliun I, kamar nomor 6. "Assalamu'alaikum." sambil memunculkan kepalaku dari balik pintu. "Wa'alaikumussalam wa rohmatullah. wah! sekilas melihat wajah kau, saya mendadak sehat." Guraunya. "Ada-ada saja kau ini. Ini saya bawakan buah kesukaan kau." "Terima kasih Rizal, tak rugi kau datang kemari." Tawanya semakin meledak, sembari menahan rasa sakit. Kami pun mengobrol seputar keadaannya, operasinya, dan materi di kampus. Namun obrolan kami terhenti, disebabkan oleh suara pembaca berita di televisi. "Bodoh! Bodoh sekali para awak media itu. Sudah jelas beribu-ribu masa telah mengultimatum sosok dibalik gedung mewah itu, tapi tetap saja mereka membelanya. Apa mereka sengaja tidak memihak rakyat hanya untuk mendapatkan keuntungan? Lalu bagaimana nasib kita jika tidak ada perlawanan dari kita?" Aku mencaci maki pembaca berita yang disiarkan di televisi. "Sudahlah Rizal, tak ada gunanya kau mencaci maki benda mati itu. Toh mereka juga tidak akan mendengar. Para awak media itu merasa bahwa sosok dalam gedung mewah itu adalah produk yang harus dijaga." "Tapi kita tidak bisa tinggal diam. Setelah kau sehat nanti, kita kembali dengan beribu-ribu masa menuju gedung mewah itu." "Tapi...." Perbincangan kami terputus. Aku meninggalkannya tanpa mendengar jawaban darinya.
***
Secangkir teh hangat dan sepiring roti gandum selalu setia menemaniku. Mereka adalah saksi bisu amarahku, keluh kesahku, bahkan niat burukku. Sudah 1 minggu semenjak kejadian ricuh didepan gedung megah itu. Sangat terekam jelas olehku setiap detail kejadiannya, hingga membuatku hilang kesabaran. "Heeii!!!" Suara Noval yang sengaja mengagetkanku. "Astaghfirullah, pagi-pagi kau sudah membuat orang jantungan saja." Sambil mengelus dada. "Maaf Rizal, saya tak berniat untuk mengagetkan kau." Tawanya makin meledak. "Awas kau!" Ancamku."Makin bugar saja kau selepas pulang dari rumah sakit." Ledekku. "Kau saja yang semakin kurus. Nampaknya terlalu banyak hal yang kau pikirkan." "Tentunya kau sudah mengerti." Wajahku berubah menjadi muram. Noval terdiam, dan berdehem untuk memulai pembicaraannya. "Tak dapat dipungkiri lagi, saya sangat bangga memiliki kawan seperti kau. Kawan yang memiliki naluri kepahlawanan. Tapi, tahukah kau bagaimana pahlawan sejati mengekspresikan kepahlawanannya? Para pahlawan sejati menyimpan kelembutan di dalam hati. Ini merupakan tantangan untuk kita. Untuk menstimulasi kehidupan yang telah Allah tumbuhkan naluri kepahlawanan dalam diri manusia." "Tapi mereka juga menyimpan ilusi kelembutan di hati mereka." Elakku. "Kau benar Rizal, namun pahlawan sejati senantiasa bergetar setiap kali ia menyaksikan berbagai peristiwa kehiduoan yang mengharu-biru, mereka mampu merasakan sentuhan alam, mendengar jeritan kemanusiaan, dan merasakan rangsangan yang mendayu-dayu akan kesejahteraan umat." "Perenungan yang mendalam terhadap persoalan ini, telah mempertemukanku dengan 1 kenyataan besar. Bahwa persoalan inilah yang telah mengumpulkan semangat perjuanganku untuk mengelolah industri kepahlawanan. Kini aku mengerti bagaimana cara menghadapi soaok dan bayangan-bayangannya di gedung mewah itu. Baiklah, mari kita tuntaskan masalah ini dengan kepala dingin." "Caranya?" Tanya Noval antusias. "Kita kumpulkan data-data ungkapan masyarakat untuk kita jadikan statement. Setelah itu, aku akan merubahnya ke dalam bentuk surat. Dan akan aku kirim kepada sosok di gedung mewah itu. Semoga Allah membuka hatinya."

Mungkin cara ini belum mampu membungkus keseluruhan persoalan kita. Namun, para pahlawan sejati selalu dapat menangkap batu-batu terjal ketika ia akan mengukir legenda kepahlawanannya.

Oleh : Anggun Sukma F


Malam Candu Para Pemikir


Adalah tanda keEsaan Allah bergantinya siang dan malam. Sinar mentari dan temaram rembulan silih berganti membawa cahaya. Keteraturan tiada cacat semua itu, hendaknya menjadikan iman di hati manusia semakin kokoh, seiring dengan nash yang menerangkan, akal yang sehat pun akan menerima.
                Beranjak dari terik siang, tatapan kita dihantar ke ufuk Barat, melintasi samudera waktu yang bergulir begitu  cepat. Dunia seakan membalikkan masa, merubah siang menjadi malam dalam sekejap. Jendela ditutup, slot kunci dipasang, semua beranjak pergi, melepas lelah kerja sehari. Datanglah ketenangan yang sunyi.
                Subhanallah.. apa jadinya jika kehidupan ini tak seimbang seperti adanya? Mungkin hanya rasa gelisah yang berkuasa. Mungkin hanya gemuruh tak berkesudahan memenuhi alam semesta. Tapi siang berganti malam, ramai berganti sepi, dan gemuruh berganti tenang.
                Mari renungkan, malam dengan sifatnya, seringkali terbuang dalam lelapnya tidur yang panjang. Padahal ia menyimpan rahasia yang tak ada di waktu siang. Pada akhirnya para pejuang, penuntut ilmu, pemimpin, cendikiawan menemukan kelezatan di dalamnya. Oleh mereka, tersingkap rahasia yang ada pada malam hari. Mereka tak lagi sekadar menghabiskan sunyinya malam dalam buaian mimpi, namun mereka beristirahat dalam nikmatnya berfikir dalam sunyi. Lahirlah karya agung yang ditulis di bawah temaram purnama, muncullah syair syahdu dari hembusan angin malam, datanglah siasat jitu yang diramu bersama sinar gugusan bintang. Sehingga malam jadi candu para pemikir. “Siapa yang menginginkan seusatu yang tinggi, hendaklah menghidupkan malam-malamnya”, begitulah orang Arab memposisikan waktu malam.
                Puncaknya adalah sepertiga malam. Siapa yang tak kenal beribu keutamaan di dalamnya. Para huffazh pun paham betul akan keistimewaan waktu ini. Suasana yang hening menjadikan emosi seseorang lebih stabil. Inilah saat terbaik seseorang meraih pembekalan efektif. “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. Al Muzzammil: 6-7). Karena bagi segenap pejuang dakwah, amanah yang dibebankan sangatlah berat. Tugas yang ada lebih banyak dari waktu yang tersedia. Ia memerlukan kucuran keringat yang lebih deras. Ia memerlukan fikiran yang lebih dari sekadar berfikir biasa.
                Malam, ia tempat beruzlah baginda Rasulullah saw menunggu wahyu. Malam jadi teman muhasabah bagi sosok Umar bin Khattab. Malam jadi pengiring Hudzaifah bin Yaman mencuri kabar kelemahan musuh. Malam jadi gejolak bagi Sholahuddin Al-Ayyubi dalam menaklukkan Jerussalem. Malam jadi waktu pelarian Soekarno-Hatta menuju kemerdekaan. Malam jadi  kesempatan halaqah Sang Murobbi. Begitulah malam mengantarkan orang-orang besar dalam membuat karya agung di masanya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memiliki akal.
(QS. Ali-Imran: 190)
                
Oleh : Raji Luqya Maulah - Kadep Kaderisasi

Idul Adha, KAMMI LIPIA Kembali Berbagi Keceriaan Bersama Al Fath


Mampang, 25 September 2015

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat LIPIA (KAMMI Komsat LIPIA) dalam rangka merayakan hari besar Islam, Idul Adha, kembali mengadakan aksi sosial berupa penyembelihan hewan kurban. Acara yang dipusatkan di TPA Al - Fath, sebuah TPA binaan KAMMI Komsat LIPIA yang beralamat di Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan tersebut merupakan agenda tahunan KAMMI Komsat LIPIA untuk berbagi dengan sesama.

Agenda penyembelihan hewan kurban yang digawangi oleh departeman sosial dan masyarakat ini dimulai sejak jam 7 pagi dan dihadiri oleh para kader KAMMI LIPIA, baik ikhwan maupun akhwat. Tak turut ketinggalan, ketua umum KAMMI komisariat LIPIA, Bang Arif Nur Hidayat pun turut hadir dalam agenda sosial kemasyarakatan tersebut.

Kali ini, KAMMI LIPIA diamanahi untuk mengurus tiga ekor kambing dari para muhsinin atau pengkurban. Tak ingin mengecewakan, maka KAMMI LIPIA berusaha semaksimal mungkin untuk mengurus ketiga ekor kambing tersebut. Tak lama setelah para kader KAMMI LIPIA berdatangan, satu persatu hewan kurban pun disembelih oleh salah satu kader kastrat KAMMI LIPIA dibantu dengan beberapa kader lainnya untuk mengkondisikan hewan kurban agar lebih mudah disembelih. Setelah semua kambing tersembelih, tidak menunggu lama, tali untuk mengkuliti ketiga kambing tersebut pun langsung dipasang. Bak seperti tukang sate dan jagal yang sudah ahli, para kader KAMMI LIPIA nampak cekatan untuk mengkuliti kambing tersebut, dan juga mengeluarkan organ dalamnya dengan cekatan dan tanpa ada yang robek atau meledak.

Setelah semua kambing terkuliti dan semua organ dalamnya dikeluarkan, sebuah banner lama kemudian dibentangkan dan digunakan sebagai alas untuk memisahkan daging dengan tulang dan juga mencacah tulang-tulang yang besar menjadi bagian kecil-kecil untuk lebih mudah didistribusikan dan diolah.
Di samping ada yang sibuk memisahkan daging dengan tulangnya, sebagian kader juga sibuk mempersiapkan daging untuk diolah menjadi sate, dibantu oleh kader akhwat yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk mengurus konsumsi.

Tak menunggu lama, satu dua kader kemudian membuat bara dan memanggang sate yang sudah siap ditusukannya. Daging kambing yang segar, ditambah dengan bumbu kecap plus jeruk nipis dan sedikit nanas membuat aroma sate lebih mantap dan lebih menusuk hidung.

Acara kemudian dihentikan sejenak karena kader ikhwan harus menunaikan shalat jum’at. Setelah sholat jum’at selesai, sate dengan bumbu ala mahasiswa dan nasi yang sudah siap, kemudian dibawa ke TPA Al-Fath yang kemudian akan dimakan bersama-sama dengan anak-anak binaan TPA Al-Fath yang jumlahnya tidak kurang dari 30 anak-anak di sekitar TPA Al-Fath.

Sebelum menyantap masakan ala mahasiswa yang super luar biasa, kader KAMMI LIPIA yang juga sebagai kakak - kakak Pembina di Al-Fath, bermain sebentar dengan anak-anak sekaligus berkenalan dengan kakak -kakak yang tidak turut menjadi pengajar di al-Fath. Setelah beberapa menit acara perkenalan, akhirnya nasi dengan dua tusuk sate dan daging semur pun disajikan oleh kakak-kakak akhwat. Nampak riang penuh bahagia memancar dari pesona senyum mereka yang lugu. Luar biasa bisa berbagi dengan sesama. Setelah acara tersebut selesai, selanjutnya teman-teman KAMMI LIPIA membagikan daging yang sudah di bungkus untuk para wali dari anak-anak binaan Al -Fath.

Alhamdulillah, rangkain pada hari ini selesai. Ini menunjukkan bahwa sebuah perkumpulan mahasiswa tidak hanya terkenal suka turun ke jalan dan membakar-bakar ban. KAMMI lebih dari  itu. KAMMI hadir di masyarakat adalah sebagai pelita yang membawa penerang. Sebagai siang yang menngantikan malam. Dan asa yang mengantikan duka. Dakwah KAMMI adalah dakwah Rasul. Dakwah yang syumul (komprehensif), dakwah yang menyentuh ranah Politik, seperti teman-teman di departeman kastrat. Dakwah yang menyentuh rana sosial seperti teman-teman di departemen sosmas. Dakwah yang menyentuh pengkaderan calon pemimpin bangsa seperti teman-teman di Kaderisasi. dan ranah-ranah lainnya terutama pendidikan dan berbagai macam ranah lainnya. Semuannya disentuh oleh KAMMI tanpa ada satupun yang luput. Dan begitulah manhaj dakwah Baginda Muhammad -Sholallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita diberi keistiqomahan dalam gerbong dakwah ini dan menjadi penerus etafet mata rantai dakwah para nabi yang mulia dan bisa berkumpul dengan mereka, terutama Baginda Muhammad –Sholallahu ‘alaihi wa sallam- di jannataka ya rabb…
Amin.

Adraha al-Hiraki

Pungguk Merindukan Bulan

Pernak-pernik Kutu Alin Ayam dan Bebek Berkilauan. Itulah kesanku saat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu di parkiran sekolah, aku baru saja memarkir sepeda BMX butut yang dibelikan Papa lima tahun lalu. Kau berada di antara barisan motor Ninja dan Satria F milik siswa berpunya. Jantungku berdebar karena kau begitu cantik dan anggun, hingga malu menatapmu dengan mata yang hina ini. Seseorang yang tampak posesif berdiri di dekatmu. Aku kenal dia, Yanto, anak kelas 2 IPS yang bodoh dan begajulan, namun karena bapaknya pejabat teras daerah, sekolah tetap mempertahankannya. Dia sedang mengobrol bersama gengnya, sesekali menyentuhmu. Dan kulihat kaupun menyukainya. Entah kenapa aku gemetar karena rasa cemburu, padahal baru baru pertama kali melihat. Sejak saat itu dimulailah rasa penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangmu.
 ***
Kali kedua aku melihatmu adalah saat pergi belajar kelompok ke rumah Edo. Dan tidak menyangka akan berpapasan denganmu di depan pintu rumahnya. Kemudian menatapmu sejenak yang bergeming tidak menghiraukan keberadaanku. Dengan anggun matamu yang sejernih lampu halogen menatap lurus ke taman bunga. Aku sadar, aku hanyalah seorang anak penjual gado - gado di pasar. Apalah artinya aku dibanding Yanto yang uang sakunya sehari setengah juta. Dia pasti bisa memenuhi kebutuhanmu yang kabarnya mahal itu. Dengan menggeleng pelan aku melanjutkan langkahku menuju ruang tamu tempat Edo dan yang lain sudah berkumpul untuk belajar bersama. Kami belajar logaritma, judul yang baru diajarkan di sekolah tiga hari yang lalu. Bisanya ini soal kecil bagiku, namun kali ini aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terus-terusan melayang pada sosok aduhai di depan pintu. Iya, itu kamu. Karena sudah tidak tahan, aku memberanikan diri bertanya tentangmu pada Yanto, yang sedari tadi cuma main PS milik Edo. Aku juga heran mengapa ia berada di sini, kami kelas IPA dan Yanto IPS, tentu ia tidak ikut belajar kelompok. “Yang di luar itu, kecengan baru To, siapa namanya?” Tanyaku dengan nada sambil lalu, seolah aku iseng saja. “Oh… itu Vixy, kenapa cakep yaah.” Jawab Yanto sambil matanya tidak lepas dari layar TV. “Oh, lumayan sih. Boleh gue kenalan?” Dadaku berdegub kencang membayangkan bisa menyentuhmu dan mendengar suaramu. “Nggak.” Degub di dadaku seketika berhenti. Dengan lesu aku membetulkan kaca mataku dan kembali ke meja belajar. Saat ini mungkin tidak bisa, tapi lain kali. Janjiku dalam hati.
 ***
Kali ketiga aku melihatmu, aku benar-benar dimabuk kepayang oleh pesonamu. Aku sudah berusaha mengalihkan pandangan darimu yang terus menempel pada Yanto di sekolah. Namun saat pulang sekolah kau muncul di pasar yang biasa aku datangi bersama Mama. Susah payah aku memutar jalan agar tidak berpapasan denganmu. Lalu keesokan harinya saat aku beli bubur di depan gang rumahku, kau juga ada di sana. Ntah bersama siapa. Namun kau berkilau seperti biasa, seolah kau memang diciptakan surga untuk merayuku, pemuda SMA yang pandai namun miskin ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku terus-terusan melihatmu berada dimana- mana. Mengapa Tuhan begitu tega padaku memberikan cobaan seberat ini. Mengapa aku terus menatap milik orang lain yang tentu saja tidak bisa aku miliki. Tiga hari ini aku bolos sekolah. Tidak biasanya aku begini. Namun segalanya mungkin terjadi sejak aku bertemu denganmu. Mama dan Papa berusaha membujukku akan membelikan apapun yang aku inginkan. Namun aku tidak ingin benda – benda berharga lainnya, aku cuma ingin kau. Yang menungguku di depan rumah setiap pagi dan mau menemaniku ke sekolah. Lalu sorenya saat pulang sekolah kita bisa berkeliling kota, kemanapun tempat yang kau suka. Tampaknya Mama dan Papa tidak mengerti hal ini.
 ***
Aku terbangun di kamarku yang gelap. Tubuhku berkeringat. Aku menyalakan lampu dan menatap jam dinding. Sudah pukul enam sore. Aku menatap keluar jendela, di luar sudah gelap. Aku mencondongkan tubuhku ke luar jendela untuk meraih daun jendela yang berayun keluar. Saat itulah aku melihatmu. Di bawah sana tiga meter dari tempatku berdiri di dalam kamarku di lantai dua. Kau berdiri dengan gesture khasmu di pekarangan rumah tetangga. Tidak salah lagi itu kau, dengan segala keanggunan seorang dewi, dan kilaumu yang tak pudar meski di malam hari. Dengan terburu-buru aku menarik daun jendela menutup, menguncinya dan berlari menuruni tangga rumah susun kami dan secepat kilat sampai di bawah. Dengan mengendap-endap aku mengintipmu melalui tembok pembatas antara rumah susun kami dan rumah tetangga. Kau masih di sana. Terima kasih Tuhan. Aku sedang bertanya – tanya dalam benakku dengan siapa kau kemari? Apa yang kau lakukan di sini? Mataku tak bosan-bosannya menatap tubuhmu yang berlekuk dan mulus. Bukan hanya mataku, jemarikupun tidak tahan ingin menyentuhmu. Dengan jantung berdegub aku memanjat pagar pembatas dan melompat di atas rumput tetangga yang untungnya tebal. Dengan pelan aku mendekatimu, aku takut mengejutkan pemilik rumah dan melarangku anak SMA yang tidak tau diri ini, mendekatimu yang cantik primadona semua orang. Akhirnya aku sampai di dekatmu. Dengan gemetar kuelus kulitmu. Kau bergeming. Di waktu maghrib yang lengang dan dibawah sinar bulan yang mulai mengintip di balik awan, menyinari sebuah bandul kecil terbuat dari karet yang menghiasi tubuhmu. Setan menyusup ke dalam dadaku. Timbul niat jahatku untuk menculikmu, sebentar saja. Aku ingin menghabiskan malam ini berdua saja denganmu. Tidak akan lama, aku menatap jam tanganku, tepat jam dua belas tengah malam, aku akan mengembalikanmu seperti Cinderella. Detik berikutnya aku sudah di tengah jalan, di antara lampu jalanan yang berkelip temaram, berdua saja denganmu. Beberapa kali kuangkat tangan kiri demi mencubit tangan kananku. Rasanya seperti mimpi, aku tidak percaya ada saat seperti dalam hidupku. Berdua saja denganmu berkeliling kota. Aku mengebut membelah jalan raya, baru kusadari bukan hanya kulitmu saja yang mulus, namun suaramu pun merdu. Mesinmu juga mulus satu tarikan saja terasa seperti terbang. Persenelingmupun halus, aku tidak perlu berkali – kali pindah gear saat jalanan sedikit macet. Segalanya sempurna tentangmu. Saat sedang sibuk mengagumi keelokanmu, mataku menangkap garis hijau fosfor di kejauhan. Aaah… itu polisi. Sedang ada razia kah? Aku menginjak rem dalam jarak dua meter sebelum antrian motor di depanku. Ya Tuhan, remmu pun sangat mantap, dengan cakram hidrolik dua piston, hampir saja aku bersalto di udara jika tidak hati – hati. Dengan sabar aku menunggu giliran berbaris di belakang antrian motor di pinggir jalan. Aku menepuk tangkimu yang muat sebelas liter bensin, dengan sayang. Asalkan bersamamu segalanya terasa indah. “Selamat sore, boleh lihat SIM dan STNK pak?” Seorang Polisi berjaket hijau mendekatiku. Dengan santai aku merogoh kantongku yang … kosong! Dengan panik aku merogoh kantong celana jinsku. SIM dan STNK pasti ada di sana, di dalam dompetku. Namun mendung tiba - tiba bergelayut di kepalaku saat kutemukan kantong celanaku juga kosong. Aku bahkan tidak membawa dompet! Aku sedang menyusun dialog di benakku untuk bernegosiasi, namun Pak Polisi terlanjur melihat ekspresi panikku. Dengan tegas ia menarik lenganku dan memintaku turun dari motor. Darimu sayang … gadis impianku. . Aku menatap jam digital di sebelah speedometermu yang berkelip sedih, mengingatkanku-bahwa kau adalah Cinderella yang harus kukembalikan sebelum tengah malam tiba. Dengan berat hati aku digiring menuju kantor polisi, meninggalkanmu bersama mobil barracuda yang sangat tak layak bersanding denganmu. Polisi segera menelepon orang tuaku setelah tahu aku masih pelajar. Aku menunggu Papa dan Mama datang dengan perasaan galau, khawatir mereka akan marah besar atas skandal yang aku perbuat ini. Akupun takut pemilikmu yang dengan sembrono meninggalkan kuncinya menempel di tangkimu, datang dan memisahkan kita. Namun apalah daya. Dia pemilikmu yang sah, dia yang memiliki STNK dan namanya tertera dalam lembar BPKB. Dan siapalah aku … pungguk merindukan bulan. Pelajar miskin yang jatuh cinta pada Honda CBR 150 R keluaran terbaru.
***
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud )

Penulis,
Tika Kinasih, staf kastrat KAMMI LIPIA