Kita, Semesta, dan Netflik

(disclaimer : tulisan ini ditulis bukan untuk menjudge orang lain tapi buat bahan evaluasi masing.)

 

Akhir-akhir ini, beriringan dengan pandemi aktivitas kita bersama gadget atau pun hape kita semakin intim dan sepertinya saya gak perlu nyajiin infografiknya karna setiap orang pasti merasakan hal ini. Dan seiring dengan itu pula,mulai tumbuh habbits baru yang sebelum pandemi mungkin agak jarang tapi sekarang jadi marak bukan main, nah yang paling masif menurut saya adalah kebiasaan generasi muda buat nonton ,mulai dari korea, anime atau netflix, semua corak anak muda punya tontonannya masing masing, dari yang paling wibu yang katanya antisosial juga anak muda bucin yang suka nonton korea, ada juga yang tontonannya mungkin gak nyambung sama latar belakang kehidupannya, intinya nonton sudah jadi bagian dari kehidupan anak muda. Dan kalau disuruh bawa bukti maka saya akan kasih screenshoot jualan netflix di tweet tweet viral yang bahkan gak ada sangkut pautnya sama netflix.

 

 Terus perlu kita telusuri kenapa sih habbits nonton ini bener bener cepet menyebar dan sangat masif secepat dan semasif korona itu, nah jawabannya menurut saya yang sok tau ini pertama karna memang semesta memaksa kita untuk beradaptasi atau kalau jawaban lebih indienya 🎶”Biarkan semesta bekerja”🎶. Yang kedua menurut saya yang gak punya basic ilmu sosial fenomena nonton ini sangat cepat dan masif tersebar karna budaya ikut ikutan, karna sejatinya memang manusia adalah makhluk sosial yang berimitasi juga mengidentifikasi, (setidaknya itu yang saya ingat di buku IPS jaman SMP).

 

Nah melihat fenomena di atas maka saya rasa penting agar setiap orang mengevaluasi tontonannya, mungkin setiap pekan dievaluasi udah nonton apa aja saya yah minggu ini? Sudahkah bermanfaat buat dunia atau Akhirat saya? Atau jangan jangan Selama ini Cuma nonton tanpa bermanfaat dan Cuma melenakan saja. Dan terakhir saya ingatkan diri saya pribadi juga anda bahwa akan datang saatnya kita sadar bahwa yang kita tonton di layar itu semuanya palsu, dan yang kita tonton dengan mata kita sehari hari ialah kehidupan sejati yang harus kita jalani.

-----

Author : Luthfi M Fatih

Editor : Abdulah Azzam

Stress Management Ala Millenial



Para pembaca yang baik hati, mungkin saat ini kamu berada di rentang usia antara 20 hingga 29 tahun, dan saat ini adalah titik berat yang sedang kamu hadapi, dimana kamu mulai mencari jati diri, menghadapi quarter life crisis, diberikan banyak tuntutan, tugas kuliah, perbaikan financial, menata karir, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat mu merasa stress dan frustasi.

 

Menurut psikolog, Tara Adhisti de Thouars, usia 20-29 tahun sering disebut masa dewasa muda. Dimana masa ini adalah masa paling produktif bagi kehidupan seseorang. Karena di usia ini lah seseorang mulai lebih sadar untuk memperjuangkan ambisi, mimpi, keinginan, dan pencapaian.

 

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh WHO (World Health Organization) terdapat 800 ribu orang yang tercatat melakukan bunuh diri di setiap tahunnya dan sebagian kasus ini terjadi di kalangan anak muda. Seorang psikolog asal AS, Peter Gray, juga mendapatkan bahwa tren bunuh diri di kalangan anak muda tidak hanya dipengaruhi social media, melainkan juga dari stress akibat tuntutan yang ia terima, baik dari masyarakat maupun bidang akademik.

 

Sehingga rawan sekali usia-usia ini mengalami strees dan frustasi, apalagi dengan maraknya social media yang sangat mudah di akses, dan banyak sekali pengguna social media yang membagikan semua hal terbaik dalam diri mereka, sehingga ini membuat kita sendiri atau orang lain membandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang orang lain miliki.

 

Bagi Sebagian orang yang tidak memiliki ketahanan terhadap hal demikian, akan lebih mudah terkena stress dan frustasi, karena kurva kemampuan dan keinginan berbanding terbalik. Bisa jadi ia melihat para influencer menggunakan outfit mahal dan barang branded, sedangkan kemampuan setiap orang berbeda-beda, tidak akan pernah sama. Ini menjadi salah satu factor orang lain bisa mendapatkan tekanan social yang mengacu pada stress.

 

Stress sendiri terbagi menjadi dua tingkatan, Eustress dan Distress. Eustress adalah stress yang positif, stress ini cukup memotivais untuk mendapatkan sesuatu, dan stress ini akan menjadi baik jika di tempatkan ketika sedang Latihan fisik atau ketika sedang mengejar target Pendidikan.

 

Dimana stress ini sangat mengganggu perkembangan dan peningkatan kemampuan seseorang. Bahkan lebih parah nya lagi, stress dapat menghambat kita untuk berpikir jernih, dan tidak bisa dengan matang memeprtimbangkan sebuah keputusan. Banyak hal negative yang akan didapatkan seseorang ketika tidak mampu mengatur stress yang terjadi. Kita tidak dapat menolak stress itu untuk datang, tapi kita dapat mengendalikan stress yang terjadi, agar tidak mengganggu kita dalam mengejar target yang harus kita selesaikan.

 

Dewasa ini, “Stress Management” menjadi sebuah alternatif untuk mengurangi kadar dan tingkat stress yang kita alami. Stress management adalah kemampuan untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncuk akibat tanggapan atau respon. Management stress bertujuan untuk memperbaiki kualitas hiudp seseorang agar menjadi lebih baik.

 

Dibawah ini beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengenal stress management

Memecahkan kebiasaan stress

-       Belajar tentang apa itu stress

-       Mengenali gejalanyaa

Mempelajari gejala stress, seperti gelisah, pucat, sulit tidur, nafsu makan berkurang, mudah tersinggung, dan sulit konsentrasi

-       Memanfaatkan serangkaian cara dan relaksasi dari management stress yang cepat dan sederhana.

Bisa dengan melakukan 4A ( Avoid, Alte, Accept, Addapt )

Mengenal Teknik management stress

-       Signal breath

-       Mendengarkan music relaksasi

-       Visualisasi diri

-       Stretching

 

Selain point di atas melakukan meditasi setiap pagi juga dapat memberikan efek tenang dalam menghadapi stress, meditasi berfungsi untuk menguraikan pikiran dan kemudian berusaha menenangkan kekacauan yang terjadi dalam pikiran kita.


MANFAAT OLAHRAGA UNTUK KESEHATAN MENTAL


Olahraga. Mendengar kata olahraga maka erat kaitannya dengan kesehatan, kebugaran fisik, pembentukan otot, dan lain sebagainya. Banyak orang yang melakukan olahraga untuk alasan kesehatan seperti menurunkan berat badan, menyehatkan jantung, mengurangi resiko penyakit keras, dan masih banyak lagi bahkan tidak bisa disebutkan satu persatu pada kesempatan kali ini. Namun tak banyak orang yang tahu manfaat olahraga untuk kesehatan mental. Maka dari itu artikel ini akan membahas manfaat olahraga untuk kesehatan mental secara singkat padat dan jelas.

 

Memperbaiki mood

Olahraga bisa memperbaiki mood atau suasana hati Anda. Suatu penelitian menunjukkan, para partisipan merasa lebih tenang, senang, dan puas setelah berolahraga, sehingga mood-nya menjadi lebih baik.

 

Mengurangi stres

Dengan berolahraga, kadar stres dapat berkurang. Hal ini karena peningkatan detak jantung saat olahraga dapat mencegah kerusakan otak akibat stres dengan merangsang produksi hormon saraf (norepinefrin) dan menurunkan kadar hormon stres (kortisol).

Selain itu, olahraga juga membuat sistem saraf pusat dan saraf simpatik tubuh dapat berkomunikasi satu sama lain. Jadi, kemampuan tubuh secara keseluruhan dalam mengatasi stres dapat meningkat.

 

Mengatasi depresi dan kecemasan

Selain mengatasi stres, olahraga juga dapat mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Karena, aktivitas fisik dapat meningkatkan kadar endorfin, yaitu hormon bahagia yang diproduksi oleh otak dan sumsum tulang.

 

Meningkatkan rasa percaya diri

Apa kaitan olahraga dengan kepercayaan diri? Orang yang rutin berolahraga akan terbantu untuk menurunkan dan menstabilkan berat badan, serta mengencangkan otot tubuh. Sehingga penampilan fisik menjadi lebih proporsional dan tentu akan membuat anda lebih percaya diri.

 

Meningkatkan fungsi otak

Temuan lain menyebutkan, olahraga dapat meningkatkan zat kimia di otak, yaitu brain-derived neurotrophic factor (BDNF), yang dapat merangsang pembentukan sel otak baru. Hal ini dapat meningkatkan fungsi otak dan tentu akan memengaruhi kesehatan mental.

 

Meningkatkan kualitas tidur

Olahraga ringan di pagi atau sore hari dapat membantu mengatur pola tidur Anda. Adanya aktivitas fisik dapat meningkatkan suhu tubuh. Hal ini dapat membuat pikiran menjadi lebih tenang sehingga lebih gampang tertidur.

 

Mempertajam memori

Hormon endorfin yang dihasilkan tubuh saat Anda berolahraga juga membantu mempertajam pikiran, ingatan, dan meningkatkan konsentrasi. Pasalnya, olahraga merangsang pertumbuhan sel-sel yang baru di otak.

 

 

Itulah beberapa fungsi olahraga unuk kesehatan mental. Tentunya masih banyak fungsi-fungsi lain yang belum dapat kami sampaikan disini. Jadi tunggu apalagi? Yuk berinvestasi pada diri sendiri dengan berolahraga! Sehat fisik Sehat mental!

Sebuah Interupsi Atas Cuitan Mahfud MD Tentang Demokrasi


Dalam beberapa bulan ini semenjak paruh akhir di tahun 2020, kita telah merasakan suhu yang panas di dalam atmosfer perpolitikan di Tanah Air. Bila ditanyakan kepada diri kita mengapa atmosfer perpolitikan terasa panas, maka sangat banyaklah alasan yang keluar dari lidah kita. Jenak-jenak begini di masa pandemi, di sebuah masa krisis multidimensional, juga masa kegetiran yang memaksakan kita untuk mengedepankan dua hal, yakni persatuan dan keharmonisan bangsa. Tetapi dua hal ini malah hilang saat sedang sangat dibutuhkannya.

Padahal Demokrasi yang kita ambil sebagai madzhab negara, tidaklah menghendaki ada nya ketidak harmonisan. Ruh demokrasi adalah dialog dan percakapan yang membuat hangat hubungan manusia di dalam bangsa. Tetapi Prof. Mahfud MD yang kini menyandang jabatan Kemenko Polhukam menganggap suasana demokrasi yang masif akan melahirkan ancaman Integrasi. Padahal baru saja kita melihat guncangan politik di Amerika, saat Trump dan massa nya mengotori Capitol Hill dengan kekerasan, padahal Capitol Hill adalah tempat yang harus suci dari darah dan kekerasan karena ia lambang kedaulatan rakyat yang tegak oleh perwakilannya, ialah tempat beradunya kata-kata dan argumen bukan beradunya senjata dan kekerasan. Namun seketika sistem Demokrasi bekerja, meringkus ulah Trump dalam membelah rakyat.

 Peristiwa dan pikiran ini lah yang menyadarkan kita, bahwa demokrasi dapat melejitkan bangsa Indonesia pada kemajuan. Dan Integrasi hanya akan terganggu saat negara lebih memilih mengangkat senjata dibandingkan mendengarkan suara dan kata-kata. Juga Integrasi akan terlukai saat pemerintah menukar kebebasan masyarakat dengan penyalahgunaan hukum untuk memilih kebebasan siapa yang harus diberangus. Karena demokrasi berdiri teguh di atas dua pijakan, yakni kebebasan masyarakat dan penegakkan hukum.

--

Oleh: Abdullah Azam (Kadept Kebijakan Publik)


Demografi: Bonus VS Bencana


Ada yang menarik pada pidato perdana yang disampaikan Presiden Jokowi usai dilantik sebagai Presiden RI periode 2019-2024 Agustus lalu. 

Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan menjadikan pengembangan SDM sebagai salah satu prioritas utamanya, mengingat pada tahun ini, 2020 hingga 2030 nanti Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi.

Sebenarnya, apa sih bonus demografi itu? 

Sederhananya, bonus demografi adalah keadaan dimana usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) lebih banyak sekitar 70% dibanding usia non produktif (rentang usia 15 tahun kebawah atau 64 tahun keatas) sekitar 30%. Ketika hal ini terjadi, angka ketergantungan atau beban yang harus ditanggung oleh usia produktif untuk membiayai usia non-produktif akan sangat rendah sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan lebih banyak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan menguntungkan pembangunan di Indonesia. 

Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh Tiongkok yang berhasil memanfaatkan fase bonus demografinya. Tiongkok berhasil memproduksi berbagai komponen-komponen peralatan elektronik sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat luas di negeri tersebut.

Meski demikian, Indonesia belum tentu bisa memanfaatkan peluang bonus demografi ini. Brasil dan Afrika Selatan adalah contoh dari dua negara yang gagal memanfaatkan peluang ini. 

Brasil mengalami kegagalan karena tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik sejak periode bonus demografi dimulai. Bukannya memanfaatkan sumber daya untuk penyediaan akses pendidikan yang baik, Pemerintah Brasil justru fokus dan memprioritaskan alokasi sumber dayanya pada kebutuhan jaring pengamanan sosial dan pensiun. 

Sedangkan di Afrika Selatan, permasalahan utamanya berada pada tingkat pengangguran yang tinggi, disebabkan oleh kualitas pendidikan yang kurang baik. Alih-alih mendapatkan bonus, demografi justru menjadi bencana bagi Brasil dan Afrika Selatan.

Menurut Prof. Fasli Jalal, apabila indonesia ingin mendapatkan benefit dari bonus demografi ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dipersiapkan : 

1. Kualitas angkatan kerja baik dari sisi pendidikan maupun kesehatan, serta kompetensi profesional yang dimiliki.
2. Supply tenaga kerja yang besar harus diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
3. Keterlibatan perempuan secara aktif dalam pasar kerja sehingga mampu membantu peningkatan pendapatan keluarga.
4. Peningkatan kualitas SDM pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar mampu bersaing meraih kesempatan kerja baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Jika indonesia berhasil mengoptimalkan pengelolaan bonus demografi ini dengan baik, tentu ini akan menjadi aset berharga negara. Namun, sebaliknya jika negara tidak mampu mengelolanya, justru ini akan menjadi bencana yang akan mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, serta rendahnya daya saing bangsa seperti yang terjadi pada Brasil dan Afrika Selatan.

Pada akhirnya, bonus demografi yang ada tidak dapat dimaknai sebagai sesuatu yang pasti. Karena sejatinya, jika negara gagal memanfaatkan momentum yang ada, maka bonus demografi hanya akan menjadi bencana.

Oleh: Sohra Salam (Staff Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain

Tabula Rasa


Kumpulkan beberapa orang dalam satu tempat untuk menyampaikan  pandangan, ide, serta gagasan, maka akan kita temui banyak perbedaan pemahaman, misinterpretasi bahkan silang pendapat. Sebagian menyampaikan pandangan dan sebagian yang lain sibuk memberi saran. Menimbang argumen mana yang lebih dekat kepada kebenaran atau setidaknya  paling jauh dari unsur kesalahan.

Dua komponen utama saat manusia menyampaikan pandangan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Sejauh mana ilmu yang telah dimiliki mempengaruhi manusia dalam berpandangan dan sebanyak apa pengalaman memberi pelajaran terhadap realitas yang lebih hakiki dari hanya sekadar teori berteori.

Alangkah bijaknya, jika setiap manusia memahami bahwa manusia memiliki dasar pemahaman, kemampuan ilmu pengetahuan, dan serangkaian pengalaman yang tidak sama antara satu manusia dengan manusia lainnya. Tentu akan jarang kita dapati perdebatan panjang tanpa jalan keluar.

Serangkaian komponen di atas juga dipengaruhi oleh faktor perjalanan hidup seorang manusia, sejak bagaimana ia dilahirkan, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan.

Sejalan dengan itu, seorang filsuf era modern Inggris, John Locke (1632-1704 M) menjadi populer dengan teori yang dibawanya, Tabula Rasa.

Teori ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan dan kemampuan apapun. Tabula Rasa sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti ‘kertas kosong', merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain kosong. Dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh manusia sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat indranya terhadap dunia di luar dirinya.

Umumnya, para pendukung teori ini berpandangan bahwa pengalamanlah yang mempengaruhi kepribadian, kecerdasan, serta perilaku sosial dan emosional. Selain itu, Locke juga menekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri.

Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya. Namun, identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa dilepaskan. Pendapat John Locke  di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengamalan (empirik) yang masuk melalui alat indera. Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori Tabula Rasa. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Mereka menganggap semua berasal dari pembiasaan serta pengalaman hidup manusia.

Di sisi lain, hal ini akan menafikan pendapat para peneliti genetika perilaku yang telah menemukan bukti-bukti yang menguatkan bahwa hingga taraf tertentu, kemampuan kognitif, sifat, watak kepribadian, kondisi kejiwaan, kecerdasan sosial dan emosional seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik. Keberadaan atau ketiadaan gen tertentu memang tidak secara otomatis mengakibatkan perilaku tertentu, tetapi gen lebih memberi kesiapan untuk merespon lingkungan dengan cara tertentu.

Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini?

Rasulullah SAW bersabda: "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Bukhari).

Dalam hadis ini disebutkan, setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Dalam kamus Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna “fitrah” dengan arti Al-Ibtida wal ikhtira' 'memulai dan mencipta’. Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa  “fitrah” adalah penciptaan awal atau asal kejadian. Fitrah adalah kondisi default factory setting, suatu kondisi awal yang sesuai dengan desain pabrik. Yang mana, desain penciptaan manusia dari awal ia diciptakan adalah ajaran ketauhidan. Hal ini tentu bersebrangan dengan teori yang diagungkan oleh Locke dan kaum Behaviorisme di atas.

Selain itu, dalam QS. Ar-Rum ayat 30 Allah SWT berfirman:

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), yang sesuai fitrah Allah, disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

“Fitrah” tidak sama dengan pengertian "kertas kosong". Fitrah bermakna asli, bersih, dan suci, tetapi berisi anugerah yang Allah karuniakan kepada setiap manusia  yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia itu sendiri. "Fitrah” bermuara dari hati yang pada awal penciptaannya putih bersih, digunakan untuk meminta fatwa terhadap suatu tindakan, apakah tindakan ini benar atau salah. Selain itu, dapat pula ditarik pengertian yang mendalam, bahwa hakikatnya fitrah itu tidak berubah. Ibarat pelita, ia tetap menyala, tetapi nyala pelita itu dapat terhalang dan tertutupi oleh berbagai pengalaman dan pengaruh dari luar, hingga ia menjadi tidak berfungsi. Singkatnya, penjahat paling jahat sekalipun tidak akan pernah mau anaknya menjadi penjahat, karena fitrahnya yang cenderung mengarah kepada kebaikan masih tetap menyala walau dalam kondisi tertutupi.

Simak pula, persaksian Allah SWT dengan setiap bayi yang akan dilahirkan:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belakang) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu? "Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami ketika itu adalah orang-orang yang lengah terhadap ini"."(Q.S Al-Araf ayat 172)

Selanjutnya, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, dan ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan menjadi faktor penentu yang dapat dilakukan untuk mendayagunakan potensi-potensi fitrah tersebut dan mengembangkannya menuju Marifatullah. Menjadi insan yang bertakwa kepada Allah SWT, dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Sekilas, teori Tabula Rasa ala John Locke ini terlihat nyaris sama dengan konsep epistemologi Islam. Namun, jika melihat lebih dalam akan terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara konsep pemikiran empirisme dan konsep fitrah dalam Islam. Hal ini didasari oleh sudut pandang yang digunakan yang bisa jadi berasal dari lingkup sekulerisme, yang memang memisahkan ruang ilmu pengetahuan dan ruang ketuhanan. Akan tetapi, keduanya sepakat bahwa manusia yang baru dilahirkan adalah manusia yang bersih dan suci.

Terakhir, dapat kita simpulkan bahwa ketika manusia dilahirkan tidak benar-benar dalam kondisi kertas kosong. Melainkan terdapat potensi prinsip berpikir yang akan teraktualisasi seiring perkembangan jiwa dan fisiknya. Potensi prinsip berpikir inilah yang bisa kita artikan sebagai “fitrah manusia” yang ia bawa sejak dilahirkan. Wallahu A'lam Bisshawab.

Oleh: Amalina Salsabila (Koordinator Perempuan KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Ed: Aziz Zulqarnain

Memperingati Hari Film Nasional


Mungkin sebagian dari kita menganggap bulan maret adalah bulan yang biasa saja, akan tetapi bagi sebagian orang, bulan maret merupakan bulan yang cukup spesial. Salah satunya bagi para pencinta film Indonesia, Mengapa? Karena pada setiap tanggal 30 Maret terdapat momentum tahunan dalam memperingati hari film nasional.

Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai hari film nasional karena berkaitan dengan sebuah peristiwa bersejarah dalam dunia perfilman Indonesia, hal itu disebabkan pada tanggal 30 Maret 1950 merupakan hari dilaksanakannya syuting perdana sebuah film lokal pertama yang diproduksi oleh Indonesia.

Film perdana tersebut berjudul “Darah dan Doa”. Film ini disutradarai langsung oleh Usmar Ismail yang sekarang kita kenal sebagai bapak perfilman nasional. Film ini diproduksi langsung oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film yang diperankan oleh Del Juazar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto, Awal, Johanna, dan Suzanna ini bercerita tentang perjalanan panjang prajurit Divisi Siliwangi (Indonesia) bersama keluarga mereka, dari Yogyakarta ke pangkalan utama mereka di Jawa Barat. Setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil.

Rombongan prajurit dan keluarga itu dipimpin Kapten Sudarto yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Kapten Sudarto diceritakan bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai seorang manusia biasa yang terlibat cinta dengan seorang pengungsi perempuan berdarah Indo-Belanda. Perjalanan panjang film ini pun diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Film ini sukses menggambarkan ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Oleh karena itu, “Darah dan Doa” dianggap sebagai film pertama yang mencerminkan ciri khas Indonesia dan pantas menjadi titik bangkitnya perfilman tanah air.

Keputusan menjadikan tanggal 30 Maret sebagi hari perfilman nasional tersebut diresmikan pada masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Keppres Nomor 25/1999.
Walaupun begitu, film cerita pertama yang dibuat di Indonesia bukanlah “Darah dan Doa” akan tetapi film pertama adalah “Loetoeng Kasaroeng” pada tahun 1926. Cerita “Loetoeng Kasaroeng” sebenarnya menampilkan legenda terkenal dari Jawa Barat yang berisi nasihat untuk tidak memandang sesuatu dari tampilan fisiknya saja. Namun, film hitam putih itu bukan merupakan karya asli dari orang Indonesia, film ini diproduksi oleh Java Film Co dan sutradara oleh L. Heuveldorp.

Perlu diketahui bersama, hari ini film tak lagi hanya sebagai suatu hiburan semata, kini film menjadi produk budaya yang tak jarang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat.

Film pun kini sudah menjadi alat yang sangat potensial untuk menggiring opini publik, dan media kampanye yang diinisiasi oleh para politisi untuk menarik simpati pemilihnya. 

Melihat potensi yang besar pada film, maka kita sebagai umat Islam perlu memiliki inisiatif untuk memanfaatkan industri perfilman ini sebagai alat atau media dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat, mengingat akhir-akhir ini banyak dari film-film yang ada bukan malah memperbaiki moral masyarakat, akan tetapi malah menimbulkan penyakit yang memperburuk moral dari masyarakat itu sendiri.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Khotibunnasi ‘ala qodri 'uqulihim‘’  (Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal pikiran mereka) atau dalam pepatah mengatakan "Kootibunnas ‘ala lughotihim"  (Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa mereka). Dari dua perkataan ini kita dapat menyimpulkan bahwa kita harus mampu mengajak masyarakat kepada kebaikan dengan berkomunikasi secara efektif, atau dengan kata lain, kita dapat menyesuaikan kondisi dan karakter masyarakat yang menjadi objek yang kita ajak tadi.

Maka jika kita lihat hari ini, banyak dikalangan masyarakat kita yang ketika diserukan kepada kebaikan melalui lisan (secara langsung) tidak mengindahkannya, akan tetapi mereka membutuhkan media  yang dapat menjadi perantara agar mau menerima apa yang kita serukan tadi. 

Dan diantara media yang efektif tersebut adalah industri perfilman ini. Maka, sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam bukan malah menjauh dari industri ini, akan tetapi kita masuk kedalamnya dengan tujuan memanfaatkan industri ini sebagai sarana menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Oleh: Amro Labib (Kepala Departemen Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain

Seminar Ekonomi Islam 5


Jakarta, 30/03/2020 - Salah satu paradigma gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyatakan bahwa "KAMMI Adalah Gerakan Dakwah Tauhid", yang mana menjadi kewajiban bagi para kadernya untuk terus menggaungkan nilai-nilai keislaman dimanapun mereka berada, apapun profesinya. Atas dasar inilah Departemen Ekonomi KAMMI Komisariat LIPIA mengadakan acara Seminar Ekonomi Islam ke-5 (SEI 5). 

Acara ini rutin dilaksanakan setiap tahun, yang mana pada tahun ini acara bertempat di Kampus Bisnis Umar Usman, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada tanggal 15 Maret 2020 dengan mengusung tema "How does Startup Accelerate Islamic Economy" yang bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana startup dapat mengakselerasi perekonomian islam sehingga turut membantu dalam menciptakan jenis-jenis usaha lain yang sesuai dengan syariat islam. 

Seminar kali ini meliputi 3 agenda utama. Agenda pertama berupa talkshow dengan mengundang Hassan Alaydrus (Baba Miwa) Owner Baba Mandi Rice. Agenda kedua, seminar seputar startup bersama Miqdad Rabbani, Manajer advokasi bisnis UKM Center FEB UI, dan agenda ketiga seminar Fikih Muamalah yang dibawakan oleh Emil Edhie Darma, Wakil Ketua Indonesia Syariah Fintech Institute (AFSI). 

Pembukaan seminar dipandu oleh Master of Ceremony dengan diawali pembacaan ayat suci Al-Quran, dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu 'Indonesia Raya'. Tidak lupa hadirnya para tamu undangan dan organisasi-organisasi ekstra kampus menambah khidmat kegiatan seminar. Tercatat sekitar 100 orang lebih yang hadir pada acara ini, baik laki-laki maupun perempuan. 

"Dalam beberapa kasus, perusahaan startup mendapatkan pembiayaan sebagai kebutuhan dalam usahanya. Namun, ternyata faktor ini hanya memiliki rasio kesuksesan sebesar 14%." Ujar Miqdad Rabbani, ketika menyampaikan faktor-faktor yang paling mempengaruhi suksesnya sebuah startup

Tidak kalah penting, yang membuat acara kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah dengan adanya kerja sama dengan KSEI AKSES LIPIA yang turut membantu dalam menyukseskan acara hingga akhir. 

Karena acara ini juga berdekatan dengan peristiwa kemunculan wabah COVID-19 yang menjangkiti hampir 180 negara  --tak terkecuali Indonesia-- turut melengkapi hiruk pikuk rentetan agenda KAMMI Komisariat LIPIA. Tentunya hal tersebut sangat berdampak pada keseluruhan seminar ini. Tetapi patut disyukuri, dengan izin Allah SWT dan kerja keras panitia yang luar biasa, acara dapat berlangsung meriah dengan tidak melewatkan protokol kesehatan berupa pemeriksaan suhu tubuh dan pemakaian Hand Sanitizer bagi peserta dan panitia sebelum memasuki lokasi seminar. 

"Berlangsungnya acara ini tidak lepas dari kerja keras panitia dalam memecahkan berbagai problematika yang kita hadapi dan juga doa teman-teman semua hingga insyaallah acara dapat berjalan dengan baik." ucap Salman selaku ketua pelaksana pada Seminar Ekonomi Islam 5.

Disamping itu, rangkaian acara seminar juga dimeriahkan oleh penampilan grup nasyid ITTIHAD VOICE, yang diprakasai oleh Ali Hasbi sebagai kader KAMMI Komisariat LIPIA, sekaligus launching perdana untuk setelahnya dapat tampil kembali pada agenda-agenda lainnya.

Akhirnya, acara SEI 5 ini dapat terlaksana dengan meriah dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tentu saja kita semua berharap agar setelah SEI 5 kali ini akan melahirkan para entrepreneur handal yang kelak dapat membawa perekonomian umat menuju arah yang lebih baik. Dengan membawa semangat kebesaran islam dan yakin akan datangnya masa ketika ekonomi islam dapat menjadi kiblat perekonomian di Bumi Pertiwi bahkan di Seluruh Dunia.

Bukankah sembilan dari sepuluh pintu rezeki datangnya dari wirausaha? Wallahu A'lam.

Oleh: Mu'adz Al Barro (Kepala Departemen Ekonomi KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain


Konspirasi Dibalik Gelar "Haji"



Mungkin diantara kita pernah ada yang mendengar pertanyaan seperti, “Mengapa orang indonesia yang telah melaksanakan ibadah haji harus dipanggil 'Pak Haji'?” atau mungkin pertanyaan seperti itu juga pernah terlintas dibenak anda, atau mungkin kita justru menambahkan, “Apa perlu karena saya telah melaksanakan ibadah salat lalu saya dipanggil 'Pak Salat'? Toh sama-sama ibadah, sama-sama terdapat pada rukun islam pula.”

Maka ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, ada saja orang yang menjawab dengan mudahnya, “Ibadah haji kan ibadah yang besar, ibadah yang memerlukan biaya besar pula, jadi maklumlah ada gelar haji, karena memang tidak semua orang mampu untuk melaksanakan ibadah haji. Lagian kalau  ibadah salat, semua orang juga pasti bisa dengan mudah melaksanakannya.”

Jika kita mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan tadi dari sisi sejarah, maka kita akan menemukan sebuah fakta menarik yang selayaknya patut diketahui oleh setiap kaum muslimin di Indonesia ini. Sejarah yang berkaitan dengan kebiasaan pemberian gelar "Haji" bagi yang telah melaksanakan ibadah haji.

Kebiasaan pemberian gelar "Haji" ini bukan semata-mata sebuah kebiasaan yang disebabkan untuk mencari simpati dari pemilih (baca: dalam pemilu) supaya para pemilih menganggap calon pemimpin tersebut memiliki aura islami sehingga tidak diragukan untuk dipilih. Atau kebiasaan yang disebabkan agar masyarakat menganggap  orang-orang yang telah berhaji adalah pribadi yang suci dan patut dihormati. Akan tetapi, kebiasaan ini justru muncul ketika pemerintahan Hindia Belanda masih menduduki Nusantara.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu menyadari adanya sebuah aktivitas berbahaya yang disebabkan oleh orang-orang yang pulang dari Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Pemerintah Hindia Belanda meyakini orang-orang ini merupakan orang yang kuat secara ekonomi, paham dalam keislaman, kuat dari segi keimanan, serta tangguh fisiknya.

Selain itu, orang-orang ini tidak hanya memikirkan pribadinya saja, akan tetapi mereka pun memikirkan bangsanya. Orang-orang ini bukan hanya membawa pulang oleh-oleh dari tanah suci berupa benda, akan tetapi mereka pun membawa nyala api perjuangan untuk tanah airnya. Hal ini terjadi sebagai akibat saat di tanah suci, mereka mendapatkan wawasan keislaman yang dalam, serta wawasan-wawasan lainnya, yang dengan wawasan itulah pemerintahan Hindia Belanda merasa terancam.

Oleh sebab itulah Pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsbland tahun 1903 Masehi, mengharuskan kepada siapa saja yang pulang dari pelaksanaan ibadah haji untuk menambahkan gelar “Haji” di depan namanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan stempel atau identifikasi, agar mereka harus selalu dipantau dan akan terus diawasi setiap gerak-geriknya.

Sebelum hal ini dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda pun telah mengeluarkan berbagai Oordonnatie 'peraturan' yang bertujuan untuk pembatasan ibadah haji bagi orang-orang Hindia Belanda (Indonesia), serta memantau aktivitas mereka sekembalinya ke Tanah Air.

Sekali lagi, hal ini dilakukan sebab kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda terhadap mereka yang telah kembali ke tanah air dari tanah suci. Para Haji itu juga hampir semuanya bergerak aktif dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pengajaran agama, penyadaran kebangsaan, serta penguatan persatuan dan ukhuwah islamiah.

Untuk keperluan pengwasan yang lebih, maka Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah tegas dengan mengarantina seluruh jemaah haji yang hendak kembali ke tanah air di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dan Pulau Khayangan (Makassar). Pulau-pulau tadi dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia sebelum kapal-kapal membawa jamaah haji tadi ke daerahnya masing-masing.

Selain sebagai tempat karantina, pulau-pulau tadi dijadikan tempat perawatan dan peristirahatan bagi jemaah haji. Ada diantara jemaah haji yang memang dirawat dan diobati karena sakit akibat perjalanan. Namun, tak sedikit saat ditemukan, terdapat jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda, mereka ini (jemaah haji yang dinilai berbahaya) akan disuntik mati dengan alasan yang beragam.

Maka tak jarang, banyak diantara jemaah haji yang tidak kembali ke Kampung halaman karena dikarantina di Pulau-pulau tadi. Dan jika kita lihat dari sejarahnya, kita akan menemukan mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah mereka yang memiliki gelar "Haji".

Itulah sedikit dari sejarah munculnya tradisi pemberian gelar "Haji" bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji di Indonesia ini. Jika kita tarik ketahun-tahun sebelumnya, kita bisa saja menemukan beberapa orang yang sudah terlebih dahulu memiliki gelar "Haji", akan tetapi pemberian gelar ini sangat masif terjadi ketika Pemerintah Hindia Belanda ingin memberikan indentifikasi terhadap jemaah haji yang telah membuat mereka khawatir.

Oleh karena itu, setelah ini mari kita coba renungkan kembali, bahwasannya leluhur kita telah memberikan contoh kepada kita, ketika merka telah melaksanakan ibadah haji, mereka bukan meminta dirinya untuk dipandang sebagai orang terhormat, atau diakui bahwa dirinya memiliki aura keislaman sehingga pantas untuk dipilih dalam pemilu. Akan tetapi, setelah melaksanakan ibadah, mereka membawa kebaikan terhadap umat dan bangsa, dengan berkiprah serta berderma bagi umat dan bangsa.

Oleh: Labib (Kadept. Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Editor: Aziz Zulqarnain 

Butir Pasir



Pernakah kita memandang sebutir pasir itu sebagai batu?

Mungkin kebanyakan manusia  malah memandang sebaliknya, mereka  malah memandang sebongkah batu sebagai pasir. Wajar jika mereka  berpandangan seperti itu. Sesuai logika, pasir adalah serpihan-serpihan batu. Ini karena mereka  berfikir sama seperti kebanyakan orang alias mainstream.

Al faqir dalam coretan ini hendak mengajak pribadi, dan kawan-kawan untuk berpandangan khoriju shunduq alias di luar dari yang orang biasa berpandangan. Berpandangan sebagaimana Kholid bin Walid memandang.

Alkisah pada perang Uhud dimana sebagian besar dari pasukan muslimin berpandangan bahwa pertempuran sudah dimenangkan oleh mereka. Pandangan yang sama terjadi pula pada pasukan musyrikin yang kala itu dipimpin oleh Kholid bin Walid. Disinilah pandangan anti mainstream dibutuhkan, dan Kholid Ibnil Walidlah sang pemilik pandangan ini.

Al-faqir berhusnuzan bahwa sebagai pemuda Islam sudah bukan rahasia lagi kisah kekalahan pasukan muslimin pada perang Uhud. Terlepas dari penyebab fatal kekalahan, yakni turunnya pasukan pemanah Muslimin dari bukit Uhud, ada sebab pendukung yang juga mengambil peran dalam kekalahan ini. Yaitu pandangan yang optimis oleh panglima perang pasukan musyrikin kala itu.

Melihat situasi kekalahan yang menimpa pasukan musyrikin di fase awal perang Uhud, Khalid bin Walid  justru menjadikan pelarian mereka dari medan pertempuran sebagai kekuatan untuk memukul balik pasukan lawan dengan memanfaatkan kelalain pemanah pasukan lawan. Hal ini tidak akan lahir kecuali dari mereka yang berpandangan luas dan anti mainsream. Akhirnya kekalahanpun berbalik arah mengampiri pasukan muslimin. lantas kemenangan merasa risih dengan hadirnya kekalahan, lalu memilih berbalik arah seratus delapan puluh derajat dan menghampiri pasukan musyrikin.

Masih dalam kisah yang sama, jika pemimpin pasukan musyrikin memiliki pandangan yang anti mainstream, di sana jauh sebelum perang berkecamuk, ada seorang yang berpandangan jauh melebihi pandangan manusia seisi bumi ini. Dialah Rasulullah -shallahu alaihi wa sallam- dengan keluasan pandangannya, beliau mewanti-wanti  pasukan pemanah agar tetap bertahan dan tidak turun dari bukit Uhud sebelum ada perintah dari Baginda Rasulullah apapun kondisinya, kalah atau menang hidup atau syahid. Dikarenakan Hubbud Dunya (cinta dunia) dan pandangan yang mainstream-lah pasukan ini lantas turun dari bukit Uhud guna mendapat harta rampasan perang yang berujung pada kekalahan pasukan muslimin.

Andai saja pasukan pemanah kaum Muslimin taat berpandangan sebagaimana  Rasulullah memandang mungkin Rasulullah  tidak sampai berdarah-darah pada perang tersebut, bahkan sempat beredar kabar bahwa beliau telah syahid kala itu.

Andai saja saat penaklukan Andalusia, pasukan Muslimin tidak menyisahkan sedikit saja pasukan kafir yang lari mengungsi ke pegunungan maka delapan abad peradaban Islam di Spanyol itu tidak akan runtuh.

Siapa  sangka tukang kayu kini berubah menjadi tukang jual aset Negara. “Kullu maalikin azdhim kaana thiflan baakian, wa kullu binaayatin azhimah kaana mujarradal hariithah.” " Semua pemimpin-pemimpin dunia, dulu adalah anak kecil yang hanya bisa merengek, dan seluruh bangunan-bangunan besar nan megah, dulu hanayalah sebuah gambar."

Sebagai pemuda pewaris peradaban, sudah seharusnya memiliki pandangan yang luas. Tidak seperti kebanyakan manusia, yang memandang batu adalah batu, dan pasir asalah pasir.


Oleh: Mahatir Ali Haniyah ( Staff Dept. Sosmas) 

WASPADA BERAMAL, BIJAKSANA MENILAI


Manusia di masa hidupnya tidak pernah tahu dimana tempatnya di akhirat kelak. Di sebaik baik tempatkah? Atau di seburuk-buruknya? Amalan dan perbuatan baiknya semasa hidupnya, belum tentu mengantarkannya ke surganya Allah swt kecuali jika ia memang mati dalam keadaan tersebut. Sebaliknya, amalan buruk seorang semasa hidupnya, tidak pasti membuat orang menuju neraka setelah kebangkitan kecuali ia memang mati dalam keadaan tersebut.

Satu peristiwa yang terjadi di perang Khaibar tahun 6 Hijriah membuktikan dua gambaran diatas.

Ibnu Ishaq menyebutkan kisah tersebut dalam sirohnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa ia berkata "Tatkala kami meninggalkan Khaibar bersama Rasulullah saw. Menuju Wadil Quro, kami singgah di sana sore hari menjelang terbenamnya matahari. Waktu itu Rasulullah saw ditemani seorang budaknya, yang dihadiahkan kepada beliau oleh Rifaah bin Zaid. Demi Allah, sesungguhnya budak itu tengah meletakkan barang bawaan Rasulullah saw ketika tiba-tiba melesat ke arahnya sebatang anak panah yang nyasar, lalu mengenainya sampai ia tewas. Kami pun berkata, 'Beruntunglah ia mendapat surga.'

Akan tetapi Rasulullah saw langsung membantah, 'Tidak, demi Allah Yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya selimutnya sekarang benar-benar sedang bernyala api atas dirinya. Selimut itu dia ambil secara curang dari harta fa’i yang diperoleh kaum muslim dari musuh di Perang Khaibar.’ Pernyataan Nabi saw. itu didengar oleh salah seorang sahabat Rasulullah saw. lalu dia datangi mayat budak itu. Ia berkata ‘Ya Rasulullah saw, saya mendapatkan sepasang tali sandalku.’

Rasululllah saw. bersabda. ‘Kelak dalam neraka, akan dipotongkan untukmu yang serupa dengan sepasang tali sandalmu itu..’” Inilah gambaran pertama, yang menegaskan bahwa tidak selamanya seorang yang terlihat baik, ternyata mendapati dirinya dijanjikan dirinya masuk neraka oleh Rasulullah saw.

Di dalam riwayat yang lain, Ibnu Ishaq mengisahkan satu riwayat pembandingnya, yaitu tentang seorang budak lain bernama Al Aswad yang datang menghadap Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah saw, terangkanlah Islam kepadaku.” Rasulullah saw. pun menerangkan Islam padanya, lalu dia masuk Islam. Setelah ia masuk Islam, dia berkata, “Ya Rasulullah saw, sesungguhnya saya ini seorang buruh yang bekerja pada pemilik (yahudi) kambing-kambing ini. Binatang-binatang ini merupakan amanat kepadaku. Apa yang harus saya lakukan terhadap mereka?” “Pukullah wajah binatang-binatang itu, sungguh mereka pasti akan pulang kepada pemiliknya.” Demikian jawab Rasulullah saw.

Mendengar saran Rasulullah saw, bangkitlah ia lalu mengambil batu kerikil sepenuh kedua telapak tangan dan dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu seraya berkata, “Pulanglah kamu kepada tuanmu. Demi Allah, aku tak sudi lagi menemanimu buat selama-lamanya.” Kambing-kambing itu pun pulang semuanya, seolah ada yang menggiring mereka hingga masuk ke dalam benteng.
Sesudah itu, majulah Al Aswad ini mendekati benteng Khaibar itu untuk ikut bertempur bersama kaum muslimin. Malang, dia tertimpa batu lalu gugur, padahal ia belum pernah shalat sama sekali. Jenazahnya lalu dibawa dan diletakkan di belakang Rasulullah saw. dengan ditutupi selimut yang dipakainya. Rasulullah saw berkenan melihatnya bersama beberapa orang sahabatnya. Tiba-tiba beliau berpaling dari mayat itu. Para sahabat pun bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa anda berpaling darinya?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya ia sekarang sedang ditunggui dua orang istrinya dari bidadari.”

Syaikh Munir al Ghadhban-rahimahullah­-mengomentari kisah ini dalam Manhaj Harakinya, bahwa inilah dua gambaran yang kontras dari dua orang budak yang ada dalam barisan bala tentara pasukan Islam. Keduanya sangat unik dan mengagumkan. Yang seorang adalah budak Rasulullah saw. sendiri yang terbunuh di hadapan beliau, yang menurut lahiriahnya patut mendapat ucapan selamat karena akan masuk surga. Yang lain ialah seorang budah Yahudi, yang sama sekali belum pernah melakukan shalat dan terbunuh di depan pintu benteng dari mana ia berasal.

Walau demikian, selimut yang diambil secara curang oleh budak Rasulullah saw. itu cukup menjamin dia bakal terbakar oleh selimut itu sendiri dalam neraka dan menyebabkan dia tidak mendapat surga. Bahkan, bakti dan khidmatnya kepada Rasulullah saw. maupun keberadaannya selama ini dalam barisan kaum muslimin tidak bisa memberinya syafaat.

Sementara itu, sifat amanat dari budak Yahudi itu telah berubah menjadi karamah baginya, berupa pelemparan batu kerikil sepenuh dua telapak tangan yang dia lemparkan ke muka kambing-kambing itu. Dia lalu masuk Islam, bersih dari ke-yahudian, dan dosa-dosanya selama ini menjadi musnah, berkat berpegang teguh pada amanat yang luhur tersebut. Semua itu tidak berlangsung lama, hanya sebentar. Budak Yahudi itu pun maju ke medan pertempuran dan langsung terbunuh. Datanglah kepadanya kedua istrinya dari bidadari dan dengan sikap yang genit digandengnya budak itu menuju surga.

Hai Para Pemuda Aktivis Da’wah Islam!

Hendaklah pelajaran tersebut senantiasa hidup dalam jiwa kita sekalian. Bahwa kesalahan sedikit apa pun bisa saja menjeremuskan ke dalam neraka walaupun hanya sehelai selimut yang diambil dari harta rampasan perang, yang tidak seberapa harganya sekalipun. Kesalahan yang sedikit itu bisa mengakibatkan tidak tertolongnya seorang oleh syafaat dari aktifitasnya dalam da’wah atau jerih payahnya dalam perjuangan maupun posisinya dalam struktur tandzhim.

Adapun istiqomah dalam menempuh manhaj Islam meski hanya sebentar dan sekalipun dilakukan oleh orang yang dulunya merupakan musuhmu yang paling gigih memusuhimu, itu sudah cukup menjamin bahwa orang itu mati syahid di jalan Allah, tanpa dihalangi oleh sikapnya yang dulu ketika dia memusuhi habis-habisan terhadap Islam, bahkan ia tidak perlu memiliki aset ketaatan ataupun ibadah. Niat yang jujur dan tekad yang kuat untuk istiqomah itu saja sudah cukup dalam timbangan Allah untuk menjamin dia masuk surga. Dalam hal ini, kita tidak perlu melihat fenomena lahiriah karena Allah Ta’ala tidak melihat rupa maupun amal, tetapi justru mempperhatikan hati kita.

Sekarang, sudah saatnya bagi pemimpin gerakan Islam untuk tidak berlebihan dalam menilai pribadi-pribadi-khususnya para aktivis gerakan-dengan hanya melihat senioritas struktural sehingga prajurit ini dinaikkan ke tingkatan tertinggi tanpa mempedulikan tingkah laku moral maupun tarbiyahnya.
Sekarang, sudah saatnya juga bagi para pemuda gerakan Islam untuk tidak berlebihan dalam menolak memberikan kepercayaan kepada seseorang yang baru masuk ke dalam barisan. Misalnya dengan tidak mempercayainya sama sekali karena belum melewati jenjang struktural yang ada dalam jamaah. Hal ini karena bisa jadi seorang naqib (pemimpin) justru tergolong ahli neraka, sedangkan anggota baru, yang masik tampak bekas perlawanannya terhadap Islam itu, justru tergolong ahli surga.

Sekarang, sudah saatnya bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam beramal dan bijak dalam menilai!

oleh: M.Saihul Basyir (Ketum Kammi Lipia)

Arkaanul Istibdaad : Rukun-Rukun Kehancuran


Al Quran Al Karim turun kepada Rasulullah saw untuk disampaikan isinya kepada seluruh alam semesta, seluruh manusia. Agar seluruh manusia mengambil pelajaran darinya, karena ia merupakan kitab petunjuk hidup. Life Guidance, petunjuk hidup di dunia dan akhirat, petunjuk agar kita selamat dari fitnah di dunia dan dari azab di akhirat.

Termasuk dari petunjuk yang ada di dalam Al Quran adalah adanya kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang nyata terjadi dalam lembaran sejarah kehidupan manusia. Kisah-kisah kepahlawanan yang terkisah dalam Al Quran bukanlah dongeng, ia memang kisah nyata yang terjadi, sehingga nilai-nilai kepahlawanannya pun juga nyata, ia nyata terjadi dan nyata untuk diamalkan. Inilah yang kemudian menjadikan bahwa Al Quran bukanlah buku sejarah, walau di dalamnya ayat-ayat yang berbicara tentang sejarah lebih banyak dari ayat-ayat Ahkam (hukum-hukum). Karena tujuan penyebutan sejarah tersebut dalam Al Quran adalah untuk dijadikan pelajaran.

Dan dari banyaknya kisah tersebut ada sebuah kisah agung yang terulang banyak dalam Al Quran, yakni kisah Musa dan Firaun. Kisah yang terulang di banyak surat dalam Al Quran yang menurut para ulama tafsir menjadi kisah yang paling banyak terulang melebihi kisah-kisah kenabian lainnya. Bahkan Al Quran secara terus terang menyebut bahwa Al Quran ini adalah kisah tentang Bani Israil (kaumnya Nabi Musa as) kepada mereka sendiri.

Sesungguhnya Al Quran ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Naml: 76)

Maka seharusnya tiap muslim yang membaca Al Quran mentadabburi apa yang mereka baca ketika mereka melewati ayat-ayat yang berkisah tentang Musa dengan kaumnya. Mentadabburi maknanya dan mengambil pelajaran apa yang sesuai dengan yang terjadi di masa sekarang.

Asy Syaikh Muhammad Hasan Waladid Didu Asy Syinqithi –hafizahullah- seorang ulama kontemporer asal Mauritania ketika menafsirkan surat Al Qashash yang didalamnya menjelaskan kisah Nabi Musa as. dengan Firaun memberikan tadabbur yang indah, bahwa ternyata kisah Nabi Musa dan Firaun yang banyak terulang dalam Al Quran sesungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa sebuah sistem kekuasaan tertentu tidak akan dihancurkan oleh Allah swt. sebelum terpenuhi di dalam kehidupan mereka lima rukun, yang disebut oleh beliau dengan Arkaanul Istibdad (rukun-rukun kehancuran).

Dimana rukun-rukun ini jika terpenuhi pada satu sebuah sistem kekuasaan atau peradaban tertentu maka bisa dipastikan sistem kekuasaaan tersebut akan hancur lebur. Dan contoh terbaik yang pernah ada yang mengisahkan tentang hal ini adalah kisah Musa dengan Firaun.

Jika kita perhatikan kisah tersebut seksama di banyak surat Al Quran (Al Baqarah, Yunus, Ibrahim, Thahaa, Asy-Syuaara, Al Qashsash, Ghafir, An Naziaat, dsb.) kita akan menemukan bahwa kehancuran (istibdad) firaun dan kaumnya terjadi ketika terpenuhi kelima rukun tersebut.

Pertama, Raja yang sombong dan berkuasa, yang memiliki tanah kekuasaan beserta semua yang hidup diatasnya dan semua yang ada di dalamnya, dan rukun pertama ini ada pada diri Firaun. Sebagaimana kita baca dalam setiap tafsir, bahwa Firaun mengelola tempat dimana ia berkuasa dengan semena-mena, ia memperbudak rakyat Mesir, dalam hal ini bangsa Israil dan menguras sumber daya mereka dengan cara otoriter dan zhalim. Ia menindas mereka dengan siksaan yang pedih, menyembelih setiap anak-anak lelaki yang lahir dari rakyatnya sendiri dan kemudian mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Paling Tinggi.

Kedua, Menteri atau pembantu Sang Raja yang munafik dan penjilat, yang berusaha mewujudkan semua keinginan si Raja dan menjanjikan padanya bahwa ia mampu mewujudkan semua keinginan tersebut padahal faktanya tidak bisa, dan rukun kedua ini dilakoni oleh Haman. Haman si Menteri Firaun yang dalam surat Ghafir ayat 36-37 diceritakan bahwa ia diminta oleh Firaun untuk membangunkan untuknya menara yang tinggi lagi besar agar ia bisa naik ke langit dan membuka pintu-pintu langit, dan kemudian menantang Tuhannya Musa as. Haman pun menuruti perintah tuannya, membangunkan untuknya menara yang tinggi untuk dinaiki oleh Firaun, yang pada akhirnya, usaha tersebut berujung pada kehancuran Firaun dan menaranya “..dan tipu daya Firaun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (Ghafir: 37)

Ketiga, Konglomerat kaya yang memiliki banyak lahan usaha dan harta yang kemudian hasil dari pengelolaan hartanya digunakan untuk memperkuat kekuatan dan kezaliman sang penguasa, dimana rukun ketiga ini di masa tersebut terlakoni dalam diri Qorun. Di dalam surat Al Qashash ayat 76, dikisahkan bahwa kekayaan Qarun begitu banyak sehingga kunci perbendaharaannya saja harus dipikul oleh puluhan budak lelaki. Hal ini mengisyaratkan bahwa harta kekayaannya digunakan untuk memakmurkan perbudakan dan kezaliman yang terjadi di masa tersebut.

Keempat, Sekelompok ahli agama yang menggunakan ilmu agamanya untuk melegitimasi aturan-aturan penguasa yang zhalim dan menindas rakyat, dan legitimasi yang mereka lakukan tidak ada ada yang mengingkarinya, rukun keempat ini ada pada diri para tukang sihir sebelum mereka beriman. Para penyihir ini sebagaimana dikisahkan dalam rentetan ayat 37-47 surat Asy-Syuaara, bahwa mereka menantang Musa berduel di arena terbuka untuk mengadu “ilmu sihir” siapa diantara mereka yang lebih kuat. Semua golongan rakyat dari para pembesar sampai para budak diundang untuk menyaksikan duel terbuka tersebut. Dan di akhir, para tukang sihir ini kalah dan mereka masuk Islam. “..kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. Maka tersungkurlah para penyihir itu, bersujud.” (Asy-Syu’aara: 46-47)

Dan kelima, Sekelompok orang yang bekerja secara beramai-ramai untuk menyebarkan informasi secara luas setiap kejadian yang terjadi menguntungkan penguasa yang zalim. Dan rukun kelima ini ada pada kelompok yang dalam banyak tafsir disebut dengan kelompok Hasyidun (gerombolan manusia). Mereka inilah yang dalam Asy-Syuaara ayat 39-40 berkata “..berkumpulah kalian semua, agar kita mengikuti para penyihir itu jika mereka yang menang”. Mereka akan menyebarkan informasi ke seluruh penjuru negeri hanya jika para penyihir menang. Jika mereka kalah, maka mereka tidak menyebarkannya.

Itulah kelima rukun kehancuran yang diceritakan dalam Al Quran dalam banyak potongan kisah Nabi Musa as dengan Firaun. Yang jika kelima rukun tersebut terjadi pada sebuah masyarakat dimanapun tempatnya dan kapanpun terjadinya, maka kehancuran pasti akan terjadi pada mereka. sebagaimana  kehancuran yang terjadi pada firaun dan bala tentaranya.

Oleh karenanya Allah swt. berfirman dalam surat Al Qashsash ayat 5 “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi ini, dan kami jadikan mereka orang-orang yang mewarisi”. Dalam redaksi ayat ini, Allah swt tidak menggunakan kalimat “kaum Bani Israil”, akan tetapi Allah swt. menggunakan redaksi yang lain, yakni “orang-orang yang tertindas di muka bumi”. Ini mengisyaratkan bahwa kehancuran yang terjadi pada kaum Firaun juga bisa terjadi pada setiap kaum di manapun di muka bumi ini. Selama mereka sama dalam satu hal, yakni menindas orang-orang lemah dengan menggunakan seluruh perangkat sistem kekuasaan, mereka akan hancur.
Maka pada hari ini, jika kelima rukun tersebut kita konfersi maka rukun pertama adalah para penguasa otoriter yang menindas rakyatnya, yang memberlakukan kebijakan yang tidak pro rakyat dan semena-mena, tetapi sebaliknya kebijakan yang mereka berlakukan hanya menguntungkan kelompok mereka. Rukun kedua adalah para menteri dan pembantu para penguasa yang bertugas menjalankan kebijakan penguasa dan membantunya menipu rakyat. Rukun ketiga adalah konglomerat dan pengusaha yang menjadi penyokong penguasa zalim, yang hari ini mereka menjelma menjadi cukong-cukong kaya yang memodali para politisi buruk untuk maju melenggang menempati kursi-kursi kekuasaan.

Rukun keempat adalah para ulama suu’, atau orang-orang yang memiliki ilmu namun mereka menggunakan ilmu mereka untuk menempel pada penguasa, fatwa-fatwa mereka mengikuti kemauan penguasa, sekalipun penguasa tersebut zalim dan fatwa yang keluar bertentangan dengan risalah asli kenabian-tauhid dan maqashid syariah. Dan rukun kelima, adalah media massa yang setiap hari memproduksi berita-berita hoaks dan memfitnah kelompok kebenaran. Yang dengan berita-berita yang mereka produksi penguasa yang zalim pun diuntungkan. Atau dalam bentuk yang lebih buruk, media massa ini memang sudah “dibayar dan dibeli” oleh pemerintah.

Dua kelompok terakhir-ulama dan media massa-seharusnya adalah kelompok yang memiliki independensi dalam melakukan aktifitas mereka, karena kedua posisi ini erat kaitannya dengan  pandangan publik. Mata masyarakat dan telinga publik setiap saat menunggu dan mengawasi apa yang kedua kelompok ini lakukan.

Maka pertanyaan selanjutnya, apakah kelima rukun istibdaad ini sudah ada di tubuh bangsa ini? Marilah kita melihat lebih jernih apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada masyarakat kita, yang disebut dalam terminoogi ulama sebagai ayat-ayat kauniyyah dan kemudian kita integrasikan dengan ayat-ayat qauliyah yang ada dalam Al Quran Al Karim.

Sehingga umat Islam yang mayoritas di negeri ini mampu mengambil pelajaran darinya dan terhindar dari kehancuran yang Allah swt. janjikan dalam Sunnatullah-Nya. Dan dalam kasus ini, mari kita sama-sama berdoa dan berharap bahwa suatu saat dari tempat atau pelosok negeri ini muncul Musa-Musa yang baru, yang dengan izin Allah swt. akan menyalamatkan orang-orang yang istiqomah dengan ajaran kitab suci mereka. Amin.

“dan (juga) Qarun, Fir´aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al Ankabut: 39-40).


Oleh : M. Saihul Basyir (Ketum Kammi Lipia )