Belajar Cinta Dari Sang Guru Cinta


Cinta pada awalnya adalah sebuah gurauan, dan akhirnya adalah keseriusan. Sungguh dalam makna cinta itu, karena keagungannya untuk di ceritakan. Dan kau tidak akan tahu hakikatnya, hingga kau menjadi aktornya. Cinta bukanlah hal yang mungkar dalam agama, dan bukan hal yang haram dalam syariat, karena hati ini berada dalam genggaman-Nya. Tutur Imam Ibn Hazm dalam kitabnya Thuqul Hamamah.

“tiada gunanya kau hidup di dunia ini, jika belum merasakan bahagianya bersama sang kekasih”. Senyum sipu tersimpul di bibirku, ketika aku baca tulisan dari Qois bin Mulawwah atau Majnun Laila ini, dengan kisah sedihnya ‘cinta tak direstui oleh walinya’. Berbicara cinta, artinya berbicara charger, karena hati yang mati bisa di cas dengan cinta. Ngomongin cinta, berarti ngomongin listrik, karena tanpa cinta hati akan gelap tak ada daya.

Beribu kata, beribu lembar. Takkan cukup untuk mendefinisikan apa itu cinta? Dan ada apa dengan cinta? Sampai seorang ulama’ sekaliber Imam Ibnu Qoyyim berkata “cinta bagaikan singa dan pedang”, salah satu definisi yang beliau tuliskan dalam kitabnya Raudhotul Muhibbin wa nuzhatul musytaqin, inilah yang membuat penulis tertarik. Tapi, apapun definisinya. Cinta tidaklah butuh definisi, karena hangatnya mentari di pagi hari, hanya perlu dirasakan tanpa pendefinisian.

Cinta terbagi menjadi dua, disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Al Qoul Al Mufid. Pertama, Mahabbah Ibadah atau cinta penyembahan. Ini adalah cinta yang mewajibkan seorang pecinta untuk menghinakan dan merendahkan dirinya dan mengagungkan siapa yang dicintainya. Dan cinta ini hanya terkhusus untuk Allah semata.

Yang kedua, cinta yang dzat sesungguhnya bukanlah ibadah. Cabang dari cinta ini ada beberapa macam mode. Ada cinta karena Allah, seperti mencintai manusia, seperti para nabi dan rasul-Nya, dan hamba-hamba sholeh lainnya, dan cinta yang ini sebetulnya adalah cabang dari yang pertama. Ada cinta kasih sayang, seperti cinta orang tua untuk putra putrinya. Ada cinta penghormatan, seperti cinta seorang anak untuk ayah bundanya. Ada cinta tobi’iy atau alami, seperti cinta makanan dan pakaian.

‘Wa kholaqo minha zaujaha’, dan Allah ciptakan darinya pasangannya. Ketika nabi Adam –alaihis salam- baru diciptakan di surga seorang diri, apa yang Allah ciptakan selanjutnya untuknya? Apakah seekor burung agar bisa bincang-bincang dengannya? Bukan! Tapi Allah ciptakan Siti Hawwa’ agar hatinya tentram dan condong kepadanya, saling mencintai dan saling mengasihi. Inilah kisah cinta pertama sejarah manusia. Dan ini jugalah pembahasan kita kali ini. Cinta diantara ikhwan dan akhwat. Cinta diantara suami dan istri. Cinta diatara ayah dan bunda. Cinta diantara sepasang kekasih.

Barat dengan Romeo Julietnya dan Cinderellanya. Mesir kuno dengan Cleopatranya. India dengan Tajh Mahalnya. Daulah Abbasiyah dengan Majnun Lailanya. Indonesia dengan Siti Nurbayanya.

Kisah cinta berserakan di langit para pencinta. Tapi , kisah cinta manakah yang patut untuk kita salami wahai Insan beriman? Mari, belajar cinta dari sang guru cinta! Nabi Muhammad SAW.

Aku berlalu di rumah Laila

Kuciumi dinding sana dan dinding sininya

Bukanlah cintaku terhadap rumahnya yang menyihir hatiku

Tapi cintaku untuk orang yang menempatinya. (Qois bin Mulawwaah)

Aisyah –radhiallahu anha- bercerita, ketika Rasulullah menyembelih seekor domba maka beliau memotong-motongnya beberapa bagian, dan bersabda “ini untuk fulanah dan yang ini untuk fulanah, karena mereka adalah sahabatnya Khodijah”. Siti Aisyah pun jadi cemburu dengan sifat Rasullah untuk Istri pertamanya ini, dengan berkomentar “seolah-olah tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khodijah, padahal beliau telah diberi yang lebih baik darinyaa”. Rasulullah pun menjawab, “sungguh, tidak ada yang lebih baik dari Khodijah, karena dia pernah begini dan begitu, dan hanya darinyalah Allah mengkaruniakan anak terhadapku”.

Cinta Rasul untuk istrinya bukanlah cinta mati, yang akan berhenti dengan wafatnya sang istri. Tapi cinta surgawi ukhrawi, yang tak akan terputus hanya dengan kematian sang kekasih, tapi berlanjut hingga di surga. Dan cinta Rasul bukanlah cinta personaly, yang hanya mencintai kekasihnya saja. Tapi cinta Rasul adalah Hauly, cinta yang juga mencintai segala yang ada di sisi kekasihnya.

Cintailah pasangan kita seperti cintanya Rasulullah untuk istrinya. Mertua, ipar, paman, bibi, sahabat, teman dan semua yang ada disisinya kita cintai, dengan tetap memperhatikan Syariah-Nya. Bukan ketika ada ipar kita mengerlingkan mata sambil cemberut. Apalagi sampai menikah tanpa restu walinya, karena itu akan membuatmu rikuh ketika mau berkunjung ke rumah mertuamu. Lihatlah Qois, sampai dia ciumi dinding-dinding rumah Laila karena cintanya. Dan silahkan pelajari kisah cinta sejati lainnya dari sang guru cinta kita Muhammad –shollallhu alaihi wasallam-.

“semoga mimpiku dan mimpimu bisa bertemu malam nanti”. 


Oleh: Rejoyo Al Qutsam (Direktur IDT)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »