Di Bawah Naungan Ukhuwah


Ruangan berkapasitas ratusan orang itu bergemuruh oleh suara applaus yang menggema hingga ke langit-langit. Beberapa dari orang-orang tersebut bahkan mengumandangkan takbir. Asma Allah yang disebut dengan serempak seolah-olah mampu menggetarkan 12 pilar utama yang menyangga ballroom salah satu hotel termegah yang ada di kawasan Jakarta Pusat itu. Belasan AC yang disiagakan di tiap sisi ruangan dan diharapkan mampu memberi kesejukan seakan tak kuasa meredam gemuruh semangat dari para peserta bedah buku yang tengah mengombak itu. 

Aku mengedarkan pandanganku ke segenap ruangan, mengamati kembali para audiens yang sejak dua jam lalu mendengarkan paparanku tentang buku pertama yang kutulis ini. Buku berjudul “Di Bawah Naungan Ukhuwah” yang terbit usai kuraih gelar Licence dari Lembaga Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab, ternyata mampu mengundang apresiasi yang begitu luar biasa dari publik. Maka usai gemuruh tepuk tangan dan takbir itu mereda, moderator kembali mengambil alih.

“Terimakasih kepada Ustadz Dani Setiawan, Lc yang telah begitu gamblang menjelaskan dengan detail makna ukhuwah dalam pandangan islam. Tentu para hadirin dapat mengkaji kembali keterangan beliau dengan membaca buku yang telah ada dalam genggaman anda sekalian. Selanjutnya, kami membuka sesi tanya-jawab, bagi peserta yang ingin meluaskan pemahamannya tentang makna ukhuwah, bisa menanyakan langsung pada Ust. Dani…”

Belum usai kalimat yang disampaikan moderator, tiba-tiba seorang akhwat dengan jilbab biru laut mengangkat tangannya. Meski hanya sekilas menatap akhwat tersebut karena refleks, namun hati kecilku tak dapat memungkiri bahwa terdapat pendar-pendar kecantikan yang terpahat sempurna dari wajahnya. Detik berikutnya, aku segera menundukkan pandangan. Namun jilbab biru laut yang dikenakannya terlanjur mengingatkanku pada sebuah kenangan dalam salah satu episode perjalanan hidupku, seolah aku memang pernah berjumpa dengannya. Hanya saja, aku tidak mampu mengingat dimana dan dalam keadaan apa perjumpaan itu. Maka segera kutepis bayang-bayang yang sempat hinggap dan masih dengan menundukkan pandangan kusimak pertanyaan yang akan diajukannya. 

“Ustadz, hanya satu hal yang ingin saya tanyakan, tapi mungkin pertanyaan ini mewakili puluhan pertanyaan yang akan diajukan kepada ustadz…”, ia berhenti sejenak mengatur nafasnya, seakan pertanyaan yang akan diajukan itu begitu sulit untuk diutarakan. “ Buku yang ustadz tulis disamping menggugah, juga sangat menyentuh simpul syaraf perasaan para pembaca. Layaknya ustadz tengah menuturkan betapa berharga sesuatu yang selalu hadir disekitar kita, namun saat itu juga ia luput dari perhatian. Yang saya ingin tahu, sosok seperti apakah yang menginspirasi ustadz dalam menuturkan hal tersebut? Terimakasih.”, penuturannya begitu lugas dan jelas dengan nada yang teratur. Beberapa audiens bahkan mengapresiasinya dengan applause

Aku tercenung, pertanyaan itu dengan segera membuka kenangan 5 tahun silam. Kenangan yang kuukir bersama dengan seseorang yang bagiku lebih dari sekedar sahabat, tapi juga seorang motivator yang luar biasa. Kadang ia tampil sebagai sosok yang humoris, namun di lain waktu iapun bisa menjadi seorang kakak yang bijaksana. Bagiku dia adalah sosok sahabat, guru dan saudara sekaligus. Maka setelah kuraih mic yang disodorkan moderator, mengalirlah kisah tersebut… 

*** 
LIPIA, 5 tahun yang lalu, H-7 sebelum muzhoharoh[1]… 
Yaa salaam…[2] melamun akh?”, goda sebuah suara yang serta-merta membuyarkan konsentrasiku. “Melamunkan kriteria istri ya? Tenang saja, mukafaah[3] sebentar lagi turun… lumayan kalo mau dipake buat khitbah[4] anak pejabat, hehe”, kejarnya masih dengan menebarkan senyum khasnya. Dia adalah Ardi, sahabat dekatku sejak masih nyantri di sebuah pesantren Jawa Timur. Namun kini, kami sudah sama-sama duduk di mustawa tsani syari’ah[5].

Aku hanya memandangnya sekilas, sedetik kemudian kuarahkan kembali pandanganku pada muqoror tafsir yang ada dalam pangkuanku. Sadar pertanyaannya tak kugubris, ia mendadak serius “Madza tufakkir, ya akhi…?[6]”.

Demi melihat keseriusannya, akupun tersenyum. “Memikirkan muzhoharoh kita besok…”, jawabku dengan nada berat, “Apa kita harus benar-benar mengikutinya, Ar?”, sambungku. Sekilas kutelusuri kedua mata Ardi, namun keraguan yang kucari tak kudapati disana. Malah senyum disudut bibirnya yang semakin ia kembangkan, sehingga membuatku berpikiran rasanya tidak pernah sekalipun Ardi di hujani kesulitan dalam hidupnya.

“Yakin lah, Dan… kita sudah persiapan sejauh ini, untuk apa mundur?. Aksi kita kali ini diadakan supaya pemerintah sadar bahwa kita sudah gerah mengawasi lambatnya kinerja mereka mengusut kasus korupsi. Bukannya kita nanti juga akan berkoordinasi dengan ikhwah dari berbagai kesatuan organisasi di seluruh Jakarta? Ayolah… Semangat!”, ucapnya memberi semangat sembari menepuk pundakku.

Justru itulah yang membuatku khawatir, Ardi. Koordinasi yang kita lakukan terlalu mendadak, kemungkinan yang bisa terjadi adalah tidak sinkron-nya komando saat aksi berlangsung nanti, atau malah bisa lebih buruk lagi. Namun segera kuenyahkan bayangan itu demi melihat wajah Ardi yang dipenuhi  optimisme. Aku hanya tersenyum saat ia kembali melempar sebuah senyum padaku.

“Sudah ke maqshof[7]?”, tanyaku mengganti topik.

“Puasa ni… Ayyamul bidh[8].”

“Lah… seingat ana semalam kita rapat di komsat sampai larut, lalu mabit. Perasaan, antum ndak sahur deh. Ntar sakit lho…”, ujarku dengan nada menakuti-nakuti.

“Kan ada antum yang siap merawat 24 jam, hehe…”, rajuknya sambil memasang cengiran khasnya.

Raut kesal kupasang di wajahku dan kupukul pelan bahunya, “Enak aja ente… makanya, buruan cari zaujah[9] sana. Ketua KAMMI kayak ente ni, pasti banyak akhwat yang naksir…hehe,” godaku sambil merangkulnya. Sedetik kemudian kamipun tertawa berderai. Ah, Ukhuwah ini…

***

Komsat KAMMI LIPIA, H-3 Sebelum Muzhoharoh…

“Bagaimana persiapannya, Dan?”, Tanya Ardi dari seberang telepon.

Tis’uuna fil mi’ah[10] ana sudah konfrim ke masing-masing kesatuan organisasi, bahkan masing-masing komisariat KAMMI diseluruh Jakarta. KAMMJA juga akan turun dalam acara besok.” Laporku mantap. Bisa kubayangkan diseberang sana Ardi pasti tengah mengembangkan senyumnya.

“Baguslah… Jadi kan terbukti tidak sia-sia antum kita tunjuk jadi korlapnya.”

“Huft… tidak disangka ternyata berat amanahnya, Ar…”, keluhku.

“Tapi nyatanya sejauh ini tugas pak Korlap bisa diselesaikan dengan baik…”, ujarnya mengipasi semangatku. ”Nah, ana juga sudah dapat laporan dari Humas bahwa aksi kita sudah di-acc oleh pemerintah… Semangat, akh!” 
“Siplah… Oya, oratornya nanti jadi Ust. Fajar, mahasiswa syari’ah sabi’[11] kan?”, tanyaku memastikan. 
“Iya, Ust. Hasan Zuhri nanti juga akan hadir…” 
“Dengan begini lengkap sudah…”, desisku lega. 
Ardi tersenyum dan sedetik kemudian dia berpamitan, “Waffaqonallah, kerja bagus, akh… Assalamu’alaikum…” 
Wa’alaikumsalam warohmatullah…”, jawabku lirih. Lalu KLIK, sambungan terputus. Aku semakin optimis muzhoharoh kali ini akan berjalan tanpa hambatan. 
*** 
Malam yang basah, H-1 Sebelum Muzhoharoh… 
Malam ini terasa begitu damai. Bersama rintik gerimis yang jatuh perlahan, kurasakan tetesan rahmat-Nya juga jatuh membasahi jiwaku dan meresap hingga relung terdalam. Sang waktu yang semula menukik tajam seolah berhenti berdetak. Membiarkanku larut dalam munajat panjang seorang hamba. Dengan sedu-sedan kuhaturkan segala keterbatasan dan kelemahan yang membelitku sebagai manusia. Sungguh tanpa rahmat-Nya, kusadari aku hanyalah hamba yang papa. 
Aku baru saja menyempurnakan witirku. Sesaat sebelum kuraih mushaf kecil yang ada di depanku, tiba-tiba handphoneku bergetar. Sebuah pesan masuk. 
Perjalanan ini sungguh melelahkan, akhi…
Banyak duri dan kerikil tajam yang merintangi,
Pun debu yang bertaburan dan membutakan,
Namun ada ukhuwah yang menautkan hati kita…
Yang siap menyangga beban berat ini bersama-sama…
Percayalah! Kita tidak pernah sendiri di atas jalan ini.
Akhukum fillah, Ardi. 
Tiba-tiba ada haru yang menyeruak. Mataku mengombak dan tanpa bisa kubendung, air mataku kembali membasahi sajadah yang kubentang sejak satu jam yang lalu. Sedetik kemudian aku tersenyum dan batinku berbisik,
Ya, aku percaya Ar. Aku tidak sendirian diatas jalan ini. Ada ukhuwah yang menguatkan kita. Ada Allah yang menjadi tujuan kita, yang akan selalu mengiringi perjalanan kita, bahkan memapah kita kala terjatuh dan terluka. 
***  
35 menit sebelum muzhoharoh… 
Suasana komsat telah sepi. Hanya beberapa anak kecil yang terlihat bermain-main dan berkejaran diseberang jalan. Begegas kubuka gerbang dan menghambur masuk kedalam. Sebenarnya 30 menit yang lalu aku telah stand by di HI, tempat kami melakukan aksi hari ini. Namun tiba-tiba sms dari humas akhwat masuk dan memintaku agar memenuhi beberapa peralatan yang mendadak dibutuhkan. Mengingat waktu yang tersedia semakin sempit, aku berbagi tugas dengan Fuad, Humas ikwan untuk aksi kali ini. Maka kurang dari 15 menit, aku telah mengumpulkan item-item yang diminta. 
“Dani, acara sudah hampir dimulai. Ana dapat sms dari Ardi untuk segera meluncur ke HI…”, pekik Fuad sembari menyodorkan helm padaku. 
Tanpa diminta dua kali, usai menata peralatan di atas motornya aku bergegas meraih helm itu dan mengenakannya, ”Oke…kita berangkat”. 
Aku dan Fuad segera meluncur membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. Kami berpacu dengan waktu yang semakin sempit. Namun agaknya Allah menyimpan skenario lain, kami terjebak macet di jalur utama sepanjang jalan raya Mampang. Allah, pertanda apa ini?. Tanya batinku cemas, namus dengan serta merta aku menepis prasangka buruk yang sempat hinggap itu. Jika perhitunganku tepat, maka satu jam lagi kami baru akan sampai di HI. 
Ardi, afwan aku sedikit terlambat, sesalku dalam hati.  (Bersambung ........)

*) Oleh : A'la Dzunnurain (Staff Departemen HUMAS KAMMI Komisariat LIPIA)
 ( Cerpen ini diikutsertakan dalam Gebyar Kreasi Cerpen Tingkat Nasional(GKCTN) dan mendapatkan juara I)





Share this

Related Posts

Previous
Next Post »