Liputan6.com, Jakarta: Makin tua usia Jakarta, makin berat beban yang harus ditanggung. Ibu Kota kini benar-benar berubah jadi hutan beton. Bayangkan saja, jumlah mal di Jakarta hingga tahun 2012 mencapai 170 buah dengan luas Ibu Kota yang hanya 661.52 kilometer persegi.
Itu artinya jumlah pusat perbelanjaan di Ibu Kota sudah melebihi ideal dari penduduknya. Belum lagi ditambah mal yang sedang dalam tahap pembangunan. Ibu Kota telah di cap sebagai kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia.
"Jakarta harusnya makin banyak dengan hal-hal yang banyak dengan penghijauan," kata warga bernama Darsono Sumarjo. "Taman yang paling bagus Menteng, masih ada adem-ademnya. Tapi kalau saya rasa hutan kotanya masih kurang," kata warga lainnya.
Rencana 30 persen peruntukan lahan bagi ruang terbuka hijau di Jakarta hanya sekadar isapan jempol semata. Faktanya baru sembilan persen saja yang benar-benar diwujudkan. Daerah strategis yang seharusnya diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau disulap menjadi bangunan mal.
"Menurut saya birokrasi kota ini salah besarnya atau dosanya adalah membiarkan pembangunan-pembangunan tapi tidak mengimbanginya dengan pembangunan infrastruktur yang memadai yang sesuai. Stop mal, tingkatkan infrastruktur yang ramah lingkungan terutama yang angkutan umum," kata pengamat Marco Kusumawijaya.
Tak ubahnya dengan taman kota yang minim, pasar tradisional kian termarginalkan. Kelonggaran izin pembangunan yang diterapkan oleh Pemprov DKI meningkatkan jumlah minimarket. Minimnya luasan pasar tradisional yang tidak sebanding dengan jumlah pedagang mengakibatkan masalah lain seperti kemacetan. Jakarta pun makin semrawut.
Padahal di pasar tradisional inilah teori perekonomian dasar jual beli melalui tawar-menawar berlaku. "Kasihan orang kecil. Usahanya juga kecil-kecilan jadi tidak sama dengan mal-mal yang punya banyak duit," kata pedagang, Rahmat
Itu artinya jumlah pusat perbelanjaan di Ibu Kota sudah melebihi ideal dari penduduknya. Belum lagi ditambah mal yang sedang dalam tahap pembangunan. Ibu Kota telah di cap sebagai kota dengan jumlah mal terbanyak di dunia.
"Jakarta harusnya makin banyak dengan hal-hal yang banyak dengan penghijauan," kata warga bernama Darsono Sumarjo. "Taman yang paling bagus Menteng, masih ada adem-ademnya. Tapi kalau saya rasa hutan kotanya masih kurang," kata warga lainnya.
Rencana 30 persen peruntukan lahan bagi ruang terbuka hijau di Jakarta hanya sekadar isapan jempol semata. Faktanya baru sembilan persen saja yang benar-benar diwujudkan. Daerah strategis yang seharusnya diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau disulap menjadi bangunan mal.
"Menurut saya birokrasi kota ini salah besarnya atau dosanya adalah membiarkan pembangunan-pembangunan tapi tidak mengimbanginya dengan pembangunan infrastruktur yang memadai yang sesuai. Stop mal, tingkatkan infrastruktur yang ramah lingkungan terutama yang angkutan umum," kata pengamat Marco Kusumawijaya.
Tak ubahnya dengan taman kota yang minim, pasar tradisional kian termarginalkan. Kelonggaran izin pembangunan yang diterapkan oleh Pemprov DKI meningkatkan jumlah minimarket. Minimnya luasan pasar tradisional yang tidak sebanding dengan jumlah pedagang mengakibatkan masalah lain seperti kemacetan. Jakarta pun makin semrawut.
Padahal di pasar tradisional inilah teori perekonomian dasar jual beli melalui tawar-menawar berlaku. "Kasihan orang kecil. Usahanya juga kecil-kecilan jadi tidak sama dengan mal-mal yang punya banyak duit," kata pedagang, Rahmat
EmoticonEmoticon