Tidak Harus Terkenal


Jauh di ujung timur pulau Jawa, di sebuah musholla kecil berukuran 9 x 10 meter, setiap sore nya selalu diramaikan dengan suara gemuruh anak-anak yang berlarian ke sana kemari, namun dengan penuh kesabaran para ”srikandi-srikandi” dakwah itu berusaha menenangkan mereka, dan mengajak mereka untuk duduk kembali di tempatnya, mereka mengajarkan kata demi kata, huruf demi huruf sampai mereka lancar melafadhkan kalimat-kalimat yang ada di kitabullah.

Kemudian coba kita keluar rumah, perhatikan tempat sampah, sampah-sampah yang bertebaran itu siapa yang mengangkutinya setiap hari? Pernakah kita berfikir betapa besarnya peran seorang tukang sampah yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai perkerjaan yang tidak terlalu penting, bahkan sebagai pekerjaan rendahan. Lalu pernakah kita membayangkan sepiring nasi yang kita makan sehari-hari dihasilkan dari keringat para petani yang sangat giat berangkat di pagi buta dan pulang menjelang mentari turun di sore yang gelap.
Orang-orang di atas, adalah potret nyata orang-orang yang sebenarnya memiliki peranan besar dalam kehidupan kita, yang kadang sering terlupakan dan tidak ter-expose sama sekali. Kita renungkan betapa besarnya peran seorang ’guru TPA’ atau ’guru SD’, melalui perantara tangan-tangan lembut merekalah generasi-generasi ummat ini dibentuk dari tingkat dasar, maka peranan mereka terbukti sangat vital sekali.
 Coba kita bandingkan dengan kebanyakan  orang-orang yang hidup dengan penuh ke-glamouran dan kemewahan serta di sorot dimana-mana, tetapi apa yang mereka hasilkan? Perbaikan ummat ? Penyadaran Masyarakat ? atau justru kerusakan-kerusakan moral ? bahkan ada di antara mereka yang tidak tergerak untuk melakukan tindakan nyata ketika saudara-saudaranya ditimpa musibah, bahkan justru melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan.
Popularitas sebenarnya bukan suatu yang urgen untuk bisa berperan besar, Coba ketika kita bertanya siapakah Imam Syafi’i, Ibnu Katsir atau Imam Bukhari, maka hampir semua orang mengenal mereka karena keistimewaan para ’Alim tersebut, namun pernakah ada yang bertanya siapakah guru-guru mereka? Yang mendidik mereka dengan tangan-tangan canggih nya sehingga menghasilkan orang-orang yang nomor satu di bidangnya. Keberadaan mereka mungkin jarang tercatat dalam kitab-kitab sejarah, meskipun jasa mereka sangat besar sekali bagi ummat ini.
Satu lagi contoh keterasingan itu adalah pada sosok seorang tabi’in bernama ’Uwais Al-Qarny, dia adalah seorang penggembala kambing dari kabilah Qarn di Yaman, yang hampir tidak ada seorang pun yang memperdulikannya. Namun Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib memintanya untuk mendo’akan dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, sebab keberadaannya telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. Yang mengatakan bahwa dia adalah salah satu penghuni langit, sebab dia adalah seorang yang sangat ta’at kepada ibunya.
******
Untuk berbuat bagi orang lain, sebenarnya tidak perlu menunggu memiliki pengaruh yang besar, tidak usah menunggu popularitas atau ketenaran agar bisa mempengaruhi orang lain. Apalagi dalam persoalan dakwah dan mengajak kebaikan, yang merupakan salah satu makanan pokok ruhani manusia. Maka kita dituntut untuk menyiramkan air segar ini dimanapun dan kapanpun kita berada. Terlebih lagi di masa akhir zaman ini di mana manusia banyak yang terlena dengan kenikmatan dunia dan bertebaran fitnah kerusakan moral dan spiritual. Maka saatnya lah kita bergerak, menggebrak dan menjungkir balikkan kemungkaran dengan sekuat tenaga.
Rumus ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain” akan lebih terasa jika kita berhasil menerapkannya di tengah masyarakat. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW  :
”Seorang mu’min dengan mu’min yang lain adalah ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”(H.R. Bukhari) 

(*) Oleh : Abdullah Muhtaj
Mahasiswa Semester 3 
Fakultas Syari'ah LIPIA Jakarta

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »