Di Bawah Naungan Ukhuwah (part II-selesai)



(lanjutan dari edisi sebelumnya.....)

1 jam setelah muzhoharoh… 
HI bergolak. Gemuruh takbir dan yel-yel dikumandangkan. Orasi yang disampaikan oleh Ust. Hasan Zuhri selaku ketua KAMMJA dengan berapi-api berhasil menyulut semangat seluruh mahasiswa yang terhimpun pada hari itu. Matahari yang naik seakan turut menyumbangkan teriknya untuk mengobarkan semangat para mahasiswa. Ratusan kibaran bendera identitas dari berbagai kesatuan organisasi menciptakan kesan akan gelegak emosi mahasiswa yang sudah sampai pada puncak kesabarannya atas kinerja pemerintah.

Aku yang baru saja sampai, dibuat terkejut oleh lautan manusia dari berbagai kesatuan organisasi dan almamater yang berhimpun dalam satu barisan. Belum pernah sebelumnya aku melihat kumpulan manusia sebanyak ini. Mereka semua menuntut keadilan dan menyuarakan kekecewaan yang tak mungkin dipendam lagi. Tanpa pikir panjang, aku segera bergabung dalam barisan KAMMI komisariat LIPIA, dibandingkan yang lain kami memang terlihat lebih rapi dan teratur. Kucari-cari sosok Ardi, namun tak kudapati dimanapun.

Lalu entah bagaimana awalnya, tiba-tiba seseorang dengan jaket hitam melempar sebongkah batu sebesar kepalan tangan kearah aparat. Malang bagi seorang aparat karena ia tak mampu menghidar. Batu yang diayunkan dengan sepenuh kekuatan itu dengan telak memecah helm yang dia kenakan dan mengenai pelipisnya. Sedetik kemudian, ia telah jatuh bersimbah darah.



Saat kuamati kembali, ternyata orang berjaket hitam itu telah menghilang bagai ditelan bumi. Aku segera menyadari bahwa dia bisa jadi seorang intel yang memang dengan sengaja memancing di air keruh. Tak pelak lagi, kejadian itu hanya menyisakan amukan para aparat. Mereka mulai menerjang dan menghujani mahasiswa yang tengah membentuk border dengan pukulan-pukulan beruntun.
Saat seorang mahasiswa jatuh terkena pukulan dikepalanya, mahasiswa lain yang tidak terima segera melakukan perlawanan. Ia mengambil batu dan langsung ia lemparkan kepada aparat. Cara ini rupanya dengan cepat diikuti yang lainnya. Borderpun pecah. Aparat bahkan mulai membalas serangan para mahasiswa dengan gas air mata. Beberapa mahasiswa lain berupaya menyelamatkan sahabatnya yang jatuh sebagai korban untuk mencari perlindungan. Teori untuk berjongkok saat keadaan mulai rusuh terbukti tidak berguna, karena aparat yang terlanjur kalap benar-benar sudah tak mengindahkan aturan dalam aksi.

Keadaan semakin kacau. Sumpah serapah membaur dengan jerit dan rintih kesakitan. Jeritan melengking dari seorang mahasiswa yang jatuh menjadi korban seakan mampu memecah langit. Terik matahari yang memanas semakin membakar semangat para aparat untuk bertindak lebih beringas.

Ditengah himpitan rasa bingung dan cemas, aku berusaha keras mencari-cari sosok Ardi yang seolah tenggelam dalam lautan manusia. Tiba-tiba dikejauhan, dekat dengan kerusuhan yang berlangsung kulihat segerombolan aparat tengah mengerumuni seorang mahasiswa dengan jas hitam yang tengah terduduk dengan posisi menelungkup seakan melindungi sesuatu. Lalu tanpa ampun, para aparat mulai menghujani mahasiswa yang malang itu dengan pukulan dan tendangan, beberapa diantaranya bahkan melengkapinya dengan sumpah serapah.

Darahku sekan mendidih melihat pemandangan itu. Maka dengan satu hentakan kusibak kerumunan
didepanku dan bergegas mendekati gerombolan aparat tersebut. Saat aparat mulai menyadari bahwa mahasiswa yang mereka keroyok telah roboh, merekapun bergegas mencari korban baru. Aku baru berhasil mendekati mahasiswa tersebut manakala ia telah benar-benar terkulai lemah. Keadaannya benar-benar mencemaskan, darah bercucuran dari sekujur tubuhnya. Kudapati kakinya yang kuyup oleh darah, bisa kuterka bahwa ia tertembak peluru karet saat sedang berlari dengan membawa sesuatu.

Namun sesuatu itu apa? Hingga ia pertahankan mati-matian untuk melindunginya? Dan siapa mahasiswa malang tersebut?, mendadak pertanyaan-pertanyaan itu berjejal memenuhi otakku. Aku kini telah berdiri persis dihadapan mahasiswa itu, dan dengan bergegas kubalikkan tubuhnya…
PLAS!

Jantungku seakan berhenti berdegup. Bumi tempatku berpijak seolah berguncang hebat. Hatiku remuk bagai dihantam alugora raksasa saat menyadari bahwa mahasiswa yang berlumuran darah tersebut ternyata, ARDI!

Aku segera menghambur padanya, dan betapa terperanjat saat aku menyadari sesuatu yang mati-matian dia lindungi dari keganasan para aparat ternyata adalah sosok seorang akhwat yang kondisinya juga tak kalah memprihatinkan. Darah akhwat tersebut mengalir membasahi jilbab biru laut dan jaket almamater yang dikenakannya.

Allaaahu…akbar…”, pelan Ardi mengerang saat merasakan kehadiranku. Darahnya mengucur deras dari ubun-ubun dan di sela-sela mulutnya, sehingga membentuk aliran merah pekat yang menutupi sebagian wajahnya. Mataku mulai berkaca-kaca demi melihat kondisi Ardi yang begitu memprihatinkan.

“Ardi… kamu tidak apa Ar?? ini aku, Dani…”, tanyaku cemas sambil menahan air mataku agar tak tumpah didepannya. Tak bisa kupungkiri bahwa aku juga mengkhawatirkan nasib akhwat yang dilidunginya. Batinku bergolak. Keadaan amat tak memungkinkan untuk meminta bantuan. Lalu siapa yang harus aku selamatkan lebih dulu?. Ardi nampak lebih kritis, ia terhantam di kepala dan tertembak di kakinya. Seluruh tubuhnyapun dibaluri luka-luka lebam. Maka hatiku telah bulat untuk menyelamatkan Ardi terlebih dahulu. Kucoba untuk mengangkat tubuh Ardi, tapi pada saat itu juga tangannya menahanku.

“Dan…Dani…”, rintihnya lemah. Dapat kutandai rasa nyeri dan sakit luar biasa yang tengah dirasakan Ardi saat ini lewat tatapan matanya. Kalaupun bisa, aku akan dengan ikhlas memintanya agar membagi sebagian rasa sakit itu padaku.

“Ya, Ar… Aku disini…”, kugenggam erat tangannya, ”Kita harus segera ke rumah sakit, Ar…”, bisikku sembari menyagga tubuhnya dalam pangkuanku.

Ia tersenyum, ”Tidak, Dani… Tolong bawa akhwat ini terlebih dahulu, aku tidak apa-apa… Ia tertembak peluru karet saat sedang berusaha mencari perlindungan…”, tolaknya dengan suara lirih. Matanya mengiba, ”Berjanjilah kau akan mengamankan dia terlebih dahulu…”, pintanya dengan bibir bergetar.

Tak ada waktu untuk berpikir dua kali. Aku segera mengangguk dengan cepat, dan untuk meyakinkannya aku berujar tegas, “Aku akan kembali, Ar… kau bertahanlah sebentar lagi…”.
Ardi tersenyum lega mendengar keputusanku. Ia hanya mengangguk lemah.

Maka tanpa berkata-kata lagi, segera kurengkuh tubuh akhwat yang berada di dekatnya dan dengan setengah berlari aku menuju barisan akhwat KAMMI Komisariat LIPIA yang tengah berlindung di seberang jalan. Saat jarakku semakin dekat, tak bisa kupungkiri bahwa semua mata akhwat yang tengah berkumpul mencari perlindungan itu tertuju padaku dengan penuh tanda tanya.

Sedetik kemudian saat kami telah saling berhadapan, erangan lemah akhwat berjilbab biru laut itu seolah menjadi jawaban terhadap maksud kehadiranku dengan membawa sosoknya yang berlumuran darah ke hadapan mereka.

Tanpa menunggu terlalu lama, para akhwat KAMMI komisariat LIPIA yang pada aksi kali ini serempak memakai jilbab putih dan jas hitam itu segera mengambil alih tubuh akhwat yang kubawa. Akhwat berjilbab biru laut yang terkulai lemah itu ternyata berasal dari KAMMI komisariat lain. Aku bisa menandainya dari jaket almamater yang ia kenakan. Ada sebuah lambang universitas terkemuka di bagian kiri atas jaketnya, dan identitasnya sebagai anggota dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia tertera di bagian belakangnya. Namun, lambang dan tulisan itu menjadi tak terlalu jelas karena barcak dan noda darah yang menutupi.

Jazakillah…[12]”, ucapku singkat dan hanya dibalas dengan anggukan salah seorang dari mereka. Setelah yakin akhwat dengan jilbab biru laut itu mendapat perawatan semestinya dari para akhwat KAMMI LIPIA, akupun mengucap salam dan segera berlalu untuk menyongsong tubuh Ardi.
Beberapa saat kemudian, aku telah sampai dihadapannya. Ia melempar sebuah senyum padaku. Kudapati tubuhnya kian melemah dan pandangannya mulai kabur saat kurengkuh tubuhnya dalam pangkuanku.

“Dani…”, panggilnya lemah.
“Ya, Ar… aku disini…”, dengan cepat aku berusaha mengangkat tubuhnya, namun urung saat tangannya menahanku untuk kesekian kalinya.
“Rasanya cahaya matahari mulai meredup ya?”

Mendengar pertanyaan mendadak yang ia lontarkan dan berada diluar nalar itu tak urung membuat kecemasanku semakin merangkak naik. Dalam pandangannya, cahaya memang seolah-olah mulai meredup disekitarnya. Namun sejatinya tidak demikian, hal itulah yang membuat ketakutanku semakin memuncak. Dan tanpa kusadari air mataku meleleh.

“Kenapa kau menangis, Dani?...”, tanya Ardi saat air mataku jatuh mengenai wajahnya. ”Kau tahu, sekilas aku mengira bahwa aku tak akan sempat berjumpa lagi denganmu… di alam bawah sadar, aku mendapati diriku tengah berjalan di sebuah taman yang luas dan indah bersama seorang laki-laki yang gagah dan tampan. Ia yang membimbingku menuju sebuah mahligai bertatahkan emas dan intan.

Namun setelah beberapa ayunan langkah, tiba-tiba aku teringat padamu…”, ujarnya sembari menghela nafas yang mulai terasa berat. “Kemudian aku meminta pada laki-laki tersebut untuk menungguku sejenak agar aku bisa menjumpaimu sekali lagi, dan laki-laki dengan pakaian serba putih itu hanya membalas pintaku dengan anggukan… Maka, sekarang saat aku bisa melihat wajahmu kembali , mengapa kau malah menangis?”, tanyanya dengan nada kian melemah. Gurat senyum masih ia ukir dari sudut bibirnya yang masih mengalirkan darah.

Mendengar ceritanya barusan air mataku semakin deras mengalir. Namun dengan segera aku menggeleng, “Tidak Ardi… jangan berkata seperti itu, aku akan menyelamatkanmu… bertahanlah sebentar lagi…”, pintaku benar-benar memelas.

“Kau sudah melakukannya, Dani… dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Kini, kau harus mengikhlaskanku…”, ujarnya dengan suara serak, namun disertai senyum yang mengembang. Nafas Ardi mulai tersengal. Tiba-tiba ia memegang erat telapak tanganku, menyadari hal itu kubalas genggaman itu dengan lebih erat, seolah aku tak ingin melepasnya.

“Dani… tangan kita yang bertaut adalah gambaran ukhuwah kita selama ini. Aku masih ingat saat pertama kali berkenalan denganmu di pondok dulu. Hingga kini, aku selalu menjaga agar ikatan ukhuwah itu tidak terputus atau meregang. Maka selanjutnya, kutitipkan ukhuwah ini padamu, semaikanlah ia dimanapun kau berada dan berjanjilah untuk selalu menjaganya hingga kelak kita bertemu lagi dalam ikatan ukhuwah yang lebih kekal di jannah-Nya… kau mau menjanjikan itu untukku?”

Aku hanya sanggup mengangguk lemah tanpa tahu harus berkata apa lagi. Air mataku semakin deras meleleh dan membanjiri wajahku. Bahuku bergetar. Tembok ketegaran yang dengan susah payah kubangun seakan roboh tanpa sisa, meninggalkan hatiku yang luluh-lantak dengan nyeri yang menyayat.

Melihat kesediaanku, Ardi tersenyum. Senyumnya yang terukir kali ini kurasakan yang paling indah. Begitu teduh dan mampu mendamaikanku. Namun sekaligus membuat hatiku perih, jika membayangkan bahwa senyum itu adalah senyum terakhir dari sudut bibirnya.

“Dia datang menjemputku Ardi….”, ucapnya mengagetkanku. ”Laki-laki tampan dengan pakaian serba putih itu telah datang menjemputku…”, sambungnya dengan suara yang kian melemah.
“Tidak, Ar… Jangan…”, letupku sembari menggeleng berulang kali. Kekalutan benar-benar telah menguasai diriku.

“Kita harus berpisah sekarang… Aku bangga telah mengenalmu, seorang saudara yang dulu kujumpai karena Allah, dan hari inipun kita berpisah karena-Nya… Asyhadu alla ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhuu wa rasuuluh…”, ucap Ardi perlahan. Bersama tuntasnya kalimat syahadat yang ia ikrarkan, seketika itu pula nafas terakhirnya ia hembuskan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun”, bisik batinku lirih dengan berurai air mata.
Kupandangi wajah Ardi yang telah kaku dengan meninggalkan sebuah senyum di bibirnya. Wajahnya memancarkan keteduhan layaknya seseorang yang telah purna tugas-tugasnya di dunia. Ia mewariskan ukhuwah untuk kami semua. Ia meninggalkan sebingkai senyumnya dalam husnul khotimah, insya Allah.

***

Ballroom Hotel Indonesia…
Ruangan yang semula bergemuruh dengan applaus dan takbir itu seolah tak meninggalkan jejak-jejak keramaiannya sama sekali. Mendadak kesunyian menyergap tiap sisi bangunan yang berdiri dengan megah di kawasan elit Jakarta Pusat itu. Menyisakan isak tertahan yang berasal dari masing-masing audiens.

Mataku sendiri telah mengombak dan berkaca-kaca. Namun kuputuskan untuk menuntaskan kalimatku, “Ia telah meninggalkan saya, meninggalkan teman-teman seperjuangannya, khususnya teman-teman aktivis dakwah yang begitu ia banggakan… Namun, ada satu hal yang akan selalu saya yakini kebenarannya…”, tuturku dengan nada serak. Aku menghela nafas sejenak. Mengumpulkan kembali emosi tentang sosok Ardi selalu menjadi hal yang sulit untukku.

”Satu hal yang selalu saya yakini kebenarannya meski Ardi telah meninggalkan kami, bahwa ukhuwah yang ia tawarkan dengan tulus dari hatinya akan senantiasa kekal dan insya Allah akan berbuah manis dalam jannah-Nya. Ukhuwah itu juga yang saya tawarkan kepada antum-antunna sekalian, yang akan membimbing dan menjadi jaminan kita untuk mendapatkan naungan-Nya pada hari dimana tiada naungan selain dari-Nya. Senada dengan penuturan Rasulullah, junjungan kita tercinta dalam haditsnya, “Tujuh golongan orang yang mendapat naungan pada hari dimana tiada naungan selain dari-Nya, diantaranya adalah orang yang berjumpa dan berpisah semata-mata karena Allah…”[13], ujarku lirih. Tak kuasa lagi kutahan air mataku. Kubiarkan ia jatuh membasuh wajahku. Sedetik kemudian, aku menutup uraianku dengan ucapan terimakasih.

Hadits yang kusampaikan ternyata mampu meresap dalam benak para audiens. Aku berkeyakinan bahwa kalimat yang dituturkan dari hati niscaya akan sampai kepada hati pendengarnya. Dan benarlah, dengan izin Allah kalimat yang kurangkai ternyata mampu menyentuh hati mereka bahkan menelusup jauh hingga relung terdalam.

Tanpa kusadari. Di sudut ruangan tak jauh dari kursi moderator, seorang akhwat yang mengajukan pertanyaan pertama kali ketika sesi tanya jawab dibuka, nampak sedang larut dalam sedu sedan seperti halnya audiens yang lain. Namun yang berbeda baginya, peristiwa yang aku tuturkan seolah memang benar-benar tengah terjadi didepan matanya. Akhwat itu mengenakan jilbab biru laut, senada dengan gamis yang ia pakai. Air mata terus-menerus jatuh dari kedua matanya yang bening. Entah mengapa setiap ia teringat peristiwa itu, selalu saja mampu merobohkan benteng ketegaran yang selama ini ia bangun dengan susah payah. Padahal sudah lima tahun berselang, tapi tetap saja ia masih belum bisa berdamai dengan hatinya sendiri.

Ia memang terlibat secara langsung didalamnya, karena dialah sosok yang mati-matian dilindungi oleh Ardi sebelum akhirnya, dengan izin Allah berhasil kuselamatkan. Namun tanpa kuketahui, tiba-tiba ia menengadah. Bibirnya bergetar seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu kepadaku yang duduk hanya berada beberapa jengkal di hadapannya.

“Maafkan aku, Dani…”, ujarnya dengan air mata meleleh. Namun kalimat itu hanya mampu menggema dalam ruang hatinya untuk kemudian tenggelam kembali tanpa bisa terucap sepatah katapun.



Jakarta Selatan, pertengahan Juni 2011.
Untuk teman-teman yang telah kukenal selama ini,
aku bersyukur bisa dipertemukan dengan kalian semua.
Semoga kita dimasukkan dalam tujuh golongan yang mendapat naungan-Nya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »