Klaten, Kampung Ayahku


Oleh : Nesya Nurul Amalia*
Jika seseorang ditanya tentang asal dan keadaan kampung halamannya pasti mereka akan mudah untuk menjawab dan menceritakan keunikan dan kekhas-an kampung halaman tempat tinggal mereka. Tetapi hal itu justru tidak terjadi pada saya karena saya anak hasil urbanisasi kedua orangtua saya dan tidak tinggal di desa atau kampung.
Saya lahir di Jakarta dan besar di kota lain karena bersekolah di pondok pesantren. Tetapi setiap tahun, ketika libur hari raya Idul Fitri saya dan keluarga mudik ke rumah eyang. Mudik ke kampung dimana ayah dan ibu saya dilahirkan,tempat dimana mereka  menikmati masa kecil sampai mereka besar sebelum pergi mengadu nasib di kota Jakarta. Ibu saya lahir dan dibesarkan di Banyumas, sebuah kota di provinsi Jawa Tengah yang sejuk yang terletak di kaki gunung Slamet. Sedangkan ayah berasal dari Klaten, kota yang berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kali ini saya tidak akan berbicara tentang Banyumas, tetapi saya akan bercerita tentang kampung halaman ayah saya, Klaten.
Sebenarnya saya tidak terlalu mengetahui kampung halaman ayah secara detail karena jika mudik, kami hanya menetap paling lama satu minggu.
Rumah eyang saya terletak hanya kurang lebih 2 kilometer dari Candi Prambanan. Kecamatan pertama di kabupaten Klaten yang berbatasan dengan provinsi D.I Yogyakarta dan provinsi Jawa Tengah. Dan kurang lebih berjarak satu kilometer dari pabrik susu dan makanan olahan bayi dan balita, SGM. Berbalik dengan keadaan geografis di kampung ibu saya, Banyumas, Klaten adalah kota yang panas dan lembab serta bertanah pasir. Sumur-sumur air pun kering ketika musim kemarau.
Hal yang unik dari kampung ini adalah hampir semua penduduknya memiliki sapi sebagai hewan peliharaan mereka. Dan masyarakat disini masih menggunakan sumur manual yang ditimba setiap kali mengambil air, tetapi beberapa sudah menggunakan jet pump untuk menarik air walaupun sumber air masih berasal dari sumur timba. Kamar mandinya pun masih terpisah dengan rumah, biasanya di  pekarangan belakang atau samping, bahkan ada juga yang di depan, seperti di rumah eyang saya.
Masyarakat di sini pun masih memegang teguh budaya leluhurnya. Masih banyak yang menggunakan sesajen-sesajen pada acara-acara besar, misalnya pada upacara kelahiran atau pernikahan. Menurut cerita ayah, dulu masyarakat di kampung ini tidak menjalankan agama Islam dengan benar, syirik-syirik seperti sesaji dan kemenyan mewarnai hari-hari mereka. Akan tetapi beberapa waktu kemudian, sebagian penduduknya menikah dengan warga lain dan menetap di kampung ini, mereka inilah yang akhirnya membantu menyiarkan ajaran Islam kembali di kampung ini.
Salah satu budaya yang unik di kampung ini adalah pada hari raya Idul Fitri. Masyarakat disana tidak langsung bersalam-salaman dan bersilaturahim dari rumah ke rumah selepas menunaikan sholat ‘Id seperti masyarakat pada umumnya. Tetapi, silaturahim, yang lebih dikenal dengan istilah ‘Ujung’, dilaksanakan pada hari kedua dari Idul Fitri.
Pada hari kedua lebaran ini para penduduk saling mengunjungi satu sama lain, terutama rumah para sesepuh kampung. Eyang adalah salah satu sesepuh di kampung ini. Oleh karena itu, rumah beliau selalu ramai tamu yang bersilaturahim dan meminta maaf.  Karena banyaknya tamu yang berdatangan maka kami harus menyiapkan hidangan yang banyak. Dari kue-kue kering khas lebaran sampai kue-kue tradisional seperti tape ketan dan manisan kolang-kaling.
Ada juga budaya yang bernama Lebaran Apem. Lebaran Apem dilaksanakan pada tanggal 7 Syawal. Para penduduk membuat kue apem dan pada malam harinya bapak-bapak membawa apem-apem tersebut ke rumah salah satu sesepuh mereka. Di sana mereka bertahlil dan berdoa sebagai mana yang dilakukan ketika acara tahlilan orang meninggal. Setelah selesai acara tersebut mereka membawa pulang kembali kue apem yang mereka bawa. Ketika aku bertanya kepada ayah alasan mereka melaksanakan hal itu adalah  beliau menjawab mereka melakukannya untuk ‘ngalap berkah’ atau mengharapkan berkah dari kue apem yang telah dibacakan doa.  Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan beristigfar ketika mendengarnya. Karena hanya kepada Allah lah seharusnya kita meminta keberkahan dan limpahan rejeki.
Beralih ke tempat wisata yang ada di kota ini. Ada sebuah danau besar, letaknya jauh dari rumah eyang, lebih dekat ke pusat pemerintahan Kabupaten Klaten. Danau ini bernama Jimbung. Yang menjadi daya tarik danau ini adalah dipenuhinya danau ini dengan restoran-restoran apung. Letak restoran-restoran ini berada agak di tengah danau, sehingga para pengunjung harus mencapainya dengan menggunakan perahu getek. Selain dapat menyantap berbagai hidangan lezat ikan , kita juga dapat memancing dan menikmati ikan hasil pancingan sendiri. Selain itu juga tersedia perahu boat dan jet ski untuk menikmati pemandangan danau. Jimbung selalu padat dipenuhi wisatawan lokal maupun luar kota setiap masa liburan datang, terutama masa libur hari raya Lebaran.
Kemudian ada candi Sewu atau Seribu yang lebih di kenal dengan candi Prambanan. Candi ini adalah salah satu candi Hindu terbesar di Indonesia. Konon candi ini awalnya berjumlah seribu. Candi ini dibangun atas permintaan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso yang merupakan musuh ayahnya, sebagai syarat untuk menikahinya. Bandung yang memiliki pasukan jin dengan mudah memerintahkan pasukannya untuk membantunya membuatkan seribu candi. Roro Jonggrang pun mengetahui bahwa Bandung bondowoso dapat memenuhi permintaannya, maka dari itu dia pun menggagalkan usaha Bandung. Maka ia dengan para pembantu dan penduduknya membuat tipu daya dengan memerintahkan mereka untuk menumbuk padi sehingga membangunkan ayam-ayam yang kemudian berkokok seperti kegiatan pagi hari. Pasukan jin pun mendengar kokokan ayam pun berlarian ketika pembangunan candi mencapai jumlah 999 candi. Roro Jonggrang pun menganggap Bandung gagal, Bandung pun marah dan mengutuk Roro menjadi candi ke 1000 dan jasadnya berubah menjadi patung yang menghiasi candi ke 1000.
Candi Prambanan selalu ramai pada saat masa-masa liburan. Terlebih lagi hampir setiap malam terdapat pagelaran wayang orang Rama dan Sinta yang berlatarkan candi Prambanan dengan dihiasi lampu-lampu yang indah.
Itulah gambaran keunikan kampung halaman ayah saya. Dengan budaya yang tidak ditemukan di tempat lain. Keunikan – keunikan inilah yang membuat saya selalu rindu untuk kembali mudik setiap tahunnya.
*penulis adalah kepala departemen kaderisasi KAMMI Komisariat LIPIA

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »