Menyortir sebab-sebab kebangkitan dan keterpurukan ummat masa lalu maupun sekarang adalah suatu keharusan. Darinya, kita akan menemukan sebuah hasil yang dapat kita jadikan sebagai landasan dalam pergerakan. Landasan yang dibangun dari sebuah studi yang maksimal akan memberikan pedoman bagi generasi saat ini tentang apa yang harus dikerjakan agar kebangkitan itu segera datang, dan apa yang hendaknya dijahui supaya keterpurukan pasca kebangkitan tidak menimpa.
Kita sudah dibuat sakit dan miris dengan keterpurukan ummat hari ini. Jika kita membuat sebuah diagram batang, akan terlihat term yang menurun dan menurun. Jika pun ia naik, ia akan menurun melebihi persentase kenaikan. Begitu terus tanpa ada gejala kebangkitan.
Lihatlah bagaimana dunia Islam dalam lingkup negara. Adakah yang memberikan sebatas senyuman pelipur lara? Jika ada mungkin hanya Turki semata. Namun kita tidak tahu, sampai kapan Turki membuat kita tersenyum sedang kanan-kirinya semakin giat menumbangkannya.
Kita tak lagi dapat berharap dari dunia Islam yang ada. Masing-masing sibuk dengan koflik saudara. Bahkan dari konflik saudara tersebut berubah menjadi konflik global yang menyeret dunia Islam di sekitarnya. Tak sampai disitu, terlepas dari kepentingan ekonomi internasional, konflik tersebut telah menjadi medan pertempuran global yang menakutnya. Contoh realnya adalah apa yang sedang terjadi di Tanah Syam.
Lain Timur Tengah, lain pula daratan Asia bagian Tenggara dan sekitarnya. Mari kita ambil Burma. sebuah negara dengan pemerintahan otoriter terhadap kaum muslimin. Wanitanya diperkosa. Anak-anaknya diperbudak. Pemudanya dibunuh. Orang tuanya dihina-hina. Sedang, dunia Islam tetap saja diam. Jika toh ia berbicara, hanya sebatas pernyataan keperihatinan semata.
Indonesia juga demikian. Negara yang katanya mayoritas beragama Islam. Tapi faktanya muslimlah yang minoritas. Ajaib bukan? Sebagaimana Sudan yang akhirnya pecah karena minoritas yang tidak tahu diri. Konflik sesama anak bangsa yang terjadi di Indonesia memang belum mencapai puncaknya. Sebab kita tidak tahu konflik semacam apa yang bisa dikatagorikan sebagai konflik puncak atau klimaks.
Pertengkaran antara umat Islam dan pemerintah yang ada di Indonesia saat ini, hari demi hari mendatang akan semakin membola salju. Jika tidak segera diatasi ia akan semakin membesar. Besar dan besar hingga kita pun tak kan sanggup memandang dan berucap. Perpacahan di depan mata. Dan ummat Islam di Indonesia belum mempunyai kesiapan yang sesungguhnya.
Konflik yang ada di Indonesia, antara ummat Islam dan pemerintah, merupakan fenomena baru yang luar biasa. Luar biasa karena inilah pertama kali pemerintah berhadapan dengan gelombang ummat Islam dalam skala yang luar biasa besarnya berkali-kali. Meski demikian, pemerintah pun nampaknya belum mau “berdamai”. Terlihat dari tuntutan ummat yang masih digantung antara bumi dan langit. Sikap pemerintah yang demikian, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kemuakan yang terakumulasi. Hingga akhirnya gelora jihad benar-benar ditunjukan ummat Islam.
Sekarang yang patut untuk dipertanyakan, mengapa bisa demikian? Kenapa ummat ini harus terpuruk? Mungkin dari para ahli ada yang memberikan jawaban yang panjang berlembar. Dan mungkin juga ada jawaban singkat sesingkat karakter twittan.
Dari kemungkinan-kemungkinan jawaban yang ada dibenak kita masing-masing, eloknya kita pilih yang tersingkat saja. Ya, yang tersingkat. Apa itu? Karena Ummat Islam meningalkan Aqidahnya. Silahkan, boleh anda menolak dan membuat jawaban sendiri. Atau anda bersama dengan jawaban di atas. Sekali lagi terserah.
Mengapa kita harus mengangkat kembali masalah aqidah? Bukan syariah dan mu’amalah? Tidak lain karena aqidah adalah awal dari segala keawalan pergerakan manusia. Aqidah menjadi point yang terpenting untuk diperhatikan. Maka tak salah jika 13 tahun dakwah Rasulallah di Makah adalah dakwah penguatan sisi Aqidah. Mulai dari aqidah yang ushul hingga yang furu’, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha agar para sahabatnya paham dengan kepahaman yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan masyarakat dan Allah swt.
Aqidah merupakan kandungan yang paling intens dibahasa dalam Al-Qur'an. Kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam. Kitab suci yang menyalahkan obor menutup keangkuhan jahiliyah. Kitab suci yang mengajak pembacanya untuk berpikir luas. Kitab suci yang mengharuskan pembacanya untuk mengambil hikmah dan pelajaran. Ialah kitab suci yang berbicara tentang Aqidah.
Membicarakan aqidah, bukan berarti masuk ke dalam perdebatan theologis yang memusingkan. Bukan juga menyelam dunia filsafat untuk mengetahui makna-makna tersembunyi. Bukan pula berputar-putar pada dialektika ilmu kalam yang seringkali memperkeruh hati dan membekukannya. Tapi, berbicara aqidah adalah berbicara dengan hati dan akal. Mengintegrasikan fungsi hati dan akal dalam berbicara aqidah merupakan kunci keberhasilan dalamnya.
Hati yang bertabi’at fitrah, meski ia telah tergusur dengan antipati jahiliyah dan kebudayaan Barat, namun ia masih bisa muncul. Tidak akan pernah hilang dari manusia. Bahkan, jika ia kafir pun, fitrah itu akan tetap ada pada diri manusia. Lihatlah tokoh-tokoh yang berislam ketika fitrahnya malah sedang barada di titik terendah manusia. Sebuah titik yang jauh sekali. Sedang kekafiran begitu tebal menyelimuti hatinya. Ambilah contoh Sayidina Umar bin Khattab. Kapan kira beliau berislam dan beriman? Pada puncak kekafiran beliau saat hendak ingin membunuh Baginda Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kekafiran Umar telah menjelma menjadi darah yang mengalir dalam setiap ruang tubuhnya, di saat itu pula kekafiran menumbangkan kepongahan dirinya sendiri.
Itulah fitrah. Yang tersimpan pada bashirah. Tersimpan dalam hati. Untuk membahas masalah hati, fitrah, dan bashirah ini, kita tak perlu berpanjang angan apa yang dimaksud hati atau bashirah dalam teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kita tidak perlu memperdebatkan apa ia. Apakah ia limpah atau jantung. Apakah ia ini dan itu. Biarkan saja. Perpanjangan kalam dalam urusan yang sepele ini hanya menambah kebekuan hati dan kepongahan naluri.
Dengan hati yang di dalamnya mengandung saripati keyakinan berupa fitrah ketahuhidan, kita akan mencapai pada sebuah batu loncatan pertama dalam keimanan yang disebut dengan tashiq, pembenaran. Kita meyakini Allah, Malaikat, Kutub, Rusul, Hari akhir, dan Qada’ serta Qadar benar adanya. Sungguh nyatanya. Meski mata tak dapat memandang keghaiban. Meski kuping tak mendengar narasi alam ghaib. Namun disinilah titik pertama itu, pembenaran. Pembenaran tanpa tanda tanya.
Pembenaran dengan hati saja, bisa dikata cukup. Namun ia akan menjadi paduan yang elok jika digabung dengan pemahaman akal yang jernih. Seseorang yang telah mampu menggunakan kejernihan akal, maka ia akan sampai pada batu loncatan selanjutnya. Itulah ma’rifah. Sebuah keadaan yang tidak hanya cukup dengan pembenaran membabi buta, namun ada pengujian dan tindak lanjut atas keyakinan yang ia biarkan.
Meski demikian, bukan berarti kita menempatkan akal pada posisi yang sama dengan hati. Sebab keduanya memiliki tingkatan yang berbeda. Akal, meskipun ia sedalam samudra, tetaplah ia dangkal. Dan meskipun ia seluas semesta, tetaplah ia sempit. Akal memiliki keterbatasan. Sedangkan hati tidak. Akal memiliki garis yang jika diterobos malah akan membahayakan dirinya sendiri. Menempatkan akal pada posisinya yang sesuai, dan pada lapangan kerja yang untuknya akal diciptakan, adalah sebuah keharusan. Jika kita memaksakan akal bekerja pada lapangan bathin, celakalah ia. Ia tidak akan mendapatkan ruang yang nyaman dan memuaskan. Namun ia hanya akan menemukan ruang kosong yang menyeramkan, jauh dari keindahan istana raja-raja.
Karena penempatan akal yang kurang pas inilah, banyak sarjana muslim yang akhirnya menjadi “gila.” Awal mula ia ingin menyelidiki hakikat ketuhanan, namun akhirnya ia menafikan adanya Dzat yang bernama Tuhan. Inilah yang menimpah para ahli akal, ahli kalam yang kebablasan.
Memadukan antara fitrah hati dan kejernihan akal, yang akhirnya membawa pada ma’rifat akan membuahkan sebuah konsep amal. Ini berarti, seseorang telah berhasil menjadikan aqidahnya sebagai ideologi.
Sampai di sini, kita bisa mengambil sebuah narasi baru “Dari Theologi menjadi Ideologi.” Theologi disini, kita artikan sebagai aqidah. Bukan yang lain. Meskipun beberapa ahli kalam mendifinisikan theologi sebagai proses pencarian Tuhan dengan mengedepankan akal semata, bahkan menggunakan metoda-metoda Barat, namun pada kali ini kita akan menggunakannya dalam penegertian Aqidah yang para pakar mengartikannya sebagai bentuk pencarian Tuhan dengan jalan menelusuri lautan Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan perpaduan hati dan akal yang masing-masing dalam porsinya.
Pemahaman tersebut kemudian berformulasi menjadi sebuah konsep dan ide yang benar-benar dimasak dengan matang dalam otak sehingga melahirkan sebuah sistem pikiran yang bernama ideologi. Maka jika kita ingin membuat alur maka: hati dan otak mengantarkan pada ma’rifah. Ma’rifah mengantarkan pada keyakinan yang mantap. Keyakinan yang mantap memuat sebuah ide dan gagasan-gagasan hingga akhirnya ideologi lahir.
...
Berlanjut: Theologi, Kejemuhan yang Harus Sirna
Oleh : Mas Ham