KAMMI LIPIA Bersilaturahim ke Al Muzzammil Yusuf



Alhamdulillah telah terlaksana agenda Silaturahim Tokoh (Siltok) KAMMI LIPIA pada Jum'at Sore (24/2).

Pada Siltok kali ini, kader bersilaturahim mengunjungi Ustadz Al Muzammil Yusuf, anggota DPR RI asal Dapil Lampung yang tempo hari sempat viral karena aksinya berorasi di Sidang Paripurna DPR-MPR membela Nurul Fahmi dalam kasus penistaan lambang negara. 

Ditemui di kediamannya di Kalibata, beliau mengapresiasi kunjungan ini dan menyampaikan motivasi kepada para kader agar selalu menjaga semangat dan konsistensi belajar di bidang keilmuan Syariah. 

"Kalian harus bersyukur bisa mendapatkan pengajaran ilmu syariah langsung dari ahlinya dan diatas rata-rata" ujarnya di pembuka. 

Dengan tema "Membangun wawasan Keindonesiaan dalam Bingkai Tauhid" beliau menekankan pentingnya peran tiap da'i dalam alam demokrasi. 

Karena demokrasi, seperti katanya, adalah lahan amar ma'ruf dan amar munkar, semua ideologi mampu berlomba dan bersaing memperebutkan suara. 

"Tiga hal yang harus dimiliki oleh da'i saat ini dalam bersaing di alam demokrasi: pengetahuan (ilmu), manajemen organisasi (amal jama'i), dan komunikasi yang baik", katanya.

Beliau juga menyampaikan pentingnya berani menyuarakan kebenaran, dan agar tidak salah menempatkan tawadhu'. Ikhlas dan tawakkal, tidak memikirkan apakah aksi kita kemudian menjadi viral atau tidak. 

Agenda silaturahim ini ditutup dengan foto bersama.
(rep/basyir)


Aqidah: Titik Tolak Pergerakan Menuju Perbaikan



Menyortir sebab-sebab kebangkitan dan keterpurukan ummat masa lalu maupun sekarang adalah suatu keharusan. Darinya, kita akan menemukan sebuah hasil yang dapat kita jadikan sebagai landasan dalam pergerakan. Landasan yang dibangun dari sebuah studi yang maksimal akan memberikan pedoman bagi generasi saat ini tentang apa yang harus dikerjakan agar kebangkitan itu segera datang, dan apa yang hendaknya dijahui supaya keterpurukan pasca kebangkitan tidak menimpa.

Kita sudah dibuat sakit dan miris dengan keterpurukan ummat hari ini. Jika kita membuat sebuah diagram batang, akan terlihat term yang menurun dan menurun. Jika pun ia naik, ia akan menurun melebihi persentase kenaikan. Begitu terus tanpa ada gejala kebangkitan.

Lihatlah bagaimana dunia Islam dalam lingkup negara. Adakah yang memberikan sebatas senyuman pelipur lara? Jika ada mungkin hanya Turki semata. Namun kita tidak tahu, sampai kapan Turki membuat kita tersenyum sedang kanan-kirinya semakin giat menumbangkannya. 

Kita tak lagi dapat berharap dari dunia Islam yang ada. Masing-masing sibuk dengan koflik saudara. Bahkan dari konflik saudara tersebut berubah menjadi konflik global yang menyeret dunia Islam di sekitarnya. Tak sampai disitu, terlepas dari kepentingan ekonomi internasional, konflik tersebut telah menjadi medan pertempuran global yang menakutnya. Contoh realnya adalah apa yang sedang terjadi di Tanah Syam.

Lain Timur Tengah, lain pula daratan Asia bagian Tenggara dan sekitarnya. Mari kita ambil Burma. sebuah negara dengan pemerintahan otoriter terhadap kaum muslimin. Wanitanya diperkosa. Anak-anaknya diperbudak. Pemudanya dibunuh. Orang tuanya dihina-hina. Sedang, dunia Islam tetap saja diam. Jika toh ia berbicara, hanya sebatas pernyataan keperihatinan semata. 

Indonesia juga demikian. Negara yang katanya mayoritas beragama Islam. Tapi faktanya muslimlah yang minoritas. Ajaib bukan? Sebagaimana Sudan yang akhirnya pecah karena minoritas yang tidak tahu diri. Konflik sesama anak bangsa yang terjadi di Indonesia memang belum mencapai puncaknya. Sebab kita tidak tahu konflik semacam apa yang bisa dikatagorikan sebagai konflik puncak atau klimaks. 

Pertengkaran antara umat Islam dan pemerintah yang ada di Indonesia saat ini, hari demi hari mendatang akan semakin membola salju. Jika tidak segera diatasi ia akan semakin membesar. Besar dan besar hingga kita pun tak kan sanggup memandang dan berucap. Perpacahan di depan mata. Dan ummat Islam di Indonesia belum mempunyai kesiapan yang sesungguhnya.

Konflik yang ada di Indonesia, antara ummat Islam dan pemerintah, merupakan fenomena baru yang luar biasa. Luar biasa karena inilah pertama kali pemerintah berhadapan dengan gelombang ummat Islam dalam skala yang luar biasa besarnya berkali-kali. Meski demikian, pemerintah pun nampaknya belum mau “berdamai”. Terlihat dari tuntutan ummat yang masih digantung antara bumi dan langit. Sikap pemerintah yang demikian, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kemuakan yang terakumulasi. Hingga akhirnya gelora jihad benar-benar ditunjukan ummat Islam.

Sekarang yang patut untuk dipertanyakan, mengapa bisa demikian? Kenapa ummat ini harus terpuruk? Mungkin dari para ahli ada yang memberikan jawaban yang panjang berlembar. Dan mungkin juga ada jawaban singkat sesingkat karakter twittan. 

Dari kemungkinan-kemungkinan jawaban yang ada dibenak kita masing-masing, eloknya kita pilih yang tersingkat saja. Ya, yang tersingkat. Apa itu? Karena Ummat Islam meningalkan Aqidahnya. Silahkan, boleh anda menolak dan membuat jawaban sendiri. Atau anda bersama dengan jawaban di atas. Sekali lagi terserah.

Mengapa kita harus mengangkat kembali masalah aqidah? Bukan syariah dan mu’amalah? Tidak lain karena aqidah adalah awal dari segala keawalan pergerakan manusia. Aqidah menjadi point yang terpenting untuk diperhatikan. Maka tak salah jika 13 tahun dakwah Rasulallah di Makah adalah dakwah penguatan sisi Aqidah. Mulai dari aqidah yang ushul hingga yang furu’, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berusaha agar para sahabatnya paham dengan kepahaman yang dapat dipertanggung jawabkan di hadapan masyarakat dan Allah swt. 

Aqidah merupakan kandungan yang paling intens dibahasa dalam Al-Qur'an. Kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam. Kitab suci yang menyalahkan obor menutup keangkuhan jahiliyah. Kitab suci yang mengajak pembacanya untuk berpikir luas. Kitab suci yang mengharuskan pembacanya untuk mengambil hikmah dan pelajaran. Ialah kitab suci yang berbicara tentang Aqidah. 

Membicarakan aqidah, bukan berarti masuk ke dalam perdebatan theologis yang memusingkan. Bukan juga menyelam dunia filsafat untuk mengetahui makna-makna tersembunyi. Bukan pula berputar-putar pada dialektika ilmu kalam yang seringkali memperkeruh hati dan membekukannya. Tapi, berbicara aqidah adalah berbicara dengan hati dan akal. Mengintegrasikan fungsi hati dan akal dalam berbicara aqidah merupakan kunci keberhasilan dalamnya. 

Hati yang bertabi’at fitrah, meski ia telah tergusur dengan antipati jahiliyah dan kebudayaan Barat, namun ia masih bisa muncul. Tidak akan pernah hilang dari manusia. Bahkan, jika ia kafir pun, fitrah itu akan tetap ada pada diri manusia. Lihatlah tokoh-tokoh yang berislam ketika fitrahnya malah sedang barada di titik terendah manusia. Sebuah titik yang jauh sekali. Sedang kekafiran begitu tebal menyelimuti hatinya. Ambilah contoh Sayidina Umar bin Khattab. Kapan kira beliau berislam dan beriman? Pada puncak kekafiran beliau saat hendak ingin membunuh Baginda Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kekafiran Umar telah menjelma menjadi darah yang mengalir dalam setiap ruang tubuhnya, di saat itu pula kekafiran menumbangkan kepongahan dirinya sendiri. 

Itulah fitrah. Yang tersimpan pada bashirah. Tersimpan dalam hati. Untuk membahas masalah hati, fitrah, dan bashirah ini, kita tak perlu berpanjang angan apa yang dimaksud hati atau bashirah dalam teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kita tidak perlu memperdebatkan apa ia. Apakah ia limpah atau jantung. Apakah ia ini dan itu. Biarkan saja. Perpanjangan kalam dalam urusan yang sepele ini hanya menambah kebekuan hati dan kepongahan naluri.

Dengan hati yang di dalamnya mengandung saripati keyakinan berupa fitrah ketahuhidan, kita akan mencapai pada sebuah batu loncatan pertama dalam keimanan yang disebut dengan tashiq, pembenaran. Kita meyakini Allah, Malaikat, Kutub, Rusul, Hari akhir, dan Qada’ serta Qadar benar adanya. Sungguh nyatanya. Meski mata tak dapat memandang keghaiban. Meski kuping tak mendengar narasi alam ghaib. Namun disinilah titik pertama itu, pembenaran. Pembenaran tanpa tanda tanya.

Pembenaran dengan hati saja, bisa dikata cukup. Namun ia akan menjadi paduan yang elok jika digabung dengan pemahaman akal yang jernih. Seseorang yang telah mampu menggunakan kejernihan akal, maka ia akan sampai pada batu loncatan selanjutnya. Itulah ma’rifah. Sebuah keadaan yang tidak hanya cukup dengan pembenaran membabi buta, namun ada pengujian dan tindak lanjut atas keyakinan yang ia biarkan.

Meski demikian, bukan berarti kita menempatkan akal pada posisi yang sama dengan hati. Sebab keduanya memiliki tingkatan yang berbeda. Akal, meskipun ia sedalam samudra, tetaplah ia dangkal. Dan meskipun ia seluas semesta, tetaplah ia sempit. Akal memiliki keterbatasan. Sedangkan hati tidak. Akal memiliki garis yang jika diterobos malah akan membahayakan dirinya sendiri. Menempatkan akal pada posisinya yang sesuai, dan pada lapangan kerja yang untuknya akal diciptakan, adalah sebuah keharusan. Jika kita memaksakan akal bekerja pada lapangan bathin, celakalah ia. Ia tidak akan mendapatkan ruang yang nyaman dan memuaskan. Namun ia hanya akan menemukan ruang kosong yang menyeramkan, jauh dari keindahan istana raja-raja. 

Karena penempatan akal yang kurang pas inilah, banyak sarjana muslim yang akhirnya menjadi “gila.” Awal mula ia ingin menyelidiki hakikat ketuhanan, namun akhirnya ia menafikan adanya Dzat yang bernama Tuhan. Inilah yang menimpah para ahli akal, ahli kalam yang kebablasan.

Memadukan antara fitrah hati dan kejernihan akal, yang akhirnya membawa pada ma’rifat akan membuahkan sebuah konsep amal. Ini berarti, seseorang telah berhasil menjadikan aqidahnya sebagai ideologi. 

Sampai di sini, kita bisa mengambil sebuah narasi baru “Dari Theologi menjadi Ideologi.” Theologi disini, kita artikan sebagai aqidah. Bukan yang lain. Meskipun beberapa ahli kalam mendifinisikan theologi sebagai proses pencarian Tuhan dengan mengedepankan akal semata, bahkan menggunakan metoda-metoda Barat, namun pada kali ini kita akan menggunakannya dalam penegertian Aqidah yang para pakar mengartikannya sebagai bentuk pencarian Tuhan dengan jalan menelusuri lautan Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan perpaduan hati dan akal yang masing-masing dalam porsinya.

Pemahaman tersebut kemudian berformulasi menjadi sebuah konsep dan ide yang benar-benar dimasak dengan matang dalam otak sehingga melahirkan sebuah sistem pikiran yang bernama ideologi. Maka jika kita ingin membuat alur maka: hati dan otak mengantarkan pada ma’rifah. Ma’rifah mengantarkan pada keyakinan yang mantap. Keyakinan yang mantap memuat sebuah ide dan gagasan-gagasan hingga akhirnya ideologi lahir. 
...

Berlanjut: Theologi, Kejemuhan yang Harus Sirna

Oleh : Mas Ham







Anugerah dan Kebahagiaan






Ku awali syairku dengan "Bismillah"

Agar tutur katanya menjadi berkah

Karena ku tahu syair ini hanyalah kembalian sasa

Jika dibandingkan dengan keagungan kalamnya

-

Dua puluh tahun ku menulis tentang cinta,

Masih saja ku berada di halaman pertama

Sudah berulang kali kucoba jabarkan

Namun dalam cinta, matilah segala penjelasan

-

Kucoba bertanya, “Apa perbedaanku dengan langit?” Jawabnya, "saat kau tertawa, maka ku lupa akan adanya langit"

Jangan mengira bahwa itu sebuah rayuan

Karena yang mengatakan itu teman sesama ikhwan

-

Jika tersenyum kepada kawan mendapat pahala

Lantas bagaimana jika kita tertawa bersama?

Tertawa yang menebar kebahagiaan

Dan tertawa yang menghapus segala kesedihan

-

Jika cinta hanya dikaitkan dengan para akhwat

Maka pasti banyak bujang yang hidupnya tak terawat

Cinta salah satu anugerah terindah bagi manusia

Bukan hanya sekedar sarana tuk bergalau ria

-

Orang yang dirinya penyayang

Maka dia akan disayang sang maha penyanyang

Sayangilah orang-orang di sekitarmu

Maka yang di langit juga akan menyayangimu

-

Ku akhiri syair ini dengan membaca "Alhamdulillah"

Memujinya atas segala karunia yang berlimpah

Jika ada kebaikan datangnya dari sang Rahman

Jika ada keburukan datangnya dari diri Salman

-

Jika kalian bertanya soal kekasih pujaan

Kini dia sedang menunggu di masa depan

Jika ingin bertanya soal cinta yang akan ku bina di masa depan

Maka hanya bisa ku jawab dengan sebuah senyuman

-

Oleh : Salman Al Farisi Basyir
Staff Mekominfo

Idealisme Sebuah Ekonomi : Tirai Bambu atau Tirani Bambu



Sejak dahulu cina memiliki andil dalam arah kebijakan dunia. Terlepas dari perannya yang kadang mengganggu stabilitas dunia ataupun merusak tatanan suatu masyarakat. Berangkat dari kepercayaan sebagai bangsa yang paling tua dan pusat peradaban dunia, china melakukan banyak ekspansi ke masyarakat luar. Tengoklah sejenak bagaimana mongol dan kelakuan dinasti Tang dalam melakukan ekspansi dan penjajahan yang kiranya penulis tak ceritakan secara gamblang.

Tentunya ketika penjajahan yang dilakukan oleh dinasti-dinasti china, faktor ekonomi merupakan urusan terpenting dalam kebijakan mereka. Negri yang mendapat julukan tirai bambu ini, tak ubahnya tirani yang bermodalkan bambu menggemplang ekonomi suatu negara bahkan tak segan-segan menjatuhkan dalam krisis.

Tirani dari negri Bambu begitu sajalah kita sebut, sejak dahulu telah memperlakukan kebijakan ekonomi secara radikal. Pembaharu-pembaharu mereka seperti Sun Yat Sen, Mao Zee Dhong, dan sejenisnya adalah kumpulan radikal yang menjadikan manusia tak ubahnya mesin produksi untuk dapat menghasilkan uang. Ketika tatanan ekonomi yang digagas Mao ze dong atau Mao Tse Tung gagal, jika beralih menjadi komunis yang kapitalis. Bahkan diluar kesadisan negara-negara kapitalis seperti Amerika dan Inggris. Lihat saja bagaimana Cina menyikapi resesi dalam gejolak harga minyak bumi, tengok juga anggaran militer cina yang radikal menyentuh batas bahkan melanggar Zona negara tetangga. Mengkhawatirkan? Tentunya dengan pinjaman berakibat mengerikan cukup “ menenggelamkan” beberapa negara afrika ini.

Ibu Pertiwi juga menjadi target dari sebab radikalisme pertumbuhan Cina. Dengan banyak alasan dan pertimbangan tentunya. Mangsa pasar di Indonesia merupakan lahan yang menggiurkan untuk menyuburkan negara-negara kapitalis tak terkecuali “Tirani bambu”. Para pebisnis turunan Cina begitu flamboyan dan royal mendanai proyek-proyek investasi yang sedang berjalan di Indonesia. Peran 9 naga yang merupakan kepanjangan dari pemerintah “Tirani bambu” memang cukup mengkhawatirkan keberlangsungan ekonomi di negri ini. Jika mengamankan bisnis-bisnis dan kejahatan ekonomi yang telah dan sedang mereka lakukan tentu bukan murni bisnis yang mereka lakukan tapi sebaliknya, menjajah arah kebijakan publik suatu negri.

Ironi memang, ditengah kuatnya ghiroh islam yang sedang merebakan aroma kedamaiannya di pelosok negri. Kroni-kroni 9 naga dan cukong aseng ini melakukan penjajahan yang tak kalah brutal dari Mongol dan Dinasti Tang.

Ahok atau sejenisnya merupakan pion yang melindungi kerajaan bisnis mereka, memukul kepala ular hingga mati bukan tak mungkin akan meruntuhkan eksistensi kedigdayaan ekonomi mereka.

Kita tak perlu avatar untuk memukul mundur mereka, karena kebijakan ekonomi yang Allah gariskan benar-benar akan mampu membangun benteng kekuatan. Tentu dengan syarat persatuan, juga ekonomi yang benar-benar totalitas berlandaskan syariat. Mari melawan naga-naga tirani, karena kita adalah singa Tuhan.


Departemen Ekonomi KAMMI LIPIA

Antara Pengikut Gusdur dan Tukang Gusur


Sudah terlampau lelah kita mendengar dagelan yang tak lucu dari mata sipit penista. Tak banyak yang dilakukan nenek moyangnya untuk negri ini, kehancuran? Tentu iya. Karena kebanyakan orientasi pebisnis china adalah uang.

Gus Dur memiliki pengaruh besar dalam sejarah Indonesia, paling tidak begitu jika ditilik dari jumlah orang-orang yang mengklaim sebagai Gusdurian. Trah keluarga beliau pun bukan trah sembarangan, keluarga Kiai paling dihormati di kalangan NU. Kontribusi Moyang Wahid Hasyim dan keturunan beliau mempunyai kontribusi positif yang besar di Indonesia bahkan jauh sebelum kemerdekaan.

Jika Gus Dur merupakan sosok yang concern dalam membangun manusia-manusia sebagai basis sosial, Ahok cs adalah perusaknya. Bahkan ditambah merusak dan menggusur basis-basis sosial kemasyrakatan. Dalam teori sosial yang masyhur bahwa manusia yang gagal adalah manusia tidak mampu merekayasa kemampuan manusia lain, lalu menghalalkan segala cara untuk memaksa bahkan merusak.

Ahok bukan hanya gagal meyakinkan masyarakat Jakarta yang bahasanya akan direlokalisasi atau dipindahkan tempat. Tapi merusak segalanya. Mindset Ahok sudah sangat konslet dan tinggal dibuang dimana jika tidak segera dilakukan tindakan tegas, maka kekuatan untuk memaksa, merusak dan menggusur akan terus dijalankan. Tentu sangat celaka ditambah membenarkan tindakannya sendiri dengan klaim-klaim pembohong yang urat sarafnya telah putus.

Percayalah jika manusia Indonesia yang konsen dalam ilmu-ilmu tertentu, sudah bulat mengatakan ahok sudah gagal dalam segalanya. Teori sosial paling tidak mewakili bagaimana tindakan Ahok sangat jauh dibanding Gus Dur yang diklaimnya adalah panutannya.

Mari masyarakat Jakarta, buang jauh-jauh wajah penggusur dari pengakuaannya sebagai pengikut Gus Dur. Percayalah, esok hari tetap cerah tanpa tukang gusur.

Departemen Sosial Masyarakat KAMMI LIPIA

Dugaan Makar


Media digunakan sebagai sarana kebutuhan informasi yang penting bagi manusia. Bahkan di zaman yang serba milenia ini, keberadaan dan kebutuhan adanya media sudah menjadi kebutuhan sekunder. Tetapi di negri pertiwi ini, media telah menjadi alat pembusukan, propaganda, dan sarana melanggengkan kekuasaan tirani. Betapa ngerinya jika memang begitu adanya.

Penguasa dzalim ikut campur tangan, begitu mudahnya media-media terkendali sehingga batas kekurang ajaran mereka mengalahkan sihir fir’aun. Bagaimana tidak berita busuk dan islamphobia merambah keseluruh penjuru negri dengan cepat. Citra positif yang umat tampilkan dalam beberapa kesempatan dan juga aksi jutaan manusia di 411 dan 211 Dengan mudahnya dihancurkan oleh media yang didukung penguasa.

Tengiknya tak tanggung-tanggung, mereka mudahnya menuduh muslim radikal dan teroris atau cercaan dugaan makar pun dijadikan headline berita.

Pak Kapolri atau siapapun yang mendukung beliau. Media-media busuk itulah pembuat makar dan penebar onar sebenarnya. Bukan aksi bela Islam atau bela ulama, pun bukan situs-situs Islam yang bermodalkan PC dan koneksi internet. Sungguh kejinya tuduhanmu, dan terlaknatlah urat malumu yang tak mampu memeberikan bukti bahwa kami membuat makar di negri tercinta.

Kasus KTP ganda dan yang terbaru pengiriman dari Kamboja, itulah makar yang tak sekedar dugaan sebenarnya. China-china non pribumi yang ber-KTP Jakarta merekalah makar sebenarnya. Pendukung partai tertentu dari luar daerah yang datang ke Jakarta nantinya pada hari H itulah makar sebeanrnya.

Pembohongan publik istighosah, jambore nasional, dan fitnah media maisntream atas pasangan tertentu itulah makar sebenarnya.

Lidahnya dengan mudah menghina ulama bak pasangan artis mesum itulah hoax sebenarnya.

Menuduh dan memaksa serta mengancam itulah hoax yang haqiqi.

Umat dipaksa untuk buta, untuk tuli, untuk bisu bahkan untuk cacat segalanya agar media kaki tangan setan itu dapat berbuat leluasa.

Bukalah mata anda selebar-lebarnya bahwa indonesia akan digadaikan. Tataplah sejenak dengan mata hati anda, media begitu rapat menutupi kebusukan dan kami dipaksa membisu.

Sekarang, media dan penguasa berjalan beriringan. Setiap aksi di dunia maya dan nyata umat begitu cepat respon dan tindakan pengebirian.

Demi Allah seandainya mereka memotong jari-jari umat islam agar berhenti dari berjihad melawan kejahatan media di maya, kami akan gunakan lidah kami untuk mengetik. Kami tidak akan pernah bisu karena diam atas merebaknya kebohongan media benar-benar identik dengan kematian.





Departemen Komunikasi dan Informasi KAMMI LIPIA


Kutil Babi


Demi menjaga sang tombak pelindung 9 naga, pemerintah dengan agresif memberlakukan kebijakan bak negara komunis diktator. Pemberlakukan media islam yang ketat, membiarkan teroris-teroris ahokers berkeliaran, hingga proses hukum sang kutil babi yang terkesan bertele-tele. Yang terbaru dan tentu bukan terakhir adalah sertifikasi ulama dan khatib.

Protektif yang keterlaluan demi melindungi manusia congak yang tidak pernah berkontribusi positif untuk negri ini tentunya. Ahok begitu dia dipanggil atau entah merupakan nama aslinya, tak lebih adalah “Kutil babi” begitu Habib Rizieq menjulukinya. Maka sebagai manusia yang lebih buruk dibandingkan Luhut Binsar Panjaitan yang serba guna itu, Ahok begitu buruk memperlakukan dirinya dan kepentingannya.

Dalam segala hal, tentunya orang-orang waras enggan mendekati si kutil tersebut, terkecuali manusia berotak udang. Terlalu sering dan begitu gampang statemen dan platformnya rapuh dan rusak. Sehingga menyerang visi misi manusia penista itu sangat mudah. Ditengah-tengah kebijakan negara yang serba amburadul dan rusak, negri ini bertambah gaduh dengan adanya si ahok dan para pendukungnya.

Kabinet kerja tinggal menunggu waktu dibubarkan jika rakyat berada di ujung kemarahan yang memuncak. Hutang negri ini bertambah ribuan triliyun ditambah kebijakan impor pekerja dari china, intinya: amburadul.

Jadi jika si Ahok sang kutil dibiarkan tumbang tentu akan membuat tumbang Luhut dan kroni-kroninya, mak banteng dan kebo-kebonya, jokowi dan kabinetnya serta 9 naga dan rezim tirai bambu. Bisa jadi ahok adalah awal juga akhir itu sendiri. Dari dia rezim china akan menguatkan cengkramannya di Asia tenggara, menjadikan Indonesia tak lebih dari boneka mainan atau sapi yang diperah susunya.

Mengancam Ahok bahkan menumbangakannya berarti kemunduran kroni-kroni dan lingkaran setan. Mungkin memang benar adanya, Setan seperti mereka jauh lebih “ngeyel” dibanding setan dari kalangan jin. Maka tak heran perjuangan panjang dan tenaga beasar dibutuhkan untuk mengalahkan mereka.

Tiada kata selain melawan atas kedigdayaan, karena kebenaran harus diperjuangkan untuk meraih janji kemenangan dari Tuhan.

Dengan dukungan Rakyat serta umat, in syaa Allah harapan perubahan itu kian mendekat.

Departemen Kebijakan Publik KAMMI LIPIA

Jangan Ada Penista di Ibu Kota



Kaum muslimin adalah pemeluk agama yang unik dibandingkan pemeluk agama yang lain. Mereka adalah sekelompok manusia yang tindak-tanduknya setotalitas mungkin memenuhi standar syariat Allah.

Kaum mukminin sadar, bahwa baginda Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- telah lama wafat, begitupun para sahabat dan murid-muridnya dari generasi Tabi’in atau tabi’ut Taabi’in. Bahkan masanya telah berlampau begitu jauh dan tiada lagi berdekatan. Sehingga segala permasalahan hukum-hukum agama islam yang ada merujuk kepada Ulama yang memahami Quran dan Sunnah serta pendapat generasi emas umat ini.

Ulama, merekalah golongan yang paling takut kepada Allah. Yang paling kuat keyakinannya, yang faham atas warisan-warisan ilmu dari Rasulullah.

Allah Ta’ala berfirman tentang kemuliaan mereka:

Innamaa yakhsyaa min ‘ibaadihil ‘ulamaa (Sesunguhnya yang paling takut /khusyu’ disisi Allah adalah para ‘Ulama)

Kedudukan mereka penting, fatwa mereka menentukan, dan ucapan mereka digugu/ditaati. ‘Ulama memang seperti laiknya manusia, akan tetapi ketaatan (baca:kualitas) kepada Tuhannya-lah yang membedakan dibanding manusia-manusia yang lain. Tak heran Fudhail bin Iyadh pernah mewanti-wanti bahwasannya daging ulama itu beracun. Yang maksudnya jika orang-orang ingin mencelakakan ulama, melecehkannya, membunuhnya, maka ketahuilah hal tersebut akan kembali mencelakakannya.

Gus Dur pernah berpesan mengenai masalah ini:

“Memuliakan kiai (ulama) berarti memuliakan-Nya, merendahkan dan menistakan mereka, berarti merendahkan dan menistakan Pencipta-Nya.”
Maka ketika ada manusia sok kuasa, merasa berada diatas segala-galanya dan mencoba membodoh-bodohi ulama bahkan melecehkannya, maka umat akan bersatu melawan. Tiada peduli perbedaan organisasi, partai, harakah, dan sebagainya. Umat akan berdiri bersama melindungi Ulama dan melawan kelaliman yang arogan.

Lebih celaka lagi bahwa manusia peleceh itu adalah kafir, yang bahkan dibenci rakyatnya sendiri. Tidaklah dia mendengar sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- bahwasannya sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang dibenci oleh rakyatnya? Apalagi ditambah kafir dan dzalim.

Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali memperingatkan tentang pemimpin seperti ini:

“Jangan bergaul dengan para pemimpin dan pembesar dzalim, bahkan jangan mendekati mereka karena sungguh semuanya adalah petaka.”
Kekompleksan keburukan seperti terhimpun dalam diri penista ini. Dia yang bukan benar-benar pribumi, dia yang benar-benar penghina, pembual, pemfitnah, penggusur, dan pembuat gaduh negri ini.

Secara garis besar antara dia dan ulama terpaut jauh. Jika ulama adalah penghimpun kebaikan-kebaikan yang berserakan. Maka si penista adalah penghimpun keburukan-keburukan yang bertebaran.

Sedangkan umat berpesan dengan sangat:

“Pemimpin itu diangkat untuk menegakkan agama Allah”

Artinya jika dia tak faham bagaimana mungkin akan menegakan agama Allah, jika dia seorang penista bagaimana mungkin akan mulia?


Departemen Kaderisasi KAMMI LIPIA