Ana adalah ketua di komisariat ini, meski hal itu sudah berlalu
jauh sekarang kini.
Tak bisa kupungkiri, jabatan ini teramat sulit untuk dijalani.
Ada banyak jalan terjal untuk meyakinkan jundi-jundi yang jua sang
tholabul ilmi.
Berat nian rasanya hati ini, tapi kucoba untuk terus meyakini,
bahwa inilah jalan syurga yang harus kulalui.
Kala kendala, rintangan dan hantaman menyergap dari kanan dan kiri,
sendu diri ini kian menjadi-jadi.
Ya Rabb, Laa tatrukni.. (Tuhan, Jangan Tinggalkan Diri ini..)
Ternyata aku-lah yang mendzholimi diri sendiri.
Aku-lah yang sebenarnya yang
tak peduli, Pada jundi-jundiku kini.
Mereka yang rela bercucur keringat dibawah panas teriknya aksi.
Yang rela datang syuro dengan ongkos sendiri.
Yang rela ber-infaq dari kantong sendiri.
Yang rela melantunkan robithohnya dimalam hari.
Yang tak rela saudaranya berlelah-lelah dalam keringat berhari-hari.
Aku menangis dalam sepi, bahwa kelalaianku adalah membiarkan kalian
sendiri.
Membiarkan potensi kalian
tergadai.
Kini, kalian lebih mengerti.
Rasa cinta pada agama ini, pada umat ini.
Aku takan melupakan pelukan eratmu disini, pelukan yang akan
kurindukan kala futur mulai menghinggapi.
Pada keringatmu yang kau cucurkan dalam kegiatan kita.
pada tangan-tangan lemahmu yang menopang dakwah kita.
Pada teriakanmu di orasi-orasi yang bergema.
Pada semua lukisan berwarna pada organisasi kita.
Pada langkah-langkah kuatmu di jalan-jalan Jakarta.
Pada setiap nafasmu yang kau hembuskan di komisariat LIPIA.
Aku menyesal pada kalian saudara-saudaraku,
yang ku kenal hanya sebatas namamu, tidak ku kenal potensimu.
Yang jua tak pernah tercantum dalam diari-diariku.
Berikan ‘afwan untuku, agar aku bisa menumpahkan segala rindu.
Saat-saat bersamamu.
Maafkan aku, yang mengenal hanya sebatas namamu.
*Seperti yang dituturkan melalui Whatsapp oleh salah seorang
mantan Ketum KAMMI Komisariat LIPIA JAKARTA kepada Humas.
EmoticonEmoticon