Bola Salju Masuk Telinga


Suaranya kini sudah bertransformasi menjadi bola salju. Semakin jauh semakin besar membawa informasi yang ingin disampaikan. Telinga yang dipaksa menjadi gawang itu pun sudah siap untuk menerima tendangan suara bola salju. Setidaknya siap untuk menahan meski mustahil untuk ditahan-tahannya. 


Suara itu bukanlah peluruh tajam, ataupun lembaran bom molotof, apoci, roket, rudal balistik, atau sekedar batu yang melesat dari ketapel anak pemburu burung emprit di tengah sawah. Apa gerangan anasir suara itu? 

Setelah diamati dengan seksama, telinga dibuka lebar-lebar, ternyata suara gemuruh bak bola salju itu adalah suara Adzan. Ya, suara adzan. Dari masjid di RT 006, Pak Hadi sudah mengumandangkan adzan. Dari masjid di RT 009 Pak Karman sudah mengumandangkan adzan. Begitu pula terdengar suara adzan dari dusun-dusun sebelah. 

Tentu, suara adzan yang melengking dari pengeras suara yang didirikan kokoh di atas menara, atau sekedar bambu besar nan panjang itu akan membuat sebuah konsentrasi suara yang sangat dahsyat. Telinga-telinga manusia pasti tertembus oleh gelombangnya. Kecuali telinga yang disediakan untuk setan menumpang malam. 

Benar sekali, hampir semua masyarakat mendengar suara adzan tersebut. Apalagi adzan itu adalah adzan Dzuhur. Pas dengan jam istirahat penduduk, atau orang kantoran. Namun ternyata, dentuman gelombang suara dengan frekuensi yang tinggi itu hanya mampu menjebol gendang telinga. Tidak sampai menembus otak. Apalagi sampai menembus qalbu-batin manusia. 

Orang-orang hanya mendengarkannya. Sekeder itu saja. Menganggap biasa. Bagai mendengarkan nyanyian Roma Irama yang berjudul “Darah Muda”, adrenalinnya dibuat tegang. Namun hanya sebatas tegang. Tidak ada tindak lanjut. 

Orang yang istirahat dari sawahnya, hanya menjadikan adzan sebagai pengiring tidur siang. Orang kantor, adzan malah diduakan. Lebih asyik ngobrol ngalor-ngidul (kesana-kemari) dengan teman-temannya di pojok-pojok kantor. Atau di depan kantor di bawah pohon mahoni di samping gerobak tukang somai. Apalagi para buruh pabrik. Cuma beberapa menit saja waktu untuk istirahat. Tidak ada waktu untuk mendengarkan adzan.

Kalaulah adzan saja dibiarkan, atau didengarkan dengan telinga kanan dibiarkan keluar dari telinga kiri, hati akan beku, kaku. Sulit untuk dinasihati. Kemudian konsekuensi dari itu, dia akan meninggalkan sembahyang. Shalat Dzuhurnya tidak sempat, tidak dilaksanakan.

Inilah tragisnya manusia era modern ini. Dulu, zaman kakek-nenek, suara adzan tidak terlalu keras. Mau keras gimana lawong pengeras suara saja belum ada. Paling-paling muadzin manjat menara masjid dan bersuara adzan dengan lantang di atas sana. Itu pun kalau tidak ada angin mencuri suaranya. Kalau ada angin datang, dan arahnya ke hutan, habis sudah. Mana ada masyarakat mendengar suara adzan. Hanya ada monyet, ular, burung serta binatang lainnya. Binatang-binatan itu tidak butuh adzan. Sebab mereka sudah punya cara sendiri untuk bertasbih kepada tuhannya. 

Tapi, meski suara tidak keras. Masjid di kampung masih rame. Anak-anak masih semangat. Bahkan, nenek-nenek pun kuat ke masjid. Tanpa dengar adzan. Mereka hapal waktu shalat berdasarkan insting alami. Atau kalau masih ragu, mereka keluar rumah, berdiri di bawah matahari dan mengamati bayangan mereka. Begitulah mereka mencari tahu waktu shalat. 

Apa gerangan yang menjadi sebab. Apakah saat ini manusia sudah tidak bertuhan, meskipun mereka berislam. Penafsiran macam apa itu. Tidak bertuhan tapi berislam. Atau sedikit dibalik, berislam tapi tak bertuhan. Ah, entah yang mana sebabnya. Yang pasti, saat ini, manusia sudah banyak membuat tuhan tandingan. Ada yang tuhannya adalah bosnya. Sehingga kalau bosnya manggil, dia langsung loncat dari ranjang tidur. Ada yang tuhannya adalah pelanggan. Kalau ada panggilan, anak-istri diabaikan. Atau tuhan-tuhan lainnya. 

Lihat orang di sawah. Fokusnya, bagaimana menjadikan sawahnya hijau, subur, berbulir. Dengan usaha mereka sendiri. Padahal, siapa yang menumbuhkan padi, mengecatnya menjadi hijau, dan mengisinya dengan bulir beras? Tuhan. Allah ta'ala. 

Lihat orang di kantor. Fokusnya, bagaimana dia tidak datang telat ke kantor. Tapi, kalau ke masjid suka masbuk, bahkan tidak hadir, parahnya tidak shalat, menyelesaikan target pekerjaan sehingga manajernya suka pada dia. Dan diberi gaji tinggi plus bonus kerajinan. Pertanyaannya, siapa yang memberi rizki? Manajer, Direktur, ataukah Allah ta'ala? 

Ya.. begitula fakta umat manusia abad 21. Penuh teka-teki. Maunya enak tapi tak mau kerja. Maunya surga tapi tak mau ibadah. Gemuruh gelombang adzan sudah tidak mampu lagi menjebol hatinya. otaknya sudah beku. Hanya dunia-dunia dan dunia, plus sedikit perempuan untuk birahinya. 


oleh : H. A. P ( Kadept Kebijakan Publik KAMMI Komisariat LIPIA )

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »