Tampan. Pintar. Santun. Bangsawan. Itulah gambaran sang Arjuna pencari cinta lakon Ramayana. Permisalan paling cocok buat para bujangan.
Dalam dunia pewayangan Arjuna adalah simbol pria menawan idaman wanita. Ketampanan yang mempesona dihiasi dengan kesantunan unggah-ungguhnya, memukau setiap mata yang meliriknya, ditambah lagi jago di medan perang. Menjadikan setiap wanita klepek-klepek jatuh cinta. Bertekuk lutut dihadapannya. Tidak ada alasan bagi kaum hawa untuk tidak tercuri hatinya.
Tapi itu Arjuna, bukan kita. Arjuna hidup di dunia pewayangan, sedangkan kita berada dalam the real life. Tentu berbeda. Makanya jangan berharap jadi Arjuna. Atau gini aja, kalau kamu bermimpi pingin jadi Arjuna, ambil bantal, berbaring, pejamkan mata.
Itulah sedikit gambaran para bujangan pencari dampingan, kalau bahasa romantisnya 'Arjuna Pencari Cinta'. Panggilan lainnya adalah jomblo yang bagaikan kumbang bebas terbang di alam liar dan hinggap di ranting daun dan bunga yang dinginkan.
Manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Artinya ada kebutuhan lahir dan batin manusia yang hanya bisa dirasakan ketika dirinya menjalin hubungan dengan seseorang. Seperti kasih sayang pengayoman, perhatian, sampai kebutuhan biologis. Dan itu semua bisa terealisasikan ketika sudah ada pasangan disampingnya. Dan yang banyak terjadi di kalangan muda dan remaja saat ini adalah mereka salah dalam menyalurkan fitrah dan naluri berpasangan ini, yaitu dengan pacaran. Atau ada yang bilang HTS (Hubungan Tanpa Status).
Oleh karena itu, sangat wajar jika seseorang akan merasa tentram, damai, senang, tenang ketika bersama pasangan. Sebab, memang manusia tercipta berpasangan-pasangan. Dalam firman Allah SWT yang artinya "dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah" (QS. Adz Dzariyat: 49)
Hidup membujang itu ada dua, antara pilihan dan keterpaksaan. Ada yang membujang karena jodoh belum datang. Sebenarnya hati sudah mantap, mental siap, meteri oke, tapi apalah daya wanita idaman masih di seberang jalan. Ada juga yang memang belum siap secara mental. Materi ada, calon di pelupuk mata, namun belum berani menikah, ya sudah gak bisa dipaksakan. Ada juga yang belum siap materi, lalu bertekad mengejar karir terlebih dahulu. Ada juga yang membujang belum mau nikah tanpa alasan yang jelas.
Apapun alasan kita menunda nikah dan membujang, tafadhdhol. Tapi harus ada orientasi yang jelas, biar penuh makna dan tidak hilang sia-sia begitu saja.
Kita harus banyak belajar pada ahlinya, bagaimana cara mengoptimalkan waktu bujangan? Siapa lagi kalau bukan ulama' kita. Tentu mereka pernah melewati masa masa ini, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang memutuskan untuk hidup membujang. Baik yang sementara maupun yang selamanya. Bukan mereka tidak paham hukum nikah dalam islam, bahkan mereka menulis bab-bab tentang nikah di buku-buku karya mereka. Dan mereka sangat menganjurkan untuk mengikuti sunnah Nabi ini.
Imam Ibnu Jarir At-Thobary (224-310 H), siapa yang tidak kenal beliau? Beliau adalah ulama' pertama yang menulis kitab tafsir klasik di dunia islam yang di kenal dengan Tafsir At-Thobary ( Jami'ul bayan fii ta'wilil Qur'an). Hidup selama delapan puluh enam tahun menghabiskan hidupnya di dunia ilmu dalam keadaan bujang.
Dari karya-karyanya jika dikumpulkan jadi satu dan di bagi dengan umurnya sejak baligh maka akan diketahui bahwa setiap harinya beliau menulis 14 lembar. Beliau adalah ulama' multi keilmuan. Seorang ahli Qur'an, ahli Hadits, ahli Fiqih, ahli Usul Fiqih, ahli Qiroat, ahli Tarikh, ahli Sya'ir, ahli Adab, ahli matematika, ahli kedokteran dengan karyanya yang melimpah ruah.
Suatu ketika Imam At-Thobary berkata kepada murid-muridnya "maukah kalian belajar tafsir?" Mereka menjawab "berapa tebal kitabnya?" Beliau menjawab "tiga puluh ribu halaman". Mereka berkata "itu akan menghabiskan umur kami". Kemudian beliau meringkasnya menjadi tiga ribu lembar, dan mendiktekannya kepada murid-muridnya selama tujuh tahun (283-290 H).
Lihatlah betapa sibuknya beliau dengan rutinitas dan aktivitas di dunia ilmu, sehingga jiwanya menjadi kenyang dengan ilmu dan tidak membutuhkan pengenyang lainnya. Bujangan, tapi berkualitas karyanya jelas.
Ada juga yang menunda menikah untuk sementara, seperti Imam Ahmad bin Hambal. Ibnul Jauzi dalam kitab Saidul Khotir (hal. 177, pasal 121) menyebutkan bahwa Imam Ahmad tidak menikah hingga umurnya genap empat puluh tahun untuk konsentrasi mencari ilmu, saat usianya genap empat puluh tahun Ilmunya dalam bagaikan lautan, karyanya jelas, baru menikah. Bujangan, tapi berkelas karyanya tingkat atas.
Banyak orang yang membujang bahkan memilih untuk membujang. Tapi kualitas masa bujangan mereka tidaklah sama. Ada yang penuh makna, ada yang luntang luntung gak jelas, bahkan ada yang penuh nista.
Maka bagi kalian, wahai Arjuna pencari cinta yang manakah tipe kalian? Isilah masa bujang kalian untuk belajar dan berkarya, supaya menjadi bujangan berkualitas dan dapat istri yang berkualitas terus melahirkan generasi berkualitas.
Umar bin Khotthob ra. pernah berkata "tafaqqohu qobla an tasuudu!" Belajarlah ilmu (fikih) sebelum kalian menikah. Kata tasuudu disini punya dua arti, yang pertama adalah 'menikah' dan yang ke dua 'memimpin'. Karena dengan menikah pasti akan menjadi seorang pemimpin bagi keluarga kita. Dan setelah menikah seseorang akan banyak terhalangi untuk belajar. Umar pun menyuruh umat muslim untuk mengoptimalkan masa lajang kita.
Dan Rasulullah SAW pernah bersabda "gunakan masa luangmu sebelum masa sibukmu". Ketika seorang masih jomblo dia akan bebas terbang bagaikan burung, hinggap di ranting pohon yang dikehendakinya, mengambil semua manfaat yang ada.
Beginilah kira-kira cara mengoptimalkan masa lajang kita. Biar seperti Imam Ibnu Jarir At-Thobary dan Imam Ahmad bin Hambal. Bujangan kelas atas dengan seabreg aktivitas dan karya berkualitas.
Sekarang siapa kita?
Alasan membujang? Gak jelas.
Ilmu? Perlu dipertanyakan.
Karya? Gak punya.
Tampang? Jauh dari dari Arjuna.
Bujangan Luntang Luntung Kurang Beruntung.
Oleh : As Sahirul Wasim - Direktur IDT KAMMI Komisariat LIPIA