SAAT DAMAI KAMI HILANG...
Sejenak saya teringat kampung nyaman nan damai itu
"KAMPUNG KAMASAN" perkampungan yang terletak diantara pegunungan dan
pantai, tepat di daerah Anyer, kecamatan Cinangka kota Serang Banten. Bisa
merasakan kesegaran angin pegunungan, juga bisa merasakan angin senja di
lautan, satu daerah dengan beribu keunikan yang ada, dengan panorama yang tak
kalah indahnya. Disanalah dahulu saya dan saudara-saudara saya di lahirkan,
dari wanita super, bijaksana juga berwibawa. Saya teringat masa-masa itu, masa
dimana yang kini mustahil bisa kembali terulang, masa indah yang selalu saya
sebut dengan sebutan masa surga dunia, itulah masa kecil. Saya dan saudara-saudara
saya adalah seperti rantai yang saling mengikat dan saling menarik tali, agar
ikatan-ikatan itu semakin merekat dan kuat, agar tak terlepas satu sama lain.
Saya dan saudara-saudara saya seperti sepasang sepatu, walau tidak sama, akan
tetapi selalu saling melengkapi. Ketika sepatu kanan hilang, maka sepatu kiri
tidak bisa berjalan sendirian. Dahulu kami hidup di suasana perkampungan yang
elok rupawan dan dengan kebiasaan-kebiasaan unik penduduk perkampungan, dimana
setiap datang liburan sekolah, sungai-sungai kami sungai ci kamasan, sungai ci
ranji dan sungai ci sobong itu ramai oleh sorak sorai, disanalah anak-anak
kecil bermain dan berenang, mencari kepiting batu, mencari ikan, atau sekedar
bermain bersama jajangoan, itu di
setiap senja atau saat selepas asar tiba. Jika di pagi hari, kami lebih senang
untuk maraton atau jalan-jalan pagi ke pantai dengan jalan kaki atau bersepeda.
Selepas subuh buta kami sudah siap-siap dengan perbekalan, biasanya kami lebih
suka membawa nasi liwet, goreng tempe, uyahaseum cangkang dan sebotol air dalam
botol aqua yang sudah usang, setelah melakukan perjalanan, kami akan sampai di
hamparan pasir-pasir pantai yang lembut dengan di sambut deburannya yang
memecah pagi. Sunrise di tepi pantai adalah pemandangan yang tak pernah kami
tinggalkan selama liburan, indah bukan? J, saat mata hari mulai meninggi, tubuh kami sudah basah
kuyup karena bermain air juga ombak, menghindar karang agar tak membentur
badan, bersama tawa juga sorak sorai suara-suara mungil kami, jika terasa
lelah, kami akan bersiap-siap pulang dengan berjalan kaki atau dengan mengojek
dengan seharga seribu limaratusan.
Itu kisah saya di zaman sembilan puluhan kawan, sebuah
kisah yang menjadi sejarah yang kelak akan menjadi dongeng untuk anak cucu.
Dan kini...
Biarlah waktu berjalan sebagaimana mestinya, karena jika
waktu tak berjalan, itu bertanda bahwa tidak adanya kehidupan, biarkan saja
saat waktu berjalan tanpa sesuai harapan, mungkin memang seperti itu yang Allah
inginkan. Perkampungan yang elok rupawan itu, kini sudah pudar bersama waktu,
sungai-sungai kami kering hanya menyisa sedikit air, pepohonan di pegunungan
kami hampir habis di tebang, laut-laut kami yang alami kini berubah menjadi
tempat pariwisata yang ramai orang, pasir-pasir lembut nan indah itu kini di
kuasai orang-orang asing tak di kenal. Kini kami mulai gigit jari, kisah sejarah
indah kami bersama buih ombak itu, telah terhalang oleh tabir yang bernama
waktu.
Tunggu, kami akan kembali,
memungut serpihan-serpihan kejayaan yang telah hilang berserakan, membangun
peradaban, juga generasi yang jiwanya telah lama sempat menghilang.
Oleh : Aneysha Nizwa
EmoticonEmoticon