Untuk Kemajuan Media, KAMMI LIPIA Berkunjung ke Redaksi UMMI





Dalam rangka memperat ukhuwah islamiyah sekaligus study banding, KAMMI Komisariat LIPIA melakukan silaturahmi  ke Majalah UMMI Rabu kemaren (30/ 3). Dengan diprakarsai oleh Departemen Mekominfo, sejumlah pengurus berangkat dari kampus LIPIA menuju Kantor Redaksi UMMI yang beralamat di Jl. Mede Utan Kayu Utara, Jakarta Timur .
Kedatangan KAMMI disambut hangat dan ramah oleh para redaktur Majalah UMMI, hingga kami dituntun masuk menuju aula pertemuan. Di awal sesi para redaktur Majalah UMMI memperkenalkan diri dan kemudian mempresentasikan sekilas tentang Majalah UMMI, mulai dari sepak terjang penerbitan Majalah UMMI yang telah berdiri sejak tahun 1989, hingga sekarang Majalah UMMI dapat menarik ribuan pembaca.
Mbak Mala , salah satu redaktur Majalah UMMI menjelaskan, bahwa bukanlah suatu hal yang mudah, majalah Ummi bisa eksis sampai saat ini, perlu adanya kerja keras. Majalah UMMI selalu rutin mengadakan pertemuan dan survei, membuat perencanaan yang matang, yang tentu tetap berada dalam koridor sebagaimana visi dan misi yang telah ada.
Selanjutnya, Tidak lupa para redaktur Majalah UMMI mengajak staff Mekominfo untuk berdiskusi bagaimana cara menciptakan media cetak maupun online yang baik. Dimulai dari keharusan memahami positioning organisasi di lapangan dan target atau visi misi media yang akan diterbitkan. Kemudian disusul pengembangan kreatifitas konten, design, dan pasaran. "Bisa dicoba magang agar dapat ilmu dan pengalamannya. Tidak hanya di Majalah UMMI, namun bisa magang di media-media lain." saran salah seorang redaktur.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada redaksi Majalah UMMI yang telah menerima kami dengan baik, dan juga sabar dalam menjawab pertanyaan maupun memberi masukan. Di akhir sesi, foto-foto bersama sekaligus pemberian kenang-kenangan dari KAMMI Komisariat LIPIA untuk Redaksi Majalah UMMI. "Terimakasih sudah berkunjung kesini, semoga banyak pelajaran yang bisa di ambil dan bermanfaat." ungkap para redaktur Majalah UMMI.


Antara Indonesia, Pemuda dan AEC

“ Give me just one generation of youth, and I’ll transform the whole world” (Vladimir Lenin) Indonesia adalah tanah surga dengan segala keindahan dan kekayaan yang dimilikinya. Potensi kekayaan alamnya sangat luar biasa, baik sumber daya alam hayati maupun non hayati. Seperti tambang emas dan batu bara, gas alam, hasil perkebunan dan masih banyak lagi. Tapi sayangnya masyarakat pribumi belum bisa menikmati kekayaan Indonesia itu sendiri, karena dominasi asing lebih kuat. Oleh karena itu, pemuda dengan segala potensi yang dimilikinya menjadi salah satu harapan Indonesia ke depan. 

Akhir 2015 merupakan langkah awal penentuan Indonesia dalam persaingan global, terkhusus dalam bidang perekonomian. Tahun dimana mulai berlakunya Asean Economic Community (AEC). Melalui AEC atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) terjadi pemberlakuan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara yang dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Di mana negara-negara tersebut akan mulai menghilangkan tarif dalam kegiatan ekspor impor barang, investasi, tenaga ahli dan jasa. Ini bagai dua sisi mata uang bagi Indonesia. Satu sisi ia menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukan kuantitas serta kualitas produk dan juga SDM. Namun pada sisi yang lain bisa menjadi bumerang jika tidak mampu memanfaatkan kesempatan dengan baik. Indonesia hanya akan menjadi pangsa pasar bagi produk-produk asing. Baik barang maupun jasa.
Kesempatan pembebasan tarif pada AEC hanyalah mencakup tenaga kerja terampil. Ironisnya tenaga kerja terampil yang dimiliki Indonesia masih sangat sedikit. Indonesia tergolong lamban dalam merespon AEC dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain, seperti Thailand yang telah mepelajari bahasa Indonesia sejak 8 tahun yang lalu. 
Akan tetapi, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Inilah yang harus ditanamkan kepada diri pemuda saat ini. Pemuda Indonesia harus bangkit, karena merekalah tulang punggung Indonesia di masa mendatang. Para pemuda harus membuka mindset untuk menjadi produsen bukan sekedar konsumen. Pemuda dituntut lebih kreatif dalam usaha agar dapat bersaing di pasar ASEAN. Pun pemuda juga harus meningkatkan kapabilitasnya dalam bidang keilmuan masing-masing. Pengalaman dan kualitas diri juga sangat diperlukan. Dan yang tak kalah penting adalah penguasaan bahasa internasional untuk memudahkan komunikasi.
Indonesia, pemuda dan AEC adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda tangguh yang siap menghadapi AEC yang telah diberlakukan sejak akhir 2015 kemarin. Pertanyaannya adalah, “Seberapa siap dirimu menghadapi AEC?”.
Oleh : Tazkiya (staf kastrat KAMMI komisariat LIPIA)








HUKUM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB MENURUT 4 MADZHAB

SIAPAKAH WANITA AHLI KITAB ITU ?

     Yang dimaksud dengan wanita ahli kitab adalah para wanita yang beriman dengan agama-agama samawi, yaitu para wanita yang beragama Yahudi danNashrani. Atau dengan kata lain mereka adalah orang yang berimandengan Taurat atau Injil.[1]
Hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah berikut ini yang menceritakan tentang mereka :


أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ
“(kami turunkan Al-Quran itu) agarkamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”(Al-An’am : 156) Yang dimaksud dengan dua golongan di atas adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.


PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Dilihat dari perspektif fiqih terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai hukum menikahi Ahli Kitab. Secara umum para ulama ijma’ tentang bolehnya seorang muslim menikahi wanita ahli kitab. Namun tunggu dulu, ada rincian pendapatnya sebagaimana disebutkan oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili di kitabnya.

Dalil yang menjelaskan tentang bolehnya menikahi wanita ahli kitab ini antara lain.1. Firman Allah ta’ala :

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ“
"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu..”(Al-Maidah : 5)


1.Perbuatan para sahabat

Para sahabat dahulu ada yang menikahi wanita ahli kitab, di antaranya :

- Utsman bin Affan yang menikahiwanita Nasrani bernama Nailah bintu Al-Farafashah Al- Kalbiyyah yang kemudian masuk islam di tangannya.

-Hudzaifah bin Al-Yaman yang menikah dengan wanita Yahudi penduduk Madain.

-Selain itu Jabir pernah ditanya mengenai pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani, maka dia menjawab :“Kami menikahi mereka pada zamanFathu Makkah di Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash.

Alasan dibolehkannya menikahi wanita Ahli kitab antara lain: karena ada hal-hal pokok yang bisa dicari titik temunya, antara mereka dengan laki-laki muslim. Di antaranya : pengakuan adanya Tuhan, iman kepada para Rasul dan hari Akhir serta imam kepada hari pembalasan.

Adanya titik temu dan jembatan penghubung inilah yang pada umumnya bisa menjadi pondasi kehidupan rumah tangga yang lurus. Selain itu diharapkan dari pernikahan tersebut akhirnya wanita ahli kitab tadi bisa masuk islam, karena sebenarnya dia telah beriman kepada Para Nabi dan Kitab-kitab suci secara global.[2]

Jika ada pertanyaan apa hikmah dibalik dibalik dibolehkannya seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab sementara tidak sebaliknya?

Jawabannya adalah bahwasanya seorang laki-laki muslim yang kuat iman dan agamanya, cenderung tidak akan terpengaruh oleh keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan istrinya. Sebaliknya jika suami seorang non-muslim maka dikhawatirkan dia akan mempengaruhi istrinya yang muslimah dengan agamanya.Sebab tabiat seorang wanita itu cepat menurut kepada suami dan mudah dipengaruhi. Sehingga hal ini menyebabkan rusaknya akidah dan perasaannya.

Meskipun para ulama –sebagaimana yang disebutkan diatas- membolehkan melakukan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, namun harus diketahui bahwasanya mereka bersepakat juga tingkat kebolehannya itu berada pada tingkatan Makruh. Yaitu ketika dikerjakan tidak mendapatkan apapun namun ketika ditinggalkan mendapatkan pahala.[3]

Berikut rinciannya :

1.Wanita Ahli Kitab Kafir Dzimmi[4]a.Jumhur Ulama yang terdiri dari Ulama Madzhab Hanafi, MadzhabSyafi’i,berpendapat makruh menikahi wanita Ahli kitab.b.Sedangkan Madzhab Hanbali berpendapat bahwasanya menikahi mereka itu menyelisihi amalan yang lebih utama(khilaf al-aula).[5]

2.Wanita Ahli Kitab Kafir Harbi[6]a.Ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya harammenikahi mereka jika mereka berada di negeri kafir(darul harbi), kerena bisa membuka pintu fitnah.b.Sedangkan menurut Madzhab Maliki dan Syafi’i hukumnya makruh.c.Dan menurut Madzhab Hanbali hukumnya menyelisihi amalan yang lebih utama(khilaf al-aula).

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, harus diperhatikan bahwasanya menikahi wanita ahli kitab, terutama harbiyyahpada kenyataannya terdapat bahaya sosial, agama dan negara. Antara lain :

-Tidak menutup kemungkinan mereka akan membocorkan rahasiaummat islam ke negara asalnya.

-Terdapat kemungkinan anak-anak akan terpengaruh oleh akidah mereka dan adat-adat non-muslim.

-Menyebabkan madharat bagi para muslimat. Karena jika banyak laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab akan banyak muslimah yang tersia-siakan karena sedikit yang menikahi mereka.

-Terkadang banyak dari para wanita ahli kitab yang akhlaqnya menyimpang, contohnya :

o Al-Jasshas meriwayatkan dalam tafsirnya bahwasanya Hudzaifah Ibnul Yaman menikahi wanita Yahudi, lalu umar pun menulis surat kepadanya agar dia menceraikannya meskipun alasannya bukan karena hal tersebut diharamkan tetapi khawatir wanita tadi memiliki perangai buruk (bukan wanita baik-baik).

o Diriwayat lain juga disebutkan jika alasan Umar memerintahkan hal tersebut adalah khawatir nanti orang-orang islam lain banyak yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Hudzaifah. Sehingga banyak orang yang menikahi wanita ahli kitab karena kecantikannya, sehingga mereka menjadi fitnah bagi wanita muslimah, karena banyaknya laki-laki muslim yang lebih memilih wanita ahli kitab dibandingkan wanita muslimah.[7]

Pendapat Madzhab Syafi’i 

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwasanya Madzhab Syafi’i berpendapat sama dengan Jumhur Ulama tentang Makruhnya menikahi wanita ahli kitab. Namun dalam Madzhab ini terdapat syarat-syarat sehingga hukumya menjadi makruh, dalam artian ketika tidak memenuhi syarat tersebut maka hukumnya pun akanberubah menjadi haram.
Syarat yang dimaksud adalah wanita ahli kitab tadiharus berasal dari keluarga yang masuk ke dalam Yahudi atau Nasrani sebelum ajaran mereka diselewengkan. Artinya mereka harus berasal dari Ahli kitab yang tidak menyelewengkan ajarannya.Jika dilihat di kenyataan maka akan sangat sulit bahkan mustahil kita dapatkan ahli kitab yang seperti ini. Sehingga secara tidak langsung madzhab Syafi’i mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab untuk konteks saat ini.[8]

Dan jika konteksnya sebagai orang Indonesia maka pendapat inilah yang dipilih oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan ditetapkan sebagai keputusan Fatwa Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama, dimana isi dari fatwa itu menetapkan :

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurutqaul mu’tamad,adalah haram dan tidak sah.[9]

( Bersambung..... )

Oleh : Tajun Nashr Ms. ( Kader Domisioner KAMMI Komisariat LIPIA )
________

[1]Dr. Wahbah Az-Zuhaili,Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6653
[2]Dr. Wahbah Az-Zuhaili,Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6654
[3]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2 hal 101
[4]Yang dimaksud dengan kafir dzimmiadalah orang kafir yang tinggal di negara islam dan mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin.
[5]Yang dimaksud dengankhilaf al-aulamerupakan salah satu tingkatanmakruh namun lebih ringan dari makruh. Yaitu jika perbuatan ini dilakukan tidak berdosa, tetapi jika dia meninggalkan perbuatan itu dan melakukan yang lebih utama(aula)maka dia mendapatkan pahala. Contohnya meninggalkan amalan sunnah seperti sholat dhuha itu hukumnyakhilaf al-aula,tidak berdosa tetapi tidak sampai pada tingkatan makruh.
[6]Yang dimaksud dengan kafir harbi adalah orang kafir yang berasal dari negara kafir yang memerangi ummat islam
[7]Dr. Wahbah Az-Zuhaili,Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 9 hal. 6656
[8]Lihat :Mughni Al-Muhtaj.jilid 3 hal. 187 dan seterusnya,Al-Muhaddzabjilid3 hal. 187.
[9]Lihat Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama


Alat Pembuat Miskin


Jika anda penikmat serial kartun Doraemon, pasti sudah tidak asing lagi dengan ‘kesaktian’ Doraemon yang suka mengeluarkan alat-alat mutakhir dari masa depan, seperti alat pembuat hujan, alat pembuat awan dan lain-lain yang ia ambil dari kantong ajaibnya. Tapi sehebatnya doraemon, tidak pernah sekalipun mengeluarkan alat pembuat miskin. Entah karena tidak mampu melakukannya atau memang sengaja tidak diciptakan oleh si pembuat serial kartun tersebut.

Kembali ke judul tulisan saya, alat pembuat miskin. Apakah alat ini benar adanya atau jangan-jangan hanya hayalan belaka gara-gara kebanyakan nonton Doraemon ?! Untuk menjawabnya mari kita simak contoh kasus sederhana di bawah ini:

Bank mempunnyai uang sebanyak 900.000 kemudian meminjamkannya kepada tiga nasabah; si Nana, Nini dan Nunu, masing-masing mendapat 300.000 dengan bunga 10%, berarti semua nasabah harus mengembalikan uang pada waktu yang telah ditentukan sebesar 330.000 (pinjamnan pokok sebesar 300.000 ditambah bunga 10% dari 300.000 yaitu 30.000). Jika dijumlahkan, 330.000 dikali 3 orang sama dengan 990.000. Kita asumsikan si Nana dan Nini mampu melunasi hutangnya; 330.000 dikali dengan 2 sama dengan 660.000. Sekarang uang yang beredar hanya tinggal 240.000 (900.000-660.000), dan itu milik si Nunu, kurang 90.000 lagi untuk melunasi hutangnya. Pertanyaannya, dari mana munculnya angka 90.000? Inilah riba, kelebihan uang yang harus dibayarkan dari pokok hutang. Seharusnya angka ini tidak pernah ada, karena pada kenyataannya uang beredar hanya 900.000. Dikarenakan uang yang harus dibayarkan melebihi jumlah yang beredar, maka sudah pasti si Nunu tidak dapat melunasi hutangnya. Apa yang terjadi kemudian? Bank menyita rumah (aset) si Nunu, hilanglah rumah satu-satunya yang dimiliki dan ia pun menjadi miskin. Inilah yang saya sebut sebagai alat pembuat miskin; sistem riba. Dengan berlaga bak pahlawan; membantu dengan memberikan pinjaman uang, namun pada akhirnya mencekik tanpa ampun.

Begitulah gambaran sederhana bagaimana sistem riba (bunga) dengan dukungan lembaga-lembaga keuangan ribawi berjalan. Dalam perkembangannya sistem ini akan melahirkan tatanan hidup baru yang sering kita dengar dengan ungkapan “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.” Bagaimana ini bisa terjadi? 

Hal ini dapat kita pahami dengan mudah, terutama pada saat kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) diterapkan. Dalam keadaan ini, si kaya akan memperoleh suku bunga yang sangat tinggi. Sementara itu, karena modal menjadi sangat mahal, si miskin tidak dapat meminjam uang dari bank dan menjalankan usaha atau seperti kasus di atas tadi; si miskin tidak dapat melunasi hutangnya sehingga menyebabkan asetnya tersita. Akibatnya, ia akan jauh tertinggal di belakang si kaya. Dan jadilah yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. 




Oleh: Kasyaf (Mahasiswa Fakultas Ekonomi Islam LIPIA)