Banjir itu salahmu

Banjir di Ibukota, salah siapa?

Seakan tak pernah berhenti negeri kita ini di singgahi oleh musibah bencana alam, sebulan penuh kemarin kita disibukkan dengan air yang hampir menggenang di seluruh ruas jalanan Ibukota. Dan tak hanya di Ibukota saja, banjir juga merendam rumah warga di Manado, Pati, dan Subang.

Pasca duka kita semua dengan musibah banjir kolektif ini, menyusul musibah letusan gunung Sinabung januari lalu, belum usai duka kita di tanah Karo sana, Gunung Kelud pun memuntahkan lahar panasnya.

Astaghfirullahal ‘adzim.
Balik ke judul kita : Banjir di Ibukota. Saya akan sangat bingung kalau disuruh untuk menyalahkan siapa atau apa penyebab musibah rutin di Jakarta ini. Tapi setidaknya kita bisa menyingkap awal mula musibah ini.

Hukum kausalitas akan berlaku pada setiap indivindu maupun golongan-umat, siapa yang melakukan –kebaikan atau keburukan- ia juga yang akan menuai hasilnya. Jakarta banjir, jelas ada penyebabnya, sejenak kita melangkah kebelakang dan menengok sejarah banjir di wilayah Ibukota ini.

Dahulu Jakarta pernah di kenang indah dengan julukan Queen Of The East atau Ratu dari Timur, tapi Jakarta juga dianggap sebagai kuburan orang-orang belanda, karena sangat banyak yang meninggal karena musibah banjir ini.
Pada masa itu 1932 hujan turun selama dua hari dua malam, dengan curah mencapai 150 mm, menyebabkan banjir besar. Akibatnya banyak penduduk yang terpaksa naik ke atap-atap rumah, menunggu air surut. Sejumlah kendaraan mogok di tengah jalan yang terendam setinggi lutur orang dewasa.

Upaya dari pihak Balanda sendiri adalah membangun proyek raksasa yang diharapkan jadi cara ampuh mengatasi banjir yaitu Kanal Banjir Timur (KBT), hasilnya pun nihil, dan faktanya banjir tetap saja bandel, sampai kekuasaan Jakarta sempat diambil alih oleh Jepang pun Banjir di Jakarta tetap saja tak teratasi.
Hingga pemerintahan Ibukota ini jatuh ke orang pribumi, banjir di Jakarta masih saja bandel, sebut saja mereka yang pernah menjadi Gubernur di Jakarta : Henk Ngantung, Ali Sadikin, Tjokropranolo, R Soeprapto, Wiyogo, Surjadi, Sutiyoso, Fauzi Bowo, hingga Joko Widodo.

Bang Ali (Ali Sadikin) yg dianggap sebagai gubernur paling hebat, legendaries, ternyata juga kewalahan mengatasi banjir. Pada zamanya ada rencana pembangunan proyek Kanal Banjir Barat (KBB), ini diharapkan dapat mencegah sekaligus mengatasi banjir. Tapi sayang, proyek ini hanya tinggal rencana, tak terlaksana.
Tahun demi tahun banjir yang melanda Ibukota kian meluas dan bertambah parah. Saat banjir besar tahun 2002, kemudian 2007, dan 2013, hingga tahun ini, daerah Ibukota yang kebanjiran semakin meluas. Tentu saja karena tata ruang kota yang telah berubah. Dari hulu (Puncak Bogor) hingga hilir (Pusat Kota) sudah berdiri ribuan atau bahkan jutaan bangunan tinggi.
Dari hutan pohon berganti menjadi hutan beton. Ini sudah mengikis daerah resapan air, di samping juga sawah-sawah dan danau sebagai penampung air hujan yang telah lenyap tanpa bekas. Jadi, begitu mudahnya air hujan menggenang dan merendam wilayah Ibukota. Kini, -pada musim penghujan- Jakarta laksana kolam besar.

Semua salah siapa?

Lagi-lagi fakta sejarah yang menjawabnya, kesalahan pertama dilakukan oleh Gubernur Jakarta tempo dulu : Batavia, yaitu JP Coen. Ada yang beranggapan musibah banjir yang melanda Jakarta sekarang adalah ‘takdir sejarah’ akibat kesalahan JP Coen yang membangun kota ini di dataran rendah, di bawah permukaan laut. Coen-lah yang mengawali pembangunan kota Batavia setelah berhasil merebut kota ini dari kesultanan banten pada 1619.
Kesalahan selanjutnya, kita lebih sering mengutuk hujan dan banjir ketimbang mensikapinya secara positif. Padahal hujan adalah anugerah Tuhan yang membawa berkah dan banjir pun mengandung hikmah. Dan kesalahan yang sering nampak oleh kita adalah kita sebagai penduduk Ibukota sudah selayaknya menjaga kelestarian sungai-sungan yang ada, dengan tidak mendzalimi sungai yang selalu saja dikikis oleh pondasi rumah-rumah, termasuk juga dengan tidak membuang apa pun di sana. Apa jadinya jika pintu air dipenuhi oleh barang-barang atau sampah yang kita titipkan di sungai, dan ternyata mengakibatkan tersumbatnya aliran di pintu air yang kemudian dengan mudahnya air meluap ke permukaan, menyebabkan banjir dan banjir.

#IBNU IRRAWAN --@ibnui_ 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »