Baru beberapa hari yang lalu kesunyian suara santri dalam pergerakan pemuda berakhir sudah. Sekitar seribu santri dari seantero Majalengka memutuskan untuk mengakhiri ‘diam’ mereka selama beberapa dekade dalam kancah pergerakan kaum muda Indonesia, lalu menggalang kepercayaan diri untuk maju kembali ke pentas peradaban. Termasuk saya, (Pondok Kami diundang sebagai tamu Kehormatan di Kongres itu, mewakili Kabupaten Kuningan dan sekaligus delegasi Pesantren ‘modern’) kami berkumpul di Pondok Pesantren Nurul Barokah, di puncak bukit, di bawah kabut nan tebal, di sekeliling dataran tinggi; di situlah mimpi untuk menyatukan gerak dan langkah santri salaf telah dicetuskan. “Kongres Santri I”, begitu kami menamainya.
Saya setuju kenapa Majalengka jadi tempat yang cocok untuk mengumpulkan santri salaf dari penjuru Wilayah III jawa Barat, Kenapa?
Jawabannya sungguh membuat saya puas, begini: Majalengka adalah saksi bisu yang telah menyaksikan gegap gempitanya kongres-kongres Ulama dan Santri di masa juang dalam merintis kemerdekaan negeri Indonesia. Majalengka yang permai itu adalah tempat lahirnya pejuang-pejuang ulama yang menorehkan tinta emas di setiap inci permukaan tanahnya; Lahirnya Ormas Persatuan Umat Islam, Kongres Ulama Nasional pasca Perjanjian Renvile, juga Ibukota Peradaban Pesantren Salaf yang setiap kilometernya dihiasi Pesantren-Pesantren , lengkap dengan Kyai, Santri ,juga ikon intelektualnya; Kitab Kuning. Ini tidak berlebihan, coba kawan datang ke Majalengka, dan lihat setiap kilometernya tidak sepi dari plang-plang Pesantren Salaf yang usianya relatif telah senior.
Maka kongres Santri di hari Selasa – Kamis, tanggal 17-19 Desember 2013 itu jadi langkah besar agar santri kembali jadi pemeran terpenting untuk mengembalikan kedigdayaan identitas muslim sebagai pewaris sah kejayaan kerajaan-kerajaan Islam tempo dulu.
Hari-hari itu , Para Kyai dan Asatidz yang notabenenya Para Pengurus Nahdlatul Ulama dan Persatuan Umat Islam memberikan pada santri pemahaman-pemahaman lewat sisi sejarah yang dikemas melalui seminar dan dialog interaktif. Hadir pula beberapa Tokoh Partai Islam untuk mempresentasikan Kewajiban santri agar siap terjun ke dunia politik. Karena santri punya peran penting dalam sejarah Perpolitikan Indonesia; Lahirnya Masyumi yang fenomenal dibidani oleh Santri, lahirnya Resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari menggelorakan Santri untuk turun di lorong-lorong gelap, bergerilya ria melawan Sekutu; dan akhirnya Santri yang baru belajar senjata mengalahkan Pemenang de facto Perang Dunia II.
Santri punya kiprah mengagumkan yang membuat dunia berdecak kagum.
Kiprah Pesantren Mengukir Sejarah
Dalam beberapa kesempatan di Kongres tersebut, hadirlah seorang Pakar Sejarah otodidak dari Bandung, namanya Abah Kusno, beliau dengan serta merta mengisahkan pada kami betapa saat-saat Indonesia Berjaya sebelum kedatangan Portugis, Pesantren adalah sekolah Resmi negara. Para Sultan belum disebut Sultan jika belum menunaikan kewajiban pendidikannya di Pesantren. Anak-anaknya pun belum bisa disebut pangeran jika belum menamatkan pendidikan dasar Pesantren.
Pesantren adalah identitas intelektual Nusantara, lambang intelegensi rakyat Indonesia di mata Dunia Islam saat Pemerintahan Islam terbesar berpusat di Istanbul; Dinasti Utsmaniyah. Orang Indonesia pada masa itu menjadi perwakilan Asia Tenggara dalam majelis-majelis Ilmu Di Kota Mekah, bahkan sebagiannya menjadi Guru besar di sana ; Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Machfud Termas dan Grand Syaikh Indonesia lainnya yang pernah jadi Imam besar Masjidil Haram, tempo dulu.
Zaman itu, ulama adalah Menteri, Menteri adalah Ulama. Kyai adalah Hakim, Hakim adalah Kyai. Setiap kerajaan Islam -entah itu Demak, Goa Tallo, ternate Tidore dan kawan-kawannya- berlomba-lomba mendatangkan Para Ulama dari berbagai negeri untuk mengajarkan pada rakyatnya tentang agama Islam, Para Umara’ mengundang para Grand Syaikh yang jauh dari lain pulau untuk dilantik menjadi Qadhi guna membantu Para Raja memutuskan Perkara di antara rakyat-rakyatnya. Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, begitulah motto Rakyat Minang saking mengakarnya Syariat Islam sebagai hukum dan adat istiadat masyarakatnya.
Jika di Jawa pondok pesantren disebut Pesantren, maka di Aceh disebut Dayah. Jika di jawa Sang guru disebut Kyai, di Negeri Sunda rakyat menyebutnya Ajengan, di Nusa Tenggara disebut Tuan Guru, Di Minangkabau dipanggil Tuanku. Adapun Santri juga begitu, di jawa memang disebut Santri, namun di Sumatera masyarakat menyebutnya dengan nama ‘Paderi’. Itulah mengapa kemilau Sejarah fenomenal Perang Paderi dikenang Indonesia sebagai salah satu perlawanan terhebat sepanjang sejarah melawan Belanda dan Sekutunya.
Kebangkitan Santri
“Saatnya mempertegas peran santri dalam mendukung peradaban Indonesia”, kira-kira begitulah pernyataan KH. Imadul Haq membuka dialog interaktif dengan tema “Mempertegas Eksistensi Santri dalam memajukan Peradaban yang Makmur”. Hampir terkubur di pengetahuan Indonesia, bahwa Santri dalam dunia Relasi Internasional adalah seorang Diplomat yang unggul, kata-katanya memengaruhi siapa saja, gaya bahasanya yang ‘nyastra’ begitu memesona , sehingga orang-orang yang diajak berdialog akhirnya terkesima dan menerima usulan-usulannya.
KH. Agus Salim namanya, diplomat yang membuat kagum Van Mook, tokoh politik Belanda. Suatu hari dalam sebuah dialog antar delegasi Indonesia dan Belanda, Pada awalnya Van Mook lah yang menguasai dialog, namun di akhir cerita , seluruh peserta musyawarah ternganga mendengar penjelasan singkat dan hebat dari KH Agus Salim, seorang santri didikan sekaligus kawan dari HOS Cokroaminoto, Pendiri Syarikat Islam yang digelari Belanda “Raja tanpa Mahkota” yang juga santri.
Sebut juga Buya HAMKA, yang kedua novelnya kini sudah difilmkan, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, juga “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, Di perkumpulan para penyair, beliaulah bintangnya. Di perkumpulan para Mufti, beliau adalah sumber inspirasinya, di perkumpulan para politisi, beliau adalah guru besarnya. Tak seorang pun di masanya yang meragukan bahwa BUYA Hamka adalah hadiah besar yang pernah menyemai banyak karya –sastra maupun keteladanan- bagi segenap warga negara.
Siapa tak mengenal Fatahillah? Sang Pembuka Batavia dari kuasa Jajahan John Pieterzon Coen manusia Portugis itu? Dalam buku sejarah, namanya pasti terukir. Sekadar membahas lebih dalam, beliaulah Santri dari Cirebon yang mendapat mandat dari Kesultanan menjadi Panglima Militer tertinggi untuk menaklukkan ibukota: Batavia, Sunda Kelapa, Jayakarta, Jakarta. Apapun namanya. Fatahillah diangkat menjadi Panglima sepulang beliau menuntut ilmu di Jazirah Arab selama beberapa tahun. Mengapa Pulang dari Mekkah malah diangkat jadi Panglima Perang? Jangan berpikir sempit kawan, di sana Fatahillah mempelajari Ilmu agama yang berwarna-warni, dan satu ilmu khusus yang ia pelajari di sana; Ilmu Perang, Ilmu Gerilya. Kembali ke Nusantara, jadilah Kyai yang berfatwa di atas kuda, jadilah Muballigh yang
berdakwah lewat senjata, melawan Penjajah.
Dari kacamata sejarahlah, salah satu alasan kuat bagi santri untuk kembali bangkit dan mempelajari segala hal; diplomasi layaknya Agus Salim, Sastra seperti Buya Hamka, politik seperti Wahid Hasyim, Jurnalisme seperti Natsir, perdagangan serupa KH Omar Said Cokroaminoto, bahkan militer : seperti Fatahillah.
Santri di Mata Negeri; Hampir Termarjinalkan
“Pernah saya menghadiri Pertemuan Pesantren se-Nasional. Hari itu memberi kesimpulan pada kami: bahwa dari 70.000 Pesantren yang ada di Indonesia, 50 persen tak lagi terurus, bahkan terancam runtuh. Negara tak mengakui keilmuan santri dan memprogramkan padanya paket-paket pendidikan yang memusingkan. Sebenarnya bukan salah negara. Santri-lah hari ini yang terkungkung dengan opini ciptaan penjajah, santri mengangguk ketika dikatakan pada mereka; kamu di desa saja, kamu tak usah berpolitik, kamu belum jadi santri kalau belum kena kudis. Bangkit! Bangkit! Itu opini buatan penjajah yang entah mengapa kalian malah mengangguk setuju….”, seperti itu kutipan pidato KH. Imadul Haq yang juga Anggota DPP PKB.
Ikon santri yang dulu gagah perkasa, nampaknya kini sedang dirundung nestapa yang berat. Walaupun Belanda sudah hengkang dari negeri ini. Warisan mindsetnya masih saja menggema di akal-akal pribumi. Termasuk dalam mengejawantahkan nama santri; identik dengan kata lemah, asing, tertutup, kusut dan idiom-idiom buruk lainnya. Santrinya sendiri malah mengangguk, mengiyakan. Lengkap sudah Penjajah mengeksploitasi pikiran Rakyat Indonesia. Belandanya sudah pulang, mindsetnya masih berlalu lalang.
Maka di akhir Kongres, KH. Imadul Haq mengorbitkan pada kami sebuah mindset baru. Bahwa hari ini dan seterusnya, santri harus menguasai 3 Kitab; Kutubul Ashfar (kitab Kuning), Kitab Putih, dan Kitab Abu-Abu.
Filosofinya bukan sekadar warna, maknanya dalam.
Kitab Kuning, dalam bahasa Arab berarti Kitab Al-Ashfar. Jika dirunut ke akar kata, maka akan menemukan dari kata ashfar menjadi kata Shifr bermakna: nol. Kitab kuning memang selalu jadi kurikulum wajib bagi santri untuk memahami agama. Terlepas dari apakah warnanya masih kuning atau sudah dicetak dengan lembar putih, dalam metodenya, Santri harus berusaha memahami dan mengharokati setiap kata di Kitab Kuning –yang berisi huruf Arab gundul- menjadi sebuah pemahaman sempurna. Pemahaman yang mengantar pada keluwesan cara berpikir. Hal itu jelas tidak bisa instan, harus memulai dari nol. Nol menuju seratus.
Kitab Putih, beliau menafsirkannya sebagai; santri harus menguasai ilmu-ilmu kauni, ilmu alam, ilmu tata geografi, hitungan dan ilmu pasti lainnya. Pernah ada seorang santri yang ahli berfatwa, ahli berceramah, namun seorang Petani Jagung bertanya bagaimana cara mengolah jagung sebenarnya, bagaimana kaidah-kaidah ilmiahnya. Sang santri diam, tak selipat kalimatpun terucap. Karena itulah kebutuhan para Santri tentang Ilmu Alam adalah; sangat mendesak.
Jika di masyarakat terbit tentang Ilmu Ekonomi, maka santri wajib memahami kaidah Adam Smith dan merekonstruksinya dengan versi Ekonomi Syariah, Santri tak boleh ketinggalan perkembangan pasar Saham, bagaimana Bursa Efek berjalan. Begitulah seharusnya, dan begitulah seterusnya.
Terakhir, Kitab Abu-Abu. Bukan berarti Kitab berkertas buram. Samasekali bukan. Yang beliau Maksud dengan abu-abu adalah; segala sesuatu yang samar. Yaitu: Politik, Pemerintahan, Birokrasi. Sampai hari ini, hal-hal terkait dengan itu berwarna abu-abu, banyak orang tidak baik yang menguasainya, sementara orang shalih ketika berusaha masuk dan mengubahnya malah dicap tidak paham syariat. Santri harus memahami makna sebenarnya, bahwa Politik adalah seni kemungkinan, dalam bahasa Arab disebut siyasah; Ilmu mengatur Siasat, Imu memimpin – itulah mengapa Supir Kereta Kuda di Bandung disebut Sais, artinya memimpin.
Jika bukan seorang faqih yang memasuki arena politik, siapa lagi? Jika orang – orang yang paham kriteria pemimpin dambaan Islam malah bertengger di bilik-bilik masjid sembari memutar tasbih, maka siapa yang akan menyumbang suara kebaikan di panggung legislatif? Para Cukong? Rentenir? Perampok?
Maka tugas santri adalah memutihkan arena itu, bukan malah menambah kelam. Seni kemungkinan bernama Politik itu haruslah diisi dengan kemungkinan-kemungkinan yang baik, bukan kemungkinan yang merusak.
Begitulah kesimpulan dan garis besar Kongres Santri yang mengumpulkan 1000 santri kemarin. Kita memang tidak tahu apa yang terjadi pada Bangsa Indonesia di hari depan, namun yang kita yakini, pengisi masa depan haruslah lebih baik dari masa ini. Kita memang tidak bisa memprediksi baik tidaknya situasi Negeri ini di masa depan, namun kami yakin bangsa ini akan mengingatnya; Santri telah mengumpulkan ‘ruh’ nya dan bersiap memaknai masa depan dengan seruan serentak : Kitalah Solusinya!
EmoticonEmoticon