“Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk (Rusyd), dan Kami telah mengetahui dia.” (Al Anbiya: 51)
Berikut episode kedua dari serial keteladanan dari seagung manusia.
Panutan dan ayah para nabi. Darinya mengalir manhaj dakwah risalah yang
kokoh, dikarenakan kuatnya rasionalitas yang Allah swt. anugerahkan
padanya mampu dipadu padankan dengan kesucian dan keagungan wahyu Allah
swt. Yang akhirnya melahirkan hujjah peruntuh akidah materialisme &
paganisme.
Jika pada episode pertama Allah swt. mengisahkan bagaimana ia
menggunakan ‘penglihatan’ sebagai wasilah penyadaran kaumnya yang
menyembah berhala. Ketika ia berkata kepada mereka: “Apakah kalian
melihat nenek moyang kalian menyembah berhala?”
Maka pada potongan ayat kedua ini, Allah swt. kembali menceritakan
bagaimana strategi dakwah beliau ditambah kekuatan dan ketepatan hujjah
(argumen) yang dimiliki Nabiyullah Ibrahim as. sekali lagi berhasil
meruntuhkan akidah paganisme tatkala mereka saling berhadapan.
Mari baca firman Allah swt. ini dengan seksama:
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”. Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”.
Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?”. Ibrahim
berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah
menciptakannya: dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti
atas yang demikian itu”. “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.”
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong,
kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka
kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah
yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”.
Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”. Ibrahim
menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. Maka
mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata: “Sesungguhnya
kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”.
Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata):
“Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala
itu tidak dapat berbicara”. Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu
menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat
sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?”. Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?.
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiyaa’: 52-70)
Jika kita mencermati dengan seksama potongan kisah dakwah Ibrahim as.
kepada kaumnya, kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.
Yang seharusnya bisa diambil dan ditiru kembali oleh para pendakwah
risalah di akhir zaman. Di zaman di mana akal dan rasionalitas begitu
dijunjung tinggi oleh penduduk bumi. Sesiapa yang mampu menawarkan
solusi dengan tingkat rasionalitas paling tinggi, maka itulah yang akan
diterima oleh mereka.
Seandainya mereka tahu bahwa Ibrahim as. lah, manusia pertama yang
menggunakan akal dan rasio yang murni dalam mencari kebenaran hakiki di
atas muka bumi ini, pastilah mereka akan mengikuti jejak beliau. Namun
sayangnya, mereka lebih menuruti hawa nafsu mereka sendiri. Maka mereka
pun tidak menemukan kebenaran itu, kebenaran yang bersumber dari Yang
Maha Benar. Mereka-para pendakwah Islam mauoun masyarakat yang
didakwahi-tidak menemukannya, dan berakhir tunduk di bawah hawa nafsu.
Setidaknya ada tiga ‘Ibroh yang bisa diambil dari potongan kisah
dakwah Nabi Ibrahim as. diatas, yang semuanya dilakukan dengan strategi
matang hasil olah pemikirannya ; Pertama: berani dan lantang
menyerukan kebenaran. lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim as. bertanya
dengan lantang kepada kaumnya, bahkan ayahnya sendiri tentang hakikat
sesembahan mereka selama ini. Pertanyaan yang serupa juga Allah swt.
kisahkan di surat-surat lain.
Sikap berani dan lantang dalam mengkritisi kemungkaran seperti diatas
haruslah dimiliki oleh tiap pendakwah. dalam hal ini, hadits tentang
menghilangkan kemungkaran dari atas muka bumi dari Rasulullah saw. yang
berisi tiga tahap penghapusan kemungkaran;, tangan, lisan & hati
teraplikasikan oleh Nabiyullah Ibrahim as. dimana beliau menumbangkan
kemungkaran lewat lisannya terlebih dahulu lewat pertanyaan ini.
Nabi Ibrahim as. melakukan hal tersebut karena tahu dan faham betul
akan kondisi manusia yang ia dakwah, dimana mereka semua adalah kerabat
dan kaumnya sendiri. Maka tidak mungkin beliau langsung menggunakan
tangannya untuk menghancurkan kemungkaran tersebut, karena dikhawatirkan
akan muncul kerusakan yang lebih besar. Begitu pula yang dicontohkan
oleh seluruh nabi dan rasul, bisa kita dapati dalam kisah-kisah mereka.
Walau pada akhirnya cara tersebut tidaklah berhasil juga. Bahkan
merekalah yang akhirnya disiksa, dibunuhi, dikejar dan disalib. Termasuk
Nabi Ibrahim as. sendiri akhirnya pun dibakar, setelah bersilat lidah
panjang dan mereka kalah dengan hujjah yang disampaikan olehnya,
sebagaimana terkisahkan di atas. Sejatinya, mereka semua syahid di jalan
Allah swt., mereka tahu bahwa kemenangan adalah milik Allah swt. dan
tugas mereka adalah bekerja menunaikan tugasnya saja.
Kedua: ketelatenan dan kesabaran dalam menyeru. Sikap ini
begitu nampak pada diri Nabi Ibrahim as. ia tidak patah arang tatkala
seruannya tidak diterima oleh kaumnya. Bahkan berkat kesabaran beliau,
Allah swt. anugerahkan ketajaman lidah. Jika pada episode pertama,
‘kemampuan penglihatan’ lah yang jadi wasilah penyadar kaumnya, maka
pada episode kedua ini, ‘kemampuan berbicara’ lah yang menjadi wasilah
tersebut.
Ia dengan cerdas menjawab pertanyaan kepada kaumnya ketika ia diadili di hadapan mereka,“Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”. Ibrahim
menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka
tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”. dan
terhenyak lah mereka semua dengan jawaban cerdas ini. mereka terdiam
seribu bahasa tidak mampu menjawabnya lagi. Karena mereka sadar betul
bahwa patung-patung mereka tidaklah mampu berbicara! Maka dengan logika
yang sama, bagaimana mungkin Tuhan yang tidak mampu berbicara juga mampu
memberikan manfaat!.
Runtuhlah seketika kemungkaran kaumnya. Kebatilan yang mereka bangun
selama berabad-abad mampu dihancurkan seketika oleh pemuda bernama
Ibrahim as. Itu semua bisa terjadi karena ketelatenan dan kesabaran
beliau dalam berdakwah. Telaten dalam mencari cara berdakwah paling
tepat, atau dengan istilah lain, banyak akal.
Ketiga; kekuatan & kecerdikan dalam mengaplikasikan metode
dakwah. Tatkala Ibrahim as. berfikir dengan akal & rasio yang
murni, ia menemukan cara jitu untuk meruntuhkan kebatilan kaumnya.
Yakni, dengan menghancurkan semua berhala sesembahan kaumnya dan
menyisakan yang paling besar. Dengan melakukan hal tersebut, ia akan
melakukan sebuah rekayasa sosial pada kaumnya.
Tentu, hal tersebut tidak bisa ia lakukan kecuali dengan kekuatan
yang efektif, maka dengan cerdik, ia memisahkan diri dari kaumnya ketika
mereka sedang melakukan acara besar. Dan di waktu yang singkat, ia
ambil palu besar dan menuju ruangan tempat dimana semua berhala kaumnya
di berdirikan, dan dihancurkanlah semuanya, kecuali yang paling besar.
Jika kita cermati, seandainya ia menghancurkan semua patungnya, maka
tidak akan terjadi percakapan panjang dan cerdas tersebut. Percakapan
bernas yang meruntuhkan tuduhan yang diajukan pada dirinya. Walau memang
benar bahwa dirinya lah yang menghancurkan semua berhala kaumnya.
Ia tidak mengelak lari, karena itulah yang ia tunggu. Berhadapan
langsung dengan kaumnya dan meruntuhkan makna kebatilan dari hati mereka
dengan lidahnya yang tajam. Dan di akhir, ia pun berhasil mendapatkan
dua hasil sekaligus; runtuhnya fisik kemungkaran berupa berhala dan
runtuhnya makna kemungkaran di hati mereka berupa syirik.
Itulah sekelumit pelajaran yang seharusnya bisa diambil oleh tiap
da’i dalam menyerukan kebenaran. Akal yang bersih, hati yang murni,
pikiran yang matang, dan kuatnya argumentasi ketika berhadapan dengan
kemungkaran dibalut dengan keberanian, ketelatenan dan kecerdikan akan
menghasilkan terangkatnya derajat kebenaran yang ia bawa dan terjatuhnya
derajat kebatilan yang dibawa oleh musuh-musuh dakwah. Tentu dengan
tidak lupa untuk tunduk pada tuntunan wahyu yang benar.
Masih banyak lagi pelajaran yang bisa diambil dari kisah panjang
dakwah Nabi Ibrahim as. semoga kita termasuk orang-orang yang mampu
mengambil pelajaran tersebut. Karena kita ingin menyembah Allah swt. dan
meng-esakan-Nya dengan kesadaran penuh dan akal yang murni sebagaimana
Nabi Ibrahim as. menyembah Tuhannya dengan akal yang juga murni. Tidak
dengan buta hati dan lemah akal, sebagaimana yang tergambar pada kaum
Nabi Ibrahim as.
Wallahu A’lam.
Penulis : Muhammad Saihul Basyir (Ketua Umum KAMMI Komisariat LIPIA)