Kemuliaan perEMPUan



Islam memandang perempuan memiliki banyak keistimewaan. Bahkan, al-Quran telah banyak mengungkap kepada kita tentang kedudukan seorang perempuan. Rasulullah SAW ketika ditanya siapa orang yang paling berhak dihormati, beliau menjawab, "Ibumu! Ibumu! Ibumu! Kemudian ayahmu." Subhanallah, begitu mulianya seorang perempuan dalam Islam.

Perempuan yang mulia, bukan mereka yang hidup serba ada, bukan mereka yang selalu dipuja, bukan pula mereka yang mampu menaklukan banyak pria.

Julukan perempuan sejati adalah untuk mereka yang mampu menjaga kehormatannya, menghias diri dengan iman dan taqwa, dan mampu menjaga akidahnya.

Perempuan sejati adalah mereka yang berupaya mencerdaskan diri untuk perkara dunia dan akhiratnya.

Perempuan sejati adalah mereka yang mampu berfikir 2 kali. Berfikir untuk dirinya juga untuk keluarganya.

Dan hanya mereka perempuan sejatilah yang dapat disebut butir-butir berlian. Karena mereka mampu menjaga diri kapanpun dan dimanapun.

Begitulah banyak keistimewaan yang dimiliki perempuan sejati. Itulah mengapa mereka disebut perEMPUan. Artinya, mereka telah dipercaya memiliki berbagai keahlian. Pun seorang EMPU haruslah dihormati, dimuliakan, dibimbing dan disayangi.

Perempuan adalah perhiasan dunia, pun ia adalah tiang negara.

Maka dari itu, untuk kalian para perempuan. Jangan ragu untuk menyerukan aksi, karena kalian adalah pembentuk generasi. Jangan takut untuk menjadi berbeda, asal kalian bermanfaat untuk sesama.

Sungguh, kalian lebih dari itu perepuan sholihah.


Penulis : Anggun Sukma Faradila ( Sekretaris al-Fath)

Kekuatan Terdahsyat


Dikisahkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tarmizi dan Ahmad, bahwa Allah SWT menciptakan bumi, planet kita bergetar, lalu menciptakan gunung dengan kekuatan yang diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat akhirnya kagum akan penciptaan gunung tersebut.

Malaikat bertanya, "Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat daripada gunung?" Allah menjawab, "ada, yaitu besi."

Malaikat bertanya lagi, "Ya Allah adakah yang lebih kuat dari besi ?" Allah menjawab, "ada, yaitu api, besi dapat meleleh kalau dipanaskan."

Para malaikat bertanya lagi, "Adakah yang lebih kuat daripada api?" Allah menjawab, "ada, yaitu air, api akan padam kalau disiram air."

Malaikat bertanya lagi, "Ya Allah adakah penciptaan engkau yang lebih hebat daripada air?" Allah menjawab, "ada, yaitu angin, angin dapat membawa awam dalam perjalanan yang amat jauh, bahkan badai juga dapat menyebabkan ombak besar yang mampu merobohkan rumah-rumah di pantai."

Para malaikat bertanya lagi, "Ya Allah adakah yang lebih kuat dari semua ini?" Allah menjawab, "ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah, tangan kanannya memberi sedangkan tangan kirinya tidak mengetahui."

Ikhlas dalam bersedekah tanpa pamer dan dipuji ternyata lebih dahsyat daripada gunung, besi, air dan angin. Empat komponen itu sangat vital (penting) bagi bumi. Sebuah tatanan masyarakat akan kokoh dan maju jika setiap elemen masyarakat mempunyai rasa ikhlas yang kuatnya melebihi keempat elemen di atas.

Walau seseorang berbuat amal kebajikan hingga seluruh tenaga dan pikirannya terkuras, namun kalau tidak diiringi dengan hati yang tulus dan niat yang ikhlas, maka perbuatannya akan sia-sia belaka di mata Allah.

Ibadah yang tidak ikhlas akan membawa pelakunya ke jurang neraka, karena didasarkan rasa riya (pamrih) atau alasan selain karena Allah. Orang yang ikhlas dengan sendirinya akan bermanfat bagi lingkungannya. Ia selalu memberi tanpa meminta balasan. Ia mengulurkan bantuan tanpa diminta. Bahkan, perbuatan tidak menyenangkan hatinya pun ia balas dengan senyuman dan sapaan mulia.

Sikap ikhlas inilah yang memacu dan memicu lahirnya generasi unggulan yang siap bersaing di tatanan dunia global. Karena hanya pribadi yang ikhlaslah yang sebenarnya paling berhak untuk mendapatkan tanda jasa dan penghargaan dari masyarakat, tanpa dia meminta atau mengharapkan. 

Wallahu a'lam. 

Penulis : Afifah Nabila ( Staff Dept. Mekominfo KAMMI Lipia)

       




Berharap Kejayaan pada Pemuda Instan


“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”( Ir. Soekarno )

Pemuda adalah harapan setiap peradaban. Mereka adalah agen perubahan ( agent of change ) saat masyarakat kerkungkung oleh tirani kedzaliman dan kebodohan.  Mereka  juga merupakan motor penggerak jika masyarakat melakukan perubahan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Muhammad Al-fatih adalah salah satu contoh pemuda harapan pada masanya. Dengan iman, kecerdasan, dan semangat mudanyalah benteng Konstantinopel yang kokoh dapat di tembusnya. Ia adalah sebaik-baik pemuda, sebaik-baik pemimpin. Begitupun saat turki Utsmani runtuh. Ketika umat islam kehilangan pemimpin mereka, ketika umat islam terombang-ambing kehilangan pegangan, muncul tokoh-tokoh muda yang mencoba mengembalikan kejayaan umat islam. Sebut saja Hasan Al-Banna, salah satu tokoh yang menggaungkan kebangkitan umat melalui gerakannya yang biasa disebut Ikhwanul Muslimin. Saat mendirikan organisasi ini, ia masih berumur 20 tahunan.

Kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pun tidak luput dari peran pemuda. Jika bukan karena semangat dan kegigihan pemuda yang meminta Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI, tentu Indonesia semakin lama menjadi jajahan Jepang.

Gebrakan-gebrakan terus dilakukan para pemuda indonesia. Mulai dari peralihan orde lama ke orde baru, orde baru ke masa reformasi pada tahun 1998 hingga saat ini, pemuda memberikan andil yang sangat luar biasa. Bukan hanya berkorban waktu namun juga harta bahkan jiwa mereka. Teringat dengan 4 pemuda Trilogi yang gugur saat demonstrasi 1998. Mereka  adalah bukti nyata kepahlawanan seorang pemuda.

Meman secara fitrah, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. 
Dengan kematangan jasmani, perasaan dan akalnya, sangat wajar pemuda memiliki potensi yang sangat besar dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Pemikiran kritisnya sangat didambakan masyarakat. Mereka memiliki karakter yang idealis dan energik. Idealis maksudnya para pemuda belum terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan juga tidak terbebani oleh berat sejarah ataupun beban posisi.

Namun, masihkah kita dapat mengandalkan pemuda hari ini ?

Melihat  semua kenyataan yang terjadi pada pemuda zaman serba instan ini saya mulai ragu.

Kenyataan pemuda sekarang jauh berbeda dengan pemuda zaman Soeharto dulu. Banyak pemuda sekarang yang terserang virus instan. Mereka ingin melakukan semuanya secara cepat, membuat segala sesuatu dengan sinngkat, dan untuk meraih segala sesuatu sesegera mungkin. Be fast. More fast and more fast.

Beberapa contoh rilnya adalah pemuda instan adalah mereka yang duduk di bagnku sekolah ataupun kuliah yang hanya mengejar nilai atau ijazah sering berlaku curang. Mencontek keetika ujian, menyuap pihak sekolah, membuat skripsi dengan cara membeli atau menyuruh orang lain membuatnya, kuliah fiktif plagiat makalah atau lain sebagainya. Mereka ingin berhasil namun malas berusaha, malas menikmati proses, malas berlelah-lelah belajar.

Contoh lain dari kepribadian instan terlihat saat pelatihan-pelatihan organisasi. Sebagai seoranag peserta sudah seharusnya membaca SOP ( Standard Operating Procedure ) yang merupakan kumpulan peraturan yanng dibuat untuk mempermudah pekerjaannya. Tapi tidak sedikit dari mereka yang bertanya dari A sampai Z yang sebenarnya tercantum di dalam SOP. ketika di slidiki ternyata banyak dari mereka yang tidak membacanya dengan alasan mau yang instan.

Dari segi makananpun mereka memilih makanan- makanan instan. Mie instan, kornet ataupun bumbu-bumbu instan untuk memudahkan mereka memasak yanng sesungguhnya itu adalah makan yang tidak sehat.

Belum lagi saat ini pemuda sangat dimanjakan dengan jasa-jasa online yang membuat mereka semakin malas dan ingin semuanya serba instan.

Mungkin karena mudah dan menghemat waktu dan biaya, bangsa kita terbiasa dengan pola-pola instan seperti itu. Para pemuda semakin pelit menggunnakan nalarnya untuk berfikir, dan tidak sedikit dari mereka yanng kikir dalam mengugunakan energinya untuk membaca, menulis, berdikusi ataupun menganalisis.

Bagaimana nasib bangsa ini nantinya ? Akankan kita masih bisa berharap para pemuda- pemuda instan ini ? Akankah Indonesia jaya melalui tangan-tangan mereka ?

Jawabannya tentu saja tidak. Jika pemuda hari ini masih belum dapat disembuhkan dari virus instan. Meraka harus bersabar dengan proses yang haarus dilalui dan menikmatinya. Karena tidak ada kejayaan yang instan. Seperti kata pepatah “Rome wasn’t built in a day”

Semoga kita bukan golongan pemuda instan. Karena sadar atau tidak mau atau tidak mau, nasib bangsa tergantung oleh kita, para pemuda.


Penulis : Atika Tazkiyah (Staff Dept Kaderisasi KAMMI LIPIA)

Serial Keteladanan Ibrahim: Menghamba Dengan Akal (I)


Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui(QS. Al An’aam, 6:83)

Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam.. siapa tak kenal sosok satu ini, sosok bergelar Abul Anbiyaa’, ayahnya para Nabi. Yang lewat jalur darahnya, lahir para nabi dan rasul perwakilan Tuhan yang membawa risalah ketauhidan dan keesaan Allah swt. Yang lewat jalur jejak kakinya pula, Allah swt gariskan tiap jengkal bekas tanah yang dijejakinya menjadi lintasan jalur yang juga dilewati para keturunannya. Ia juga yang membangun ulang bangunan paling tua di atas muka bumi Ka’bah, bersama anaknya Ismail as. Ia juga yang rela mengorbankan jiwa dan seluruh raganya untuk mentaati aturan main Tuhannya.

Keteladanannya tidak hanya dikenal bagi umat islam, namun juga bagi umat yahudi dan  nasrani. Karena dari dirinyalah DNA ketiga umat ini berasal, dari keturunan dan ajarannya. Maka pantaslah gelar Abul Anbiyaa’ tersebut beliau sandang, dan tidak akan ada lagi lelaki yang hidup di kemudian hari yang bisa menandingi keteladanannya. Ketundukan dan kepasrahan total untuk mejalankan perintah Tuhan ditambah rasionalitas akal yang murni menjadi sumber keteledanannya, diabadikan dalam Al Quran dalam bentuk kisah-kisah.

Mari kita tengok, satu potongan kisah yang jika kita maknai dengan seksama akan kita dapati satu pelajaran berharga untuk kehidupan kita, sebagai hamba Allah yang berakal. Potongan kisah tersebut Allah swt. sampaikan dalam Al Qur’an surat Asy – Syu’aara ayat 69-77:

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah?”. Mereka menjawab: "Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya". Berkata Ibrahim: "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?. Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”. Mereka menjawab: "(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian". Ibrahim berkata: "Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah. Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?. Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam”. (QS. Asy-Syu’araa, 26:69-77)

Dalam potongan kisah percakapan antara Nabiyullah Ibrahim as. dengan kaumnya ini, Allah swt. mengabadikan bagaimana cara Nabi Ibrahim berdakwah di tengah-tengah kaumnya, ketika ia mengajak kaumnya untuk menyembah Allah swt. dengan menggunakan dialog sederhana namun memiliki nas yang mendalam.

Jika kita memperhatikan potongan ayat diatas, setidaknya ada dua bagian penting yang bisa kita renungi untuk jadi bahan pelajaran berharga, pertama; bagian dimana Nabi Ibrahim as. bertanya dengan kritis tentang hakikat berhala yang kaumnya sembah dan jawaban kaumnya. Kedua; bagian dimana Ia meruntuhkan argumentasi kaumnya dengan jawaban yang sangat cerdas.

Untuk bagian pertama; yakni dari ayat 69-71 Allah swt menunjukan kelugasan Nabi Ibrahim as ketika bertanya kepada kaumnya, "Apakah yang kamu sembah?”. Ia bertanya kepada kaumnya tentang bentuk sesembahan mereka tentu bukan karena ia tidak melihatnya. Ia melihat bentuk sesembahan mereka, dan tahu apa itu, yaitu patung dan berhala. Ia bertanya kepada kaumnya tentang bentuk sesembahan mereka karena ingin membangun percakapannya dengan argumentasi yang lengkap. Ia tidak ingin langsung menyimpulkan hanya dari apa yang ia lihat, ia ingin benar-benar memastikan bahwa apa yang ia lihat dari perilaku kaumnya menyembah berhala adalah perilaku mereka yang didasari dengan kesadaran penuh.

Dan jawaban kaumnya pun membenarkan apa yang ia lihat, bahkan lebih dari sekedar menjawab "Kami menyembah berhala-berhala”, mereka menambahkan “dan kami senantiasa tekun menyembahnya" seakan mereka ingin menunjukkan keyakinan dan kebanggaan penuh atas kebenaran yang mereka sembah, padahal hakikatnya adalah sebaliknya. Ditambah keteguhan mereka akan menyembah berhala-berhala tersebut, orang biasa yang tidak memiliki keimanan kepada yang gaib, pasti akan percaya dan membenarkan jawaban tersebut.

Berbeda dengan reaksi berikutnya dari Nabi Ibrahim as. atas jawaban kaumnya, yang Allah swt. kisahkan di bagian  kedua; ayat 72-79, dimana ia menolak jawaban kaumnya tersebut dengan memberikan pertanyaan susulan "Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?. Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?”

Ia tahu bahwa berhala ini tidaklah mampu mendengar dan menjawab doa-doa kaumnya, apalagi memberi mereka manfaat dan menghindarkan mereka dari marabahaya. Ia bertanya dengan nash seperti ini ia ingin memberi isyarat akan kedangkalan logika berfikir kaumnya, dengan menafikan kemampuan ketuhanan yang dipercaya dimiliki oleh berhala-berhala tersebut, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama kaumnya berupa didengarnya dan dipenuhinya doa mereka dengan diberikannya kepada mereka sebuah manfaat atau dihindarkannya mereka dari marabahaya dalam pertanyaannya ini.

Dan seharusnya, jika kaumnya menalar pertanyaan berikutnya dengan akal yang jernih dan hati yang bersih, pastilah mereka akan langsung meninggalkan berhala-berhala tersebut, dan kemudian menyembah Allah Yang Maha Esa. Karena mereka tahu jawaban dari pertanyaan Ibrahim adalah tidak. Mereka tahu bahwa berhala-berhala tersebut tidak bisa mendengar dan menjawab doa mereka. Mereka tahu patung-patung itu tidak mampu memberikan manfaat apalagi madharat.

Namun, karena kesombongan dan taklid buta telah menguasai hati mereka, sehingga jawaban mereka adalah “sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Mereka berusaha melemparkannya kepada nenek moyang mereka yang sudah meninggal, padahal hakikatnya mereka memojokkan diri mereka sendiri ketika melontarkan jawaban ini. Mereka membuka celah pada diri mereka sendiri, mereka tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan lelaki yang memiliki akal dan hujjah paling rasional saat itu. Mereka meruntuhkan dalil menyembahnya mereka kepada berhala mereka sendiri tanpa mereka sadari.

Mereka tidak akan bisa mengelak lagi setelah jawaban ini. Ya, karena ketajaman lidah Nabi Ibrahim as. yang berikutnya kembali bertanya. "Maka apakah kamu telah memperhatikan (melihat) apa yang selalu kamu sembah. Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?” atau dalam bahasa yang lebih sederhana, “Memangnya kalian melihat bagaimana nenek moyang kalian beribadah?”.

Dengan pertanyaan pamungkas ini, runtuhlah seluruh argumen kaum penyembah berhala ini. Mereka tidak mampu membalas balik argumen Nabi Ibrahim as. karena mereka memang tidak pernah melihat secara langsung bagaimana sebenarnya ritual peribadatan orang-orang yang hidup sebelum mereka. Mereka diam seribu bahasa dan takluk di hadapan kuatnya hujjah Nabi Ibrahim as. Selama ini mereka hanya mengandalkan keyakinanan mereka dari apa yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka tanpa pernah mencari tahu terlebih dahulu kebenarannya. Mereka bukannya tidak bisa untuk mencari tahu hal tesebut, mereka hanya memang tidak berkemauan untuk mencari tahu dan merasa cukup dengan apa yang mereka yakini berasal  dari nenek moyang mereka.

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al Maidah, 5:104)

Itulah sedikit potongan dari episode perjuangan dakwah Nabiyullah Ibrahim as. kepada kaumnya. Yang menunjukkan kepada kita betapa kuatnya hujjah yang ada pada ucapan Nabi Ibrahim as. Argumentasi yang ia pakai dalam berdakwah dan menyampaikan kebenaran tidak melukai perasaan orang yang didakwahi (Mad’uw), sebaliknya ia memilih kata dan diksi yang paling tepat untuk menyampaikan kebenaran.

Maka selayaknya orang-orang beriman mengambil pelajaran berharga dari kisah ini dan meneladaninya, karena jika bukan dari para nabi dan rasul kita mengambil teladan, kepada siapa lagi kita mengambilnya? Dan itulah sebaik-baik cara kita meyakini kebenaran firman Allah swt.

Wallahu A’lamu Bis Showaab.


Penulis : Muhammad Saihul Basyir (Ketua Umum KAMMI LIPIA)