Sajak, Kapan Nyaman?


Sajak ini kutulis untuk saudara-saudariku yang mencari kenyamanan dalam berdakwah, 

Bukan, bukan untuk menghakimi, tapi untuk menasihati. Bukan, bukan untuk menggurui, tapi murni panggilan nurani.

Karena, 
Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah  Adam as yang sudah bahagia di Surga bersama Siti Hawa ditakdirkan Allah turun ke muka bumi kemudian bersusah payah memulai peradaban awal manusia, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Nuh as diperintah Allah untuk mengajak kepada Tauhid dan membangun bahtera di daratan sahara nan kemarau panas terik tanpa tahu apa tujuannya, yang karenanya ia dicaci kaumnya, ditinggal istri dan anaknya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Ibrahim as diperintah untuk meninggalkan Siti Hajar dan Ismail kecil di sebuah lembah kering tak berpenghuni, setelah bersusah payah menunggu waktu lama melahirkannya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Ismail yang baru mulai tumbuh dewasa diperintah Allah untuk disembelih oleh Ayahandanya, Nabiyullah Ibrahim as setelah bertahun-tahun ditinggalnya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Khalilullah Ibrahim as bersikeras mengajak kaumnya bertauhid, tidak takut dirajam oleh Ayahnya Azar, bahkan mendoakannya agar selamat, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Abul Anbiyaa Ibrahim as tergerak menghancurkan patung-patung sesembahan kaumnya tak takut resiko kematian tepat di depannya berupa dilempar dengan manjaniq ke dalam kobaran api, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Yusuf as lebih memilih penjara sebagai tempat peraduannya dibanding Istana megah kerajaan Mesir berikut kecantikan wanita-wanita di dalamnya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Yunus as tidak bersabar mengajak kaum Ninawa bertauhid hingga Ia ditelan dalam kegelapan berlipat kegelapan di dalam perut ikan paus, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Kaliimullah Musa as diutus untuk membebaskan Bani Israil dari tirani dan kezaliman penguasa? Mengapa ia diperintah Allah untuk mengajak Firaun yang mengaku dirinya Tuhan kepada Tauhid? Mengapa ia diperintah untuk berlelah payah lari dulu dari kejaran Firaun baru dibelah lautan untuknya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Daud as ikut turun berjihad menjadi tentara Tahlut ketika memerangi Jalut hingga ia muncul menjadi pahlawan kemenangan, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Sulaiman as rela menyembelih kuda gagah kesayangannya agar ia dapat fokus beribadah mengingat Tuhannya hingga dibalas dengan kerajaan di dunia yang tiada tandingannya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Yahya dan Nabiyullah Zakariya tidak takut ancaman tirani ketika menyampaikan ajakan Tauhidnya hingga mereka berakhir dibawah tajamnya gergaji dan syahid tubuh terbelah menjadi dua, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Maryam diperintah agar menggoyangkan batang kurma yang dikenal sangat kokoh padahal kondisinya saat itu sangatlah payah hampir-hampir sekarat tersebab melahirkan Isa, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah Isa as harus bersusah payah melarikan diri dari kejaran para pemburunya hingga ia harus diangkat ke langit, padahal ia dimampukan untuk meniupkan ruh hidup pada bongkahan tanah thin berbentuk burung dan hiduplah ia. Padahal ia dimampukan untuk menyembuhkan penderita penyakit kusta dan buta, padahal ia dimampukan untuk mengembalikan hidup orang yang sudah mati dikuburkan, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Habib An Najjar rela berlari dari ujung kota ke tengahnya hanya untuk mengatakan kepada kaumnya Ikutilah para utusan itu, ikutilah mereka yang tidak meminta upah lagi mendapat petunjuk itu kemudian ia mati diinjak-injak oleh kaumnya karena ucapannya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa tujuh pemuda gua berjuluk Ashabul Kahfi harus berlari dan bersembunyi dari kejaran Raja Musyrik nan Zhalim setelah ketauhidan mereka tidak takluk oleh kekuasaan Raja tersebut ke dalam gua, jika pada akhirnya setelah 309 tahun tertidurnya mereka di dalam gua tersebut mereka terbangun, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah wa Rasuluhu Muhammad saw giat mengajak kaumnya meninggalkan kesyirikan padahal karenanya ia dilempari batu dan kotoran, padahal karenanya ia diboikot selama 3 tahun, padahal karenanya ia berkali-kali mengalami usaha pembunuhan, padahal karenanya para sahabatnya mengalami siksaan maha dahsyat dan tekanan super represif selama 13  tahun lamanya di Makkah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Mushab bin Umair saw rela meninggalkan tanah kelahirannya yang darinya ia membangun keluarga, kedudukan, perniagaan, harta, untuk kemudian diutus ke Madinah sebagai muballigh dan muassis tauhid disana, untuk mempersiapkan ladang amal seluruh masyarakat muhajirin lainnya yang mengorbankan hal yang sama demi peradaban baru disana, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Nabiyullah wa Rasuluhu Muhammad saw berjalan kaki ketika menempuh hijrah dari Makkah ke Madinah padahal ia mampu di Isra dan di Miroj-kan dalam semalam ke Baitul Maqdis bahkan menuju langit ketujuh Sidratul Muntaha lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Rasulullah saw ikut turun memecah batu pada perang Ahzab padahal ia melilit perutnya dengan kerikil karena menahan dahsyatnya rasa lapar, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Rasulullah saw bersama para sahabatnya tetap keluar menuju Tabuk padahal panasnya cuaca pada hari itu sangatlah dahsyatnya hingga membuat orang-orang munafik terduduk tidak mau berperang, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Rasulullah saw dalam setiap peperangannya selalu memiliki jumlah pasukan yang lebih sedikit berkali lipat dibanding pasukan musuh, Badar: 313 berbanding 1000, Uhud: 1000 berbanding 3000, Khandaq: 5000 berbanding 10.000, Mu'tah: 3000 berbanding 100.000!, Hunain: 12.000 berbanding 40.000, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Abdullah ibn Rawahah tidak ingin meminta bantuan pasukan tambahan dari Madinah pada perang Mu'tah tatkala ia mengetahui jumlah pasukan musuh berpuluh kali lipat banyaknya, bahkan mengatakan  Kita memerangi mereka bukan dengan jumlah banyak ataupun kekuatan besar, tapi kita memerangi mereka dengan agama ini, yang dengannya kita menjadi mulia! Maka majulah, pilihannya hanya dua, kemenangan atau kesyahidan!, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Hanzholah Ghosiilul Malaikah langsung terbangkitkan dari ranjang malam pertamanya dan meninggalkan istrinya yang baru semalam ia nikmati tatkala seruan jihad datang hingga ia belum sempat mandi janabah ketika ia syahid, sampai-sampai malaikat turun memandikannya, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa Abu Bakar As Shiddiq ra menginfakkan seluruh hartanya, Umar bin Khoththob setengahnya, Utsman bin Affan 300 unta bersama pelana dan 1000 kuda beserta peralatan perangnya pada peristiwa Tabuk, hingga mereka sisakan Allah dan Rasul-Nya saja untuk keluarga mereka, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Jika menunggu nyaman, mengapa para sahabat Nabi Muhammad saw sedikit sekali yang dimakamkan di dua tanah haram; Makkah dan Madinah padahal dua tanah tersebut ialah semulia-mulia wilayah yang ada di atas muka bumi, lalu kalau bukan untuk dakwah?

Dan kisah-kisah heroik para pejuang Islam lainnya yang tidak menunggu nyaman barulah mereka bergerak. Yang lewat tangan-tangan mereka semua lah Allah Azza wa Jalla menyampaikan fitrah agama ini ke seluruh penjuru muka bumi hingga tiap sudut yang ada di atasnya, hingga merasuk di tiap relung-relung hati kita. 

(Bagi mereka) surga '´Adn mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera. Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; didalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu" (QS. Fathir: 33-35).
Wallahu Waliyuul Mu'minin.

Oleh: M. Saihul Basyir (Kadept Kaderisasi Kammi Lipia)

Hantu Revolusi


Sekitar tahun 1913 atau setengah abad sebelum G-30 S PKI –Lenin yang pada waktu itu hidup dalam pembuangan menulis mengenai suatu gerakan rakyat yang bergelora di Jawa (seperti direkam oleh Mcvey dalam bukunya): “Gerakan revolusioner didukung oleh massa rakyat Jawa, diantara mereka lahir gerakan Islam Nasionalis, yang darinya (merupakan) tembok Negara”.

Lenin sudah jauh memprediksi bahwa kekuatan dari rakyat (Islamis nasionalis dan sosialis komunis) akan muncul menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan. Ini artinya jika komunis ingin berdiri di puncak tertinggi dari “tahta” nusantara, dia perlu merobohkan tembok Negara yakni kekuatan Islam, meskipun yang dimaksud Lenin adalah Syarikat Islam pada waktu itu. Tapi terbukti dalam rentangan sejarah setelah Syarikat Islam berhasil diobrak-abrik dan bubar, kaum Islamis Nasionalis merupakan musuh utama komunis. 

Ada beberapa cara  komunisme dalam meruntuhkan  kekuatan Islamis beberapa yang terekam sejarah adalah menyatukan ide bahwasanya Islam dan sosialisme komunisme tiada bedanya dan memiliki banyak kesamaan. Sehingga pemahaman bahwa Islam menjunjung tinggi jiwa sosial dan memuliakan kaum lemah memiliki inti kesamaan dari sosialisme terus menerus mereka dengungkan. Paham ini mencoba di infiltrasikan pertama kali oleh Datuk Batuah di Sumatera Barat sekitar tahun 1923 dimana guru-guru muda Padang Panjang diracuni ide Islam sosialis dan ide melawan kolonialis Belanda yang digaungkan satu nafas dengan revolusi Islam atau kekuatan rakyat ala sosialisme.

Cara tersebut sedikit mengecoh umat dan juga beberapa ulama, sebelum akhirnya “mental” dengan sendirinya.  Peristiwa Madiun 1948 dan G 30 S 1965 PKI adalah jejak sejarah merah bagaimana tabiat asli Komunis yang pernah bercokol di Indonesia. Ketika cara-cara “soft” seperti infiltrasi dan penggabungan Islam dan sosialis dianggap gagal maka pertumpahan darah dianggap jalan yang harus ditempuh oleh komunis, tak terkecuali di bumi nusantara ini. 

Bagi mereka Islamis adalah hantu revolusi yang menghalangi tujuan mereka untuk bercokol di Indonesia, karena itu menyingkirkan “Kaum Fundamentalis”,  “teroris”, “Islam radikal” dan lain-lain adalah keniscayaan.

Dan Bukankah sejarah yang lampau sedikit terulang sekarang? Bukankah saat ini selain “mengkompromikan” sosialis ada dalam ajaran Islam seperti kutipan surah al-Ma’un atau ayat maupun surah senada? Mereka juga makin gencar bahwasanya tokoh-tokoh seperti H.O.S Cokroaminoto atau Agoes Salim pro sosialis?  Dan bukankah Islam  yang saat ini menjadi sasaran serangan dari berbagai julukan-julukan dari pemecah NKRI dan anti ke Bhinekaan?

Toh akhirnya sejarah memang berulang, dengan cara yang kurang lebih sama dan hanya berbeda sedikit polesan. Akan tetapi nampaknya “hantu revolusi” yang mereka takuti saat ini benar-benar sangat acak, karena tanpa sadar komunis kian hari makin hobi menambah musuh yang bukan hanya dari kalangan Islam. Otomatis julukan hantu revolusi nantinya bukan hanya melekat pada umat Islam saja, tetapi kedepannya mungkin akan ada “demit” revolusi. 

Ahmad Amrin Nafis (Ketua Umum Kammi Lipia)