Dunia selalu berubah tatanannya, semua tak lepas dari peran orang-orang yang elit pengambil kebijakan. Hal yang menarik memang mengapa orang-orang ini selalu menciptakan sejarah.
Cobalah kita tengok sejenak; dari selain Nabi Adam, hanya Nabi Nuh, Luth, dan Syu'aib yang bukan berasal dari kalangan elit, sisanya mempunyai latar belakang darah biru. Rasulullah Muhammad -Shallallhu 'alaihi wa sallam- sendiri berasal dari kalangan elit Qurays sebagaimana sabda Nabi: "ana afdholu Qurays.. "ana Afshohu Qurays.." .
Tidak cukup berhenti sampai disitu, 4 Khulafa' ar Rasyidin berasal dari kalangan elit. Bahkan semua panglima perang ketika Rasul masih hidup berasal dari kalangan Muhajirin Qurays, elit dan darah biru.
Berjalan lagi ke daulah Umayyah, Pendirinya Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah putra bangsawan makkah yang masyhur. Sampai Daulah Umayyah runtuh kemudian berdiri Daulah Abbasiyah, tak pernah lepas dari sosok pendiri yang keturunan Qurays nan elit. Pahlawan legendaris umat ini di perang salib-pun, Sholahuddin al Ayyubi berasal dari kalangan trah terpandang. Kemudian sejarah daulah hendak ditutup dengan berdirinya Daulah 'Utsmaniyyah, yang pendirinya juga keturunan Panglima Bani Seljuk.
Saya kira cukupkan sampai disitu karena terlalu banyak orang-orang hebat yang mewarnai peradaban Islam ini berasal dari kalangan darah biru. Bukan maksud hendak mengecilkan peran non elit atau kalangan menengah kebawah akan tetapi hendak mengambil poin-poin pentingnya. Poin-poin tersebut adalah:
1. Kalangan elit memiliki paradoks tersendiri dalam segmen kehidupannya. Mereka akan selalu terjebak kedua hal, (meminjam istilah Samuel Huntington): mewarnai sejarah dengan emas, atau tinta hitam.
Mari kita kembali ke al-Quran sebelum membicarakan hal tersebut lebih jauh. Di dalam al-Quran, dari banyaknya kisah-kisah pertempuran antara al-Haq dengan al-Bathil, yang paling banyak diceritakan adalah kisah Musa. Tentu kita mengetahui siapa musuh utama musa yang Allah ceritakan, Fir'aun. Nah disinilah paradoksnya, orang-orang elit memang sanggup membuat alur sejarah tinta emas akan tetapi mereka jugalah perusak sejarah itu sendiri. Mereka berbeda dengan orang2 kalangan menengah kebawah, karena Allah hanya memberi dua pilihan tersebut.
2. Penokohan itu sangat penting. Kita sudah terlalu lama terjebak kepusaran tokoh yang 4L (Loe Lagi,Loe Lagi), tokoh yang sudah "mentok" tingkat kepopulerannya di masyarakat (tanpa kita nafi kan kapasitasnya). Kita terlalu lama untuk lupa, ada kader-kader potensial dari elit darah biru siap untuk bersinar. Paling tidak power latar belakang mereka, mempengaruhi segmen "manusiawi" didepan masyarakat. Para tokoh dan pemimpin tidak dicetak di dauroh-dauroh, atau LK-LK, atau tadrib asy syabab atau apatah itu. Mereka memang Allah ciptakan untuk memimpin dan itu terlihat dari awal, dauroh dan semacamnya hanya sebagai ikhtiar "mempoles" jiwa mereka. Karena itu, rekrutmen dan pemaksimalan kalangan elit di harokah dakwah tidak boleh ditinggalkan dan dikesampingkan.
3. Kalangan bawah, bagaimana nasibnya?. Tidak bisa dipungkiri, sudah menjadi sunnatullah bahwa kalangan bawah adalah pelindung dan pendukung Nabi-Nabi. Dalam hadits diskusi antara kaisar heraklius dg Abu Sufyan (bal dhu'afaa uhum/ akan tetapi kebanyakan para penolong Nabi-nabi berasal dari kalangan menenagah kebawah).
Orang-orang menengah kebawah selain berperan menyokong si "elit" juga berhak menjadi elit itu sendiri, akan tetapi dg proses yang panjang dan berkesinambungan. Dalam sejarah, kita kenal panglima hebat seperti Thariq bin Ziyad (walaupun para sejarawan berbeda pendapat mengenai beliau karena latar belakang yang misterius), di era indonesia Modern kita juga mengenal Anis Matta dan Aher yg mau belajar, atau si beruntung Jokowi tetapi gagal dan terlambat belajar.
Hanya saja pilihan elit atau tidak merupakan "kekayaan" gerakan dakwah itu sendiri. Disisi lain, kita memerlukan orang-orang yg selain kompeten juga bisa menang di arena-arena politik dan jihad karena diterima "secara manusiawi" oleh masyarakat. Tetapi disisi lain kita tidak bisa menafikan, bahwa akan selalu ada orang-orang seperti Uwais al Qorni atau Khidir yang di mata Allah lebih mulia dari orang-orang elit sekalipun. Elit atau tidak, ketaqwaan memang adalah pembeda akan tetapi kebutuhan dakwah juga besar dan memerlukan pos-pos kemenangan. Wallahu a'lam.
Ahmad Amrin