-A’la
Dzunnuroin, LIPIA Jakarta-
“Assalamu’alaikum, akhi... alhamdulillah sudah ada jawaban dari ukhti
Sabrina... dia menerima lamaran ana...”, lamat-lamat mataku mengeja kata
demi kata yang tertulis di layar handphone. Ini adalah hari yang
bersejarah untuk sahabat baikku, Fuad. Masa penantian jawaban siang-malam dari
seorang akhwat yang berniat dinikahinya akhirnya berujung dengan sujud panjang
penuh rasa syukur.
Tanpa sadar, mataku basah. Handphone
yang sedari tadi kugenggam erat mendadak bergetar hebat. Saat sebutir air mata
jatuh di layar handphoneku, aku menjadi sangat yakin bahwa ini bukanlah
air mata bahagia. Ada pedih yang tiba-tiba menghunjam ke ulu hatiku jika
membayangkan kelak sahabat baikku akan bersanding dengan gadis yang selama ini
diam-diam telah memenuhi hatiku.
***
Kediaman Sabrina, seminggu
kemudian...
Prosesi
khitbah berjalan khidmat. Dimulai dengan sambutan yang dibawakan tuan rumah,
hingga penuturan orang tua Fuad mengenai maksud kedatangan mereka sekeluarga.
Aku duduk di samping Fuad. Ia berkali-kali tersenyum ke arahku. Namun kubalas
dengan senyum seadanya.
Sabrina
terlihat anggun dalam balutan jilbab hijau muda dengan kebaya senada. Ia
menunduk dalam demi mendengar penuturan orang tua Fuad yang berniat mengkhitbahnya
untuk putra mereka. Kini semua yang hadir menunggu jawaban dari Sabrina. Ibu
Sabrina yang duduk tak jauh di sampingnya berusaha menguatkan hati putrinya
dengan memegangi kedua pundaknya. Sabrina sempat terisak sebelum akhirnya
menarik napas perlahan, “Dengan menyebut nama Allah, lamaran mas Fuad saya
terima...”, ujar Sabrina lirih.
Seketika
jawaban sabrina disambut dengan gegap gempita kalimat takbir dan syukur. Fuad
terlihat tak mampu berkata-kata lagi dan hanya bisa menahan luapan gembira
dengan air mata bahagia. Sedang aku yang duduk disampingnya, masih berharap
agar kalimat yang meluncur dari bibir Sabrina barusan adalah kebalikannya.
Namun aku segera tersadar dan beristighfar berkali-kali dalam hati.
Saat kupandangi Sabrina yang bertukar
senyum dengan ibunya, tanpa terasa mataku basah. Aku sadar akan tatapan seorang
akhwat yang duduk di samping Sabrina padaku. Kupikir ia merasa heran karena
tatapanku yang lekat pada Sabrina di sertai dengan linangan air mata. Mungkin
dalam hati ia bertanya-tanya, apa hubunganku dengan Sabrina?
Meski
demikian, aku sudah tak peduli. Bagiku yang telah kehilangan kasih sayang
seorang ibu, Sabrina telah bisa menutup celah tersebut. Selain menjadi sahabat
sejak kecil, ia telah menjadi penyemangat hidupku selama ini. Sabrina yang
selalau ada untukku, kupikir akan berlangsung selamanya. Kupikir yang akan
duduk di posisi Fuad hari ini dan mengkhitbahnya adalah aku. Kupikir yang nantinya
akan merenda masa depan dalam sakinah mawaddah bersamanya adalah aku.
Aku sama sekali tak mengira, bahwa Sabrina akan pergi ke suatu tempat yang tak pernah
bisa kuraih lagi.
***
”Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka,...”, dengan berlinang air mata kulantunkan firman-Nya
tersebut di sepertiga malam terakhir. Air mataku semakin deras membanjiri
wajahku kala sampai pada ayat-Nya yang berbunyi, “Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah:
235)
Aku sadar bahwa
manusia tak memiliki kuasa apapun untuk mengubah perasaannya. Ini adalah
teguran bagiku, yang selalu menunda kesempatan untuk mengkhitbah Sabrina meski
telah siap lahir dan batin. Pada akhirnya, aku baru menyadari betapa berartinya
Sabrina dalam hidupku ketika ia telah bersama orang lain. Oleh karena itu, usai kusempurnakan witirku aku momohon kepada Allah
diberi kekuatan agar bisa mengihklaskan Sabrina dan senantiasa berhusnuzhon
pada tiap-tiap ketentuan-Nya.
Malam masih menyematkan
gulita yang pekat diluar sana. Aku hampir meraih mushaf kecilku saat handphoneku
tiba-tiba berdering.
“Assalamu’alaikum,
akh Amrul?”, ujar sebuah suara di seberang sana. Dia adalah Said, salah
seorang sahabatku yang berasal dari Sulawesi dan masih sama-sama aktif di
Lembaga Dakwah Kampus LIPIA.
“Wa’alaikumsalam
warohmatullah... ya, akh. Ada apa?”, tanyaku langsung ke inti pembicaraan.
“Sebelumnya afwan
jika mengganggu, tapi ini darurat. Ana baru ingat untuk pesan rujak seafoodnya
500 box...”, ujar Said dengan nada cemas.
“Banyak
sekali...buat acara apa, akh?”, tanyaku penasaran.
“Untuk seminar
keluarga sakinah di masjid Al-Ikhlas Jatipadang. Pematerinya ustadz Dani
Setiawan yang alumunus LIPIA itu...”, terang Said.
“Wah, beliau yang
ngisi??? Gratis kan acaranya?”
“Ckckck...
Gini nih bawaan mahasiswa... maunya banyak, yang gratis-gratis pula... ”, ujar Said
sembari terkekeh, “Iya, gratis akh... kebetulan WAMY (World Assembly Moslem Youth) yang jadi
sponsornya...”
Aku pun terbahak mendengar ucapannya, “Oh, bagus deh kalau
gitu. Jadi kapan acaranya?”
“Lima hari lagi akh, bisa?”
“InsyaAllah...”
“Alhamdulillah kalo gitu... ana sempat
khawatir, kalo antum tolak. Soalnya kan udah dekat ikhtibar...”
Aku tersenyum. Dalam hati aku memuji kepedulian sahabatku
itu, “Ndak apa, akh... masa rizki di tolak??hehe... kebetulan ana
juga pengen sekali ikut kajian beliau...”
“Syukron ya, akh... Assalamu’alaikum.”
Usai kujawab salamnya, lantas KLIK. Sambungan terputus. Dalam
hati aku bergumam, mungkinkah Engkau memberiku kesibukan ini agar perlahan
dapat melupakannya, Rabbi...?
***
Matahari di langit Jakarta pada musim kemarau memang tidak
bersahabat. Teriknya yang menjilat-jilat seolah mampu membakar ubun-ubunku. Aku
bersyukur telah menyiapkan kotak-kotak makanan yang dipesan Said sejak pagi,
jadi saat ini tinggal kutata dengan rapi.
“Akh Amrul...”, panggil
sebuah suara.
Aku menoleh dan tersenyum saat kudapati sosok Ibad di sana.
Dia mahasiswa asal Rembang yang kini telah sama-sama duduk denganku di mustawa
akhir syari’ah , “Waah... yang pengantin baru hadir juga to hari
ini?”, godaku sembari menjabat tangannya erat.
Dia terkekeh.
“Iya dong akh... lha wong ustadz Dani pembicaranya, ndak boleh
ketinggalan. Apalagi buat yang sudah berkeluarga...”, terangnya memberi alasan,
“Lalu antum kapan nih deadlinenya? Sudah siap lahir batin kan?”
Aku terbahak. “Deadline? Nyari
calon istri macam nyari bahts (Makalah) aja antum ini... Siap sih siap akh, tapi calonnya
yang belum ada, hahaha”
“Yah,
cepat-cepat saja lah akh... takut kehabisan bibit unggulnya...”
Kamipun tertawa berderai-derai.
Sepuluh
menit kemudian kami berpisah. Seminar hampir dimulai. Aku baru saja akan menyelesaikan
pekerjaanku jika saja ekor mataku tidak menangkap sosok anak kecil dengan
pakaian lusuh yang mengendap-endap di koridor akhwat. Aku berniat membiarkannya
sampai ketika aku melihatnya mengambil satu kotak makanan tanpa sepengetahuan
siapapun.
Detik
berikutnya, ia segera beranjak ke sebelah utara aula masjid. Akupun
mengikutinya diam-diam. Dengan langkah cepat, kurang dari lima belas detik
telah mampu kuraih pundaknya. Sentuhan pelan di pundak itu seketika membuat wajah
anak tersebut berubah pias.
“Ampun, mas...
saya terpaksa melakukan ini... Ampuni saya, mas”, pintanya dengan wajah memelas.
Aku segera berlutut agar sejajar dengan tingginya. “Adik
namanya siapa? Lalu pada siapa makanan ini akan diberikan, dik?”, tanyaku
selembut mungkin. Aku ingin tabayyun (Memeriksa suatu kejadian dengan teliti dan hati-hati) seperti yang diajarkan Rasulullah jika mengadili sahabatnya
yang berbuat kesalahan.
“Saya Wahyu,
mas... makanan ini untuk ibu dan adik saya... ibu saya sedang sakit dan ndak
bisa kerja. Padahal bapak sudah ndak ada. Saya tidak mau kehilangan ibu
dan adik saya juga, mas...”, jawabnya dengan wajah yang tertunduk dalam. Kali
ini ia mulai terisak.
Terbit rasa iba dalam hatiku. Kutaksir umurnya barulah
belasan tahun, namun ia telah belajar menjadi begitu dewasa karena himpitan
hidup. Hatiku rasanya teriris jika membayangkan betapa berat hari-hari yang
telah dilewatinya. “Wahyu tunggu sebentar di sini ya...”.
Aku bergegas menuju koridor akhwat dan meminta izin mereka
untuk mengambil dua kotak makanan. Mereka yang mengetahui maksudku malah
menyodorkan tiga kotak makanan yang terbungkus kantong plastik. “Untuk ibunya
yang sedang sakit akh, butuh tenaga ekstra...”, ucap salah seorang
diantara mereka yang ternyata mendengar percakapan kami.
Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya
berlalu. Dalam hati aku bersyukur bahwa selain sibuk berorganisasi, aktivis LDK
juga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya.
Detik berikutnya, kuserahkan tiga kotak makanan tersebut
kepada Wahyu. Saat ia menerima kotak makanan yang kusodorkan, air mata segera
membanjiri wajahnya. Ia sudah membayangkan akan mendapat hukuman karena
perbuatannya, namun yang terjadi malah sebaliknya. “Terimakasih mas,
terimakasih... ibu selalu mengatakan bahwa orang yang berbuat baik pasti akan di
balas oleh Allah. Semoga Allah membalas kebaikan mas dengan kebaikan yang
berlipat ganda”, ucapnya tulus dengan berurai air mata.
Hatiku gerimis demi mendengar doa yang diucapkan dengan tulus
oleh Wahyu. Akupun mengamininya berkali-kali dalam hati. Beberapa orang di
koridor akhwat yang mendengar doanyapun ikut mengamini diam-diam. Aku tak
menyangka bahwa itu adalah awal diijabahnya doa tersebut.
***
Mata kuliah
hadits yang disampaikan DR. Abdul Wahab Al-Hakamy menjadi mata kuliah terakhir
yang kami pelajari hari ini. Beliau mengulas sebuah hadits Qudsi yang berbunyi,
"[Putusan yang] Aku [tetapkan adalah] sesuai dengan
persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku akan bersama dengannya jika dia
mengingat-Ku...". Lebih lanjut
beliau menerangkan bahwa seorang hamba harus senantiasa berperasangka yang baik
pada tiap-tiap ketentuan Allah. Dengan demikian, maka Allah akan melimpahkan
karunia dan kebaikan sesuai perasangka hamba tersebut kepada-Nya.
Usai
mendengar penuturan beliau, hatiku merasa tenang. Optimisme hidup yang sempat
padam karena pernikahan Sabrina dengan Fuad seolah kembali menyala. Ya, aku
harus ikhlas dan tetap berhusnuzhon pada ketentuan Allah, karena suatu saat
Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik, tekadku dalam hati.
Lima
menit kemudian bel tanda usainya jam kuliah berdering. Aku baru saja akan berkemas
saat kurasakan sentuhan halus di pundakku. Serta merta aku menoleh dan kudapati
sosok Said di sana.
“Akhi...
ana mau ajak antum nih...”, ujarnya dengan nada merajuk.
“Kemana?”,
tanyaku sembari memasukkan muqorror
hadits ke dalam tas.
“Ke
tempat spesial...”, jawab Said dengan senyum lebar.
“Acaranya?”
“Acaranya
spesial juga...hehe,”
Aku
sangat mengenal Said. Biasanya jika sudah seperti ini dia akan terus
membujukku. Kulihat jam tanganku. Kebetulan besok Sabtu tidak ada jam kuliah.
Rujak Seafood juga bisa kubuka malam hari. Jadi kuiyakan ajakannya.
Melihatku
mengangguk setuju, Said melonjak girang, “Pokoknya antum ga akan nyesal,
akh”, ujarnya sembari menarikku keluar kelas.
***
Usai
shalat jum’at di masjid kampus, kami berangkat dengan motor masing-masing
membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. Untungnya, ruas jalan sepanjang Warung
Jati Barat hingga Ampera tidaklah padat. Sehingga lima belas menit kemudian,
kami telah memasuki daerah Kemang Selatan. Dalam hati aku masih bertanya-tanya
ke mana Said akan membawaku. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah restoran
terkenal di daerah Kemang. Ada yang sedang walimahkah?, tanya batinku
penasaran.
“Sudah
sampai akh...”, ujar Said sembari memarkir motornya, “Ayo, masuk...”
Aku
hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
Saat
memasuki restoran, dapat kutandai seseorang yang melambai pada kami. Pria
berusaia setengah baya. Aku berusaha keras mengingat wajahnya yang nampak
familiar bagiku dan terperanjat seketika saat menyadari sosok yang melambai
pada kami tersebut. “Ustadz Dani???”
Said
hanya tersenyum melihat ekspresiku. “Ayo akh, kita sudah ditunggu
beliau...”
Batinku
segera dirundung pertanyaan. Aku semakin gugup hingga tak tahu harus berbuat
apa di depan ustadz sekaligus penulis yang kusegani tersebut.
“Oh...jadi
ini akh Amrul yang antum ceritakan itu?”, tanya ustadz Dani pada
Said.
Said
hanya tersenyum dan mengagguk pelan, “Iya, ustadz...”.
“Duduklah...”,
pinta ustadz Dani ramah sembari mengembangkan senyumnya yang teduh.
Kami
berdua mengambil kursi di depan beliau. Pikiran konyol tiba-tiba melintas dalam
benakku, Aku sudah lama ingin berfoto dengan beliau, apakah ini saatnya?.
“Sebelumnya
maaf karena memanggil kalian mendadak seperti ini. Saya ingin menyampaikan
pertanyaan. Terutama pada antum, Amrul...”, ujar ustadz Dani sembari melepas
pandangannya padaku.
Mendengar
namaku disebut, seketika wajahku terangkat. Mataku melebar karena kaget dan
penasaran. “Ya, ustadz... pertanyaan apa itu?”
“Jika
ada seorang ikhwan yang memendam perasaan pada seorang akhwat, maka menurutmu
apa yang sebaiknya dilakukan?”, tanya beliau lugas.
Mendengar
pertanyaan tersebut, entah mengapa hatiku bagai teriris. Seolah ada sebuah alugora
raksasa yang menghimpit dadaku. Tiba-tiba bayangan Sabrina kembali berkelebat
di benakku. Tanpa terasa mataku mengombak. Ketika setetes air mata jatuh,
kusembunyikan wajahku dari beliau. “Jika ia seorang ikhwan yang telah siap
lahir batin untuk menikah, maka sebaiknya ia segera mengutarakan isi hatinya.
Jika ia malah menunda dan akhirnya akhwat tersebut dipinang oleh saudarnya,
maka ia pasti akan sangat kesulitan melewati masa-masa tersebut, ustadz...”, terangku
dengan suara yang berubah serak.
Melihat
ekspresiku yang tidak terduga, Said mengernyit. Dalam kepalanya tiba-tiba
muncul tanda tanya besar tentang apa yang tengah kurasakan.
“Jika
dia seorang akhwat?”, kejar ustadz Dani.
Aku
menengadah. “Jika dia seorang akhwat, hendaknya ia memintakan seseorang yang
menjadi walinya untuk menyampaikan isi hatinya pada ikhwan yang diam-diam
disukainya...”, jawabku sembari menyeka air mataku.
Ustadz
Dani tersenyum lebar. Ia nampak puas dengan jawabanku. Semua yang ia tanyakan
persis seperti permintaan seseorang. “Jika memang demikian, hari ini saya ingin
menyelamatkan hati seorang gadis. Ia tengah memendam perasaan pada seseorang.
Untuk menyelamatkannya, saya butuh bantuanmu, Amrul...”
Aku
semakin bingung merangkai hubungan pertemuan kami hari ini dengan
pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan, “Bantuan seperti apa yang bisa saya
berikan ustadz?”, tanyaku ragu-ragu.
“Bantuan
yang saya harapkan darimu adalah dari seorang akhwat yang bernama Alyssa.
Beberapa bulan terakhir ia telah memendam perasaan padamu, dan persis sebagaimana
penuturanmu saya sebagai walinya yang paling berhak untuk menyampaikan
perasaannya...”, terang ustadz Dani tanpa melepas pandangannya dariku.
Kalimat
ustadz Dani barusan cukup membuatku dan Said terkaget-kaget. Aku seolah masih
belum percaya dengan pendengaranku. Beberapa detik berikutnya adalah saat
mulutku terkunci rapat, dan hanya meninggalkan otakku yang masih bekerja dengan
keras mencerna maksud beliau. Beliau mengatakan bahwa ada seorang gadis yang
selama ini menyimpan perasaan padaku, dan yang lebih membuat hatiku bergetar
gadis itu adalah...
“Ya,
dia putriku...”, sambung ustadz Dani seolah mampu membaca isi hatiku. Beberapa
saat kemudian, beliau terlihat menghubungi seseorang. Detik berikutnya adalah
ketika seorang gadis dengan jilbab biru muda memasuki restoran ditemani seorang
wanita paruh baya. Mereka berdua mengambil tempat duduk di sebelah ustadz Dani.
“Ini adalah gadis yang ingin saya selamatkan hatinya, Alyssa...”, ujar ustadz
Dani sembari menunjuk pada gadis dengan jilbab biru muda.
Saat
pandangan kami bertemu, aku segera teringat pada seorang gadis yang duduk di
samping Sabrina pada hari ketika Fuad mengkhitbahnya secara resmi. “Kaukah
itu?... yang duduk di samping Sabrina saat ia dikhitbah?”, tanyaku dengan suara
bergetar. Aku masih belum bisa menyembunyikan kekagetanku.
Alyssa
mengangguk pelan. “Saat itu saya langsung tahu bahwa mas Amrul telah lama
memendam perasaan pada Sabrina. Namun saya kagum melihat mas Amrul yang
berbesar hati dan mengikhlaskannya. Saya menjadi semakin kagum pada mas Amrul
saat memberikan kotak makanan kepada seorang anak di masjid Al-Ikhlas tempo lalu.
Saat itu saya juga datang untuk mengantar abi
yang akan mengisi seminar...”, tuturnya dengan suara yang lembut.
Mendengar
penjelasan Alyssa barusan, setitik embun surga seolah-olah jatuh menyejukkan
hatiku. Aku benar-benar merasakan kasih sayang Allah yang begitu besar. Balasan
untuk orang-orang yang berhusnuzhon pada Allah benar-benar kurasakan
hari ini.
Ustadz
Dani menjelaskan bahwa Alyssa baru saja lulus dari jurusan kedokteran
Universitas Trisakti. Beliau juga menambahkan bahwa putrinya mengidamkan
pendamping yang shalih, mampu menghormati dan mencintainya serta bisa
mengimaminya di dunia dan akhirat.
Rasanya, aku masih belum percaya dengan rentetan kejadian yang
kualami hari ini. Rabbi, betapa rizki yang Kau berikan ini begitu agung
untukku, bisik batinku lirih. Air mataku kembali jatuh, laiknya gerimis
yang tiba-tiba saja turun dengan perlahan di luar sana. Suara rintiknya yang
bertalu-talu seolah mengiringi perginya kemarau panjang dari hatiku.
Jakarta, penghujung Syawal 1433 H.
Untuk orang-orang yang kucintai karena Allah,
terimakasih karena telah melimpahiku dengan banyak cinta.
(Cerpen ini meraih penghargaan III dalam Gebyar Kreasi Cerpen
Tingkat Nasional 2012)