Sungguh Besar Kenikmatan Yang DiberiNya

 

Oleh : Isti Fatmasari (Kadept. Kestari)

 

Hari itu langkah ini tak berjalan seperti biasanya Rasa iba bergemuruh di hati, ketika mendengar kabar saudara-saudaraku di Kelud sana yang terkena musibah. 2,8 juta abu vulkanik menumpuk di bendungan Selorejo. Sejumlah sarana dan fasilitas di bendungan itu pun rusak. Ratusan, bahkan ribuan warga mengungsi di berbagai tempat yang aman. Apakah kita sebagai saudara mereka hanya diam mendengar kabar ini?Atau hanya bisa berkata “ Ini ujian dari Allah, makannya jangan kebanyakan dosa” ? Tidak kawan, itu bukanlah solusi terbaik dari ujian ini. Ini bukan hanya masalah mereka, ini bukan hanya ujian bagi mereka, tapi ini masalah kita semua, ujian bagi kita sesama saudara.
                                                                                                                          
             Senin 17 Februari 2014, KAMMI LIPIA mengadakan penggalangan dana untuk korban gunung Kelud, yang dikoordinir oleh divisi SOSMAS. Awalnya ada keraguan di hati, karena ini pertama kalinya aku akan menggalang dana di pinggir jalan. Hatiku pun bertanya-tanya “Apakah aku bisa?”, “Apakah aku kuat untuk menghadapi berbagai respon warga Jakarta yang baru pulang dari pekerjaannya pada sore itu?” Namun, semua keraguan itu seketika lenyap dengan sendirinya. Tiba-tiba ada sesuatu yang menguatkanku, yang menggerakkan hati ini untuk turun ke jalan, untuk sedikit meringankan beban mereka.                                                 
Aku pun melangkahkan kaki menyusuri jalanan lampu merah. Ya, respon mereka pun bermacam-macam. Namun, hati ini bertekad untuk bergerak lebih dari biasanya. Ditemani seorang teman, aku pun menyusuri toko-toko dan warung-warung kecil di sekitar lampu merah.Alhamdulillah respon mereka sangat baik, mereka memberikan sedikit uang seraya berkata “ Maaf neng, baru dapat segini, jadi baru bisa ngasih sedikit” dengan nada ramah kami pun menjawab “Ngga apa-apa pak, sedikit bantuan bapak ini sangat berarti untuk mereka, semoga Allah membalas kebaikan Bapak, dan dilancarkan segala urusan ya Pak”. Namun ada pula yang berkata “Kelud tuh sebelah mana ya?Kok mau sih neng minta-minta uang di pinggir jalan?”
Toko demi toko kami lewati, tibalah kami di bawah sebuah jembatan yang tak jauh dari lampu merah. Kami pun melancarkan aksi kami untuk menggalang dana pada orang di sekitar. Terlihat seorang anak kecil mengenakan pakaian SD  yang baru pulang dari sekolah. Rasa iba ku muncul “Anak kecil ini pasti mau naik angkot, kasian juga kalo dimintain uang” Namun, tiba-tiba dia mengejutkanku. Dia menghampiri kami, dan memberikan sedikit uang receh dari saku bajunya. Seketika itu pun ada muara kecil yang muncul di sudut mataku. Segera ku hilangkan muara itu, dan ku elus kepala bidadari kecil berhati emas.
Waktu terus berjalan, sampailah kami di penghujung sore. Kami pun berkumpul di satu tempat, dan mulai menghitung hasil penggalangan dana pada sore itu. Alhamdulillah hasilnya memuaskan, kami pun tak lupa mengucap syukur kepada Allah atas nikmat yang telah Ia diberikan.
Yaa Allah….
Terima kasih atas semua ujian ini
Karena ujian lah yang dapat membuat kami lebih kuat dari biasanya
Karena ujian lah yang dapat membuat hati ini peduli dengan sesama
Karena ujian lah yang mengumpulkan hati-hati kami dalam doa robithoh kepadaMu
Yaa Allah…
Terima kasih atas pelajaran berharga ini
Kau pertemukanku dengan orang-orang hebat
Orang-orang sederhana yang berhati emas
Lindungi mereka Yaa Rabb, sungguh aku sayang mereka :’)

24 Februari 2014,dengan penuh cinta untukMu

Antara akhwat karir dan wanita karir.


Oleh : Afifah Nusaibah

Berikut cuplikan percakapan antara akhwat karir dan wanita karir :
Maria : “Kamu sudah bekerja atau masih kuliah?”
Syahidah : “Saat ini saya sedang bekerja karna kuliah yang sedang tertunda.”
Maria : “Berapa gaji yang kamu dapatkan dari pekerjaan mu?”
Syahidah : “Sekitar 2,3 juta.”
Maria : “Baiklah, saya akan menawarkan pekerjaan bagus untuk mu. Saya akan membantu mu. Kamu bisa menghasilkan uang 50 sampai 100 juta perbulan nya tanpa harus mengeluarkan tenaga.”
Syahidah : “Wow, bagaimana bisa?”
Maria : “Tentu bisa, cukup dengan kamu invest 1 juta sekarang, dan kamu akan mendapatkan vitamin yang jika kamu beli vitamin tersebut di toko-toko harganya bisa mencapai 1,5 juta. Tapi disini kamu mendapatkan harga khusus.”
Syahidah : “Lalu?”
Maria : “Lalu setelah kamu menginvestasikan uang mu dan mendapatkan produk berupa vitamin, kamu hanya cukup membantu temanmu yang lain untuk berkesempatan menjadi orang sukses di masa depan.”
Syahidah : “Oh ya? Benarkah?”
Maria : “Ya. Tentu saja. Mudah bukan?”
Syahidah : (berpose berpangku dagu sambil mengangguk-anggukan kepala beberapa kali)
Maria : “Bagaimana? Kamu tertarik?”
Syahidah : “Saya rasa saya belum tertarik.”
Maria : “Kenapa? Baiklah, coba kamu bayangkan. Sejak kecil sampai sedewasa ini sudah berapa miliyaran rupiah yang orangtua mu keluarkan untuk membiayai mu? Mulai dari susu saat balita, pakaian, mainan, biaya sakit, jalan-jalan, sekolah sampai bahkan kuliah, dan kamu saat ini hanya mendapatkan income atau gaji senilai 2,3 juta. Kamu fikir itu adil? Padahal orangtua mu sudah mengeluarkan biaya sampai ratusan juta jika mau dihitung.”
Syahidah : “Adil.”
Maria : (Tampang shock) “Adil??? Kamu yakin ini adil?”
Maryam : “Ya. Saya sangat yakin ini adil. Karna memang mungkin pekerjaan saya ternilai dengan jumlah sekian.” “(toh rejeki sudah allah atur, kita hanya berusaha semaksimal kita bisa”) ucap Maryam dalam hati.
Maria : “Baiklah, mungkin memang saudari Syahidah berjiwa besar. Oke, kita langsung saja urus investasi pembayaran nya di ruangan saya ya. Kamu pengguna Bank apa?”
Syahidah : “Bank Daerah.”
Maria : “Hmm, kami tidak melayani transaksi Bank Daerah sebenarnya, tapi tak mengapa. Bisa di atur nanti. Mari..” (Maria mulai berdiri)
Syahidah : “Tunggu. Saya tidak bisa memutuskan untuk berinvestasi atau tidak saat ini.”
Maria : “Kenapa? Kamu ingin menunda kesuksesan mu?”
Syahidah : “Tidak. Tapi saya harus berkonsultasi ke orangtua dan beberapa teman dekat.”
Maria : “Waah waah... Apakah kesuksesan mu akan selamanya tergantung pada teman-teman mu? Lalu jika teman-temanmu masuk ke dalam sumur, apakah kamu akan mengikuti mereka?”
Syahidah : “Bukan seperti itu maksud saya. Setidaknya saya harus meyakinkan diri saya dan orangtua saya.”
Maria : “Bukankah jika kamu sukses orangtua mu juga akan merasakannya? Baiklah, begini. Misalkan kamu akan menikah, tapi kedua orang tua mu tak mengizinkan. Bagaimana? Apakah kamu tetap tidak akan menikah?”
Syahidah : “Ya. Tentu saja saya tidak akan menikah.”
Maria : “ckckck... Oke, saya akan anggap anda berjiwa besar. Baiklah, kalau kamu belum bisa memutuskannya sekarang. Oh iya, ini ada tiket acara kami yang akan di selenggarakan pekan depan. Menghadirkan si pemilik perusahaan loh, langsung dari luar negri.”
Syahidah : “Wah, maaf tapi saya pekan depan sudah ada acara.”
Maria : “Acara apa? Jam berapa? Luangkan waktu mu satu sampai dua jam untuk datang ke acara kami. Harga tiket hanya 40 ribu saja kok.”
Syahidah : “Tidak bisa, akhir pekan saya pekan depan menentukan masa depan saya dan bangsa ini.”
Maria : “Wow... Bbaiklah, kalau begitu kamu boleh hanya membeli DVD ini, berisi tentang seluk beluk perusahaan kami dan cara-cara bagaimana kita bisa mendapatkan income yang besar dengan kerja yang ringan, atau juga di sebut passive income. Harga nya hanya 20 ribu. Kamu bisa menonton nya lagi di rumah, siapa tahu setelah ini kamu tertarik untuk bergabung bersama kami.”
Syahidah : “Saya rasa saya tidak bisa membelinya.”
Maria : “Kenapa? Apakah terlalu mahal? Baiklah, tak apa. Oh ya, di dalam sedang ada pelatihan untuk member baru. Kamu boleh ikut serta, ayo masuk, akan saya antarkan kamu kedalam. Gratis kok tanpa di pungut biaya.”
Syahidah : “Tidak, terimakasih. Saya harus pulang saat ini. Permisi.”
                Ya. Demikianlah sedikit kutipan percakapan dari apa yang terjadi hari itu. Syahidah merasa dirinya diculik. Karna saat bertanya pada temannya hendak kemana mereka akan pergi, temannya tak memberi tahu. Syahidah beranggapan bahwa akan diajak jalan-jalan akhir pekan oleh temannya. Namun sangat di sayangkan, temannya justru membawanya ke sebuah kantor dan menawarkan bisnis yang sama sekali tak ia minati.
                Selain kecewa atas perlakuan sahabatnya, Ia pun kecewa ternyata si empu perusahaan tersebut berbeda keyakinan dengannya. Termasuk Maria, atasan teman Syahidah dan beberapa manajer atau leader dalam perusahaan tersebut. Wajar saja jika ia beranggapan tak adil saat apa yang orangtua keluarkan untuk membiayai anaknya sejak kecil dan ternyata dewasanya anaknya hanya mendapatkan gaji 2,3 perbulan. Sudut pandang Maria dan Syahida bertolak belakang. Syahida yang saat itu juga mengingat ayat illah nya yang berbunyi : “Maka ni’mat tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?” tentu tak memiliki keberanian untuk menjawab dengan jawaban : “Tidak adil”. Sedangkan tuhan nya telah memberi berlimpah nikmat dan karunia terhadapnya. Berbeda dengan sudut pandang Maria. Entah dari sisi mana Maria menyimpulkan itu tidak adil.
                Kemudian tentang perizinan orangtua. Mana bisa Syahidah tetap menikah tanpa restu orangtua? Sedang redho Allah ada pada redho orangtua. Begitupun saat ia harus memutuskan sebuah perkara, selalu orangtua yang menjadi urutan kedua tempat ia berkonsultasi setelah Allah tentunya. Dan juga, kalaupun Syahidah tertarik, ia akan lebih memilih berinvestasi dengan pengusaha-pengusaha muslim lainnya. Bukan berarti Syahidah tak mau bermuamalah terhadap yang berbeda keyakinan, hanya saja sistim dan prosedurnya yang sepertinya kurang bisa ia terima.Berbagai cara Maria gunakan untuk menarik simpati Syahidah. Sampai meminta Syahidah untuk ikut di acaranya akhir pekan nanti. Tentu Syahidah menolak. Bagaimana tidak, pemilu sudah di ambang pintu, akhir pekan nya sudah di kontrak mutlak untuk pemenangan. Sempat muncul ide "nakal" Syahidah saat itu. Ia ingin memprospek balik si Maria dengan tawaran bahwa Syahida akan dengan senang hati berinvestasi asalkan Maria dan atasan nya serta para member yang sudah tergabung serentak memilih CAD-CAD dari partai yang Syahidah dukung. Bukankah ini ide yang sangat "nakal"? Tapi Syahidah menahannya. Ia hanya tersenyum geli jika mengingat "ide nakal" yang melintas saat itu. 
                Sangat disayangkan, beberapa teman nya sudah ada yang terjalin hubungan bisnis dengan perusahaan tersebut. Dan yang paling ia sayangkan adalah saat temannya merahasiakan kemana ia akan diajaknya. Merasa seperti diculik dan di bohongi. Mungkin akan lebih baik lagi jika Syahidah berhati-hati saat diajak berpergian oleh orang lain, walaupun itu adalah teman yang sudah beberapa tahun ia kenal.
                                                *di ambil dari kisah nyata penulis. Semoga dapat mencerahkan para pembaca. Nama Syahidah dan Maria adalah nama samaran. Bukan nama yang sebenarnya.Jumlah keuangan juga sengaja saya samarkan, dan bukan seperti sebenarnya. 
 
http://fifasyahida.blogspot.com/2014/02/antara-akhwat-karir-dan-wanita-karir.html

Apel siaga

Apel siaga yang diadakan KAMDJA (kammi daerah jakarta) dihadiri dari berbagai komisariat sejakarta. Acara yang diadakan di lapangan velodrome rawamangun jakarta timur (23/2) menjadikan titik terang bagi kammi yang selama ini tertidur.

Bang abi sebagai komandan upacara menyampaikan bahwa kammi harus berdiri disetiap kampus-kampus terutama daerah jakarta. Memang masih ada beberapa kampus yang memang belum tersentuh atau bahkan tidak tau gerakan kammi. Maka dari itu kita harus mengexpand ke kampus-kampus diwilayah ibu kota. Diterik sinar matahari yang panas itu peserta apel yang dihadiri dari komisariat unj, uhamka, alhikmah, mabda, lipia dll tetap berdiri tegas diatas aspal yang hangat. Itulah mahasiswa, jiwa muda yang berwibawa.

Disambung dengan taujih bang fikri pada akhir apel siaga, beliau mengawali dengan kritikan, mungkin mindset sekarang kritik itu konotasinya adalah negatif. Tapi justru kritik itu adalah suatu hal yang memang sangat dibutuhkan. Seseorang tidak akan berkembang tanpa dihujani ktitikan. Kritik yang membangun serta motivasi adalah asupan yang memang harus dimakan setiap orang supaya menjadi pribadi yang kuat dan cerdas dalam berfikir dan bertindak
"Kammi sekarang tidak otentik" kata beliau. Judul yang bertema "jakarta baru, jakarta madani"  tema yg mirip dengan salah satu slogan orang nomor satu di jakarta. Memang harus ada inovasi yang mencirikan has kammi itu sendiri.
Diakhir beliau menyampaikan bahwa mahasiswa belum saatnya memasuki peran dalam pemilu, masih butuh bnyak belajar untuk masuk ke ranah system. Biarlah kita kembali keperpustakan, mengkaji kembali dan melaksanakan aksi-aksi nyata.

Apel selesai usai adzan asar, dan kamipun menunaikan sholat ashar, yang dilanjutkan dengan rapat DM1 wilayah, untuk merealisasikan target KAMDJA pada tahun-tahun ini.

MUHASABAH CINTA

MUHASABAH CINTA
-A’la Dzunnuroin, LIPIA Jakarta-
 
“Assalamu’alaikum, akhi... alhamdulillah sudah ada jawaban dari ukhti Sabrina... dia menerima lamaran ana...”, lamat-lamat mataku mengeja kata demi kata yang tertulis di layar handphone. Ini adalah hari yang bersejarah untuk sahabat baikku, Fuad. Masa penantian jawaban siang-malam dari seorang akhwat yang berniat dinikahinya akhirnya berujung dengan sujud panjang penuh rasa syukur.
Tanpa sadar, mataku basah. Handphone yang sedari tadi kugenggam erat mendadak bergetar hebat. Saat sebutir air mata jatuh di layar handphoneku, aku menjadi sangat yakin bahwa ini bukanlah air mata bahagia. Ada pedih yang tiba-tiba menghunjam ke ulu hatiku jika membayangkan kelak sahabat baikku akan bersanding dengan gadis yang selama ini diam-diam telah memenuhi hatiku.
***
Kediaman Sabrina, seminggu kemudian...
            Prosesi khitbah berjalan khidmat. Dimulai dengan sambutan yang dibawakan tuan rumah, hingga penuturan orang tua Fuad mengenai maksud kedatangan mereka sekeluarga. Aku duduk di samping Fuad. Ia berkali-kali tersenyum ke arahku. Namun kubalas dengan senyum seadanya.
            Sabrina terlihat anggun dalam balutan jilbab hijau muda dengan kebaya senada. Ia menunduk dalam demi mendengar penuturan orang tua Fuad yang berniat mengkhitbahnya untuk putra mereka. Kini semua yang hadir menunggu jawaban dari Sabrina. Ibu Sabrina yang duduk tak jauh di sampingnya berusaha menguatkan hati putrinya dengan memegangi kedua pundaknya. Sabrina sempat terisak sebelum akhirnya menarik napas perlahan, “Dengan menyebut nama Allah, lamaran mas Fuad saya terima...”, ujar Sabrina lirih.
           
           Seketika jawaban sabrina disambut dengan gegap gempita kalimat takbir dan syukur. Fuad terlihat tak mampu berkata-kata lagi dan hanya bisa menahan luapan gembira dengan air mata bahagia. Sedang aku yang duduk disampingnya, masih berharap agar kalimat yang meluncur dari bibir Sabrina barusan adalah kebalikannya. Namun aku segera tersadar dan beristighfar berkali-kali dalam hati. 

Saat kupandangi Sabrina yang bertukar senyum dengan ibunya, tanpa terasa mataku basah. Aku sadar akan tatapan seorang akhwat yang duduk di samping Sabrina padaku. Kupikir ia merasa heran karena tatapanku yang lekat pada Sabrina di sertai dengan linangan air mata. Mungkin dalam hati ia bertanya-tanya, apa hubunganku dengan Sabrina?

            Meski demikian, aku sudah tak peduli. Bagiku yang telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, Sabrina telah bisa menutup celah tersebut. Selain menjadi sahabat sejak kecil, ia telah menjadi penyemangat hidupku selama ini. Sabrina yang selalau ada untukku, kupikir akan berlangsung selamanya. Kupikir yang akan duduk di posisi Fuad hari ini dan mengkhitbahnya adalah aku. Kupikir yang nantinya akan merenda masa depan dalam sakinah mawaddah bersamanya adalah aku. Aku sama sekali tak mengira, bahwa Sabrina akan pergi ke suatu tempat yang tak pernah bisa kuraih lagi.
***


”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,...”, dengan berlinang air mata kulantunkan firman-Nya tersebut di sepertiga malam terakhir. Air mataku semakin deras membanjiri wajahku kala sampai pada ayat-Nya yang berbunyi, Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”  (QS Al-Baqarah: 235)


Aku sadar bahwa manusia tak memiliki kuasa apapun untuk mengubah perasaannya. Ini adalah teguran bagiku, yang selalu menunda kesempatan untuk mengkhitbah Sabrina meski telah siap lahir dan batin. Pada akhirnya, aku baru menyadari betapa berartinya Sabrina dalam hidupku ketika ia telah bersama orang lain. Oleh karena itu, usai kusempurnakan witirku aku momohon kepada Allah diberi kekuatan agar bisa mengihklaskan Sabrina dan senantiasa berhusnuzhon pada tiap-tiap ketentuan-Nya.

Malam masih menyematkan gulita yang pekat diluar sana. Aku hampir meraih mushaf kecilku saat handphoneku tiba-tiba berdering.

Assalamu’alaikum, akh Amrul?”, ujar sebuah suara di seberang sana. Dia adalah Said, salah seorang sahabatku yang berasal dari Sulawesi dan masih sama-sama aktif di Lembaga Dakwah Kampus LIPIA.
Wa’alaikumsalam warohmatullah... ya, akh. Ada apa?”, tanyaku langsung ke inti pembicaraan.
“Sebelumnya afwan jika mengganggu, tapi ini darurat. Ana baru ingat untuk pesan rujak seafoodnya 500 box...”, ujar Said dengan nada cemas.
“Banyak sekali...buat acara apa, akh?”, tanyaku penasaran.
“Untuk seminar keluarga sakinah di masjid Al-Ikhlas Jatipadang. Pematerinya ustadz Dani Setiawan yang alumunus LIPIA itu...”, terang Said.
“Wah, beliau yang ngisi??? Gratis kan acaranya?”


“Ckckck... Gini nih bawaan mahasiswa... maunya banyak, yang gratis-gratis pula... ”, ujar Said sembari terkekeh, “Iya, gratis akh... kebetulan WAMY (World Assembly Moslem Youth) yang jadi sponsornya...”
Aku pun terbahak mendengar ucapannya, “Oh, bagus deh kalau gitu. Jadi kapan acaranya?”
“Lima hari lagi akh, bisa?”
InsyaAllah...
Alhamdulillah kalo gitu... ana sempat khawatir, kalo antum tolak. Soalnya kan udah dekat ikhtibar (ujian)...”
Aku tersenyum. Dalam hati aku memuji kepedulian sahabatku itu, “Ndak apa, akh... masa rizki di tolak??hehe... kebetulan ana juga pengen sekali ikut kajian beliau...”
Syukron ya, akh... Assalamu’alaikum.
Usai kujawab salamnya, lantas KLIK. Sambungan terputus. Dalam hati aku bergumam, mungkinkah Engkau memberiku kesibukan ini agar perlahan dapat melupakannya, Rabbi...?
***
          Matahari di langit Jakarta pada musim kemarau memang tidak bersahabat. Teriknya yang menjilat-jilat seolah mampu membakar ubun-ubunku. Aku bersyukur telah menyiapkan kotak-kotak makanan yang dipesan Said sejak pagi, jadi saat ini tinggal kutata dengan rapi.
            Akh Amrul...”, panggil sebuah suara.
Aku menoleh dan tersenyum saat kudapati sosok Ibad di sana. Dia mahasiswa asal Rembang yang kini telah sama-sama duduk denganku di mustawa akhir syari’ah (Semester akhir Syari’ah) , “Waah... yang pengantin baru hadir juga to hari ini?”, godaku sembari menjabat tangannya erat.
            Dia terkekeh. “Iya dong akh... lha wong ustadz Dani pembicaranya, ndak boleh ketinggalan. Apalagi buat yang sudah berkeluarga...”, terangnya memberi alasan, “Lalu antum kapan nih deadlinenya? Sudah siap lahir batin kan?”
            Aku terbahak. “Deadline? Nyari calon istri macam nyari bahts (Makalah) aja antum ini... Siap sih siap akh, tapi calonnya yang belum ada, hahaha”
            “Yah, cepat-cepat saja lah akh... takut kehabisan bibit unggulnya...”


 


Kamipun tertawa berderai-derai.
            Sepuluh menit kemudian kami berpisah. Seminar hampir dimulai. Aku baru saja akan menyelesaikan pekerjaanku jika saja ekor mataku tidak menangkap sosok anak kecil dengan pakaian lusuh yang mengendap-endap di koridor akhwat. Aku berniat membiarkannya sampai ketika aku melihatnya mengambil satu kotak makanan tanpa sepengetahuan siapapun.

            Detik berikutnya, ia segera beranjak ke sebelah utara aula masjid. Akupun mengikutinya diam-diam. Dengan langkah cepat, kurang dari lima belas detik telah mampu kuraih pundaknya. Sentuhan pelan di pundak itu seketika membuat wajah anak tersebut berubah pias.

            “Ampun, mas... saya terpaksa melakukan ini... Ampuni saya, mas”, pintanya dengan wajah memelas.
Aku segera berlutut agar sejajar dengan tingginya. “Adik namanya siapa? Lalu pada siapa makanan ini akan diberikan, dik?”, tanyaku selembut mungkin. Aku ingin tabayyun (Memeriksa suatu kejadian dengan teliti dan hati-hati) seperti yang diajarkan Rasulullah jika mengadili sahabatnya yang berbuat kesalahan.

            “Saya Wahyu, mas... makanan ini untuk ibu dan adik saya... ibu saya sedang sakit dan ndak bisa kerja. Padahal bapak sudah ndak ada. Saya tidak mau kehilangan ibu dan adik saya juga, mas...”, jawabnya dengan wajah yang tertunduk dalam. Kali ini ia mulai terisak.

Terbit rasa iba dalam hatiku. Kutaksir umurnya barulah belasan tahun, namun ia telah belajar menjadi begitu dewasa karena himpitan hidup. Hatiku rasanya teriris jika membayangkan betapa berat hari-hari yang telah dilewatinya. “Wahyu tunggu sebentar di sini ya...”.

Aku bergegas menuju koridor akhwat dan meminta izin mereka untuk mengambil dua kotak makanan. Mereka yang mengetahui maksudku malah menyodorkan tiga kotak makanan yang terbungkus kantong plastik. “Untuk ibunya yang sedang sakit akh, butuh tenaga ekstra...”, ucap salah seorang diantara mereka yang ternyata mendengar percakapan kami.

Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya berlalu. Dalam hati aku bersyukur bahwa selain sibuk berorganisasi, aktivis LDK juga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya.

Detik berikutnya, kuserahkan tiga kotak makanan tersebut kepada Wahyu. Saat ia menerima kotak makanan yang kusodorkan, air mata segera membanjiri wajahnya. Ia sudah membayangkan akan mendapat hukuman karena perbuatannya, namun yang terjadi malah sebaliknya. “Terimakasih mas, terimakasih... ibu selalu mengatakan bahwa orang yang berbuat baik pasti akan di balas oleh Allah. Semoga Allah membalas kebaikan mas dengan kebaikan yang berlipat ganda”, ucapnya tulus dengan berurai air mata.

Hatiku gerimis demi mendengar doa yang diucapkan dengan tulus oleh Wahyu. Akupun mengamininya berkali-kali dalam hati. Beberapa orang di koridor akhwat yang mendengar doanyapun ikut mengamini diam-diam. Aku tak menyangka bahwa itu adalah awal diijabahnya doa tersebut.
***
            Mata kuliah hadits yang disampaikan DR. Abdul Wahab Al-Hakamy menjadi mata kuliah terakhir yang kami pelajari hari ini. Beliau mengulas sebuah hadits Qudsi yang berbunyi, "[Putusan yang] Aku [tetapkan adalah] sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku akan bersama dengannya jika dia mengingat-Ku..."[Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Shahih Bukhari, Juz IX, halaman 120]. Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa seorang hamba harus senantiasa berperasangka yang baik pada tiap-tiap ketentuan Allah. Dengan demikian, maka Allah akan melimpahkan karunia dan kebaikan sesuai perasangka hamba tersebut kepada-Nya.

            Usai mendengar penuturan beliau, hatiku merasa tenang. Optimisme hidup yang sempat padam karena pernikahan Sabrina dengan Fuad seolah kembali menyala. Ya, aku harus ikhlas dan tetap berhusnuzhon pada ketentuan Allah, karena suatu saat Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik, tekadku dalam hati.

            Lima menit kemudian bel tanda usainya jam kuliah berdering. Aku baru saja akan berkemas saat kurasakan sentuhan halus di pundakku. Serta merta aku menoleh dan kudapati sosok Said di sana.
            Akhi... ana mau ajak antum nih...”, ujarnya dengan nada merajuk.
            “Kemana?”, tanyaku sembari memasukkan muqorror[Diktat] hadits ke dalam tas.
            “Ke tempat spesial...”, jawab Said dengan senyum lebar.
            “Acaranya?”
            “Acaranya spesial juga...hehe,”
            Aku sangat mengenal Said. Biasanya jika sudah seperti ini dia akan terus membujukku. Kulihat jam tanganku. Kebetulan besok Sabtu tidak ada jam kuliah. Rujak Seafood juga bisa kubuka malam hari. Jadi kuiyakan ajakannya.
            Melihatku mengangguk setuju, Said melonjak girang, “Pokoknya antum ga akan nyesal, akh”, ujarnya sembari menarikku keluar kelas.
***

 
            Usai shalat jum’at di masjid kampus, kami berangkat dengan motor masing-masing membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. Untungnya, ruas jalan sepanjang Warung Jati Barat hingga Ampera tidaklah padat. Sehingga lima belas menit kemudian, kami telah memasuki daerah Kemang Selatan. Dalam hati aku masih bertanya-tanya ke mana Said akan membawaku. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah restoran terkenal di daerah Kemang. Ada yang sedang walimahkah?, tanya batinku penasaran.

            “Sudah sampai akh...”, ujar Said sembari memarkir motornya, “Ayo, masuk...”
            Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

            Saat memasuki restoran, dapat kutandai seseorang yang melambai pada kami. Pria berusaia setengah baya. Aku berusaha keras mengingat wajahnya yang nampak familiar bagiku dan terperanjat seketika saat menyadari sosok yang melambai pada kami tersebut. “Ustadz Dani???”

            Said hanya tersenyum melihat ekspresiku. “Ayo akh, kita sudah ditunggu beliau...”
            Batinku segera dirundung pertanyaan. Aku semakin gugup hingga tak tahu harus berbuat apa di depan ustadz sekaligus penulis yang kusegani tersebut.

            “Oh...jadi ini akh Amrul yang antum ceritakan itu?”, tanya ustadz Dani pada Said.
            Said hanya tersenyum dan mengagguk pelan, “Iya, ustadz...”.
            “Duduklah...”, pinta ustadz Dani ramah sembari mengembangkan senyumnya yang teduh.
            Kami berdua mengambil kursi di depan beliau. Pikiran konyol tiba-tiba melintas dalam benakku, Aku sudah lama ingin berfoto dengan beliau, apakah ini saatnya?.
            “Sebelumnya maaf karena memanggil kalian mendadak seperti ini. Saya ingin menyampaikan pertanyaan. Terutama pada antum, Amrul...”, ujar ustadz Dani sembari melepas pandangannya padaku.
            Mendengar namaku disebut, seketika wajahku terangkat. Mataku melebar karena kaget dan penasaran. “Ya, ustadz... pertanyaan apa itu?”
            “Jika ada seorang ikhwan yang memendam perasaan pada seorang akhwat, maka menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan?”, tanya beliau lugas.

            Mendengar pertanyaan tersebut, entah mengapa hatiku bagai teriris. Seolah ada sebuah alugora raksasa yang menghimpit dadaku. Tiba-tiba bayangan Sabrina kembali berkelebat di benakku. Tanpa terasa mataku mengombak. Ketika setetes air mata jatuh, kusembunyikan wajahku dari beliau. “Jika ia seorang ikhwan yang telah siap lahir batin untuk menikah, maka sebaiknya ia segera mengutarakan isi hatinya. Jika ia malah menunda dan akhirnya akhwat tersebut dipinang oleh saudarnya, maka ia pasti akan sangat kesulitan melewati masa-masa tersebut, ustadz...”, terangku dengan suara yang berubah serak.
            Melihat ekspresiku yang tidak terduga, Said mengernyit. Dalam kepalanya tiba-tiba muncul tanda tanya besar tentang apa yang tengah kurasakan.
            “Jika dia seorang akhwat?”, kejar ustadz Dani.

            Aku menengadah. “Jika dia seorang akhwat, hendaknya ia memintakan seseorang yang menjadi walinya untuk menyampaikan isi hatinya pada ikhwan yang diam-diam disukainya...”, jawabku sembari menyeka air mataku.

            Ustadz Dani tersenyum lebar. Ia nampak puas dengan jawabanku. Semua yang ia tanyakan persis seperti permintaan seseorang. “Jika memang demikian, hari ini saya ingin menyelamatkan hati seorang gadis. Ia tengah memendam perasaan pada seseorang. Untuk menyelamatkannya, saya butuh bantuanmu, Amrul...”
            Aku semakin bingung merangkai hubungan pertemuan kami hari ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan, “Bantuan seperti apa yang bisa saya berikan ustadz?”, tanyaku ragu-ragu.

            “Bantuan yang saya harapkan darimu adalah dari seorang akhwat yang bernama Alyssa. Beberapa bulan terakhir ia telah memendam perasaan padamu, dan persis sebagaimana penuturanmu saya sebagai walinya yang paling berhak untuk menyampaikan perasaannya...”, terang ustadz Dani tanpa melepas pandangannya dariku.

            Kalimat ustadz Dani barusan cukup membuatku dan Said terkaget-kaget. Aku seolah masih belum percaya dengan pendengaranku. Beberapa detik berikutnya adalah saat mulutku terkunci rapat, dan hanya meninggalkan otakku yang masih bekerja dengan keras mencerna maksud beliau. Beliau mengatakan bahwa ada seorang gadis yang selama ini menyimpan perasaan padaku, dan yang lebih membuat hatiku bergetar gadis itu adalah...

            “Ya, dia putriku...”, sambung ustadz Dani seolah mampu membaca isi hatiku. Beberapa saat kemudian, beliau terlihat menghubungi seseorang. Detik berikutnya adalah ketika seorang gadis dengan jilbab biru muda memasuki restoran ditemani seorang wanita paruh baya. Mereka berdua mengambil tempat duduk di sebelah ustadz Dani. “Ini adalah gadis yang ingin saya selamatkan hatinya, Alyssa...”, ujar ustadz Dani sembari menunjuk pada gadis dengan jilbab biru muda.

            Saat pandangan kami bertemu, aku segera teringat pada seorang gadis yang duduk di samping Sabrina pada hari ketika Fuad mengkhitbahnya secara resmi. “Kaukah itu?... yang duduk di samping Sabrina saat ia dikhitbah?”, tanyaku dengan suara bergetar. Aku masih belum bisa menyembunyikan kekagetanku.

            Alyssa mengangguk pelan. “Saat itu saya langsung tahu bahwa mas Amrul telah lama memendam perasaan pada Sabrina. Namun saya kagum melihat mas Amrul yang berbesar hati dan mengikhlaskannya. Saya menjadi semakin kagum pada mas Amrul saat memberikan kotak makanan kepada seorang anak di masjid Al-Ikhlas tempo lalu. Saat itu saya juga datang untuk mengantar abi[Ayah] yang akan mengisi seminar...”, tuturnya dengan suara yang lembut.

            Mendengar penjelasan Alyssa barusan, setitik embun surga seolah-olah jatuh menyejukkan hatiku. Aku benar-benar merasakan kasih sayang Allah yang begitu besar. Balasan untuk orang-orang yang berhusnuzhon pada Allah benar-benar kurasakan hari ini.

            Ustadz Dani menjelaskan bahwa Alyssa baru saja lulus dari jurusan kedokteran Universitas Trisakti. Beliau juga menambahkan bahwa putrinya mengidamkan pendamping yang shalih, mampu menghormati dan mencintainya serta bisa mengimaminya di dunia dan akhirat.

Rasanya, aku masih belum percaya dengan rentetan kejadian yang kualami hari ini. Rabbi, betapa rizki yang Kau berikan ini begitu agung untukku, bisik batinku lirih. Air mataku kembali jatuh, laiknya gerimis yang tiba-tiba saja turun dengan perlahan di luar sana. Suara rintiknya yang bertalu-talu seolah mengiringi perginya kemarau panjang dari hatiku.


Jakarta, penghujung Syawal 1433 H.
Untuk orang-orang yang kucintai karena Allah,
terimakasih karena telah melimpahiku dengan banyak cinta.
(Cerpen ini meraih penghargaan III dalam Gebyar Kreasi Cerpen Tingkat Nasional 2012)